Kamis, 03 Februari 2011
kisah ramayana
Ramayana
Lukisan bergaya Thailand
yang menggambarkan
suasana pertempuran
antara Rama dengan
Rawana
Ramayana dari bahasa Sansekerta ( ) Ramâya?a
yang berasal dari kata Rama dan Aya?a yang berarti
"Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang
digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya
adalah Mahabharata.
Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam
bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam
bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang
isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa
kuna.
Di India dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi
tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:
1. Balakanda
2. Ayodhyakanda
3. Aranyakanda
4. Kiskindhakanda
5. Sundarakanda
6. Yuddhakanda
7. Uttarakanda
Banyak yang berpendapat bahwa kanda pertama dan ketujuh
merupakan sisipan baru. Dalam bahasa Jawa Kuna,
Uttarakanda didapati pula.
Pengaruh dalam budaya
Beberapa babak maupun adegan dalam Ramayana dituangkan
ke dalam bentuk lukisan maupun pahatan dalam arsitektur
bernuansa Hindu. Wiracarita Ramayana juga diangkat ke dalam
budaya pewayangan di Nusantara, seperti misalnya di Jawa dan
Bali. Selain itu di beberapa negara (seperti misalnya Thailand,
Kamboja, Vietnam, Laos, Philipina, dan lain-lain), Wiracarita
Ramayana diangkat sebagai pertunjukan kesenian.
Ringkasan Cerita
Rama mematahkan busur
Dewa Siwa saat sayembara
memperebutkan Dewi Sita
Prabu Dasarata dari
Ayodhya
Wiracarita Ramayana
menceritakan kisah Sang
Rama yang memerintah di
Kerajaan Kosala, di sebelah
utara Sungai Gangga,
ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah Prabu
Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi,
dan Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi
Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah
putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat
pangeran tersebut sangat gagah dan mahir bersenjata.
Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama
untuk melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para
rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi
Wiswamitra dan Sang Rama berangkat ke tengah hutan diiringi
Sang Lakshmana. Selama perjalanannya, Sang Rama dan
Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi Wiswamitra. Mereka
juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang
mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati Mithila,
Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu Janaka.
Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang
Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan membawa Dewi Sita,
Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.
Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta
kepada Rama. Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu
dengan berat hati menyerahkan tahta kepada Bharata
sedangkan Rama harus meninggalkan kerajaan selama 14
tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai penerus tahta,
namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan
bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah
Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.
Rama hidup di hutan
Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana
bertemu dengan berbagai rakshasa, termasuk Surpanaka.
Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana,
hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka
mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya. Rawana menjadi
marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat
Rama dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia
menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam usaha penculikannya,
Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia
gugur.
Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke
Kerajaan Alengka atas petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia
bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan
Sang Rama, Sugriwa berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan
kakaknya, Subali. Untuk membalas jasa, Sugriwa bersekutu
dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan
dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi
lautan dan menggempur Alengka.
Rama menggempur Rawana
Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para
sekutunya termasuk puteranya – Indrajit – untuk menggempur
Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah
diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas
senjata nagapasa dan memperoleh kemenangan, namun tidak
lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu dan para
patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan
pertarungan berlangsung sengit. Dengan senjata panah
Brahmastra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan
kepada Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah
kesuciannya diuji. Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke
Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulatbulat
untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya,
Bharata menyambut mereka dengan takzim dan menyerahkan
tahta kepada Rama.
Balakanda
Balakanda atau kitab pertama Ramayana menceritakan sang
Dasarata yang menjadi Raja di Ayodhya. Sang raja ini
mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kosalya, Dewi Kekayi dan Dewi
Sumitra.
Dewi Kosalya berputrakan Sang Rama, Dewi Kekayi
berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitra berputrakan sang
Laksamana dan sang Satrugna.
Maka pada suatu hari, bagawan Wiswamitra meminta tolong
kepada prabu Dasarata untuk menjaga pertapaannya. Sang
Rama dan Laksamana pergi membantu mengusir para raksasa
yang mengganggu pertapaan ini.
Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rama pergi
mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sita
sebagai istrinya.
Ketika pulang ke Ayodhya mereka dihadang oleh Ramaparasu,
tetapi mereka bisa mengalahkannya.
Ayodhyakanda
Ayodhyakanda adalah kitab kedua epos Ramayana dan
menceritakan sang Dasarata yang akan menyerahkan kerajaan
kepada sang Rama, tetapi dihalangi oleh Dewi Kekayi. Katanya
beliau pernah menjajikan warisan kerajaan kepada anaknya.
Maka sang Rama disertai oleh Dewi Sita dan Laksamana pergi
mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun.
Setelah mereka pergi, maka prabu Dasarata meninggal karena
sedihnya. Sang Barata menjadi sedih dan pergi menceri Sri
Rama.
Maka setelah ia berjumpa dengan Sri Rama, ia mengatakan
bahwa itu bukan haknya tetapi karena Rama ingin menghormati
bapaknya, ia mengatakan bahwa itu sudah kewajiban Barata
untuk memerintah. Lalu sebagai simbol bahwa Barata mewakili
Rama, Rama menyerahkan sandalnya (dalam bahasa
Sansekerta: paduka).
Lalu Barata pulang ke Ayodhya dan memerintah di sana.
Aranyakanda
Aranyakanda adalah kitab ke tiga epos Ramayana. Dalam kitab
ini diceritakanlah bagaimana sang Rama dan Laksamana
membantu para tapa di sebuah asrama mengusir sekalian
raksasa yang datang mengganggu.
Lalu Laksamana diganggu oleh seorang raksasi yang bernama
Surpanaka yang menyamar menjadi seorang wanita cantik yang
menggodanya. Tetapi Laksamana menolak dan hidung si
Surpanaka terpotong. Ia mengadu kepada suaminya sang
Trisira. Kemudian terjadi perang dan para bala raksasa mati
semua.
Maka si Surpanaka mengadu kakaknya sang Rawana sembari
memprovokasinya untuk menculik Dewi Sita yang katanya
sangat cantik. Sang Rawanapun pergi diiringi oleh Marica.
Marica menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda
Dewi Sita. Dewi Sita tertarik dan memminta Rama untuk
menangkapnya. Dewi Sita ditinggalkannya dan dijaga oleh si
Laksamana.
Ramapun pergi memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Lalu
iapun menjadi kesal dan memanahnya. Si Marica menjerit
kesakitan lalu mati dan wujudnya kembali menjadi raksasa.
Sementara itu Sita yang mendengar jeritan tersebut merasa
cemas dan mengira bahwa tadi adalah jeritan Rama. Lalu ia
menyuruh Laksamana untuk mencarinya. Laksamana menolak
tetapi Sita malah menuduhnya ingin memperistrinya jika Rama
mati. Maka iapun terpaksa pergi, tetapi sebelumnya membuat
sebuah lingkaran sakti sekeliling Sita supaya jangan ada yang
bisa menculiknya.
Sementara itu Rawana datang menyamar sebagai seorang tua
dan memanggil Sita yang langsung diculiknya. Rawana bertemu
dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu kalah dan
sekarat. Laksamana yang sudah menemukan Rama menjumpai
Jatayu yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
Kiskindhakanda
Kiskindhakanda adalah kitab keempat epos Ramayana. Dalam
kitab ini diceritakan bagaimana sang Rama amat berduka cita
akan hilangnya Dewi Sita. Lalu bersama Laksamana ia
menyusup ke hutan belantara dan sampai di gunung Resimuka.
Maka di sana berkelahilah sang kera Subali melawan Sugriwa
memperebutkan dewi Tara. Sang Sugriwa kalah lalu mengutus
abdinya sang Hanuman meminta tolong kepada Sri Rama untuk
membunuh Bali, Rama setuju dan si Bali mati.
Maka Sugriwa berterima kasih dan ingin membantunya dengan
mencari Dewi Sita.
Sundarakanda
Sundarakanda adalah kitab kelima Ramayana. Dalam kitab ini
diceritakan bagaimana sang Hanuman datang ke Alengkapura
mencari tahu akan keadaan Dewi Sita dan membakar kota
Alengkapura karena iseng.
Yuddhakanda
Yuddhakanda adalah kitab keenam epos Ramayana dan
sekaligus klimaks epos ini. Dalam kitab ini diceritakan sang
Rama dan sang raja kera Sugriwa mengerahkan bala tentara
kera menyiapkan penyerangan Alengkapura. Karena Alengka ini
terletak pada sebuah pulau, sulitlah bagaimana mereka harus
menyerang.
Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat
jembatan bendungan (situbanda) dari daratan ke pulau Alengka.
Para bala tentara kera dikerahkan. Pada saat pembangunan
jembatan ini mereka banyak diganggu tetapi akhirnya selesai
dan Alengkapura dapat diserang.
Syahdan terjadilah perang besar. Para raksasa banyak yang
mati dan prabu Rawana gugur di tangan sri Rama.
Lalu Dewi Sita menunjukkan kesucian dan kesetiaannya
terhadap Rama dengan dibakar di api, ternyata ia tidak apa-apa.
Setelah itu sang Rama, Sita, Laksamana pulang ke
Ayodhyapura, disertai para bala tentara kera yang dipimpin oleh
Sugriwa dan Hanuman. Di Ayodhyapura mereka disambut oleh
prabu Barata dan beliau menyerahkan kerajaannya kepada
sang Rama. Sri Rama lalu memerintah di Ayodhyapura dengan
bijaksana.
Uttarakanda
Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab
ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentuk
prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak
diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi
Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa
Teguh.
• Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana
atau Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu
• Cerita Dewi Sita
o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama
tidak di sisi Rama
o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
o "Kematian" Sita
Rama
Awatara Wisnu sebagai putra Dasarata, pembunuh Rahwana
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: ; Rama) atau
Ramacandra (Sansekerta: ; Ramacandra)
adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang
konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya
atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang
beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan
awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada
zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang
terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang
disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia
Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja
Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada
Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah
dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan
Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak
kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Asal-usul nama "Rama"
Ramá dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat
yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda yang berarti
"kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut adalah
rami. Dua Rama muncul dalam pustaka Weda, dengan nama
keluarga Margaweya dan Aupataswini; Rama yang lain muncul
dengan nama keluarga Jamadagnya yang dianggap sebagai
penulis himne Regweda. Menurut Monier-Williams, tiga Rama
dihormati pasca masa Weda, yaitu:
1. Rama-candra ("Rama-rembulan"), putra Dasarata,
keturunan Raghu dari Dinasti Surya.
2. Parashu-rama ("Rama besenjata kapak"), awatara Wisnu
yang keenam, kadangkala dianggap sebagai
Jamadagnya, atau sebagai Bhargawa Rama (keturunan
Bregu), seorang "Chiranjiwin" atau makhluk abadi.
3. Bala-rama ("Rama yang kuat"), juga disebut Halayudha
(bersenjata bajak saat bertempur), kakak sekaligus
teman dekat Kresna, awatara Wisnu yang kedelapan.
Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu
yang ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara,
yang diterjemahkan oleh Swami Tapasyananda dari Misi
Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang
maha kuasa yang menganugerahkan para yogi; 2) Ia (Wisnu)
yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama,
putera Dasarata.
Sumber literatur
Sumber utama mengenai kehidupan dan perjalanan Rama
adalah wiracarita Ramayana yang disusun Resi Walmiki.
Namun, sastra lain dalam bahasa Sanskerta juga merefleksikan
riwayat dalam Ramayana. Sebagai contoh, Wisnupurana juga
menceritakan Rama sebagai awatara Wisnu yang ketujuh dan
dalam Bayupurana, seorang Rama disebut di antara tujuh Resi
dari Manwantara ke-8. Dan juga kisah Rama disebut dalam
wiracarita lainnya, yaitu Mahabharata. Versi lain yang penting
dan lebih pendek adalah Adhyatma Ramayana. Ramayana
memiliki berbagai versi di sepanjang wilayah India. Sebagai
contoh, versi sederhana Ramayana yang menceritakan
kehidupan dan filsafat ketuhanan Rama dituangkan dalam sajak
kepahlawanan berjudul Kambaramayanam pada abad ke-12
oleh penyair Kamban dalam bahasa Tamil, dan
Ramacharitamanasa, Ramayana versi bahasa Hindi pada abad
ke-16 oleh penyair Tulsidas. Berbagai versi yang berbeda juga
ada dan muncul dalam bahasa-bahasa terkemuka di India.
Ramayana versi kontemporer meliputi Shri Ramayana
Darshanam oleh Dr. K. V. Puttappa dalam bahasa Kannada,
dan Ramayana Kalpavrikshamu oleh Viswanatha
Satyanarayana dalam bahasa Telugu, yang mana keduanya
memperoleh penghargaan dalam Jnanpith Award. Wiracarita
Ramayana tersebar di berbagai wilayah India, dan menonjolkan
keunikan budaya masing-masing daerah.
Kisah Rama juga menyebar ke wilayah Asia Tenggara, dan
diadaptasikan dengan kebudayaan, cerita rakyat, dan
kepercayaan masyarakat setempat. Kakawin Ramayana dari
Jawa (Indonesia), Ramakawaca dari Bali, Hikayat Seri Rama
dari Malaysia, Maradia Lawana dari Filipina, Ramakien dari
Thailand (yang menyebut Rama sebagai Phra Ram) merupakan
karya-karya besar yang unik dan mengandung berbagai versi
berbeda mengenai kehidupan Rama. Legenda mengenai Rama
dapat disaksikan dalam ukiran di kuil Wat Phra Kaew di
Bangkok. Wiracarita nasional Myanmar, Yama Zatdaw
sebenarnya merupakan Ramayana versi Myanmar, dimana
Rama dipanggil Yama. Dalam Reamker dari Kamboja, Rama
dikenal sebagai Preah Ream.
Sri Rama (tengah) bersama
istrinya Sita (sebelah kanan
gambar), Laksmana (paling
kanan), dan abdi setianya,
yaitu Hanoman (kiri).
Awatara Wisnu
Dalam wiracarita Ramayana diceritakan bahwa sebelum Rama
lahir, seorang raja raksasa bernama Rahwana telah meneror
Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa
cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar
beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa
juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan
anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi
takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar
Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan
dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh. Dewa Wisnu
menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan
turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata dari
Ayodhya. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh
Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Laksmana,
serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.
Kehidupan Sang Rama
Kelahiran dan keluarga
Sebuah lukisan dari
Himachal Pradesh.
Dari kiri ke kanan:
Sita, Rama, dan
Laksmana.
Ayah Rama adalah
Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya adalah Kosalya.
Dalam Ramayana iceritakan bahwa Raja Dasarata yang
merindukan putera mengadakan upacara bagi para dewa,
upacara yang disebut Putrakama Yadnya. Upacaranya diterima
oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air
suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah
tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera.
Yang tertua bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua
adalah Bharata, lahir dari Kekayi, dan yang terakhir adalah
Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra. Keempat pangeran
tersebut tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil
memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista.
Rama dan Wiswamitra
Pada suatu hari, Resi Wiswamitra datang menghadap Raja
Dasarata. Dasarata tahu benar watak resi tersebut dan berjanji
akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya
Sang Resi mengutarakan permohonannya, yaitu meminta
bantuan Rama untuk mengusir para rakshasa yang
mengganggu ketenangan para resi di hutan. Mendengar
permohonan tersebut, Raja Dasarata sangat terkejut karena
merasa tidak sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga
takut terhadap kutukan Resi Wiswamitra. Dasarata merasa
anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para rakshasa,
namun Resi Wiswamitra menjamin keselamatan Rama. Setelah
melalui perdebatan dan pergolakan dalam batin, Dasarata
mengabulkan permohonan Resi Wiswamitra dan mengizinkan
puteranya untuk membantu para resi.
Di tengah hutan, Rama dan Laksmana memperoleh mantra
sakti dari Resi Wiswamitra, yaitu bala dan atibala. Setelah itu,
mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para resi di
Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rama, Laksmana,
dan Resi Wiswamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan
tersebut, Rama mengalahkan rakshasi Tataka dan
membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rama sampai
di Sidhasrama bersama Laksmana dan Resi Wiswamitra. Di
sana, Rama dan Laksmana melindungi para resi dan berjanji
akan mengalahkan rakshasa yang ingin mengotori pelaksanaan
yadnya yang dilakukan oleh para resi. Saat rakshasa Marica
dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan
daging mentah, Rama dan Laksmana tidak tinggal diam. Atas
permohonan Rama, nyawa Marica diampuni oleh Laksmana,
sedangkan untuk Subahu, Rama tidak memberi ampun. Dengan
senjata Agneyastra atau Panah Api, Rama membakar tubuh
Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rama membunuh
Subahu, pelaksanaan yadnya berlangsung dengan lancar dan
aman.
Mendapatkan Dewi Sita
Adegan Rama mematahkan busur
Dewa Siwa saat sayembara
memperebutkan Dewi Sita, dalam
lukisan India karya Raja Ravi Varma.
Wiswamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila
demi memperebutkan Dewi Sita. Ia mengajak Rama dan
Laksmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka
menyanggupinya. Setibanya di sana, Rama melihat bahwa tidak
ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi
Sita, yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa.
Namun saat Rama tampil ke muka, ia tidak hanya mampu
mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun juga
mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan,
suaranya besar dan menggelegar seperti guruh. Melihat
kemampuan istimewa tersebut, ayah Sita yaitu Raja Janaka,
memutuskan agar Rama menjadi menantunya. Sita pun senang
mendapatkan suami seperti Rama.
Kemudian utusan dikirim ke Ayodhya untuk memberitahu kabar
baik tersebut. Raja Dasarata girang mendengar puteranya
sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia segera
berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan
Rama dan Sita, Wiswamitra mohon pamit untuk melanjutkan
tapa di Gunung Himalaya, sementara Dasarata pulang ke
Ayodhya diikuti oleh Resi Wasistha serta pengiringpengiringnya.
Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Resi
Parasurama, yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria.
Parasurama memegang sebuah busur di bahunya yang konon
merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa
Rama telah mematahkan busur Siwa. Dengan wajah yang
sangar, ia menantang Rama untuk membengkokkan busur
Wisnu. Rama menerima tantangan tersebut dan
membengkokkan busur Wisnu dengan mudah. Melihat busur itu
dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasurama
menjadi lemah lembut. Rama berkata, "Panah Waisnawa ini
harus mendapatkan mangsa. Apakah panah ini harus
menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?".
Parasurama menjawab agar panah itu menghancurkan hasil
tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal
kembali. Setelah itu, Parasurama mohon pamit dan pergi ke
Gunung Mahendra.
Rama diusir ke hutan
Lukisan India modern yang
menggambarkan Sita dan Rama
saat tinggal di hutan.
Dasarata yang sudah tua ingin
mengangkat Rama sebagai raja.
Dengan segera ia melakukan
persiapan untuk upacara
penobatan Rama, sementara
Bharata menginap di rumah pamannya yang jauh dari Ayodhya.
Mendengar Rama akan dinobatkan sebagai raja, Mantara
menghasut Kekayi agar menobatkan Bharata sebagai raja.
Kekayi yang semula hanya diam, tiba-tiba menjadi ambisius
untuk mengangkat anaknya sebagai raja. Kemudian ia meminta
agar Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja. Ia juga
meminta agar Rama dibuang ke tengah hutan selama 14 tahun.
Dasarata pun terkejut dan menjadi sedih, namun ia tidak bisa
menolak karena terikat dengan janji Kekayi. Dengan berat hati,
Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja dan menyuruh
Rama agar meninggalkan Ayodhya. Sita dan Laksmana yang
setia turut mendampingi Rama. Tak berapa lama kemudian,
Dasarata wafat dalam kesedihan.
Sementara Rama pergi, Bharata baru saja pulang dari rumah
pamannya dan tiba di Ayodhya. Ia mendapati bahwa ayahnya
telah wafat serta Rama tidak ada di istana. Kekayi menjelaskan
bahwa Bharata-lah yang kini menjadi raja, sementara Rama
mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih
mendengarnya, kemudian menyusul Rama. Harapan Kekayi
untuk melihat puteranya senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di
dalam hutan, Bharata mencari Rama dan memberi berita duka
karena Prabu Dasarata telah wafat. Ia membujuk Rama agar
kembali ke Ayodhya untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak
demikian, namun Rama menolak karena ia terikat oleh perintah
ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rama
menguraikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Akhirnya
Bharata membawa sandal milik Rama dan meletakkannya di
singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhya
atas nama Rama.
Peristiwa di Pancawati
Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rama dan
Laksmana didatangi seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia
mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik dan
menggoda Rama dan Laksmana. Rama menolak untuk
menikahinya dengan alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia
menyuruh agar Surpanaka membujuk Laksmana, namun
Laksmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sita
dan hendak membunuhnya. Dengan sigap Rama melindungi
Sita dan Laksmana mengarahkan pedangnya kepada
Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat
hidung Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa
tersebut kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah
terhadap Rama yang telah melukai adiknya dan hendak
membalas dendam. Dengan angkatan perang yang luar biasa,
Kara dan sekutunya menggempur Rama, namun mereka semua
gugur. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada
Rahwana di Kerajaan Alengka. Rahwana marah dan hendak
membalas perbuatan Rama. Ia mengajak patihnya yang
bernama Marica untuk melaksanakan rencana liciknya.
Lukisan India dari abad ke-
18, yang menggambarkan
adegan Rama sedang
memburu kijang siluman.
Pada suatu hari, Sita
melihat seekor kijang yang sangat lucu sedang melompatlompat
di halaman pondoknya. Rama dan Laksmana merasa
bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan
Sita, Rama memburu kijang tersebut sementara Laksmana
ditugaskan untuk menjaga Sita. Kijang yang diburu Rama terus
mengantarkannya ke tengah hutan. Karena Rama merasa
bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya.
Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang
Rahwana. Saat Marica sekarat, ia mengerang dengan keras
sambil menirukan suara Rama. Merasa bahwa ada sesuatu
yang buruk telah menimpa suaminya, Sita menyuruh Laksmana
agar menyusul Rama ke hutan. Pada mulanya Laksamana
menolak, namun karena Sita bersikeras, Laksmana
meninggalkan Sita. Sebelumnya ia sudah membuat lingkaran
pelindung agar tidak ada orang jahat yang mampu menculik
Sita. Rahwana yang menyamar sebagai brahmana, menipu Sita
sehingga Sita keluar dari lingkaran pelindung dan diculik oleh
Rahwana. Saat Laksmana menyusul Rama ke hutan, Rama
terkejut karena Sita ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua
pulang, Sita sudah tidak ada.
Petualangan menyelamatkan Sita
Setelah mendapati bahwa Sita sudah menghilang, perasaan
Rama terguncang. Laksmana mencoba menghibur Rama dan
memberi harapan. Mereka berdua menyusuri pelosok gunung,
hutan, dan sungai-sungai. Akhirnya mereka menemukan darah
tercecer dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah pertempuran
telah terjadi. Rama berpikir bahwa itu adalah pertempuran
raksasa yang memperebutkan Sita, namun tak lama kemudian
mereka menemukan seekor burung tua sedang sekarat. Burung
tersebut bernama Jatayu, sahabat Raja Dasarata. Rama
mengenal burung tersebut dengan baik dan dari penjelasan
Jatayu, Rama tahu bahwa Sita diculik Rahwana. Setelah
memberitahu Rama, Jatayu menghembuskan nafas terakhirnya.
Sesuai aturan agama, Rama mengadakan upacara pembakaran
jenazah yang layak bagi Jatayu.
Dalam perjalanan menyelamatkan Sita, Rama dan Laksmana
bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi
Rama, mereka berdua memotong lengan raksasa tersebut dan
tubuhnya dibakar sesuai upacara. Setelah dibakar, raksasa
tersebut berubah wujud menjadi seorang dewa bernama
Kabanda. Atas petunjuk Sang Dewa, Rama dan Laksamana
pergi ke tepi sungai Pampa dan mencari Sugriwa di bukit
Resyamuka karena Sugriwa-lah yang mampu menolong Rama.
Dalam perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari,
seorang wanita tua yang dengan setia menantikan kedatangan
mereka berdua. Sabari menyuguhkan buah-buahan kepada
Rama dan Laksmana. Setelah menyaksikan wajah kedua
pangeran tersebut dan menjamu mereka, Sabari meninggal
dengan tenang dan mencapai surga.
Persahabatan dengan Sugriwa
Lukisan karya Raja Ravi Varma,
menggambarkan adegan saat
Rama menaklukkan Dewa
Baruna.
Reruntuhan jembatan kuno
antara India dan Sri Lanka, yang
konon dibangun oleh Rama,
seperti yang diceritakan dalam
wiracarita Ramayana. Kini berada di dasar laut.
Dalam misi menyelamatkan Sita, Rama dan Laksmana
melanjutkan perjalanannya sampai ke sebuah daerah yang
dihuni para kera dengan rajanya bernama Sugriwa. Sebelum
berjumpa dengan Sugriwa, Rama bertemu dengan Hanoman
yang menyamar menjadi brahmana. Setelah bercakap-cakap
agak lama, Hanoman menampakkan wujud aslinya dan
mengantar Rama menuju Sugriwa. Sugriwa menyambut
kedatangan Rama di istananya. Tak berapa lama kemudian
mereka saling menceritakan masalah masing-masing. Akhirnya
Rama dan Sugriwa mengadakan perjanjian bahwa mereka akan
saling tolong menolong. Rama berjanji akan merebut kembali
Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugriwa berjanji akan
membantu Rama mencari Sita. Kemudian Sugriwa dan Rama
beserta rombongannya pergi menuju kediaman Subali di
Kiskenda. Di sana Subali dan Sugriwa bertarung. Setelah
pertarungan sengit berlangsung agak lama, Rama mengakhiri
riwayat Subali. Sesuai dengan janjinya, Sugriwa bersedia
membantu Rama mencari Sita. Ia mengirim Hanoman sebagai
utusan Sang Rama. Setelah Hanoman menemukan Sita di
Alengka, ia mengumumkan kabar gembira kepada Rama. Atas
petunjuk Hanoman, bala tentara wanara berangkat menuju
Kerajaan Alengka.
Membangun jembatan Situbanda
Saat Rama dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka,
Wibisana, adik Sang Rahwana, datang menghadap Rama dan
mengaku akan berada di pihak Rama. Setelah ia menjanjikan
persahabatan yang kekal, Rama menobatkannya sebagai Raja
Alengka meskipun Rahwana masih hidup dan belum
dikalahkan. Kemudian Rama dan pemimpin wanara lainnya
berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka
mengingat tidak semua prajuritnya bisa terbang. Akhirnya Rama
menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon bantuan
dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rama berdo'a dan tidak
mendapat jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia
mengambil busur dan panahnya untuk mengeringkan lautan.
Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang menghadap
Rama dan memohon ma'af atas kesalahannya. Dewa Baruna
menyarankan agar para wanara membuat jembatan besar tanpa
perlu mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan. Nila
ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah bekerja
dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang
singkat dan diberi nama "Situbanda".
Rama menggempur Alengka
Lukisan India yang
menggambarkan adegan
Rama dan pasukannya
sedang menyerang Kota
Alengka.
Setelah jembatan rampung,
Rama dan pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada
pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara
Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rahwana segera
mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan
berbaur dengan mereka. Penyamaran mata-mata Rahwana
sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu, kecuali Wibisana.
Kemudian Wibisana menangkap mata-mata tersebut dan
membawanya ke hadapan Rama. Di hadapan Rama, matamata
tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka
hanya menjalankan perintah. Akhirnya Rama mengizinkan
mata-mata tersebut untuk melihat-lihat kekuatan tentara Rama
dan berpesan agar Rahwana segera mengambalikan Sita.
Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati
Rama dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak
Rama.
Pada hari pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta
perangnya dan meminjamkannya kepada Rama. Kusir kereta
tersebut bernama Matali, siap melayani Rama. Dengan kereta
ilahi tersebut, Rama melanjutkan peperangan yang berlangsung
dengan sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu
bertahan. Akhirnya Rama melepaskan senjata Brahma Astra ke
dada Rahwana. Senjata sakti tersebut mengantar Rahwana
menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari
surga karena menyaksikan kemenangan Rama. Wibisana
meratapi jenazah kakaknya dan sedih karena nasihatnya tidak
dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rama mengadakan upacara
pembakaran jenazah yang layak bagi Rahwana kemudian
memberikan wejangan kepada Wibisana untuk membangun
kembali Negeri Alengka. Setelah Rahwana dikalahkan, Sita
kembali ke pelukan Rama dan mereka kembali ke Ayodhya
bersama Laksmana, Sugriwa, Hanoman dan tentara wanara
lainnya. Di Ayodhya, mereka disambut oleh Bharata dan Kekayi.
Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rama atas jasajasanya.
Pemujaan dan festival untuk Rama
Arca Rama (tengah), bersama
Laksmana (kiri), Sita (kanan)
dan Hanuman (berlutut) - dari
Kuil Bhaktivedanta Manor
Hare Krishna, Watford,
Inggris.
Hari kelahiran Rama, dan
juga pernikahannya dengan Sita, diperingati oleh umat Hindu di
India sebagai Rama Navami. Perayaan itu jatuh pada hari
kesembilan dalam kalender lunar Hindu, atau Chaitra Masa
Suklapaksha Nawami. Perayaan itu dipandang sebagai hari
pernikahan Rama dengan Sita, dan juga hari ulang tahun Rama.
Orang-orang biasanya melakukan Kalyanotsawam (peringatan
hari pernikahan) terhadap patung Rama dan Sita di rumah
masing-masing, dan di sore hari patung-patung itu diarak ke
jalan. Hari itu disebut juga akhir dari sembilan hari utsawam
yang disebut Wasanthothsawam (festival musim semi), yang
dimulai dengan Ugadi. Beberapa hal menarik dari festival ini
yaitu:
• Kalyanam (upacara pernikahan yang dipimpin pendeta
kuil) di Bhadrachalam, di tepi sungai Godawari di distrik
Khammam, Andhra Pradesh.
• Panakam, minuman manis yang dipersiapkan, bahannya
dari lada.
• Arak-arakan patung pada sore hari yang disertai dengan
permainan air dan warna.
• Untuk perayaan itu, umat Hindu dianjurkan berpuasa
(atau membatasi diri mereka dengan diet khusus).
• Kuil-kuil didekorasi dan cerita Ramayana
dikumandangkan. Bersama dengan Rama, orang-orang
juga memuja Sita, Laksmana and Hanoman.
Peristiwa kemenangan melawan Rahwana beserta para raksasa
diperingati sebagai 10 hari Wijayadashami, yang juga dikenal
sebagai Dussehra. Ram Leela dipentaskan di berbagai
kampung, desa dan kota di India. Peristiwa kembalinya Rama
ke Ayodhya dan juga hari pelantikannya diperingati sebagai
Diwali, yang juga dikenal sebagai Festival Cahaya. Perayaan ini
merupakan festival yang penting dan terkenal di India. Di
Malaysia, Diwali dikenal sebagai Hari Deepavali, dan diperingati
selama bulan ketujuh menurut kalender solar Hindu. Perayaan
Diwali di Malaysia mirip dengan tradisi di Anak benua India. Di
Nepal, Diwali dikenal sebagai Tihar dan diperingati selama
masa bulan Oktober/November. Perayaan Diwali di negara
tersebut agak berbeda dengan tradisi di India. Pada hari
pertama, para sapi dihormati dan diberi persembahan. Pada
hari kedua, anjing-anjing dihormati dan diberi makanan khusus.
Pada hari ketiga, perayaan Diwali mengikuti pola yang sama
dengan di India, penuh lampu dan cahaya serta banyak
kegiatan sosial yang dilakukan. Pada hari keempat, Dewa
kematian Yama, dipuja dan diberi persembahan. Pada hari
terakhir yaitu hari kelima, keluarga berkumpul dan saling
bersenda gurau.
Bharata (Ramayana)
Bharata (Sansekerta: ; Bhara?a) adalah tokoh protagonis
dari wiracarita Ramayana. Ia adalah putera prabu Dasarata
dengan permaisuri Kekayi, dan merupakan adik Rama. Konon
Bharata adalah raja dari golongan Suryawangsa yang sangat
baik dan bijaksana setelah Rama. Menurut pandangan Hindu,
Bharata lahir dari aspek Sudarshana Chakra yang terletak di
tangan kanan Dewa Wisnu.
Kelahiran dan keluarga
Bharata merupakan putera dari Kekayi, istri ketiga Raja
Dasarata dari Ayodhya. Ia memiliki tiga saudara lelaki, yang
sulung bernama Rama dari permaisuri Kosalya, dan yang
bungsu adalah si kembar Laksmana dan Satrugna dari
permaisuri Sumitra. Bersama dengan saudaranya yang lain,
Bharata dididik oleh Resi Wasistha. Meskipun Ramayana
mendeskripsikan bahwa keempat putera Dasarata tersebut
saling menyayangi satu sama lain, umumnya Satrugna
cenderung dekat dengan Bharata sementara Laksmana dekat
dengan Rama. Saat Bharata dewasa, ia menikah dengan
Mandawi yang merupakan saudara sepupu Sita, dan juga
merupakan puteri saudara Raja Janaka yang bernama
Kusadwaja. Dengan Mandawi, Bharata memiliki dua putera
bernama Taksa dan Puskala.
Pembuangan Rama
Dalam Ramayana diceritakan bahwa Dewi Kekayi memohon
agar Prabu Dasarata menyerahkan tahta kerajaan kepada
Bharata, walaupun sebenarnya Dasarata hendak
menyerahkannya kepada Rama. Bharata tidak mengetahui hal
tersebut dan sedang menginap di rumah pamannya di Kerajaan
Kekaya yang jauh dari Ayodhya. Ketika Bharata pulang ke
Ayodhya atas desakan para menterinya, ia mendapati bahwa
Rama pergi meninggalkan kerajaan bersama Sita dan
Laksmana. Mengetahui hal tersebut, ia bertanya kepada ibunya,
yaitu Kekayi. Kekayi kemudian menjelaskan bahwa Bharata-lah
yang kini berhak menjadi raja setelah Dasarata wafat.
Karena mengetahui usaha kejam yang dilakukan ibunya agar
Dasarata mengusir Rama, Bharata marah dan tidak bersedia
untuk memerintah kerajaan ayahnya. Lalu ia menyusul Rama ke
hutan. Di hutan, Rama menolak untuk kembali ke istana sebagai
pewaris kerajaan, dan berjanji setelah 14 tahun ia akan kembali
lagi dan memerintah kerajaan. Ia menasihati Bharata agar
mamu memerintah Ayodhya dengan bijaksana. Kemudian
Bharata kembali ke istana sambil membawa sandal Rama. Di
atas singasana, ia meletakkan sandal Rama sebagai lambang
bahwa ia memimpin kerajaan atas nama Rama.
Pemerintahan
Menurut catatan sejarah dalam susastra Hindu, Bharata
memerintah dua wilayah di wilayah Asia Tengah, Barat dan
Selatan. Di Asia Selatan atau Anakbenua India, pusat
pemerintahannya terkenal sebagai Ayodhya, sedangkan di Asia
Barat dan Tengah, wilayah kekuasaannya berpusat di
Takshshila atau Takshshiladesa.
Pemerintahan di Ayodhya
Saat Rama mengasingkan diri di hutan selama 14 tahun,
Bharata memerintah Ayodhya. Ia meletakkan sandal Rama
sebagai lambang bahwa ia memerintah atas nama Rama.
Selama Bharata memerintah, Ayodhya menjadi makmur dan
sejahtera. Selama itu pula, Bharata merindukan kedatangan
Rama. Ia masih tidak bisa mema'afkan Kekayi yang telah
membuang Rama, namun ia sangat menyayangi Kosalya dan
Sumitra yang merupakan ibu tirinya.
Pemerintahan di Takshshila
Menurut susastra Hindu, Bharata menaklukkan suku
Gandharwa dan membangun kerajaan baru yang mana di masa
sekarang meliputi wilayah Punjab, Pakistan, Afganistan, dan
sebagian wilayah Asia Tengah. Konon ibukota Uzbekistan yang
disebut Tashkent berasal dari kata "Takshishila." Di zaman
sekarang, kota di India yang bernama Takshila menjadi bukti
pemerintahan Bharata.
Kembalinya Rama
Setelah Rama menjalani masa pembuangan selama 14 tahun,
ia kembali ke Ayodhya bersama dengan Sita, Laksmana,
Hanoman, dan para wanara. Rama mengutus Hanoman untuk
memperingatkan Bharata agar segera menyiapkan upacara
penyambutan. Saat Rama hendak menobatkan Yuwaraja
kepada Laksmana karena kesetiaannya selama mereka hidup di
hutan, Laksmana menolak hadiah tersebut dan berkata bahwa
Bharata lebih pantas mendapatkannya mengingat kebajikannya
sangat tinggi untuk mewakili Rama memerintah di Ayodhya.
Ahir riwayat
Pada saat Rama hendak pensiun dari pemerintahannya sebagai
Raja Ayodhya, Bharata dan Satrugna mengikuti jejaknya. Ketika
Rama pergi ke tengah sungai Sarayu, ia berubah wujud menjadi
Mahawisnu. Bharata dan Satrugna menyusulnya ke tengah
sungai, kemudian mereka bersatu dengan tubuh Mahawisnu.
Dasarata
Dasarata (Sansekerta: , IAST: Dasaratha) adalah tokoh
dari wiracarita Ramayana, seorang raja putera Aja, keturunan
Ikswaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti
Surya. Ia adalah ayah Sri Rama dan memerintah di Kerajaan
Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhya. Ramayana
mendeskripsikannya sebagai seorang raja besar lagi pemurah.
Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah
kalah dalam pertempuran.
Masa muda
Pada saat Dasarata masih muda dan belum menikah, ia suka
berburu dan memiliki kemampuan untuk memanah sesuatu
dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di
suatu malam, Dasarata berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai
Sarayu, ia mendengar suara gajah yang sedang minum. Tanpa
melihat sasaran ia segera melepaskan anak panahnya. Namun
ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan
suara manusia. Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat
seorang pertapa muda tergeletak tak berdaya. Pemuda tersebut
bernama Srawana. Ia mencaci maki Dasarata yang telah tega
membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya yang
buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum
meninggal, Srawana menyuruh agar Dasarata membawakan air
ke hadapan kedua orang tua si pemuda yang buta dan tua
renta. Dasarata menjalankan permohonan terakhir tersebut dan
menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si
pemuda. Dasarata juga meminta ma'af di hadapan mereka.
Setelah mendengar penjelasan Dasarata, kedua orang tua
tersebut menyuruh Dasarata agar ia mengantar mereka ke tepi
sungai untuk meraba jasad puteranya yang tercinta untuk
terakhir kalinya. Kemudian, mereka mengadakan upacara
pembakaran yang layak bagi puteranya. Karena rasa cintanya,
mereka hendak meleburkan diri bersama-sama ke dalam api
pembakaran. Sebelum melompat, ayah si pemuda menoleh
kepada Dasarata dan berkata bahwa kelak pada suatu saat,
Dasarata akan mati dalam kesedihan karena ditinggalkan oleh
puteranya yang paling dicintai dan paling diharapkan.
Istri dan keturunan
Dasarata memiliki tiga permaisuri, yaitu Kosalya, Sumitra, dan
Kekayi. Lama setelah pernikahannya, Dasarata belum juga
dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan yadnya (ritual suci)
yang dipimpin Resi Srengga. Dari upacara tersebut, Dasarata
memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para
permaisurinya. Kosalya dan Kekayi minum seteguk, sedangkan
Sumitra meminum dua kali sampai habis. Beberapa bulan
kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang
pertama melahirkan putera adalah Kosalya, dan puteranya
diberi nama Rama. Yang kedua adalah Kekayi, melahirkan
putera mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah
Sumitra, melahirkan putera kembar dan diberi nama Laksmana
dan Satrugna.
Kehidupan selanjutnya dan kematian
Dasarata yang sudah tua hendak menobatkan Rama sebagai
raja, sebab Rama adalah putera sulung sekaligus yang paling
diharapkan Dasarata. Namun tindakannya tersebut ditentang
oleh permaisurinya yang paling muda, yaitu Kekayi. Atas
tuntutan Kekayi, Dasarata membuang Rama ke dalam hutan.
Setelah membuang Rama ke tangah hutan, Dasarata membenci
Kekayi dan ia tidak sudi lagi jika wanita tersebut mendekatinya.
Tak beberapa lama kemudian, Dasarata jatuh sakit. Dalam
masa-masa kritisnya, ia bersedih sambil mengenang kembali
dosa-dosanya. Ia juga mengungkit kisah masa lalunya yang
kelam di waktu muda kepada Kosalya, yaitu membunuh pertapa
muda yang kedua orangtuanya buta. Dalam kesedihannya,
Dasarata meninggal dunia karena sakit hati.
Kausalya
Kausalya (Sanskerta: , Kausalya), atau yang juga
dieja Kosalya, adalah nama seorang tokoh dalam wiracarita
Ramayana. Ia dikenal sebagai istri pertama Dasarata raja
Kerajaan Kosala yang melahirkan Sri Rama.
Ditinjau dari namanya, Kausalya merupakan putri yang berasal
dari Kerajaan Kosala. Dalam kesusastraan Hindu memang
sering dijumpai adanya nama seorang putri yang merujuk
kepada negeri asal-usulnya. Misalnya, Gandari dari Kerajaan
Gandhara atau Pancali dari Kerajaan Pancala.
Kausalya yang lain
Selain Kausalya permaisuri Dasarata, dalam mitologi Hindu
terdapat pula beberapa tokoh lain yang juga bernama sama.
Mereka adalah:
• Kausalya istri raja Kerajaan Kasi, ibu dari Amba, Ambika
dan Ambalika
• Kausalya istri Puru, ibu dari Janamejaya
• Kausalya istri Janaka dari Mithila
Versi pewayangan
Dalam pewayangan yang berkembang di Jawa, Kausalya
disebut dengan nama Sukasalya, putri dari Banaputra raja
Kerajaan Ayodya. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama
Raguwati.
Semasa muda Sukasalya pernah menderita sakit lumpuh.
Banaputra pun mengumumkan akan menikahkan Sukasalya
kepada siapa saja yang mampu mengobati penyakit putrinya itu.
Ternyata yang berhasil mengobati Sukasalya justru adik
Banaputra sendiri yang bernama Resi Rawatmaja. Akibatnya,
terjadilah perkawinan antara paman dan keponakan.
Pada suatu hari Kerajaan Ayodya diserang oleh Rahwana raja
raksasa dari Kerajaan Alengka. Banaputra tewas dalam
pertempuran itu. Rawatmaja juga terluka parah. Ia sempat
menyuruh Sukasalya untuk berlindung kepada Dasarata
sebelum akhirnya meninggal pula.
Sahabat Rawatmaja yang berwujud burung bernama Sampati
juga dikalahkan oleh Rahwana. Seluruh bulunya rontok terkena
senjata Rahwana. Ia kemudian memberikan sehelai bulunya
yang berserakan di tanah kepada Sukasalya sebagai pusaka.
Dengan membawa sehelai bulu Sampati, Sukasalya mampu
berlari lebih cepat untuk menghindari kejaran Rahwana.
Sukasalya berlindung kepada seorang pendeta muda bernama
Dasarata, yang merupakan sepupu ayahnya dari pihak ibu.
Dasarata juga bersahabat dengan Jatayu adik Sampati. Semula
ia menolak melindungi Sukasalya karena sudah menjadi hak
bagi Rahwana untuk memiliki putri suatu negeri yang
dikalahkannya. Namun kemudian terdengar petunjuk dewata
bahwa Sukasalya akan menjadi istri Dasarata yang kelak akan
melahirkan awatara Wisnu.
Dasarata pun menciptakan Sukasalya palsu dari sekuntum
bunga yang menghiasi rambut janda Rawatmaja itu. Ketika
Rahwana datang, Dasarata menyerahkan Sukasalya palsu
kepadanya. Rahwana sangat gembira karena Sukasalya
berwajah mirip dengan Widawati, wanita yang ia cintai namun
telah mati bunuh diri. Ia bahkan menyerahkan Kerajaan Ayodya
yang telah ia kuasai kepada Dasarata.
Ketika pulang ke Alengka, Sukasalya palsu yang dibawa
Rahwana pun meninggal dunia. Rahwana marah dan naik ke
kahyangan untuk menuntut para dewa agar menghidupkan
kembali putri tersebut. Setelah melalui pertempuran seru
akhirnya para dewa mengakui kehebatan Rahwana. Rahwana
diberi tahu bahwa Widawati kelak akan lahir kembali sebagai
putrinya sendiri. Sebagai pengganti Sukasalya, Rahwana
mendapatkan seorang bidadari putri Batara Indra yang bernama
Dewi Tari.
Sumitra
Sumitra (Sansekerta: , Sumitra) adalah seorang
tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah salah seorang istri
prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Laksamana dan
Satrugna.
Kekayi
Kekayi atau Kaikeyi (Sansekerta: ; Kaikeyi) adalah
permaisuri Raja Dasarata dalam wiracarita Ramayana. Ia
merupakan wanita ketiga yang dinikahi Dasarata setelah dua
permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putera. Pada
saat Dasarata meminang dirinya, ayah Kekayi membuat
perjanjian dengan Dasarata bahwa putera yang dilahirkan oleh
Kekayi harus menjadi raja. Dasarata menyetujui perjanjian
tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu
melahirkan putera. Namun setelah menikah dan hidup lama,
Kekayi belum melahirkan putera. Setelah Dasarata melakukan
upacara besar, akhirnya Kekayi dan premaisurinya yang lain
mendapatkan keturunan. Kekayi melahirkan seorang putera
bernama Bharata.
Janji Dasarata
Pada suatu ketika di sebuah pertempuran, roda kereta perang
Dasarata pecah. Dalam masa-masa genting tersebut, Kekayi
yang berada di sana datang menyelamatkan Dasarata serta
memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena
terharu oleh pertolongan Kekayi, Dasarata mempersilakan
Kekayi untuk megajukan tiga permohonan. Namun Kekayi
menolak karena ia ingin menagih janji tersebut pada saat yang
tepat.
Tuntutan Kekayi
Sebagai istri yang paling muda, Kekayi merasa cemas apabila
Dasarata kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang
lain. Saat Rama hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan
Kekayi yang bernama Mantara datang dan menghasut Kekayi
agar mengangkat Bharata menjadi Rama sekaligus
menyingkirkan Rama ke hutan selama 14 tahun. Dengan
mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara berharap bahwa
Kekayi akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas
permaisuri yang lain. Kekayi menolak usul Mantara karena ia
tahu bahwa Rama lebih pantas menjadi raja, dan setelah itu
Bharata akan menggantikannya.
Mendengar alasan Kekayi, Mantara berkata bahwa tidak ada
alasan bagi Bharata untuk menjadi raja menggantikan Rama
karena jika Rama menjadi raja sampai akhir hayatnya, maka
tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya
karena tahta diserahkan kepada keturunan Rama. Setelah
Mantara menghasut Kekayi dengan berbagai alasan, Kekayi
mengambil tindakan. Ia menemui Raja Dasarata dan meminta
dua permohonan sesuai dengan kesempatan yang telah
diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon Bharata untuk
menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rama
diasingkan ke hutan. Dengan berat hati, Raja Dasarata
memenuhi permohonan tersebut, namun tak lama kemudian ia
wafat dalam keadaan sakit hati.
Kehidupan selanjutnya
Setelah Dasarata wafat, Kekayi mulai menyesali tindakannya
dan memarahi dirinya sendiri atas kematian Sang Raja. Rakyat
Ayodhya pun marah dan menghujat Kekayi. Bharata juga marah
dan berkata bahwa ia tidak akan menyebut Kekayi sebagai
ibunya lagi. Pelayan Kekayi yang bernama Mantara hendak
dibunuh oleh Satrugna karena menghasut Kekayi dengan
lidahnya yang tajam, namun ia diampuni oleh Rama.
Setelah Rama menghabiskan masa pengasingannya di hutan
selama 14 tahun, Kekayi dan Bharata menyambutnya dan
merestui Rama untuk menjadi raja.
Janaka
Pada zaman India Kuno, Janaka (Sansekerta: , janaka)
atau Raja Janaka ( , raja janaka) adalah raja di
kerajaan Mithila. Ia lahir di Janakpur, Nepal; ia dikisahkan dalam
Ramayana sebagai ayah Sita dan ada pula sumber mengenai
dirinya di Brihadaranyaka Upanishad, Mahabharata dan Purana.
Janaka menguji kekuatan para peminang yang melamar
putrinya untuk memasangkan tali busur milik Dewa Siwa.
Pangeran Rama berhasil melakukannya, dan puteri Janaka
yaitu Sita (juga disebut Janaki) menikahi Rama dan hidup
bersama di Ayodhya.
Janaka tidak hanya seorang raja yang gagah berani, namun
juga ahli di bidang sastra dan Weda selayaknya seorang resi. Ia
adalah murid kesayangan Yajnavalkya, yang merupakan
Brahman dalam wujud raja, pada bab satu kitab Brihadaranyaka
Upanishad. Dalam Bhagawad Gita, Sri Kresna menggunakan
Janaka sebagai contoh Karma yoga.
Raja Janaka juga disebut sebagai seorang Rajaresi yang
memiliki pengetahuan spiritual dan meraih predikat resi,
meskipun ia seorang raja yang memerintah di Mithila. Ia juga
dilatih oleh Resi Ashtawakraa.
Menurut wiracarita Mahabharata, Janaka adalah ras para raja
yang memerintah Kerajaan Wideha dari ibukota mereka, Mithila.
Ayah Sita (istri Raghava Rama) bernama Siradwaja Janaka.
Mahabharata menyebutkan banyak Raja Janaka lainnya yang
merupakan sarjana besar dan hidup seperti resi meskipun
mereka adalah raja. Mereka senang berbincang-bincang
mengenai agama dengan banyak resi.
Mantara
Mantara (Sansekerta: ; Manthara) adalah teman
sekaligus pelayan permaisuri Kekayi dalam wiracarita
Ramayana. Tubuhnya bungkuk dan usianya sudah lanjut. Ia
memiliki sifat iri hati dan lihai membuat orang lain susah dengan
cara terselubung. Ia adalah biang keladi yang menyebabkan
Rama diusir ke hutan oleh ayahnya.
Pada saat Dasarata hendak menobatkan Rama sebagai Raja
Ayodhya, Mantara menghasut Kekayi agar mengangkat Bharata
sebagai raja dan jika hal itu terwujud, Mantara yakin status
Kekayi akan naik. Ia terus mengeluarkan alasan untuk
meyakinkan Kekayi agar Bharata menjadi raja dan usahanya
berhasil. Setelah Kekayi memaksa Dasarata agar mengangkat
Bharata menjadi raja, Dasarata meninggal karena sakit hati.
Satrugna mencoba membunuh Mantara yang telah menghasut
Kekayi, namun tindakannya dicegah oleh Rama. Rama
mengampuni nyawa Mantara.
Konon Indra menyuruh Mantara menghasut Kekayi agar Rama
dibuang ke hutan, karena dengan begitu Rama akan bertemu
dengan raksasa Rahwana dan membunuhnya.
Laksmana
Laksmana dalam lukisan
India abad ke-17.
Jika anda mencari istilah panglima tertinggi di laut, lihat
Laksamana
Laksmana (Dewanagari: ?????; IAST: Lak?ma?a) adalah tokoh
protagonis dalam wiracarita Ramayana, putera Raja Dasarata
dan merupakan adik tiri dari Rama, pangeran kerajaan Kosala.
Namanya kadangkala dieja 'Laksmana', 'Lakshman', atau
'Laxman'.
Menurut kitab Purana, Laksmana merupakan penitisan Sesa.
Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan
menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu.
Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi
pendamping setianya. Dalam Ramayana, ia menitis kepada
Laksmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis kepada
Baladewa.
Keluarga
Laksmana merupakan putera ketiga Raja Dasarata yang
bertahta di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodhya. Kakak
sulungnya bernama Rama, kakak keduanya bernama Bharata,
dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugna. Di
antara saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang
sangat dekat terhadap Rama. Mereka bagaikan duet yang tak
terpisahkan. Ketika Rama menikah dengan Sita, Laksmana juga
menikahi adik Dewi Sita yang bernama Urmila.
Hubungan dengan Rama
Patung Laksmana (kiri)
bersama Rama
(tengah), Sita (kanan)
dan Hanoman, di Kuil
Bhaktivedanta Manor
Hare Krishna, Watford,
Inggris.
Meskipun keempat
putera Raja Dasarata saling menyayangi satu sama lain, namun
Satrugna lebih cenderung dekat terhadap Bharata, sedangkan
Laksmana cenderung dekat terhadap Rama. Saat Resi
Wiswamitra datang meminta bantuan Rama agar mengusir para
raksasa di hutan Dandaka, Laksmana turut serta dan
menambah pengalaman bersama kakaknya. Di hutan mereka
membunuh banyak rakshasa dan melindungi para resi. Bisa
dikatakan bahwa Laksmana selalu berada di sisi Rama dan
selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rama
dalam Ramayana.
Masa pembuangan
Rama, Laksmana, dan Sita saat
menjalani kehidupan di hutan.
Lukisan dari Museum Seni San
Diego.
Saat Rama dibuang ke hutan karena
tuntutan permaisuri Kekayi,
Laksmana mengikutinya bersama
Sita. Ketika Bharata datang
menyusul Rama ke dalam hutan
dengan angkatan perang Ayodhya,
Laksmana mencurigai kedatangan Bharata dan bersiap-siap
untuk melakukan serangan. Rama yang mengetahui maksud
kedatangan Bharata menyuruh Laksmana agar menahan
nafsunya dan menjelaskan bahwa Bharata tidak mungkin
menyerang mereka di hutan, malah sebaliknya Bharata ingin
agar Rama kembali ke Ayodhya. Setelah mendengar penjelasan
Rama, Laksmana menjadi sadar dan malu.
Selama masa pembuangan, Laksmana membuat pondok untuk
Rama dan Sita. Ia juga melindungi mereka di saat malam sambil
berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan. Ketika
seorang raksasi bernama Surpanaka hendak menyergap Sita,
Laksmana bertindak dan pedangnya melukai hidung Surpanaka.
Kemudian Surpanaka lari dan mengadu kepada saudarasaudaranya.
Laksmana Rekha
Ketika Sita meminta Rama untuk menangkap kijang kencana
yang diidamkannya, Rama menyuruh Laksmana untuk
melindungi Sita dan tidak membiarkannya berada di pondok
sendirian. Kijang kencana tersebut merupakan penjelmaan
rakshasa Marica, yang memancing Rama agar ia menjauh dari
pondok sehingga memudahkan Rahwana untuk menculik Sita.
Saat Rama memanah kijang kencana tersebut, hewan itu
berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan
suara keras. Sita yang merasa cemas, menyuruh Laksmana
agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh dengan
tugasnya untuk melindungi Sita, Laksmana menolak secara
halus. Kemudian Sita berprasangka bahwa Laksmana memang
ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sita
menjadi janda, maka Laksmana akan menikahinya. Mendengar
perkataan Sita, Laksmana menjadi sakit hati dan bersedia
menyusul Rama, namun sebelumnya ia membuat garis
pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak
mampu meraih Sita. Garis pelindung tersebut bernama
Laksmana Rekha, dan sangat ampuh melindungi seseorang
yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis
tersebut.
Saat Laksmana meinggalkan Sita sendirian, rakshasa Rahwana
yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan
meminta sedikit air kepada Sita. Karena Rahwana tidak mampu
meraih Sita yang berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia
meminta agar Sita mengulurkan tangannya. Pada saat tangan
Rahwana memegang tangan Sita, ia segera menarik Sita keluar
dari garis pelindung dan menculiknya. Rama yang sangat
mencintai Sita, menelusuri hutan Dandaka demi mencari
jejaknya. Selama masa pencarian tersebut, Laksmana dengan
setia membantu Rama.
Pertempuran besar
Lukisan dari kitab
Ramayana versi India,
menggambarkan adegan
pertempuran antara para
wanara dengan para
raksasa.
Lukisan dari Himachal
Pradesh pada abad 18,
yang menggambarkan
Laksmana tak berkutik
akibat terkena senjata yang
dilepaskan oleh Indrajit.
Setelah mengetahui bahwa
Sita dibawa oleh Rahwana ke Kerajaan Alengka, Rama dan
Laksmana beserta pasukan wanara menggempur kerajaan
tersebut. Pada suatu pertempuran, Laksmana dan Rama
beserta pasukannya tak berkutik oleh senjata Brahmastra yang
dilepaskan Indrajit. Jembawan kemudian menyuruh Hanoman
agar membawa tanaman obat yang bernama Sanjiwani di
gunung Dronagiri, di deretan pegunungan Himalaya antara
puncak Risaba dan Kailasa. Hanoman melesat ke tempat yang
dimaksud tanpa bertanya terlebih dahulu. Karena tidak tahu
persis bentuk tanaman yang dimaksud, Hanoman memotong
gunung tersebut dan membawanya ke kemah pasukan Rama.
Ketika tanaman Sanjiwani itu dioleskan, Rama dan Laksmana
beserta para wanara menjadi sembuh dan merasa lebih kuat.
Penakluk Indrajit
Ketika Indrajit melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan,
Laksmana datang bersama pasukan wanara dan merusak
lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian perang terjadi.
Laksmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera
melepaskan senjata panah Indrastra. Senjata tersebut
memutuskan leher Indrajit dari badannya sehingga ia tewas
seketika. Atas jasanya tersebut, Rama memuji Laksmana serta
para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga.
Kehidupan selanjutnya
Setelah Rahwana berhasil dikalahkan, Rama, Laksmana dan
Sita beserta para wanara pergi ke Ayodhya. Di sana mereka
disambut oleh Bharata dan Kekayi. Laksmana hendak
dianugerahi Yuwaraja oleh Rama, namun ia menolak karena
merasa Bharata lebih pantas menerimanya dibandingkan
dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhya dengan baik dan
bijaksana selama Rama dan Laksmana tinggal di hutan.
Laksmana lain
Dalam wiracarita Mahabharata, ada seorang tokoh yang
bernama Laksmana alias Laksmanakumara. Ia merupakan
putera Duryodana dari Hastinapura. Ia turut serta dalam
pertempuran besar yang terjadi di Kurukshetra. Pada
pertempuran di hari ketiga belas, ia gugur di tangan Abimanyu,
putera Arjuna.
Satrugna
Satrugna (Dewanagari: ????????; IAST: ?atrughna) adalah seorang
tokoh daripada wiracarita Ramayana. Ia merupakan putera Raja
Dasarata dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Ia
memiliki saudara kembar bernama Laksmana dan ia adalah
yang paling bungsu di antara para putera Dasarata.
Kelahiran dan keluarga
Satrugna lahir dari permaisuri Raja Dasarata yang bernama
Sumitra. Ia memiliki tiga saudara bernama Rama yang lahir dari
permaisuri Kosalya, Bharata yang lahir dari permaisuri Kekayi,
dan Laksmana yang merupakan saudara kembarnya, lahir dari
permaisuri Sumitra. Ramayana mendeskripsikan bahwa
keempat saudara tersebut saling rukun dan menyayangi.
Mereka dididik oleh orang suci di keraton Ayodhya yang
bernama Resi Wasista. Saat menginjak dewasa, Satrugna
menikahi Srutakirti, saudara sepupu Sita.
Pembuangan Rama
Saat Rama dibuang ke hutan, Satrugna menyeret pelayan
permaisuri Kekayi yang bernama Mantara dan hendak
membunuhnya, sebab orang tersebut bertanggung jawab
karena telah meracuni pikiran Kekayi agar memohon kepada
Dasarata supaya Rama dibuang ke hutan sedangkan Bharata
diangkat menjadi raja. Saat Satrugna hendak membunuhnya,
Bharata melarang keinginan tersebut karena merasa bahwa
Rama tidak akan senang dengan pembunuhan itu. Bharata tahu
bahwa Rama sadar akan kewajibannya sebagai seorang anak
dan ia tidak menaruh dendam kepada Kekayi dan orang yang
menyebabkannya terbuang. Ketika Bharata memerintah
Ayodhya, Satrugna menemani Bharata sesuai dengan amanat
Rama.
Penakluk Lawanasura
Kisah keberanian Satrugna yang paling terkenal adalah
pembunuhan rakshasa Lawanasura, raja rakshasa dari
Mathura, yang merupakan keponakan Rahwana, yakni raja
rakshasa dari Alengka yang dibunuh oleh Rama. Lawanasura
adalah putera Madhu, yang memerintah Mathura. Ibu
Lawanasura adalah Kumbini, adik Rahwana. Lawanasura
memiliki senjata Trisula dari Dewa Siwa, dan tak ada yang
sanggup untuk mengalahkannya maupun mencegahya
melakukan tindakan yang jahat. Satrugna memohon kepada
Rama dan kakak-kakaknya agar mengizinkannya melayani
mereka dengan membunuh Lawanasura. Satrugna membunuh
rakshasa tersebut dengan panah yang diberkati oleh Wisnu.
Akhir riwayat
Setelah Rama memerintah di Ayodhya selama bertahun-tahun,
ia memutuskan untuk pensiun dan mengasingkan diri dari dunia
ramai. Sebagai perjalanan akhirnya, ia pergi ke sungai Sarayu.
Di tengah sungai, Rama berubah wujud menjadi Mahawisnu.
Bharata dan Satrugna mengikutinya, kemudian tubuh mereka
bersatu dengan Mahawisnu.
Sita
Sita dan Rama
Sita (Sansekerta: ; Sita, juga dieja Seeta) adalah tokoh
protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan istri dari
Sri Rama, tokoh utama kisah tersebut. Menurut pandangan
Hindu, Sita merupakan inkarnasi dari Laksmi, dewi
keberuntungan, istri Dewa Wisnu.
Inti dari kisah Ramayana adalah penculikan Sita oleh Rahwana
raja Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini
berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan
Rama yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda.
Dalam tradisi pewayangan Jawa, Sita lebih sering dieja dengan
nama Sinta.
Arti nama
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sita bermakna "kerut". Kata
"kerut" merupakan istilah puitis pada zaman India Kuno, yang
menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sita dalam
Ramayana kemungkinan berasal dari Dewi Sita, yang pernah
disebutkan dalam Rigweda sebagai dewi bumi yang memberkati
ladang dengan hasil panen yang bermutu.
Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sita juga
dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia
dipanggil Janaki; sebagai puteri Mithila, ia dipanggil Maithili;
sebagai istri Raama, ia dipanggil Ramaa. Karena berasal dari
Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi.
Asal-usul
Ramayana menceritakan bahwa Sita bukan putri kandung
Janaka. Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan.
Janaka sebagai raja melakukan upacara atau yadnya di suatu
area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya.
Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi
bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan
dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan.
Sita dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka
dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak
dewasa, Janaka pun mengadakan sebuah sayembara untuk
menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara
tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat
anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Sri Rama,
seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sita
pun tinggal bersama suaminya di Ayodhya, ibu kota Kosala.
Masa pembuangan
Rama, Laksmana, dan Sita saat menjalani kehidupan di hutan.
(Lukisan dari Museum Seni San Diego)
Selanjutnya dikisahkan, ibu tiri Rama yang bernama Kaikeyi
lebih menginginkan putra kandungnya, yaitu Bharata yang
menjadi raja Ayodhya, bukan Rama. Kaikeyi pun mendesak
Dasarata agar membuang Rama ke hutan selama 14 tahun.
Dasarata yang terikat sumpah terpaksa menuruti permintaan
istri keduanya itu. sebagai putra yang berbakti, Rama pun
menjalani keputusan itu dengan ikhlas. Sita yang setia
mengikuti perjalanan Rama, begitu pula adik Rama yang lahir
dari ibu lain, yaitu Laksmana. Ketiganya meninggalkan istana
Ayodhya untuk memulai hidup di dalam hutan.
Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rama, Sita, dan
Laksmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana
sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian
mereka.
Penculikan oleh Rahwana
Rahwana menculik Sita dan
membunuh Jatayu - oleh Raja
Ravi Varma.
Rahwana adalah raja bangsa
Rakshasa dari Kerajaan
Alengka. Pasukannya yang
bertugas di Janastana habis
ditumpas Rama karena mereka
gemar mengganggu kaum
brahmana. Rahwana pun
melakukan pembalasan
ditemani pembantunya yang bernama Marica.
Mula-mula Marica menyamar menjadi seekor kijang berbulu
keemasan dan menampakkan diri di depan pondok Rama.
Menyaksikan keindahan kijang tersebut, Sita menjadi tertarik
dan ingin memilikinya. Karena terus didesak, Rama akhirnya
mengejar dan berusaha menangkapnya.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rama di kejauhan. Sita pun
menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya itu. Namun
Laksmana yakin kalau kijang tersebut adalah jelmaan raksasa
yang sekaligus meniru suara jeritan Rama. Sita marah
mendengar jawaban Laksmana dan menuduh adik iparnya itu
berkhianat dan memiliki maksud kurang baik.
Laksmana tersinggung mendengar tuduhan Sita. Sebelum
pergi, ia lebih dulu menciptakan pagar gaib berupa garis
pelindung yang mengelilingi pondok tempat Sita menunggu.
Setelah kepergian Laksmana muncul seorang brahmana tua
yang kehausan dan minta diberi minum. Namun ia tidak dapat
memasuki pondok karena terhalang pagar gaib Laksmana.
Sita yang merasa kasihan mengulurkan tangannya untuk
memberi minum sang brahmana tua. Tiba-tiba brahmana itu
menarik lengan Sita dan membawanya kabur. Brahmana
tersebut tidak lain adalah samaran Rahwana. Ia menggendong
tubuh Sita dan membawanya terbang di udara.
Suara tangisan Sita terdengar oleh seekor burung tua bernama
Jatayu, yang bersahabat dengan Dasarata ayah Rama. Jatayu
menyerang Rahwana namun ia justru mengalami kekalahan dan
terluka parah. Sita tetap dibawa kabur oleh Rahwana namun ia
sempat menjatuhkan perhiasannya di tanah sebagai petunjuk
untuk Rama.
Dalam istana Alengka
Sita saat ditawan di Taman
Asoka di Alengka (Lukisan
karya Kailash Raj)
Sesampainya di istana
Kerajaan Alengka yang
terletak di kota Trikuta, Sita
pun ditawan di dalam
sebuah taman yang sangat
indah, bernama Taman
Asoka. Di sekelilingnya
ditempatkan para raksasi
yang bermuka buruk dan
bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana Alengka,
Sita selalu berdoa dan berharap Rama datang menolongnya.
Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia
mengaku bernama Hanoman, utusan Sri Rama. Sebagai bukti
Hanoman menyerahkan cincin milik Sita yang dulu dibuangnya
di hutan ketika ia diculik Rahwana. Cincin tersebut telah
ditemukan oleh Rama.
Hanoman membujuk Sita supaya bersedia meninggalkan
Alengka bersama dirinya. Sita menolak karena ia ingin Rama
yang datang sendiri ke Alengka untuk merebutnya dari tangan
Rahwana dengan gagah berani. Hanoman dimintanya untuk
kembali dan menyampaikan hal itu.
Ujian kesucian
Berkat bantuan Sugriwa raja bangsa Wanara, serta Wibisana
adik Rahwana, Rama berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka.
Setelah kematian Rahwana, Rama pun menyuruh Hanoman
untuk masuk ke dalam istana menjemput Sita. Hal ini sempat
membuat Sita kecewa karena ia berharap Rama yang datang
sendiri dan melihat secara langsung tentang keadaannya.
Setelah mandi dan bersuci, Sita menemui Rama. Rupanya
Rama merasa sangsai terhadap kesucian Sita karena istrinya itu
tinggal di dalam istana musuh dalam waktu yang cukup lama.
menyadari hal itu, Sita pun menyuruh Laksmana untuk
mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat
api unggun. Tak lama kemudian Sita melompat ke dalam api
tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan
Dewa Agni mengangkat tubuh Sita dalam keadaan hidup. Hal ini
membuktikan kesucian Sita sehingga Rama pun dengan lega
menerimanya kembali.
Kehidupan selanjutnya
Setelah pulang ke Ayodhya, Rama, Sita, dan Laksmana
disambut oleh Bharata dengan upacara kebesaran. Bharata
kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rama sebagai
raja. Dalam pemerintahan Rama terdengar desas-desus di
kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian Sita di dalam
istana Rahwana.
Rama merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut. Ia
akhirnya memutuskan untuk membuang Sita yang sedang
mengandung ke dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sita
ditolong seorang resi bernama Walmiki dan diberi tempat
tinggal.
Beberapa waktu kemudian, Sita melahirkan sepasang anak
kembar diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan
dalam asrama Resi Walmiki dan diajari nyanyian yang
mengagungkan nama Ramacandra, ayah mereka.
Suatu ketika Rama mengadakan upacara Aswamedha. Ia
melihat dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah
lagu indah yang menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya
dahulu. Rama pun menyadari kalau kedua pemuda yang
tersebut yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan
anak-anaknya sendiri.
Akhir riwayat
Atas permintaan Rama melalui Lawa dan Kusa, Sita pun dibawa
kembali ke Ayodhya. Namun masih saja terdengar desas-desus
kalau kedua anak kembar tersebut bukan anak kandung Rama.
Mendengar hal itu, Sita pun bersumpah jika ia pernah
berselingkuh maka bumi tidak akan sudi menerimanya.
Tiba-tiba bumi pun terbelah. Dewi Pertiwi muncul dan membawa
Sita masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rama sangat
sedih. Ia pun menyerahkan takhta Ayodhya dan setelah itu
bertapa di Sungai Gangga sampai akhir hayatnya.
Versi di atas masih diperdebatkan tentang keasliannya.
Sebagian berpendapat bahwa, Rama dan Sita hidup berbahagia
setelah kembali ke Ayodhya. Tidak ada lagi pembuangan
terhadap Sita. Kisah Sita ditelan bumi dalam Ramayana
dianggap sebagai tambahan yang ditulis orang lain, bukan hasil
karya Walmiki.
Mereka yang menolak versi di atas berpendapat bahwa Rama
dan Sita hidup berbahagia dan memerintah Kerajaan Ayodhya
selama 11.000 tahun (konon angka ini dianggap lazim pada
zaman tersebut, yakni zaman Treta Yuga). Sita hanya hidup
selama beberapa tahun saja di dalam istana Rahwana,
sehingga dapat dianggap sebagai suatu masalah yang sangat
kecil jika dibandingkan dengan lamanya mereka hidup.
Versi pewayangan
Versi Ramayana di atas cukup berbeda jika dibandingkan
dengan kisah dalam pewayangan, terutama yang berkembang
di Jawa. Dalam versi ini, Sita disebut dengan gelar lengkap
Rakyan Wara Sinta. Uniknya, ia juga disebut sebagai putri
kandung Rahwana sendiri.
Rahwana versi Jawa dikisahkan jatuh cinta kepada seorang
pendeta perempuan bernama Widawati. Namun Widawati
menolak cintanya dan memilih bunuh diri. Rahwana pun
bertekad akan mencari dan menikahi reinkarnasi Widawati.
Atas petunjuk gurunya yang bernama Resi Maruta, Rahwana
mengetahui kalau Widawati akan menitis sebagai putrinya
sendiri. Namun ketika istrinya yang bernama Dewi Kanung
melahirkan, Rahwana pergi untuk memperluas jajahan. Bayi
perempuan yang dilahirkan Kanung pun diambil Wibisana untuk
dibuang di sungai dalam sebuah peti. Wibisana kemudian
menukar bayi tersebut dengan bayi laki-laki yang diciptakannya
dari mega di langit. Bayi laki-laki tersebut akhirnya diakui
Rahwana sebagai anaknya, dan kelak terkenal dengan nama
Indrajit.
Sementara itu bayi perempuan yang dibuang Wibisana terbawa
aliran sungai sampai ke wilayah Kerajaan Mantili. Raja negeri
tersebut yang bernama Janaka memungut dan menjadikannya
putri angkat, dengan nama Sinta.
Kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu
perkawinan Sinta dengan Sri Rama, penculikannya, sampai
dengan kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi
Jawa menyebutkan, setelah perang berakhir Rama tidak
menjadi raja di Ayodhya, melainkan membangun kerajaan baru
bernama Pancawati.
Dari perkawinannya dengan Rama, Sinta melahirkan dua orang
putra bernama Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra yang
pertama, yaitu Ramabatlawa menurunkan raja-raja Kerajaan
Mandura, antara lain Basudewa, dan juga putranya yang
bernama Kresna.
Kresna versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama,
sedangkan adiknya yang bernama Subadra disebut sebagai
reinkarnasi Sinta. Dengan demikian hubungan Rama dan Sinta
yang pada kehidupan sebelumnya adalah suami-istri berubah
menjadi kakak dan adik dalam kehidupan selanjutnya.
Urmila
Dalam wiracarita Ramayana, Urmila (Sanskerta: ;
Urmila) merupakan puteri Raja Janaka dari Mithila. Ia
merupakan adik dari Sita, dan istri bagi Laksmana, adik Rama.
Ia memiliki dua putera bernama Anggada dan Dharmaketu
(versi lain mengatakan Taksaka dan Citraketu). Menurut salah
satu versi Ramayana, ketika Laksmana turut serta bersama
Rama untuk menjalani pembuangan selama empat belas tahun,
Urmila menjadi gila dan kemudian tidak sadarkan diri. Ia
pingsan lagi setelah Laksmana pulang dari pengasingan. Urmila
dikenal sebagai seorang sarjana besar. Beberapa Ramayana
dengan versi berbeda mengatakan Urmila sebagai pelukis
berbakat.
Wiswamitra
Wiswamitra (Sansekerta: ; Visva-mitra)
adalah nama salah satu Brahmaresi dalam Agama Hindu yang
menerima wahyu Tuhan. Nama Wiswamitra juga muncul dalam
kitab Ramayana, bersama dengan Resi Wasista. Namun dalam
Ramayana, Resi Wiswamitra berasal dari keturunan kesatria
dan dulu merupakan seorang raja.
Raja Kaushika
Wiswamitra merupakan keturunan seorang raja pada zaman
India Kuno, dan ia juga dipanggil Kaushika ("keturunan Kusha").
Ia merupakan kesatria yang gagah berani yang merupakan cicit
dari raja bernama Kusha. Salah satu dari empat putera Kusha
adalah Kushanubha, yang melaksanakan upacara
Puthrakameshti dan mendapatkan putera bernama Gadhi
sebagai hasilnya. Kaushika, atau Wiswamitra, adalah putera
Raja Gadhi. Kaushika menggantikan ayahnya dan memerintah
dengan baik. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya.
Persaingan dengan Wasista
Pada suatu ketika, Raja Kaushika (Wiswamitra) beserta
angkatan perangnya yang kuat beristirahat di asrama Resi
Wasista. Dengan penuh sopan santun, Resi Wasista
menyambut Raja Kaushika. Resi Wasista menunjukkan segala
keindahan dan kemakmuran di lingkungan pertapannya,
termasuk lembu sakti yang dimilikinya yang bernama Sabala.
Lembu sakti tersebut dapat menciptakan segala sesuatu yang
diinginkan oleh majikannya, ibarat mata air yang tidak pernah
kering. Melihat kesaktian lembu tersebut, Kaushika berkeinginan
untuk memilikinya. Kemudian ia mengerahkan angkatan
perangnya untuk merebut Sabala. Menanggapi hal tersebut,
Resi Wasista menyuruh Sabala agar menciptakan angkatan
perang. Maka tak lama kemudian, pertempuran terjadi antara
pasukan Kaushika dengan pasukan yang diciptakan Sabala.
Saat pasukan Kaushika terdesak, pasukan Sabala semakin
bertambah. Akhirnya Kaushika mengakui kekalahannya dan
pergi dari asrama Resi Wasista.
Setelah menyerahkan tahta kerajaan kepada salah satu
puteranya, Kaushika pergi ke gunung Himalaya dan melakukan
tapa memuja Dewa Siwa. Setelah Siwa muncul karena
berkenan dengan tapa yang dilakukan Kaushika, Kaushika
memohon agar ia memperoleh senjata sakti. Siwa mengabulkan
permohonan tersebut dan memberikan senjata sakti kepada
Kaushika. Dengan senjata sakti tersebut, Kaushika datang
kembali ke asrama Resi Wasista. Setelah mengerahkan segala
senjata yang diperolehnya melalui tapa, Kaushika belum
mampu menaklukkan Wasista karena hanya dengan sebuah
tongkat bernama Brahmadanda, Wasista mampu melumpuhkan
segala senjata sakti Kaushika, termasuk senjata Brahmastra.
Karena merasa bahwa anugerah yang diberikan Dewa Siwa siasia,
Kaushika mohon pamit dan meninggalkan asrama Wasista
dengan malu.
Setelah kekalahannya di asrama Wasista, Kaushika bertapa
memuja Dewa Brahma untuk memperoleh gelar Brahmaresi
supaya menyamai Resi Wasista. Setelah bertapa selama
bertahun-tahun, Dewa Brahma muncul karena berkenan,
kemudian memberi gelar Rajaresi kepada Kaushika.
Tapa dan penebusan dosa
Menaka menggoda Wiswamitra.
(Lukisan karya Raja Ravi Varma)
Untuk memperoleh gelar
Brahmaresi, Kaushika melakukan
tapa yang sangat berat. Namun ia
tidak dapat menahan amarah
selagi melakukan tapa, sehingga
berkali-kali usaha yang ia lakukan
gagal. Setelah menyadari
kesalahannya, Kaushika
melanjutkan tapa yang lebih berat.
Karena berkenan dengan tapa yang dilakukannya, Dewa
Brahma muncul dan memberi gelar "Resi sejati" kepada
Kaushika.
Pada suatu ketika, kekuatan yang diperolehnya melalui tapa
terkuras habis karena melakukan upacara besar demi menolong
Raja Trisangku. Maka dari itu, Kaushika melakukan tapa yang
lebih berat di Pushkara. Melihat keteguhan hati Kaushika, para
dewa mengirimkan bidadari cantik bernama Menaka untuk
menggodanya. Usaha Menaka berhasil sehingga Kaushika
terbuai oleh kecantikan Menaka. Setelah Kaushika sadar, ia
memandang Menaka dengan marah. Dengan segera Menaka
memohon ampun karena ia hanya menjalankan perintah.
Kaushika tidak megutuk Menaka dan membiarkan bidadari
tersebut kembali ke surga, namun ia kecewa karena tapa yang
ia tempuh bertahun-tahun musnah. Akhirnya ia meninggalkan
Pushkara dan menuju gunung Himalaya untuk melakukan tapa
yang lebih berat.
Beberapa versi mengatakan bahwa Kaushika mengutuk
Menaka agar mereka berpisah dan melupakan segala cintanya.
Kutukan terhadap Ramba
Setelah melakukan tapa yang berat selama bertahun-tahun di
Himalaya, Dewa Brahma muncul dan memberi gelar "Maharesi"
kepada Kaushika. Namun Kaushika masih kecewa dengan gelar
yang diperolehnya sehingga ia melakukan tapa lagi. Melihat
keteguhan hati Kaushika, para dewa terperanjat. Kemudian
mereka mengirim bidadari Ramba untuk menggoyahkan tapa
Kaushika. Dengan diiringi Dewa cinta dan roh musim semi,
Ramba pergi untuk menggoda Kaushika. Mereka menciptakan
suasana indah di hadapan Kaushika. Karena merasa terganggu,
Kausika membuka matanya dan melihat seorang bidadari
tersenyum di hadapannya. Pemandangan yang membangkitkan
hawa nafsu tersebut membuat Kaushika sadar, lalu ia mengutuk
Ramba agar menjadi batu selama sepuluh tahun (beberapa
versi mengatakan seribu tahun). Namun Kaushika kecewa
karena kemarahan tersebut telah menghancurkan kemurnian
tapa yang ia lakukan bertahun-tahun. Dengan kecewa, ia pergi
ke hutan rimba di Himalaya timur dan menempuh tapa yang
berat di tempat tersebut.
Pencapaian gelar Brahmaresi
Setelah melakukan tapa yang keras selama bertahun-tahun,
badan Kaushika mengeluarkan asap dan menyelimuti bumi.
atas permohonan para dewa, Brahma muncul di hadapan
Kaushika. Kemudian Dewa Brahma memberi gelar "Brahmaresi"
kepada Kaushika. Ia juga mengubah nama Kaushika menjadi
Wiswamitra, yang berarti "teman semua orang" karena kasih
sayangnya yang tak terbatas. Wiswamitra senang mendnegar
hal tersebut, namun ia masih belum puas apabila ia tidak
mendengar langsung bahwa Resi Wasista mengakuinya
sebagai Brahmaresi. Saat ia masih sangsi, tiba-tiba Resi
Wasista muncul di hadapannya dengan senyum penuh
persahabatan dan memeluk Wiswamitra. Ia juga mengakui
bahwa Wiswamitra adalah seorang Brahmaresi. Pada saat itu
juga, permusuhan antara Wiswamitra dan Wasista lenyap
kemudian berubah menjadi persahabatan.
Legenda
Resi Wiswamitra merupakan tokoh terkenal dalam agama Hindu
dan banyak muncul dalam legenda dan mitologi Hindu dengan
beragam versi. Resi Wiswamitra juga sering terkait para raja
dari Dinasti Surya, termasuk Ramachandra putera Dasarata.
Sebagian kisahnya muncul dalam Ramayana.
Surga Trisangku
Salah satu kisah Wiswamitra yang terkenal adalah penciptaan
"Surga Trisangku".
Sebelum Wiswamitra mencapai gelar Brahmaresi, Raja
Trisangku dari Dinasti Surya menghadap Wiswamitra dan
meminta bantuan agar ia bisa mencapai surga dengan badan
kasar. Trisangku juga menceritakan kisah sedihnya bahwa ia
dikutuk oleh para putera Resi Wasista karena Sang Raja
kecewa dengan Resi Wasista. Dengan rasa iba, Wiswamitra
berjanji bahwa ia akan melaksanakan suatu upacara untuk
mengangkat Raja Trisangku ke surga bersama dengan badan
kasarnya. Untuk mendukung pelaksanaan upacara tersebut,
Wiswamitra mengundang resi-resi terkemuka dan semuanya
datang karena enggan untuk menolak. Saingan Wiswamitra
yaitu Resi Wasista juga turut datang, namun putera-puteranya
tidak turut serta sebab mereka menganggap bahwa yang
melaksanakan upacara adalah mantan kesatria dan orang yang
diupacarai adalah seorang raja yang terhina. Karena marah
dengan ucapan para putera Wasista, Wiswamitra mengutuk
mereka agar mati serta menjelma selama tujuh turunan sebagai
suku yang memakan daging anjing.
Ketika upacara berlangsung, tak satu pun dewa yang datang
untuk menerima sesajen yang dipersembahkan oleh
Wiswamitra. Karena kesal dengan sikap para dewa, Wiswamitra
mengerahkan seluruh kekuatan yang diperolehnya dari tapa
untuk mengangkat badan Trisangku. Tubuh Trisangku
melayang sampai ke surga, namun saat ia menginjakkan
kakinya, Dewa Indra mendorongnya karena ia memasuki surga
dengan badan kasar. Trisangku jatuh sambil menjerit-jerit.
Kemudian Wiswamitra menahan tubuh Trisangku di udara
dengan kekuatan mantranya. Para hadirin yang
menyaksikannya tercengang karena tubuh Trisangku
mengambang bagaikan tergantung di tebing curam.
Atas permintaan para dewa, tubuh Trisangku tetap
mengambang di udara. Lalu Wiswamitra menciptakan
pemandangan yang ditaburi dengan bintang-bintang ke arah
selatan, seperti surga yang baru bagi Trisangku. Ia juga
menciptakan Indra baru dan dewa-dewa baru. Akhirnya Raja
Trisangku tinggal di tempat tersebut yang dikenal sebagai
"Surga Trisangku". Karena usahanya yang besar tersebut telah
menguras kekuatan yang diperolehnya melalui tapa, maka
Wiswamitra mulai bertapa kembali dan merintisnya mulai dari
bawah. Ia pergi ke Pushkara untuk melakukan tapa yang lebih
berat.
Pengorbanan Sunasepa
Pada saat Wiswamitra masih menjalankan penebusan dosanya
untuk memperoleh gelar Brahmaresi, ia menolong seorang anak
bernama Sunasepa yang akan dikorbankan kepada Baruna,
Dewa laut. Upacara tersebut diselenggarakan oleh Raja
Harishchandra, dan karena Pangeran Rohita tidak bersedia
untuk dikorbankan, maka orangtua Sunasepa menawarkan
puteranya untuk dikorbankan.
Dalam perjalanan menuju upacara, Sunasepa bertemu dengan
Wiswamitra yang sedang melakukan meditasi. Sunasepa
berlutut di kaki Wiswamitra untuk meminta pertolongan.
Akhirnya Wiswamitra mengajarkan sebuah mantra rahasia
kepada Sunasepa. Ketika upacara pengorbanan dilangsungkan,
anak tersebut menyanyikan mantra yang diberikan oleh
Wiswamitra sehingga Dewa Indra dan Baruna terkesan, dan
juga upacara pengorbanan bisa berjalan lancar.
Wiswamitra dalam Ramayana
Dalam Ramayana, Wiswamitra menjadi guru bagi Rama dan
Laksmana ketika mereka berada di tengah hutan. Wiswamitra
mengajari mantra keramat serta penggunaan senjata ilahi
bernama Dewastra kepada Rama dan Laksmana.
Saat kediaman para resi diteror para raksasa, Wiswamitra
enggan untuk mengutuk raksasa-raksasa tersebut karena akan
menodai kemurnian tapanya. Atas permohonan para resi,
Wiswamitra datang ke Ayodhya untuk meminta bantuan kepada
Rama. Dasarata yang takut dengan kutukan Wiswamitra tak
berani menolak, sehingga ia merelakan kepergian puteranya.
Dengan diiringi Rama dan Laksmana, Resi Wiswamitra
menempuh perjalanan panjang. Mereka bermalam di sebuah
tempat peristirahatan dekat sungai Sarayu. Di sana Resi
Wiswamitra memberi mantra keramat bernama bala dan atibala.
Saat fajar menyingsing, mereka melanjutkan perjalanan
melewati Kamasrama sampai akhirnya tiba di sungai Gangga.
Dengan rakit yang sudah disiapkan para resi, mereka
menyeberang. Kemudian, mereka tiba di hutan Dandaka. Di
sana, Rama dan Laksmana bertemu raksasi Tataka dan
membunuhnya. Setelah membunuh raksasi tersebut, Rama dan
Laksmana melanjutkan perjalanan ke Sidhasrama.
Di Sidhasrama, Rama dan Laksmana menyingkirkan raksasa
Marica dan Subahu. Atas pertolongan Rama dan Laksmana,
Resi Wiswamitra mengajak mereka ke Mithila untuk menghadiri
sebuah sayembara. Dalam perjalanan ke Mithila, Rama dan
Laksmana melewati asrama Resi Gautama. Di sana mereka
membebaskan kutukan yang menimpa Ahalya, istri Resi
Gautama. Setelah sampai di Mithila, Rama memenangkan
sayembara sehingga ia berhak menikahi puteri Sita. Setelah
upacara pernikahan Rama dan Sita dilangsungkan, Wiswamitra
pergi menuju gunung Himalaya dan melakukan kewajibannya
sebagai seorang resi.
Menaka
Dalam mitologi Hindu, Menaka (Sansekerta: ; Ménaka)
adalah nama seorang bidadari dari kahyangan yang sangat
cantik jelita. Sebagian kisah hidupnya muncul dalam Ramayana
dan Adiparwa. Dalam Ramayana, Menaka merupakan bidadari
yang menggoda Wiswamitra, sedangkan dalam Adiparwa,
Menaka diceritakan sebagai ibu dari Sakuntala.
Menaka dan Wiswamitra
Pada suatu ketika, ia diutus oleh Indra, Raja para Dewa, untuk
menggagalkan tapa yang dilakukan oleh Wiswamitra. Namun ia
takut menjalankan tugas sendirian, sebab ia tahu bahwa
kutukan Wiswamitra yang sedang marah sangat dahsyat.
Akhirnya Indra menjamin bahwa ia akan ditemani oleh Dewa
Bayu dan Dewa Kama. Setelah yakin dengan jaminan Indra,
Menaka menuju ke tempat pertapaan Wiswamitra.
Setelah tiba di tempat tujuan, Dewa Bayu menyebarkan bau
harum Menaka untuk memancing asmara Wiswamitra. Setelah
Wiswamitra membuka mata, Dewa Bayu menyingkap kain yang
dikenakan Menaka. Pada saat itulah, Dewa Kama memanah
Wiswamitra dengan panah asmara. Akhirnya, nafsu asmara
Wiswamitra bangkit untuk mencintai Menaka. Selama beberapa
tahun keduanya menjalin cinta, namun Wiswamitra akhirnya
sadar bahwa Menaka hanyalah godaan yang diberikan oleh
Indra untuk menggoda tapanya. Dengan sorot mata yang
memancarkan kemarahan, Wiswamitra memandang Menaka.
Menaka gemetar ketakutan dan memohon ampun di hadapan
Wiswamitra supaya ia tidak dikutuk, sebab ia hanya
menjalankan tugas.
Wiswamitra tidak mengutuk Menaka, namun ia kecewa sebab
pantangan yang ia taati selama bertahun-tahun dilanggarnya
karena telah menjalin cinta dengan bidadari Menaka. Akhirnya
Wiswamitra pergi meninggalkan Pushkara dan pergi menuju
Himalaya untuk melanjutkan tapanya. Beberapa versi
mengatakan bahwa Wiswamitra mengutuk Menaka agar mereka
melupakan segala cintanya.
Karena telah menyelesaikan tugasnya, Menaka kembali ke
kahyangan, namun ia juga hamil setelah menjalin hubungan
asmara dengan Wiswamitra. Di hulu sungai Malini yang terletak
di kaki Gunung Himalaya, Menaka melahirkan seorang bayi
perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan begitu saja sementara
sang ibu terbang ke kahyangan. Kamudian Bagawan Kanwa
yang sedang berada di dekat sungai Malini menemukan bayi
tersebut sedang dijaga oleh burung Sakuni. Karena kasihan,
bayi itu dipungut lalu diberi nama "Sakuntala", oleh sebab ia
dirawat oleh burung Sakuni. Sakuntala lalu menikah dengan
Duswanta, dan melahirkan seorang raja terkenal yang bernama
Bharata.
Ahalya
Dalam wiracarita Ramayana, Ahalya (Sansekerta: ;
Ahalya) adalah nama istri Resi Gautama. Kata Ahalya berarti
"yang tidak mengalami perubahan" (awet muda, abadi). Ahalya
tinggal di sebuah asrama bersama Resi Gautama. Ia memiliki
wajah yang sangat cantik. Kecantikannya dapat membuat Dewa
Indra terpesona.
Kutukan Resi Gautama
Pada suatu hari, ketika Resi Gautama meninggalkan
asramanya, Dewa Indra datang menyamar dan dengan
bernafsu ia merayu Ahalya. Ahalya tahu siapa yang berusaha
merayunya karena mata batinnya yang tajam, namun ia tertipu
oleh kecantikannya sendiri, maka ia memberikan kepuasan
kepada Indra. Saat Resi Gautama datang, ia terkejut karena
Ahalya telah terpengaruh oleh rayuan Indra. Kemudian Resi
Gautama mengutuk Ahalya agar melakukan tapa yang sangat
panjang demi menebus dosanya. Agar Ahalya tidak diketahui,
wujudnya diubah menjadi batu. Resi Gautama juga berkata
bahwa kelak putera Dasarata dari Ayodhya akan mengunjungi
asrama Resi Gautama, dimana Ahalya bertapa, dan
membebaskan kutukannya. Setelah Ahalya dikutuk, Resi
Gautama meninggalkan asramanya dan pergi ke Himalaya
untuk bertapa.
Bertahun-tahun kemudian, Resi Wiswamitra bersama Rama dan
Laksmana melewati asrama Resi Gautama dalam perjalanan
mereka menuju Mithila. Saat melihat asrama yang sepi tersebut,
Rama bertanya mengenai asal-usul tempat itu kepada Resi
Wiswamitra. Sang Resi menjelaskan bahwa tempat tersebut
dikutuk karena Ahalya telah melakukan dosa, dan hanya putera
Dasarata-lah yang dapat membuat Ahalya menjadi suci kembali.
Setelah mendengarkan penjelasan Resi Wiswamitra, Rama
memasuki asrama tersebut. Begitu ia menginjakkan kakinya,
kutukan yang menimpa Ahalya lenyap. Ahalya berubah kembali
menjadi manusia dan keluar dari semak belukar yang telah
menutupnya selama bertahuan-tahun. Wajahnya kembali muda
dan bersinar-sinar. Dengan takzim, Ahalya menyambut Rama
dan Laksmana bagaikan tamu agung. Setelah Rama dan
Laksmana pergi untuk melanjutkan perjalanannya, Resi
Gautama muncul untuk menyambut istrinya yang telah muda
kembali.
Sabari
Sabari menjamu Rama
dan Laksmana
Dalam wiracarita Ramayana, Sabari (Dewanagari:
????; IAST: Shabari) adalah seorang wanita yang hidup sebagai
sanyasin (orang yang meinggalkan kehidupan duniawi).
Ayahnya adalah seorang kesatria sedangkan ibunya adalah
seorang pemburu. Saat usianya dewasa, ia menetap di sebuah
asrama di tengah hutan dan menjadi pengikut setia Resi
Matanga. Ramayana mendeskripsikannya sebagai wanita tua
yang sangat setia memuja Tuhan. Ketika Resi Matanga hendak
meninggal dunia, Sabari juga ingin turut serta, namun Resi
Matanga berkata bahwa saatnya belum tiba, sebab ada tamu
agung yang akan dijumpai olehnya dan kesempatan untuk
melihat tamu agung tersebut sangat langka sekali.
Sabari menghabiskan sisa hidupnya dengan merawat asrama
peninggalan Sang Resi dan melayani tamu yang
mengunjunginya dengan ramah. Ketika Rama dan Laksmana
menuju ke sungai Pampa dengan tujuan mencari bantuan
Sugriwa, mereka lewat di depan asrama Sabari dan
memutuskan untuk beristirahat di sana. Sabari melayani kedua
pangeran itu dengan ramah. Ia menyuguhkan buah-buahan
yang termanis kepada kedua tamu tersebut.
Sebelum menyuguhkan buah-buahan, terlebih dahulu Sabari
mengigitnya. Jika buah yang dicicipinya terasa manis, maka ia
kumpulkan pada sebuah wadah, sebaliknya jika terasa pahit,
maka ia membuangnya. Ketika buah-buahan bekas digigit
tersebut disuguhkan kepada kedua tamunya, Rama tersenyum
dan bersedia memakannya sebagai hasil persembahan dari
orang yang berhati suci dan tulus, sedangkan Laksmana
memilih untuk membuangnya.
Kemudian Sabari memperlihatkan keajaiban yang ada di
asrama Resi Matanga dan menjelaskan seluk-beluknya kepada
Rama dan Laksmana. Setelah mendapatkan izin dari kedua
pangeran tersebut, Sabari membuat api unggun lalu
menceburkan diri ke dalamnya untuk mencapai surga, menyusul
Resi Matanga. Pertemuan dengan wanita suci tersebut
membuat pikiran Rama dan Laksmana menjadi terang,
kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk menemukan
Sugriwa dan meminta bantuannya.
Jatayu
Jatayu (Sanskerta: ,; Jatayu) adalah tokoh protagonis
dari wiracarita Ramayana, putera dari Sang Aruna dan
keponakan dari Sang Garuda. Ia merupakan saudara Sempati.
Ia adalah seekor burung yang melihat bagaimana Dewi Sita
diculik oleh Rawana. Ia berusaha melawan tetapi kalah
bertarung dan akhirnya mati. Tetapi ketika belum mati dan
masih sekarat masih bisa melaporkan kepada Sri Rama bahwa
Dewi Sita istrinya, diculik.
Tempat dimana Sri Rama menemukan Jatayu yang sedang
sekarat dinamakan "Jatayumangalam", sekarang dikenal
sebagai "Chadayamangalam", terletak di Distrik Kollam, Kerala.
Batu besar di tempat tersebut dinamai "JatayuPara", diambil
dari nama Jatayu. Tempat itu dimanfaatkan sebagai obyek
wisata.
Jatayu dalam Ramayana
Pertolongan Jatayu
Ketika Sita menjerit-jerit karena dibawa kabur oleh Rawana,
Jatayu yang sedang berada di dahan sebuah pohon
mendengarnya. Ia melihat ke atas, dan tampak Rahwana
terbang membawa Sita, puteri Prabu Janaka. Jatayu yang
bersahabat dengan Raja Dasarata, merasa bertanggung jawab
terhadap Sita yang merupakan istri putera sahabatnya, Sri
Rama. Dengan jiwa ksatria meluap-luap dan berada di pihak
yang benar, Jatayu tidak gentar untuk melawan Rawana. Ia
menyerang Rahwana dengan segenap tenaganya. Namun
Jatayu sudah renta. Ketika ia sedang berusaha menyelamatkan
Sita dari Rahwana, sayapnya ditebas dengan pedang. Jatayu
bernasib naas. Tubuhnya terjatuh ke tanah dan darahnya
bercucuran.
Gugurnya Jatayu
Ketika Sang Rama dan Lakshmana sedang menelusuri hutan
untuk mencari Dewi Sita, tampak oleh mereka darah
berceceran. Setelah dicari asalnya, mereka menemukan seekor
burung tanpa sayap sedang sekarat. Burung tersebut mengaku
bernama Jatayu, yang berusaha menolong Dewi Sita karena
diculik Rahwana. Namun usahanya tidak berhasil sehingga
Dewi Sita dibawa kabur ke Alengka. Melihat keadaan Sang
Jatayu yang sekarat, Sang Rama memberi hormat untuk yang
terakhir kalinya. Tak lama kemudian Jatayu menghembuskan
nafas terakhirnya.
Setelah Jatayu menghembuskan nafas terakhirnya, Sang Rama
bersabda:
terjemahan:
“ Hai jatayu yang maha mulia, sungguh kuat dikau
mempertahankan jiwa. Karena cinta kasihmu
bersahabat terhadap ayahku lekat sekali,
berkelanjutan sampai kepada aku, puteranya. Amatlah
mulia wahai dikau burung perkasa. Tatkala engkau
masih hidup tadi, ayahku kurasakan masih hidup,
sekarang ketika engkau telah meninggal, sungguh
bertambah sedih hatiku. ”
Setelah bersabda demikian, Sang Rama melakukan upacara
pembakaran jenazah sederhana untuk Jatayu. Jenazahnya
mendapat percikan tirtha oleh seorang yang "berjiwa suci"
karena merupakan seorang titisan Wisnu.
Sempati
Dalam mitologi Hindu, Sempati (Sansekerta: ,
Sampati) adalah nama burung raksasa, saudara Jatayu, putera
Sang Garuda, kakak burung Aruna. Pada masa mudanya,
Jatayu dan Sempati berlomba-lomba untuk mencapai matahari.
Pada waktu mereka hampir mencapai matahari, Jatayu hampir
terbakar hangus. Untuk melindungi Jatayu, Sempati
membentangkan sayapnya dari kemarahan matahari. Jatayu
selamat namun sayap Sempati terbakar sampai habis.
Semenjak kehilangan sayapnya, Sempati selalu diam di tempat
yang sama sambil menunggu mangsa, hingga akhirnya
Hanoman dan para wanara dari Kerajaan Kiskenda bertemu
dengannya. Dengan penglihatannya yang sangat tajam,
Sempati menceritakan keadaan Dewi Sita di Alengka. Atas
petunjuk Sempati, Hanoman dan para wanara tahu bahwa Sita
masih hidup dan ditawan di Kerajaan Alengka. Setelah
membantu para wanara, bulu-bulu muda mulai tumbuh pada
kedua sayap Sempati. Hal itu terjadi karena ia memperoleh
anugerah bahwa ia akan mendapatkan sayapnya kembali
apabila ia menolong Rama.
Hanoman
Hanoman (Sanskerta: ; Hanuman) atau Hanumat
(Sanskerta: ; Hanumat), juga disebut sebagai
Anoman, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama
Hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana
yang paling terkenal. Ia adalah seekor kera putih dan
merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali
dan Sugriwa. Menurut kitab Serat Pedhalangan, tokoh
Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana,
namun dalam pengembangannya tokoh ini juga kadangkala
muncul dalam serial Mahabharata, sehingga menjadi tokoh
antar zaman. Di India, hanoman dipuja sebagai dewa pelindung
dan beberapa kuil didedikasikan untuk memuja dirinya.
Kelahiran
Hanoman lahir pada masa Tretayuga sebagai putera Anjani,
seekor wanara wanita. Dahulu Anjani sebetulnya merupakan
bidadari, bernama Punjikastala. Namun karena suatu kutukan,
ia terlahir ke dunia sebagai wanara wanita. Kutukan tersebut
bisa berakhir apabila ia melahirkan seorang putera yang
merupakan penitisan Siwa. Anjani menikah dengan Kesari,
seekor wanara perkasa. Bersama dengan Kesari, Anjani
melakukan tapa ke hadapan Siwa agar Siwa bersedia menjelma
sebagi putera mereka. Karena Siwa terkesan dengan pemujaan
yang dilakukan oleh Anjani dan Kesari, ia mengabulkan
permohonan mereka dengan turun ke dunia sebagai Hanoman.
Salah satu versi menceritakan bahwa ketika Anjani bertapa
memuja Siwa, di tempat lain, Raja Dasarata melakukan
Putrakama Yadnya untuk memperoleh keturunan. Hasilnya, ia
menerima beberapa makanan untuk dibagikan kepada tiga
istrinya, yang di kemudian hari melahirkan Rama, Laksmana,
Bharata dan Satrugna. Atas kehendak dewata, seekor burung
merenggut sepotong makanan tersebut, dan menjatuhkannya di
atas hutan dimana Anjani sedang bertapa. Bayu, Sang dewa
angin, mengantarkan makanan tersebut agar jatuh di tangan
Anjani. Anjani memakan makanan tersebut, lalu lahirlah
Hanoman.
Sebuah lukisan
India. Dalam
gambar tampak
Hanoman
menghadap Rama
bersama istrinya
Sita, dan Laksmana
(paling kanan).
Salah satu versi mengatakan bahwa Hanoman lahir secara tidak
sengaja karena hubungan antara Bayu dan Anjani. Diceritakan
bahwa pada suatu hari, Dewa Bayu melihat kecantikan Anjani,
kemudian ia memeluknya. Anjani marah karena merasa
dilecehkan. Namun Dewa Bayu menjawab bahwa Anjani tidak
akan ternoda oleh sentuhan Bayu. Ia memeluk Anjani bukan di
badannya, namun di dalam hatinya. Bayu juga berkata bahwa
kelak Anjani akan melahirkan seorang putera yang kekuatannya
setara dengan Bayu dan paling cerdas di antara para wanara.
Sebagai putera Anjani, Hanoman dipanggil Anjaneya
(diucapkan "Aanjanèya"), yang secara harfiah berarti "lahir dari
Anjani" atau "putera Anjani".
Masa kecil
Pada saat Hanoman masih kecil, ia mengira matahari adalah
buah yang bisa dimakan, kemudian terbang ke arahnya dan
hendak memakannya. Dewa Indra melihat hal itu dan menjadi
cemas dengan keselamatan matahari. Untuk
mengantisipasinya, ia melemparkan petirnya ke arah Hanoman
sehingga kera kecil itu jatuh dan menabrak gunung. Melihat hal
itu, Dewa Bayu menjadi marah dan berdiam diri. Akibat
tindakannya, semua makhluk di bumi menjadi lemas. Para
Dewa pun memohon kepada Bayu agar menyingkirkan
kemarahannya. Dewa Bayu menghentikan kemarahannya dan
Hanoman diberi hadiah melimpah ruah. Dewa Brahma dan
Dewa Indra memberi anugerah bahwa Hanoman akan kebal
dari segala senjata, serta kematian akan datang hanya dengan
kehendaknya sendiri. Maka dari itu, Hanoman menjadi makhluk
yang abadi atau Chiranjiwin.
Pertemuan dengan Rama
Patung Hanoman yang
dibuat pada masa Dinasti
Chola, abad ke-11.
Pada saat melihat Rama
dan Laksmana datang ke
Kiskenda, Sugriwa merasa
cemas. Ia berpikir bahwa
mereka adalah utusan
Subali yang dikirim untuk
membunuh Sugriwa.
Kemudian Sugriwa
memanggil prajurit
andalannya, Hanoman,
untuk menyelidiki maksud kedatangan dua orang tersebut.
Hanoman menerima tugas tersebut kemudian ia menyamar
menjadi brahmana dan mendekati Rama dan Laksmana.
Saat bertemu dengan Rama dan Laksmana, Hanoman
merasakan ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda
permusuhan dari kedua pemuda itu. Rama dan Laksmana juga
terkesan dengan etika Hanoman. Kemudian mereka bercakapcakap
dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat hidupnya
masing-masing. Rama juga menceritakan keinginannya untuk
menemui Sugriwa. Karena tidak curiga lagi kepada Rama dan
Laksmana, Hanoman kembali ke wujud asalnya dan mengantar
Rama dan Laksmana menemui Sugriwa.
Petualangan mencari Sita
Dalam misi membantu Rama mencari Sita, Sugriwa mengutus
pasukan wanara-nya agar pergi ke seluruh pelosok bumi untuk
mencari tanda-tanda keberadaan Sita, dan membawanya ke
hadapan Rama kalau mampu. Pasukan wanara yang
dikerahkan Sugriwa dipimpin oleh Hanoman, Anggada, Nila,
Jembawan, dan lain-lain. Mereka menempuh perjalanan
berhari-hari dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan
menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas
keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut
dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena
Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanoman menceritakan
maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada
Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti,
Hanoman dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di
sebuah pantai dalam sekejap.
Di pantai tersebut, Hanoman dan wanara lainnya bertemu
dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk
sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan
untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara
mengenai Sita dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan
meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang
sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang
lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan
Sempati, para wanara tahu bahwa Sita ditawan di sebuah istana
yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah
oleh raja raksasa bernama Rahwana. Para wanara berterima
kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka
memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Pergi ke Alengka
Ukiran tanah liat yang
menggambarkan Hanoman
sedang mengangkat
Gunung Dronagiri.
Karena bujukan para
wanara, Hanoman teringat
akan kekuatannya dan
terbang menyeberangi
lautan agar sampai di
Alengka. Setelah ia
menginjakkan kakinya di
sana, ia menyamar menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sita.
Ia melihat Alengka sebagai benteng pertahanan yang kuat
sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat
penduduknya menyanyikan mantra-mantra Weda dan lagu
pujian kemenangan kepada Rahwana. Namun tak jarang ada
orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap.
Kemudian ia datang ke istana Rahwana dan mengamati wanitawanita
cantik yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tidak
melihat Sita yang sedang merana. Setelah mengamati ke sanakemari,
ia memasuki sebuah taman yang belum pernah
diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan
murung yang diyakininya sebagai Sita.
Kemudian Hanoman melihat Rahwana merayu Sita. Setelah
Rahwana gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan
Sita, Hanoman menghampiri Sita dan menceritakan maksud
kedatangannya. Mulanya Sita curiga, namun kecurigaan Sita
hilang saat Hanoman menyerahkan cincin milik Rama.
Hanoman juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanoman
menyarankan agar Sita terbang bersamanya ke hadapan Rama,
namun Sita menolak. Ia mengharapkan Rama datang sebagai
ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan
dirinya. Kemudian Hanoman mohon restu dan pamit dari
hadapan Sita. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman
Asoka di istana Rahwana. Ia membunuh ribuan tentara
termasuk prajurit pilihan Rahwana seperti Jambumali dan
Aksha. Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata
Brahma Astra. Senjata itu memilit tubuh hanoman. Namun
kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa
menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa
karena Brahma Astra bisa dilepaskan Hanoman kapan saja,
namun Hanoman belum bereaksi karena menunggu saat yang
tepat.
Terbakarnya Alengka
Ketika Rahwana hendak memberikan hukuman mati kepada
Hanoman, Wibisana membela Hanoman agar hukumannya
diringankan, mengingat Hanoman adalah seorang utusan.
Kemudian Rahwana menjatuhkan hukuman agar ekor Hanoman
dibakar. Melihat hal itu, Sita berdo'a agar api yang membakar
ekor Hanoman menjadi sejuk. Karena do'a Sita kepada Dewa
Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanoman menjadi
sejuk. Lalu ia memberontak dan melepaskan Brahma Astra
yang mengikat dirinya. Dengan
ekor menyala-nyala seperti obor, ia
membakar kota Alengka. Kota
Alengka pun menjadi lautan api.
Setelah menimbulkan kebakaran
besar, ia menceburkan diri ke laut
agar api di ekornya padam.
Penghuni surga memuji
keberanian Hanoman dan berkata
bahwa selain kediaman Sita, kota
Alengka dilalap api.
Dengan membawa kabar gembira, Hanoman menghadap Rama
dan menceritakan keadaan Sita. Setelah itu, Rama menyiapkan
pasukan wanara untuk menggempur Alengka
Pertempuran besar
Hanoman diperankan dalam Yakshagana, drama populer dari
Karnataka.
Dalam pertempuran besar antara Rama dan Rahwana,
Hanoman membasmi banyak tentara rakshasa. Saat Rama,
Laksmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh senjata
Nagapasa yang sakti, Hanoman pergi ke Himalaya atas saran
Jembawan untuk menemukan tanaman obat. Karena tidak tahu
persis bagaimana ciri-ciri pohon yang dimaksud, Hanoman
memotong gunung tersebut dan membawa potongannya ke
hadapan Rama. Setelah Rama dan prajuritnya pulih kembali,
Hanoman melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak
pasukan rakshasa.
Kehidupan selanjutnya
Setelah pertempuran besar melawan Rahwana berakhir, Rama
hendak memberikan hadiah untuk Hanoman. Namun Hanoman
menolak karena ia hanya ingin agar Sri Rama bersemayam di
dalam hatinya. Rama mengerti maksud Hanoman dan
bersemayam secara rohaniah dalam jasmaninya. Akhirnya
Hanoman pergi bermeditasi di puncak gunung mendo'akan
keselamatan dunia.
Pada zaman Dwapara Yuga, Hanoman bertemu dengan Bima
dan Arjuna dari lingkungan keraton Hastinapura. Dari
pertemuannya dengan Hanoman, Arjuna menggunakan
lambang Hanoman sebagai panji keretanya pada saat
Bharatayuddha.
Tradisi dan pemujaan
Di negara India yang didominasi oleh agama Hindu, terdapat
banyak kuil untuk memuja Hanoman, dan dimana pun ada
gambar awatara Wisnu, selalu ada gambar Hanoman. Kuil
Hanoman bisa ditemukan di
banyak tempat di India dan
konon daerah di sekeliling kuil
itu terbebas dari raksasa atau
kejahatan.
Beberapa kuil Hanoman yang
terkenal adalah:
Kuil Hanoman di Nerul Navi,
Mumbai, India.
• Puncak monyet,
Himachal Pradesh,
India.
• Kuil Jhaku, Himachal Pradesh, India.
• Kuil Sri Suchindram, Tamilnadu, India.
• Sri Hanuman Vatika, Orissa, India.
• Kuil Saakshi Hanuman, Tamilnadu, India.
• Shri Krishna Matha (Kuil Krishna), Udupi.
• Krishnapura Matha, Krishnapura dekat Surathkal.
• Kuil Ragigudda Anjaneya, Jayanagar, Bangalore.
• Hanumangarhi, Ayodhya.
• Kuil Sankat Mochan, Benares.
• Kuil Hanuman, dekat Nuwara Eliya, Sri Lanka.
• Salasar Balaji, Distrik Churu, Rajasthan.
• Kuil Mehandipur Balaji, Rajasthan.
• Ada Balaji, di hutan suaka Sariska, Alwar, Rajasthan.
• Sebelas kuil Maruthi di Maharashtra.
• Kuil Shri Hanuman di Connaught Place, New Delhi.
• Shri Baal Hanumaan, Tughlak Road, New Delhi.
• Kuil Prasanna Veeranjaneya Swami, di Mahalakshmi
Layout, Bangalore, Karnataka.
• Sri Nettikanti Anjaneya Swami Devasthanam,
Kasapuram, Andhra Pradesh.
• Yellala Anjaneya Swami, Yellala, Andhra Pradesh.
• Pura Sri Mahavir, Patna, Bihar.
• Kuil Sri Vishwaroopa Anchaneya, Tamilnadu, India.
Hnoman dalam pewayangan Jawa
Wayang Anoman versi
Yogyakarta.
Wayang Anoman versi Surakarta.
Hanoman dalam pewayangan Jawa merupakan putera Bhatara
Guru yang menjadi murid dan anak angkat Bhatara Bayu.
Hanoman sendiri merupakan tokoh lintas generasi sejak zaman
Rama sampai zaman Jayabaya.
Kelahiran
Anjani adalah puteri sulung Resi Gotama yang terkena kutukan
sehingga berwajah kera. Atas perintah ayahnya, ia pun bertapa
telanjang di telaga Madirda. Suatu ketika, Batara Guru dan
Batara Narada terbang melintasi angkasa. Saat melihat Anjani,
Batara Guru terkesima sampai mengeluarkan air mani. Raja
para dewa pewayangan itu pun mengusapnya dengan daun
asam (Bahasa Jawa: Sinom) lalu dibuangnya ke telaga. Daun
sinom itu jatuh di pangkuan Anjani. Ia pun memungut dan
memakannya sehingga mengandung. Ketika tiba saatnya
melahirkan, Anjani dibantu para bidadari kiriman Batara Guru. Ia
melahirkan seekor bayi kera berbulu putih, sedangkan dirinya
sendiri kembali berwajah cantik dan dibawa ke kahyangan
sebagai bidadari.
Mengabdi pada Sugriwa
Bayi berwujud kera putih yang merupakan putera Anjani diambil
oleh Batara Bayu lalu diangkat sebagai anak. Setelah
pendidikannya selesai, Hanoman kembali ke dunia dan
mengabdi pada pamannya, yaitu Sugriwa, raja kera Gua
Kiskenda. Saat itu, Sugriwa baru saja dikalahkan oleh
kakaknya, yaitu Subali, paman Hanoman lainnya. Hanoman
berhasil bertemu Rama dan Laksmana, sepasang pangeran dari
Ayodhya yang sedang menjalani pembuangan. Keduanya
kemudian bekerja sama dengan Sugriwa untuk mengalahkan
Subali, dan bersama menyerang negeri Alengka membebaskan
Sita, istri Rama yang diculik Rahwana murid Subali.
Melawan Alengka
Pertama-tama Hanoman menyusup ke istana Alengka untuk
menyelidiki kekuatan Rahwana dan menyaksikan keadaan Sita.
Di sana ia membuat kekacauan sehingga tertangkap dan
dihukum bakar. Sebaliknya, Hanoman justru berhasil membakar
sebagian ibu kota Alengka. Peristiwa tersebut terkenal dengan
sebutan Hanoman Obong. Setelah Hanoman kembali ke tempat
Rama, pasukan kera pun berangkat menyerbu Alengka.
Hanoman tampil sebagai pahlawan yang banyak membunuh
pasukan Alengka, misalnya Surpanaka (Sarpakenaka) adik
Rahwana.
Tugas untuk Hanoman
Dalam pertempuran terakhir antara Rama kewalahan
menandingi Rahwana yang memiliki Aji Pancasunya, yaitu
kemampuan untuk hidup abadi. Setiap kali senjata Rama
menewaskan Rahwana, seketika itu pula Rahwana bangkit
kembali. Wibisana, adik Rahwana yang memihak Rama segera
meminta Hanoman untuk membantu. Hanoman pun
mengangkat Gunung Ungrungan untuk ditimpakan di atas
mayat Rahwana ketika Rahwana baru saja tewas di tangan
Rama untuk kesekian kalinya. Melihat kelancangan Hanoman,
Rama pun menghukumnya agar menjaga kuburan Rahwana.
Rama yakin kalau Rahwana masih hidup di bawah gencetan
gunung tersebut, dan setiap saat bisa melepaskan roh untuk
membuat kekacauan di dunia.
Beberapa tahun kemudian setelah Rama meninggal, roh
Rahwana meloloskan diri dari Gunung Ungrungan lalu pergi ke
Pulau Jawa untuk mencari reinkarnasi Sita, yaitu Subadra adik
Kresna. Kresna sendiri adalah reinkarnasi Rama. Hanoman
mengejar dan bertemu Bima, adiknya sesama putera angkat
Bayu. Hanoman kemudian mengabdi kepada Kresna. Ia juga
berhasil menangkap roh Rahwana dan mengurungnya di
Gunung Kendalisada. Di gunung itu Hanoman bertindak sebagai
pertapa.
Anggota Keluarga
Lukisan Hanoman versi
Thailand. Diambil di Wat
Phra Kaeo, Bangkok.
Berbeda dengan versi aslinya, Hanoman dalam pewayangan
memiliki dua orang anak. Yang pertama bernama Trigangga
yang berwujud kera putih mirip dirinya. Konon, sewaktu pulang
dari membakar Alengka, Hanoman terbayang-bayang wajah
Trijata, puteri Wibisana yang menjaga Sita. Di atas lautan, air
mani Hanoman jatuh dan menyebabkan air laut mendidih.
Tanpa sepengetahuannya, Baruna mencipta buih tersebut
menjadi Trigangga. Trigangga langsung dewasa dan berjumpa
dengan Bukbis, putera Rahwana. Keduanya bersahabat dan
memihak Alengka melawan Rama. Dalam perang tersebut
Trigangga berhasil menculik Rama dan Laksmana namun
dikejar oleh Hanoman. Narada turun melerai dan menjelaskan
hubungan darah di antara kedua kera putih tersebut. Akhirnya,
Trigangga pun berbalik melawan Rahwana.
Putera kedua Hanoman bernama Purwaganti, yang baru muncul
pada zaman Pandawa. Ia berjasa menemukan kembali pusaka
Yudistira yang hilang bernama Kalimasada. Purwaganti ini lahir
dari seorang puteri pendeta yang dinikahi Hanoman, bernama
Purwati.
Kematian
Hanoman berusia sangat panjang sampai bosan hidup. Narada
turun mengabulkan permohonannya, yaitu "ingin mati", asalkan
ia bisa menyelesaikan tugas terakhir, yaitu merukunkan
keturunan keenam Arjuna yang sedang terlibat perang saudara.
Hanoman pun menyamar dengan nama Resi Mayangkara dan
berhasil menikahkan Astradarma, putera Sariwahana, dengan
Pramesti, puteri Jayabaya. Antara keluarga Sariwahana dengan
Jayabaya terlibat pertikaian meskipun mereka sama-sama
keturunan Arjuna. Hanoman kemudian tampil menghadapi
musuh Jayabaya yang bernama Yaksadewa, raja Selahuma.
Dalam perang itu, Hanoman gugur, moksa bersama raganya,
sedangkan Yaksadewa kembali ke wujud asalnya, yaitu Batara
Kala, sang dewa kematian. ada versi lain khususnya di jawa
bahwa hanoman tidak mati dalam dalam berperang namun dia
moksa setelah bertemu sunan kali jaga dan menanyakan arti
yang terkandung dari jimat kalimasada karena dulu hanoman
berjanji tidak akan mau mati sebelum mengetahui arti dari
tulisan yang terkandung di dalam jimat kalimasada.
Sugriwa
Sugriwa dalam sebuah
lukisan India bergaya
Maharashtra.
Sugriwa (Sanskerta: ; Sugriva) adalah seorang
tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah
seorang raja kera dan merupakan seekor wanara. Ia tinggal di
Kerajaan Kiskenda bersama kakaknya yang bernama Subali. Ia
adalah teman Sri Rama dan membantunya memerangi
Rahwana untuk menyelamatkan Sita.
Nama Sugriwa dalam bahasa Sanskerta (Sugriva) artinya
adalah "leher yang tampan".
Perebutan kekuasaan
Pada suatu ketika, rakshasa bernama Mayawi datang ke
Kiskenda untuk menantang berkelahi dengan Subali. Subali
yang tidak pernah menolak jika ditantang berkelahi menyerang
Mayawi dan diikuti oleh Sugriwa. Melihat lawannya ada dua
orang, raksasa tersebut lari ke sebuah gua besar. Subali
mengikuti raksasa tersebut dan menyuruh Sugriwa menunggu di
luar. Beberapa lama kemudian, Sugriwa mendengar suara
teriakan diiringi dengan darah segar yang mengalir keluar.
Karena mengira bahwa Subali telah tewas, Sugriwa menutup
gua tersebut dengan batu yang sangat besar agar sang raksasa
tidak bisa keluar. Kemudian Sugriwa kembali ke Kiskenda dan
didesak untuk menjadi raja karena Subali telah dianggap tewas.
Saat Sugriwa menikmati masa-masa kekuasaannya, Subali
datang dan marah besar karena Sugriwa telah mengurungnya di
dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali mengusir
Sugriwa jauh-jauh dan merebut istrinya pula. Sugriwa dengan
rendah hati minta ma'af kepada Subali, namun permohonan
ma’afnya tidak diterima Subali. Akhirnya Subali menjadi raja
Kiskenda sedangkan Sugriwa beserta pengikutnya yang setia
bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan asrama Resi
Matanga, dimana Subali tidak akan berani untuk menginjakkan
kakinya di daerah itu.
Persahabatan dengan Rama
Ukiran di kuil
Banteay Srei di
Kamboja,
menggambarkan
pertempuran antara
Sugriwa dan Subali.
Di sebelah kanan,
Rama bersiap-siap
memanah Subali.
Dalam masa petualangan mencari Sita, Rama dan Laksmana
menyeberangi sungai Pampa dan pergi ke gunung Resyamuka,
sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara. Sugriwa takut
saat melihat Rama dan Laksmana sedang mencari-cari sesuatu,
karena ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang
dikirim untuk mencari dan membunuh Sugriwa. Kemudian
Sugriwa mengutus keponakannya yang bernama Hanoman
untuk menyelidiki kedatangan Rama dan Laksmana. Setelah
mengetahui bahwa Rama dan Laksmana adalah orang baik,
Hanoman mempersilakan mereka untuk menemui Sugriwa. Di
hadapan Rama, Sugriwa menceritakan masalah dan masa
lalunya. Sugriwa juga mengutarakan permohonannya untuk
merebut istri dan kerajaannya kembali. Akhirnya Rama dan
Sugriwa menjalin persahabatan dan berjanji akan saling
membantu satu sama lain. Setelah menyusun suatu rencana,
mereka datang ke Kiskenda.
Di pintu gerbang istana Kiskenda, Sugriwa berteriak menantang
Subali. Karena merasa marah, Subali keluar dan bertarung
dengan Sugriwa. Setelah petarungan sengit berlangsung
beberapa lama, Sugriwa makin terdesak sementara Subali
makin garang. Akhirnya Rama muncul untuk menolong Sugriwa
dengan melepaskan panah saktinya ke arah Subali. Panah sakti
tersebut menembus dada Subali yang sekeras intan kemudian
membuatnya jatuh tak berkutik. Saat sedang sekarat, Subali
memarahi Rama yang mencampuri urusannya. Ia juga berkata
bahwa Rama tidak mengetahui sikap seorang ksatria. Rama
tersenyum mendengar penghinaan Subali kemudian
menjelaskan bahwa andai saja Subali tidak bersalah, tentu
panah yang dilepaskan Rama tidak akan menembus tubuhnya,
melainkan akan menjadi bumerang bagi Rama. Setelah
mendengar penjelasan Rama, Subali sadar akan dosa dan
kesalahannya terhadap adiknya. Akhirnya ia merestui Sugriwa
menjadi Raja Kiskenda serta menitipkan anaknya yang bernama
Anggada untuk dirawat oleh Sugriwa. Tak berapa lama
kemudian, Subali menghembuskan nafas terakhirnya.
Usaha penyelamatan Sita
Rama dan
Laksmana bertemu
Sugriwa. Lukisan
dari Paithan,
Maharashtra.
Setelah Subali
wafat, Sugriwa
bersenang-senang
di istana Kiskenda, sementara Rama dan Laksmana menunggu
kabar dari Sugriwa di sebuah gua. Karena sudah lama
menunggu, Rama mengutus Laksmana untuk memperingati
Sugriwa agar memenuhi janjinya menolong Sita. Tiba di pintu
gerbang Kiskenda, Sugriwa yang diwakili Hanoman meminta
ma'af kepada Rama karena melupakan janji mereka untuk
mencari Sita. Akhirnya Sugriwa mengerahkan prajuritnya yang
terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sita. Prajurit
pilihan Sugriwa terdiri dari Hanoman, Nila, Jembawan,
Anggada, Gandamadana, dan lain-lain. Mereka menjelajahi
daerah selatan India dan sampai di sebuah pantai. Atas
petunjuk Sempati, Hanoman terbang ke Alengka dan mendapati
bahwa Sita ada di sana dan ditawan oleh Rahwana. Saat berita
tersebut sampai ke Kiskenda, Sugriwa langsung mengerahkan
tentara wanaranya untuk menggempur Alengka dan membunuh
Rahwana. Ketika perjalanan tentaranya terhambat di tepi pantai,
Sugriwa mengerahkan prajurit-prajuritnya untuk membangun
sebuah jembatan besar yang diberi nama "Situbanda". Akhirnya
saat sampai di Alengka, Sugriwa bersama prajurit wanara
lainnya membunuh para prajurit andalan Rahwana.
Setelah perang antara Rama dan Rahwana usai, Sugriwa
beserta para wanara dari Kiskenda diundang ke Ayodhya. Di
sana mereka diberi tanda penghargaan atas jasa-jasanya. Atas
anugerah Dewa Indra, para wanara yang gugur di medan
perang hidup kembali.
Subali
Subali dalam bentuk wayang golek.
Bali (Sanskerta: ; Vali), atau yang di Indonesia lebih
terkenal dengan sebutan Subali, adalah nama seorang raja
Wanara dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan kakak dari
Sugriwa, sekutu Sri Rama. Ketika terjadi perselisihan antara
kedua Wanara bersaudara itu, Rama berada di pihak Sugriwa.
Subali akhirnya tewas di tangan pangeran dari Ayodhya
tersebut.
Subali juga dikenal dalam dunia pewayangan Jawa sebagai
seorang pendeta Wanara berdarah putih yang tinggal di puncak
Gunung Sunyapringga. Ia memiliki Aji Pancasunya (di daerah
Sunda disebut Pancasona) yang membuatnya tidak bisa mati.
Ilmu kesaktian tersebut diwariskannya kepada Rahwana, musuh
besar Rama.
Asal-usul
Nama Subali berasal dari kata bala, yang dalam bahasa
Sansekerta bermakna "rambut". Konon ia dilahirkan melalui
rambut ibunya, sehingga diberi nama Bali atau Subali. Setelah
dewasa, Subali menjadi raja bangsa Wanara di Kerajaan
Kiskenda, sedangkan Sugriwa bertindak sebagai wakilnya.
Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang
Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi
berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah
putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya.
Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali
dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal.
Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa.
Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya
merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di
Pertapaan Agrastina.
Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih
memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa
indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil
dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama
sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda
kahyangan milik Batara Surya yang bernama Cupumanik
Astagina. Indradi yang ketakutan diam tak mau menjawab.
Gotama yang marah karena merasa dikhianati mengutuk
istrinya itu menjadi tugu. Ia lalu melemparkan tugu tersebut
sejauh-jauhnya, sampai jatuh di perbatasan Kerajaan Alengka.
Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja
memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda
itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina
jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga.
Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera
menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh
ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah
menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba
merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air
telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah
menjadi wajah dan lengan kera.
Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan
perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa
mensucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia
bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama
Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah
berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing
bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak
Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing.
Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya
berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung
di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa
mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.
Penggabungan silsilah
Versi pewayangan Jawa yang bersumber dari naskah Serat
Arjunasasrabahu, sebagaimana yang telah diceritakan di atas,
rupanya telah menggabungkan silsilah beberapa tokoh dalam
Ramayana.
Menurut versi Ramayana, antara Subali-Sugriwa dengan Anjani,
Hanoman dan Gotama tidak memiliki hubungan keluarga. Anjani
adalah istri Kesari, seorang raja Wanara. Ia mendapatkan titipan
janin dari Bayu sang dewa angin, yang setelah lahir diberi nama
Hanoman. Hanoman kemudian berguru kepada Surya, dewa
matahari. Setelah tamat, ia ditugaskan menjadi pengawal putra
gurunya yang bernama Sugriwa, saudara kembar Subali.
Sementara itu, Gotama versi Ramayana adalah seorang
pertapa yang tidak memiliki sangkut paut dengan Subali.
Menurut versi ini, Gotama memiliki istri bernama Ahalya, yang
kecantikannya membuat Dewa Indra terpikat. Dengan bantuan
Surya, Indra pun menyamar sebagai Gotama untuk bisa
mendekati Ahalya. Hal itu akhirnya diketahui oleh Gotama. Indra
dan Surya melarikan diri, sedangkan Ahalya dikutuk oleh
suaminya tersebut menjadi batu.
Perkawinan
Subali memiliki seorang istri bernama Tara. Dari perkawinan
tersebut lahir seorang putra bernama Anggada, yang kelak
banyak berjasa dalam membantu Sri Rama melawan Rahwana.
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Tara bukanlah
istri Subali, melainkan istri Sugriwa. Ketika kedua wanara
bersaudara itu bertapa untuk mensucikan diri sesuai petunjuk
ayah mereka, datang Batara Narada yang diutus Batara Guru
untuk meminta bantuan dalam menumpas musuh kahyangan,
bernama Mahesasura raja Guakiskenda. Subali dan Sugriwa
pun berangkat. Subali masuk ke dalam istana Kiskennda yang
terletak di dalam gua. Ia berpesan jika kelak mengalir darah
merah ke luar gua, berarti Mahesasura tewas. Namun jika yang
mengalir darah putih berarti dirinya yang tewas. Apabila Subali
terbunuh, Sugriwa diminta untuk segera menutup pintu gua
dengan batu besar.
Subali pun masuk ke dalam gua di mana terdapat istana
Kiskenda yang sangat indah. Di sana ia bertempur melawan
Mahesasura yang dibantu kedua pengawalnya bernama
Lembusura dan Jatasura. Ketiganya tewas dengan kepala
pecah. Darah dan otak mereka mengalir keluar gua. Sugriwa di
luar mengira yang mengalir adalah darah merah dan darah
putih. Dengan sedih ia menutup pintu gua lalu melapor ke
kahyangan. Karena Mahesasura telah mati, sebagai hadiah,
Sugriwa pun memperoleh seorang bidadari bernama Tara putri
Batara Indra.
Di tengah jalan Sugriwa dan Tara dihadang Subali yang
ternyata masih hidup. Subali menuduh adiknya itu berkhianat.
Sugriwa pun dihajarnya tanpa ampun. Narada turun melerai dan
mengisahkan apa yang sebenarnya terjadi. Subali sadar dan
minta maaf. Ia merelakan Tara menjadi istri Sugriwa serta
menyerahkan takhta Kiskenda peninggalan Mahesasura kepada
adiknya itu. Subali memilih menjadi pertapa di Gunung
Sunyapringga. Atas jasanya membunuh Mahesasura, Batara
Guru memberinya anugerah dalam bentuk lain, yaitu ilmu
kesaktian yang bisa membuatnya tidak bisa mati, bernama Aji
Pancasunya (di daerah Sunda disebut Aji Pancasona).
Hubungan dengan Rahwana
Lukisan dari India yang
dibuat sekitar abad ke-18,
menggambarkan
persekutuan Rama dan
Sugriwa sampai dengan
terbunuhnya Subali.
Versi Ramayana
mengisahkan, Subali
bersahabat dengan
Rahwana raja bangsa
Rakshasa dari Kerajaan
Alengka. Pada mulanya
mereka sempat berkelahi
karena Rahwana datang untuk menaklukkan Kerajaan
Kiskenda. Namun dalam pertarungan tersebut Rahwana kalah.
Subali mengampuninya dan menjadikannya teman.
Versi pewayangan Jawa bahkan mengisahkan Rahwana
kemudian berguru kepada Subali. Rahwana yang pandai
bersandiwara berhasil meyakinkan Subali bahwa dirinya telah
bertobat. Subali pun mengajarkan Aji Pancasunya kepadanya.
Ia juga selalu menasihati Rahwana supaya menggunakan ilmu
tersebut di jalan kebenaran.
Rahwana yang telah memperoleh ilmu baru berniat melanjutkan
aksinya untuk menguasai dunia. Terlebih dahulu ia berusaha
menyingkirkan Subali yang dianggapnya sebagai penghalang.
Ia pun mengirim pembantunya yang bernama Marica untuk
menyamar sebagai pelayan Tara. Pelayan palsu jelmaan Marica
itu datang dan melapor kepada Subali bahwa Tara setiap hari
disiksa Sugriwa. Konon Sugriwa juga mengungkit-ungkit nama
Subali setiap kali menyiksa Tara. Subali marah mendengar
laporan tersebut. Ia pun mendatangi Sugriwa di Kiskenda.
Sugriwa dihajar tanpa ampun. Tubuhnya dilemparkan sampai
jatuh dan terjepit di sepasang pohon asam kembar di puncak
Gunung Reksyamuka. Subali kemudian menetap di Kerajaan
Kiskenda serta menikahi Tara. Dari perkawinan itu kemudian
lahir Anggada.
Perselisihan dengan Sugriwa
Kisah perselisihan Subali dan Sugriwa menurut versi
pewayangan Jawa di atas agak berbeda dengan versi aslinya.
Menurut versi Ramayana, sejak awal Subali sudah menjadi raja
di Kerajaan Kiskenda. Kemudian datang seorang Rakshasa
bernama Dundubi yang manantangnya adu kesaktian. Dalam
pertarungan itu Dundubi berhasil dikalahkan. Ia melarikan diri
sampai ke Gunung Reksyamuka tempat pertapaan Resi
Matangga. Di pertapaan itu Subali membunuh Dundubi. Resi
Matangga marah karena pertapaannya dikotori. Ia pun
mengutuk Subali akan mati jika berani menginjakkan kaki di
Gunung Reksyamuka.
Subali kemudian bertemu saudara Dundubi yang bernama
Mayawi. Keduanya pun bertarung. Mayawi kalah dan melarikan
diri ke dalam gua. Subali terus mengejarnya. Sugriwa ikut
mengejar namun menunggu di luar gua. Ia mendengar suara
raungan kakaknya dan melihat darah mengalir keluar gua.
Sugriwa sedih dan mengira Subali telah tewas. Sugriwa kembali
ke Kiskenda dan didesak rakyatnya untuk menjadi raja baru
menggantikan Subali. Tiba-tiba Subali muncul dengan penuh
rasa marah. Ternyata yang tewas adalah Mayawi, bukan
dirinya. Ia pun menghajar Sugriwa sedemikian rupa. Sugriwa
yang ketakutan melarikan diri ke Gunung Reksyamuka, di mana
Subali tidak berani mengejarnya.
Kematian
Subali terbunuh di tangan
Rama. Sebuah lukisan dari
India, dibuat pada zaman
kekaisaran Mughal, sekitar
abad ke-16.
Sugriwa bersembunyi di
Gunung Reksyamuka
ditemani Hanoman yang
setia kepadanya. Hanoman
berhasil mempertemukan
Sugriwa dengan Sri Rama,
seorang pangeran dari
Ayodhya yang kehilangan
istri karena diculik oleh Rahwana. Keduanya pun mengadakan
kesepakatan. Rama akan membantu Sugriwa memperoleh
kembali takhta Kiskenda, sedangkan Sugriwa berjanji akan
membantu Rama menyerang negeri Rahwana.
Sesuai rencana, Sugriwa pun datang ke istana Kiskenda untuk
menantang Subali bertanding. Subali yang marah hendak
menghadapi Sugriwa, namun dicegah oleh Tara, istrinya. Tara
mencurigai Sugriwa yang dulu pernah kalah tapi kini tiba-tiba
berani datang untuk menantang bertarung. Namun Subali tidak
menghiraukan nasihat istrinya itu. Ia memilih keluar untuk
melayani tantangan adiknya. Antara Subali dan Sugriwa pun
segera terjadi pertarungan sengit. Dari kejauhan, Rama yang
ditemani adiknya, Laksmana, serta Hanoman, membidikkan
panah ke arah Subali. Namun ia merasa bingung membedakan
kedua Wanara kembar tersebut. Sugriwa yang kewalahan
memilih melarikan diri. Rama datang menemui Sugriwa yang
marah-marah karena merasa dikhianati. Rama mengaku
bingung dan takut salah menyerang. Sugriwa pun dimintanya
menantang Subali sekali lagi dengan mengenakan kalung
untaian bunga sebagai penanda (dalam pewayangan Sugriwa
diminta memakai kalung janur kuning).
Sugriwa kembali bertarung melawan Subali. Saat Sugriwa
terdesak untuk yang kedua kalinya, Rama muncul dan
melepaskan panahnya ke dada Subali. Subali pun roboh tak
sempat menghindar. Subali yang sekarat dalam keadaan marah
menghina Rama sebagai kesatria pengecut yang tidak tahu
dharma. Mendengar penghinaan itu, Rama menjelaskan bahwa
Subali sebenarnya telah berdosa, karena apabila masih suci,
panah sakti milik Rama tidak akan mampu menembus kulitnya,
bahkan senjata tersebut akan berbalik menyerang Rama.
Setelah mendengar penjelasan yang panjang lebar dari Rama,
Subali menyadari dosa-dosa dan kesalahannya kepada
Sugriwa. Ia pun meminta maaf dan meminta agar Sugriwa
merawat putranya yang bernama Anggada dengan baik. Subali
juga merestui Sugriwa menjadi raja Kiskenda. Setelah itu, ia pun
akhirnya meninggal dunia.
Menurut versi pewayangan, meskipun Subali memiliki Aji
Pancasunya, namun saat itu ajalnya telah ditentukan oleh
dewata. Oleh karena itu, ilmu tersebut sudah tidak berfungsi lagi
sebagaimana biasanya.
einkarnasi Subali
Menurut susastra Hindu, karena Rama telah membunuh Subali,
maka Subali pun bereinkarnasi dan membunuh inkarnasi Wisnu
pada kehidupan selanjutnya. Konon atma Subali terlahir kembali
sebagai seorang pemburu bernama Jara pada zaman Dwapara
Yuga. Tokoh Jara inilah yang kemudian membunuh awatara
Wisnu pada zaman tersebut, yaitu Sri Kresna meskipun tanpa
sengaja. Setelah Jara melepaskan panahnya dan melukai kaki
Kresna, Kresna pun moksa dan kembali ke Waikuntha.
Anggada
Anggada dalam kesenian wayang golek.
Anggada (Sanskerta: ; Angada) atau Hanggada adalah
seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah wanara
muda yang sangat tangkas dan gesit. Kekuatannya sangat
dahsyat, sama seperti ayahnya, yakni Subali. Dalam kitab
Ramayana disebutkan bahwa ia dapat melompat sejauh
sembilan ratus mil. Anggada dilindungi oleh Rama dan akhirnya
membantu Rama, berperang melawan Rahwana merebut
kembali Dewi Sita, istri Rama.
Anggada juga merupakan nama salah satu putera Laksmana
dalam wiracarita Ramayana.
Keluarga
Ayah Anggada adalah Raja Wanara bernama Subali, ibunya
adalah Tara. Anggada memiliki paman bernama Sugriwa, yaitu
adik Subali. Subali dan Sugriwa memiliki adik perempuan
bernama Anjani. Hanoman adalah putera Anjani, maka
Anggada bersaudara sepupu dengan Hanoman. Saat masih
muda, Subali tewas karena panah Rama. Setelah itu, Anggada
dirawat oleh Sugriwa.
Petualangan mencari Sita
Saat Sugriwa mengerahkan ksatria wanara pilihan untuk
mencari Dewi Sita, Anggada turut serta bersama para ksatria
wanara lainnya seperti Hanoman, Jembawan, Nila, Dwiwida,
Gandamadana, dan lain-lain. Mereka menjelajahi wilayah India
Selatan, sampai tiba di sebuah gua, kediaman arsitek
Mayasura. Setelah menjelajahi gua, Anggada dan para wanara
bertemu dengan Swayampraba. Atas bantuannya, Anggada dan
para wanara tiba di sebuah pantai. Di pantai tersebut, para
wanara bertemu dengan Sempati. Kemudian Anggada
menuturkan maksud perjalanannya dan ia meminta bantuan
Sempati. Atas petunjuk Sempati, para wanara tahu bahwa Sita
masih hidup dan sedang ditawan di Alengka oleh Raja
Rahwana.
Perang di Alengka
Sebelum peperangan di Alengka meletus, Rama mengutus
Anggada agar memberi kepada Rahwana untuk segera
menyerahkan Dewi Sita. Setelah mendengar pesan Rama yang
panjang lebar, Anggada mohon pamit lalu pergi ke tempat
Rahwana. Di hadapan Rahwana, Anggada memperingati agar
Sita segera dikembalikan jika tidak ingin peperangan meletus.
Rahwana yang keras kepala, tidak menghiraukan peringatan
Anggada namun mencoba mengerahkan pasukannya untuk
menangkap wanara tersebut. dengan sigap, Anggada melompat
ke udara sehingga ia lolos. Setelah itu, ia merobohkan menara
istana. Dengan sekali lompatan, ia terbang kembali ke tempat
Rama.
Saat pertempuran pertama berlangsung, Anggada bertemu
dengan Indrajit, putera Rahwana. Dua prajurit tersebut
bertempur dengan jurus-jurus yang mengagumkan. Para
wanara bersorak-sorak kegirangan karena kagum dengan
ketangguhan Anggada, sebab panah-panah yang dilepaskan
Indrajit tidak membuat Anggada gentar. Namun kemudian
Indrajit mengalihkan serangannya kepada Rama. Pertempuran
pada hari itu pun diakhiri sebab Rama tak berkutik. Setelah
Rama pulih kembali, para wanara melanjutkan penyerangannya.
Pada pertempuran kedua, Anggada bertemu dengan
Bajradamstra. Setelah pertarungan sengit terjadi dalam waktu
yang lama, Bajradamstra gugur di tangan Anggada.
Ketika peperangan di Alengka usai, Anggada dan para wanara
lainnya diundang ke Ayodhya untuk menerima penghargaan
atas jasa-jasa mereka karena telah menolong Rama
menyelamatkan Sita.
Anggada dalam Pewayangan Jawa
Dalam cerita pewayangan Jawa, Anggada yang terkenal sakti
diberi gelar Jaya yang berarti unggul oleh Rama, sehingga
disebut Jaya Anggada. Di dalam lakon “Anggada Balik”, ia
diutus Rama pergi ke Alengka untuk mengukur kekuatan bala
tentara Alengka. Karena hasutan Rahwana, yang mengatakan
bahwa pembunuh ayahnya adalah Sri Rama, Anggada
kemudian mengamuk dan berbalik akan membunuh Rama.
Tetapi Hanoman kemudian dapat menaklukkan dan
menginsyafkan serta menyadarkannya. Akhirnya Anggada
kembali menyerang Alengka dan berhasil membawa mahkota
Rahwana dan dipersembahkan kepada Rama. Dalam
pewayangan sering digambarkan sebagai kera berbulu merah.
Jembawan
Dalam mitologi Hindu, Jembawan (Sanskerta: ;
Jambavantha) alias Jambawanta atau Jamwanta, adalah
seekor beruang yang dipercaya hidup dari zaman Kertayuga
sampai Dwaparayuga.
Konon pada saat pengadukan "lautan susu", Jembawan turut
serta dan pernah mengelilingi dunia selama tujuh kali.
Jembawan pernah membunuh seekor singa yang memiliki
sebuah permata bernama Syamantaka. Permata itu berasal dari
Prasena dan direbut oleh sang singa setelah membunuhnya.
Kresna yang curiga dengan kematian Prasena, mengikuti jejak
Prasena sampai ia tahu bahwa Prasena dibunuh oleh seekor
singa dan singa tersebut dibunuh oleh seekor beruang, yaitu
Jembawan. Kresna mengikuti jejak Jembawan sampai ke
sebuah gua dan pertempuran pun terjadi. Setelah dua puluh
satu hari, Jembawan tunduk dan menyerah sebab ia sadar
siapa Kresna sebenarnya. Ia memberikan permata Syamantaka
kepada Kresna, dan juga mempersembahkan puterinya yang
bernama Jembawati, yang pada akhirnya menjadi salah satu
istri Kresna.
Dalam wiracarita Ramayana, Jembawan bersama para wanara
membantu Rama menemukan Sita. Ketika Jembawan dan para
wanara berada di tepi pantai yang memisahkan pulau Alengka
dengan daratan India, Jembawan membujuk Hanoman agar ia
mau terbang ke Alengka dan bertemu dengan Sita. Sebelumnya
Hanoman terkena kutukan bahwa ia akan melupakan semua
kehebatannya, sampai seseorang mengingatkannya kembali.
Jembawan adalah orang yang mengingatkan Hanoman, bahwa
ia memiliki kekuatan untuk terbang dan melintasi lautan.
Nila (Ramayana)
Nila (Sanskerta: ; Nila) alias Anila (Sanskerta: ;
Anila) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana.
Namanya secara harafiah berarti "nila" atau "biru tua". Nila
adalah seekor kera berwarna gelap yang berada di kubu Sri
Rama dalam perang melawan Rahwana.
Selama masa petualangan mencari Sita, Nila berperan penting,
terutama dalam pembangunan jembatan Situbanda karena
struktur jembatan tersebut dirancang oleh Nila. Dalam
pertempuran besar di Alengka, Nila bersama para wanara yang
lain bertarung mengalahkan para rakshasa. Saat Nila
berhadapan dengan Prahasta yang menggunakan senjata gada
besi, pertarungan berlangsung dengan sengit karena keduanya
sama-sama sakti. Akhirnya Nila mengangkat sebuah batu yang
besar sekali. Batu tersebut kemudian dijatuhkan di atas kepala
Prahasta sehingga rakshasa tersebut tewas seketika.
Nila dalam pewayangan Jawa
Saat Hanoman menghadap Batara Guru untuk diakui sebagai
putranya, Batara Narada tertawa sambil menyindir Batara Guru.
Batara Guru yang merasa disindir kemudian mengambil daun
nila (sawo kecik) dan dilempar ke punggung Batara Narada.
Daun nila tersebut menjadi seekor kera berbadan pendek dan
berbulu biru tua yang menempel di punggung Batara Narada.
Saat itu Batara Narada yang sangat benci terhadap kera
meminta ampun kepada Batara Guru agar kera tersebut lepas
dari punggungnya. Kemudian Batara Guru memberi tahu cara
melepaskan kera itu dari punggung Batara Narada, yaitu
dengan mengakui kera tersebut menjadi anaknya. Akhirnya
Batara Narada mau mengakui kera tersebut sebagai putranya.
Semua dewa yang hadir di dalam pertemuan tertawa melihat
kejadian tersebut. Batara Narada menuntut kepada Batara Guru
untuk memerintahkan semua dewa yang lainnya untuk memuja
keranya masing-masing saperti yang telah dilakukan Batara
Narada. Setelah tujuh hari kemudian akhirnya lahirlah kera-kera
pujaan para dewa itu. Adapun kera-kera tersebut antara lain
Kapi Sempati pujaan Batara Indra, Kapi Anggeni pujaan Batara
Brahma, Kapi Menda, Kapi Baliwisata, dan Kapi Anala pujaan
Batara Yamadipati dan sebagainya yang mencapai ratusan
ekor. Kera-kera tersebut lalu dikirim ke raja kera di Gua
Kiskenda di bawah pimpinan Anila. Di Kerajaan Gua Kiskenda,
Anila diangkat menjadi patih sekaligus ahli seni bersama Kapi
Nala dan Kapi Anala.
Kapi Anila menjadi pahlawan setelah berhasil membunuh Patih
Prahasta (patihnya Dasamuka) dari Alengka dengan cara
mengadu kepalanya dengan tugu batu yang ada di perbatasan
negeri Alengka (tugu tersebut adalah pujaan Dewi Indrardi yang
terkutuk pada peristiwa Cupu Manik). Selain itu, Anila
membebaskan Dewi Indrardi dari kutukannya.
Wibisana
Wibisana (Sanskerta: , Vibhisha?a) adalah nama
seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia
adalah adik kandung Rahwana yang menyeberang ke pihak Sri
Rama. Dalam perang besar antara bangsa Rakshasa melawan
Wanara, Wibisana banyak berjasa membocorkan kelemahan
kaumnya, sehingga pihak Wanara yang dipimpin Rama
memperoleh kemenangan. Sepeninggal Rahwana, Wibisana
menjadi raja Alengka. Ia dianggap sebagai salah satu
Chiranjiwin, yaitu makhluk abadi selamanya.
Dalam pewayangan Jawa, Wibisana sering disebut dengan
nama lengkap Gunawan Kuntawibisana. Tempat tinggalnya
bernama Kasatrian Parangkuntara.
Silsilah keluarga
Menurut versi Ramayana, Wibisana adalah putra bungsu
pasangan Wisrawa dan Kaikesi. Ayahnya seorang resi putra
Pulastya. Sementara ibunya adalah putri Sumali, seorang raja
Rakshasa dari Kerajaan Alengka. Versi lain, yaitu Mahabharata
menyebut Wibisana sebagai putra wisrawa dan Malini. Menurut
versi kedua tersebut, Kaikesi hanya melahirkan dua prang putra
saja, yaitu Rahwana dan Kumbakarna.
Wibisana menikah dengan seorang wanita dari bangsa
Rakshasa bernama Sarama. Istrinya itu juga bersifat bijaksana.
Ia menjadi pelindung Sita istri Rama ketika ditawan Rahwana.
Kepribadian
Meskipun berasal dari bangsa Rakshasa, namun Wibisana
memiliki kepribadian yang berbeda. Biasanya para Rakshasa
dikisahkan sebagai pembuat onar, perusuh kaum brahmana,
dan pemakan daging manusia. Namun Wibisana terkenal
berhati lembut dan hidup dalam kebijaksanaan.
Wibisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa
memuja Wisnu. Ia juga memuja Brahma bersama dengan kedua
kakaknya, yaitu Rahwana dan Kumbakarna. Ketika Dewa
Brahma turun untuk memberikan anugerah, Rahwana dan
Kumbakarna mengajukan permohonan diberi kekuatan dan
kesaktian untuk bisa menaklukkan para dewa.
Wibisana bersikap lain. Ia justru meminta agar selalu berada di
jalan kebenaran atau dharma. Ia tidak minta diberi kekuatan,
tetapi minta diberi kebijaksanaan.
Peran di Alengka
Dalam kisah Ramayana, setelah gagal membujuk kakaknya
untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana
memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya
sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti dia harus melawan
kakaknya sendiri (Rahwana) demi membela kebenaran. Menarik
untuk dilihat bahwa Kumbakarna (yang juga masih saudara
kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang
berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air,
walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah.
Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa
kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan
ikatan persaudaraan.
Wibisana memihak Rama
Karena merasa tidak mendapat tempat di Alengka, Wibisana
pergi bersama empat rakshasa yang baik dan menghadap
Rama. Dalam perjalanan ia dihadang oleh Sugriwa, raja wanara
yang mencurigai kedatangan Wibisana dari Alengka. Setelah
Rama yakin bahwa Wibisana bukan orang jahat, Wibisana
menjanjikan persahabatan yang kekal. Dalam misi
menghancurkan Rahwana, Wibisana banyak memberi tahu
rahasia Alengka dan seluk-beluk setiap rakshasa yang
menghadang Rama dan pasukannya. Wibisana juga sadar
apabila ada mata-mata yang menyusup ke tengah pasukan
wanara, dan melaporkannya kepada Rama. Saat pasukan
wanara berhasil dikelabui oleh Indrajit, Wibisana adalah orang
yang tanggap dan mengetahui akal Indrajit yang licik.
Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya,
Wibisana memohon agar ia diberi kesempatan berbincangbincang
dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan
mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap sebelum
pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna,
Wibisana memohon agar Kumbakarna mengampuni
kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh.
Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak
membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa
terharu. Kumbakarna tidak menyalahkan Wibisana sebab ia
berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia bertempur
karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata
karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana
mohon pamit dari hadapan Kumbakarna dan mempersilakannya
maju untuk menghadapi Rama.
Raja Alengka
Setelah Kumbakarna dan Rahwana dibunuh oleh Rama,
Wibisana dan para sahabatnya menyelenggarakan upacara
pembakaran yang layak bagi kedua ksatria tersebut. Kemudian
ia dinobatkan menjadi Raja Alengka yang sah. Ia merawat
Mandodari, janda yang ditinggalkan Rahwana, dan hidup
bersama dengan permaisurinya yang bernama Sarma.
Wibisana memerintah Alengka dengan bijaksana. Ia mengubah
Alengka menjadi kota yang berlandaskan dharma dan
kebajikan, setelah sebelumnya rusak karena pemerintahan
Rahwana.
Versi pewayangan
Dalam pewayangan, Wibisana dilukiskan berwajah tampan dan
terlahir sebagai manusia seperti ayahnya, bukan raksasa.
Ayahnya bernama Wisrawa dari Pertapaan Argawirangin,
sedangkan ibunya bernama Sukesi dari Kerajaan Alengka.
Wibisana menikah dengan bidadari bernama Triwati. Dari
perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Trijata dan
Bisawarna. Trijata bertindak sebagai perawat dan penjaga Sinta
ketika disekap oleh Rahwana.
Wibisana menyeberang ke pihak Rama setelah diusir oleh
Rahwana karena berani menentang perbuatan kakaknya itu
yang telah menculik Sinta. Ia kemudian menjadi penasihat
strategi perang di pihak Rama. Dalam pewayangan Jawa, yang
menewaskan Indrajit putra Rahwana adalah Wibisana bukan
Laksmana.
Setelah Rahwana terbunuh, Wibisana menolak menjadi raja
Alengka. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kepercayaan bahwa
istana yang baru saja dirusak musuh tidak baik untuk ditempati
karena masih menyimpan energi negatif. Oleh karena itu,
Wibisana membangun ibu kota baru di Parangkuntara, dan
mengganti nama Kerajaan Alengka menjadi Kerajaan
Singgelapura.
Setelah memerintah cukup lama, Wibisana pun turun takhta
menjadi resi di Gunung Cindramanik. Kerajaan Singgelapura
kemudian diwariskan kepada putranya, yaitu Bisawarna yang
bergelar Prabu Dentawilukrama.
Wibisana mencapai moksa pada zaman kehidupan para
Pandawa.
Tataka
Dalam wiracarita Ramayana, Tataka (Sanskerta: ;
Tataka) alias Taraka (Sanskerta: ; Taraka) adalah
seorang rakshasi, puteri seorang yaksa bernama Suketu, dan
merupakan ibu dari raksasa Marica. Ia dikutuk oleh Resi
Agastya agar rupanya buruk. Ia tinggal di hutan Dandaka di
wilayah India Selatan bersama dengan anaknya. Setelah
meneror para resi, ia dibunuh oleh pangeran Rama dan
Laksmana dari Ayodhya yang sedang melakukan perjalanan ke
Sidhasrama bersama Resi Wiswamitra.
Asal-usul
Dalam Ramayana diceritakan bahwa pada mulanya, yaksa
Suketu tidak memiliki keturunan, lalu ia bertapa untuk memohon
anugerah Dewa Brahma. Brahma kemudian memberi anugerah
bahwa Suketu tidak akan memiliki putera, melainkan seorang
puteri saja, namun kekuatannya setara dengan kekuatan gajah.
Puteri tersebut adalah Tataka. Tataka menikah dengan seorang
raksasa, dan memiliki putera bernama Subahu dan Marica.
Karena suaminya tewas akibat kutukan Resi Agastya, Tataka
dan Marica hendak membunuh resi tersebut namun tidak
berhasil. Sang Resi yang marah kemudian mengutuk agar
mereka bermuka buruk dan hidup dengan memakan daging
manusia.
Salah satu legenda mengatakan bahwa suami Tataka adalah
raksasa Sunda, sedangkan versi lain mengatakan bahwa
suaminya adalah Sumali.
Teror di hutan Dandaka
Tataka dan Marica hidup di hutan Dandaka dan meneror
kehidupan para resi. Mereka sering memangsa daging para resi
dan mengotori upacara mereka dengan darah dan daging.
Karena mengutuk seseorang akan mencemari kemurnian tapa
para resi, akhirnya Resi Wiswamitra memohon bantuan
pangeran Rama dan Laksmana dari Ayodhya untuk
mengamankan hutan Dandaka dari teror Tataka. Saat Tataka
melihat kedatangan kedua pangeran tersebut, nafsu makannya
bangkit untuk melahap mereka tanpa sisa. Tataka melakukan
penyerangan, namun Rama dan Laksmana mampu menangkis
serangan Tataka. Akhirnya pertarungan berlangsung dengan
sengit. Ketika hari menjelang malam, Resi Wiswamitra
menyuruh Rama agar tidak menunda waktu untuk mengakhiri
riwayat Tataka karena pada malam hari kekuatan bangsa
raksasa bertambah besar. Dengan senjata panah sakti sambil
mengucapkan mantra, Rama memanah Tataka sampai tewas.
Setelah Tataka dikalahkan, Rama dan Laksmana mengikuti
Resi Wiswamitra ke Sidhasrama.
Surpanaka
Laksmana melukai
hidung Surpanaka
dengan pedangnya.
Lukisan dari India,
dibuat sekitar abad ke-
19.
Surpanaka (atau Bahasa Indonesia: Sarpanaka, Bahasa Jawa:
Sarpakenaka) adalah tokoh antagonis dari wiracarita
Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana, dan merupakan
seorang rakshasi atau rakshasa wanita. Ia tinggal di
Yanasthana, pos perbatasan para rakshasa di Chitrakuta. Nama
Surpanaka dalam bahasa Sanskerta berarti "(Dia) Yang
memiliki kuku jari yang tajam".
Saat Surpanaka melewati hutan, ia senang melihat Rama dan
ingin dinikahinya. Dengan mengubah wujudnya yang jelek
menjadi seorang wanita cantik, ia mulai mendekati Rama dan
meminta untuk dinikahi. Rama menolak karena ia
melaksanakan Eka patnivrataa atau menikah hanya sekali.
Kemudian Rama menyuruh Surpanaka agar merayu Laksmana
yang lebih tampan. Setelah meninggalkan Rama, ia berusaha
menggoda Laksmana. Tetapi cintanya ditolak karena Laksmana
berkata bahwa ia adalah pelayan kakaknya, dan lebih baik
apabila Surpanaka menjadi istri kedua Rama dibandingkan
menjadi istri pertama Laksmana. Surpanaka yang mulai kesal,
berusaha mencakar Sita yang memandangnya dengan sinis.
Lalu Rama melindungi Sita sementara Laksmana mengambil
pedangnya. Saat Surpanaka menyerang Laksmana, pedang
Laksmana melukai hidung rakshasi tersebut. Akhirnya
Surpanaka lari dan mengadu kepada Kara. Setelah Kara tewas
di tangan Rama, ia memprovokasi Rahwana.
Surpanaka versi pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, terdapat versi berbeda mengenai
cerita Surpanaka saat dilukai di tengah hutan. Surpanaka tidak
menemui Rama, namun langsung menggoda Laksmana.
Namun Laksmana menolak Surpanaka karena baunya agak
amis bagi seorang wanita cantik. Lalu ia marah dan hidungnya
dilukai oleh Laksmana. Akhirnya Surpanaka lari ke Alengka
untuk memprovokasi kakaknya yang bernama Rahwana,
sampai menculik Dewi Sita.
Marica
Rama memburu Marica
yang menyamar menjadi
kijang. Lukisan dari
Himachal Pradesh, dibuat
sekitar abad ke-18.
Dalam wiracarita Ramayana, Marica (Sanskerta: ;
Maricha) adalah seorang rakshasa, putera Tataka dan Sunda.
Ia tinggal di hutan Dandaka dan menjadi patih Rahwana. Kakek
Marica adalah seorang yaksa bernama Suketu, ia tidak memiliki
anak dan memohon anugerah dari Dewa Brahma. Brahma
memberi anugerah bahwa Suketu akan memiliki seorang puteri
saja, namun cantik nan kuat. Puteri tersebut diberi nama
Tataka, dan menikahi Sunda. Dari pasangan tersebut, lahirlah
Marica. Karena Sunda tewas akibat kutukan Resi Agastya,
Tataka dan Marica marah lalu melukai Sang Resi. Kemudian
Sang Resi mengutuk mereka berdua agar menjadi buruk rupa
dan hidup dengan memakan daging manusia.
Teror di hutan Dandaka
Tataka dan Marica hidup di hutan Dandaka dan meneror para
resi, sampai datanglah Rama dan Laksmana dari Ayodhya atas
permohonan Resi Wiswamitra. Rama membunuh Tataka
dengan panah saktinya, sementara Marica hidup dan melarikan
diri. Saat Wiswamitra melakukan upacara, Marica kembali
mengganggu bersama Subahu dan raksasa lainnya. Mereka
terbang di atas tempat upacara sambil membawa daging
mentah dan darah
untuk mengotori
sesajen. Melihat hal
itu, Rama dan
Laksmana tidak
tinggal diam. Rama
tidak ingin Marica
mati, maka ia
menyuruh
Laksmana agar meringkus Marica tanpa membunuhnya.
Senjata yang dilepaskan Laksmana melilit tubuh Marica dan
mengirimnya ke laut, sementara Subahu tidak diberi ampun.
Rama melepaskan senjata Agni. Senjata tersebut membakar
jasad Subahu sampai menjadi abu.
Nasihat Marica
Marica menyamar menjadi rusa untuk menarik perhatian Rama,
Laksmana dan Sita. Lukisan dari Himachal Pradesh, dibuat
sekitar abad ke-18.
Saat Rahwana berniat untuk menculik Sita, Marica dikunjungi
untuk dimintai bantuan. Marica yang mengetahui kekuatan
Rama, menolak untuk menyetujui rencana tersebut. Ia
menasihati Rahwana untuk membatalkan niat jahat itu. Ia
berkata bahwa rencana tersebut akan mengantarkan
kehancuran bagi Alengka dan kaum raksasa. Mulanya Rahwana
sadar setelah mendapat nasihat Marica, namun setelah ia
kembali ke Alengka, Surpanaka datang dan menghasut
Rahwana dengan cara memutarbalikkan fakta. Niat Rahwana
timbul kembali untuk yang kedua kalinya dan ia bersikeras untuk
menculik Sita. Rahwana datang kembali ke kediaman Marica
untuk yang kedua kalinya. Kali ini Marica sadar bahwa jika niat
Rahwana tidak dijalankan maka nyawanya akan melayang,
namun jika ia menjalankan rencana Rahwana sudah pasti
nyawanya akan berakhir di tangan Rama. Setelah berpikir
matang-matang, Marica menyetujui niat licik Rahwana. Ia
merasa beruntung apabila gugur di tangan ksatria besar seperti
Rama daripada di tangan raksasa Rahwana.
Usaha penculikan Sita
Dengan menyamar menjadi kijang kencana, Marica
mengalihkan perhatian Rama untuk memburunya sementara
Sita ditinggal bersama Laksmana. Ketika Rama tahu bahwa
Marica sedang mengelabuinya, ia melepaskan anak panahnya
dan mengubah Marica ke wujud semula. Saat sedang sekarat,
Marica menirukan suara Rama dan mengerang dengan keras
sampai ke telinga Sita dan Laksmana. Yakin abhwa itu suara
Rama, Sita menyuruh Laksmana agar pergi menyusul Rama.
Sementara Laksama menyusul Rama, Rahwana menyamar
menjadi brahmana untuk mengelabui Sita kemudian
menculiknya.
Sumali
Sumali (Sansekerta: ; Sumali) adalah nama seorang
tokoh dalam wiracarita Ramayana yang dikenal sebagai kakek
Rahwana, tokoh antagonis dalam kisah tersebut. Sumali
memiliki kakak bernama Mali dan adik bernama Maliyawan.
Ketiganya mendapat anugerah Dewa Brahma sehingga memiliki
kesaktian yang luar biasa. Namun kesaktian tersebut
disalahgunakan untuk menaklukkan kahyangan. Akhirnya,
mereka pun dikalahkan oleh Dewa Wisnu dan terusir dari
Kerajaan Alengka.
Raja Alengka
Dikisahkan pada suatu ketika Sumali dan kedua saudaranya,
yaitu Mali dan Maliyawan bertapa memohon memohon
anugerah agar mereka bertiga saling menyayangi sehingga rasa
persaudaraan mereka tidak pernah putus. Serta mereka juga
memohon agar memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada
orang yang mampu menaklukkan mereka. Permohonan tersebut
dikabulkan oleh Brahma, sang dewa pencipta.
Akan tetapi kesaktian tersebut justru disalahgunakan untuk
menyerbu kahyangan. Sumali dan kedua saudaranya
menaklukkan para dewa dan daitya. Dengan kekuasaannya,
Sumali meminta Wiswakarma agar membuatkan sebuah kota
indah dan megah. Wiswakarma terpaksa memenuhi
permohonan tersebut dan membangun sebuah kota bernama
Alengka.
Sejak saat itu Sumali dan kedua saudaranya hidup dalam
kemewahan di Kerajaan Alengka. Sumali sendiri memiliki
sepuluh orang putra, bernama Prahasta, Akampana, Wikata,
Kalikamuka, Dumraksa, Dandha, Suparswa, Sanadi dan
Barkarna. Selain itu ia juga memiliki seorang putri bernama
Kaikesi.
Terusir dari Alengka
Masa kejayaan Sumali akhirnya berakhir. Pada suatu hari ia
berhasil dikalahkan oleh para Dewa yang dipimpin Wisnu.
Setelah kehilangan kedua saudaranya, Sumali pun melarikan
diri dan bersembunyi di dasar bumi. Wisnu kemudian
menyerahkan Kerajaan Alengka kepada Kubera putra Wisrawa.
Sumali menyusun siasat untuk merebut kembali negerinya. Ia
menikahkan putrinya, yaitu Kaikesi, dengan Wisrawa sehingga
lahir seorang putra perkasa bernama Dasamuka. Setelah
dewasa, Dasamuka berhasil merebut kembali takhta Alengka
dari tangan Kubera, kakak tirinya. Dasamuka ini kelak terkenal
dengan nama Rahwana, yang merupakan tokoh antagonis
utama dalam naskah Ramayana.
Versi pewayangan
Versi pewayangan, terutama yang berkembang di Jawa
mengisahkan cerita yang sedikit berbeda. Sumali versi ini
disebut putra Puksara, keturunan Hiranyakasipu, pendiri
Kerajaan Alengka. Sumali memiliki permaisuri bernama
Danuwati dari Kerajaan Mantili, yang darinya lahir dua orang
anak bernama Sukesi dan Prahasta.
Meskipun Sumali berwujud raksasa, namun Sukesi dan
Prahasta berwujud manusia seperti ibu mereka. Sukesi yang
gemar sastra tertarik untuk memelajari Sastrajendra
Hayuningrat, sebuah sastra keramat yang sangat langka. Pada
saat itu datang seorang resi yang tidak lain adalah kakak
seperguruan Sumali sendiri, bernama Wisrawa. Kedatangan
Wisrawa adalah untuk melamar Sukesi sebagai istri putranya
yang bernama Danapati.
Sumali menyampaikan keinginan Sukesi yang hanya bersedia
menikah jika ada orang yang bisa mengajarinya Sastrajendra
Hayuningrat. Wisrawa mengaku menguasai sastra tersebut
namun ia tidak berani sembarangan mengajar karena sastra
tersebut sangat keramat. Barangsiapa yang mendengarnya
akan memperoleh pencerahan dan kebahagiaan sejati.
Sumali penasaran dan memohon agar diajari sastra tersebut.
Wisrawa pun mengabulkannya. Akibat mendengar pembacaan
sastra tersebut, Sumali pun berubah wujud menjadi manusia,
bukan lagi raksasa. Sementara itu, Prahasta yang mengintai
tanpa izin justru berubah wujud menjadi raksasa.
Subahu
Dalam wiracarita Ramayana, Subahu (Sanskerta: ;
Subahu) adalah nama seorang raksasa pemakan daging
manusia, hidup di wilayah Dandaka. Ia merupakan putera dari
seorang raksasi bernama Tataka. Bersama dengan saudaranya,
yaitu raksasa Marica, ia membentuk suatu perkumpulan untuk
mengganggu upacara yadnya yang dilakukan oleh para resi.
Biasanya saat Resi Wiswamitra menyelenggarakan upacara
yadnya, Subahu dan Marica beserta tentaranya terbang di
angkasa dan memenuhi langit. Mereka melempar darah dan
daging mentah untuk menodai kesucian sesajen untuk upacara.
Atas permohonan dari Wiswamitra, kedua pangeran yaitu Rama
dan Laksmana bersedia berada di Sidhasrama untuk melindungi
penyelenggaraan yadnya yang dilakukan oleh para resi. Melihat
tindakan Subahu yang jahat, Rama tidak tinggal diam. Ia dan
Laksmana memanah bala tentara raksasa yang terbang di
angkasa. Rama tidak ingin Marica mati, maka ia menyuruh
Laksmana agar melepaskan anak panahnya untuk
menerbangkan Marica ke laut. Untuk Subahu, Rama tidak
memberi ampun. Dengan senjata Agneyastra atau "Senjata
Agni" (panah berapi), tubuh Subahu terbakar sampai menjadi
abu. Melihat pemimpinnya sudah tiada, akhirnya para raksasa
melarikan diri.
Kara (Ramayana)
Kara (Dewanagari: ???; IAST: Khara) adalah raksasa pemakan
manusia dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan adik
sepupu Rahwana. Ia menghuni pos penjagaan raksasa di
Citrakuta yang bernama Janasthan atau Yanasthana.
Makanannya sehari-hari adalah daging manusia, khususnya
para resi yang menghuni daerah sekitar Citrakuta. Bersama
dengan Dusana dan Trisirah, ia meneror hutan Dandaka. Konon
angkatan perangnya tak tertandingi dan selalu memenangkan
pertempuran.
Saat Laksmana melukai Surpanaka, Surpanaka lari mengadu
kepada Kara dan menceritakan keberadaan Rama dan
Laksmana beserta wanita cantik bernama Sita. Kara marah
setelah mendengar pengaduan Surpanaka, kemudian ia
mengerahkan empat belas laskarnya yang terbaik bersama
Surpanaka untuk membunuh Rama dan Laksmana. Namun
prajurit terbaik yang dikerahkan Kara tidak mampu menandingi
Rama. Setelah Rama berhasil menumpas para prajurit raksasa,
Surpanaka kembali lagi ke hadapan Kara dan menceritakan
kegagalannya. Akhirnya Kara memutuskan untuk terjun ke
medan perang bersama raksasa terbaiknya seperti Dusana dan
Trisirah. Sepanjang perjalanan Kara dan pasukannya melihat
tanda-tanda buruk bahwa mereka akan kalah, namun Kara tidak
menghiraukannya dan memberi semangat kepada para
prajuritnya.
Rama yang melihat pasukan raksasa sedang menuju ke
arahnya, menyuruh Laksmana agar mengungsi bersama Sita.
Di tangan Rama, Dusana dan Trisirah tewas tak berkutik. Saat
Kara hendak memanah, terlebih dahulu Rama mematahkan
busurnya menjadi dua. Kemudian Kara mengambil gada dan
melemparkannya ke arah Rama. Oleh panah sakti, gada
tersebut pecah berkeping-keping. Lalu Kara mencabut pohon
besar sampai ke akar-akarnya dan melemparkannya ke arah
Rama, namun Rama menghancurkan pohon tersebut dengan
panahnya. Dengan tubuh luka-luka, Kara hendak menyergap
Rama. Dengan sigap, Rama melompat ke belakang dan tanpa
membuang-buang waktu, ia melepaskan panahnya ke arah
Kara. Panah tersebut menembus dada Kara sehingga ia tewas
seketika.
Kara memiliki putera bernama Makaraksa. Puteranya tersebut
turut bertempur melawan Rama saat tentara wanara menyerbu
Alengka, namun ia gugur di tangan Rama.
Rahwana
Lukisan Sang Rawana,
Raja rakshasa dari
Kerajaan Alengka
Dalam mitologi Hindu, Rahwana (Devanagari: , IAST
Rava?a; kadangkala dialihaksarakan sebagai Raavana dan
Ravan atau Revana) adalah tokoh utama yang bertentangan
terhadap Rama dalam Sastra Hindu, Ramayana. Dalam kisah,
ia merupakan Raja Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis,
ribuan tahun yang lalu.
Rawana dilukiskan dalam kesenian dengan sepuluh kepala,
menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan
sastra. Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama
"Dasamukha" ( , bermuka sepuluh), "Dasagriva"
( , berleher sepuluh) dan "Dasakanta" ( ,
berkerongkongan sepuluh). Ia juga memiliki dua puluh tangan,
menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia
juga dikatakan sebagai ksatria besar.
Asal-usul
Ibu Rahwana bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya
bernama Sumali. Sumali memperoleh anugerah dari Brahma
sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali
berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang
istimewa di dunia. Di antara para resi, Kekasi memilih Wisrawa
sebagai pasangannya. Wisrawa memperingati Kekasi bahwa
bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka
menjadi jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun
diperingatkan demikian. Akhirnya, Rahwana lahir dengan
kepribadian setengah brahmana, setengah rakshasa. Saat lahir,
Rahwana diberi nama "Dasanana" atau "Dasagriwa", dan konon
ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan
bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata
pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada
yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah
simbol bahwa Rahwana memiliki kekuatan sepuluh tokoh
tertentu.
Tapa kepada Brahma
Saat masih muda, Rahwana mengadakan tapa memuja Dewa
Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan
pemujaannya, brahma muncul dan mempersilakan Rahwana
mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut,
Rahwana memohon agar ia hidup abadi, namun permohonan
tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai gantinya, Rahwana
memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu
unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, rakshasa, detya,
danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap
remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap
mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma
mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian
menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.
Raja Alengka
Patung "Totsakanth"
(Ravana) sebagai penjaga
di Wat Phra Kaew,
Thailand.
Setelah memperoleh
anugerah Brahma,
Rahwana mencari
kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin
tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju
Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh
seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera,
Dewa kekayaan. Kubera juga merupakan putera Wisrawa, dan
bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anakanak
Kekasi. Namun Rahwana menuntut agar seluruh Alengka
menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan
kekerasan. Wisrawa menasihati Kubera agar memberikannya,
sebab sekarang Rahwana tak tertandingi.
Ketika Rahwana merampas Alengka untuk memulai
pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses
dan murah hati. Alengka berkembang di bawah
pemerintahannya. Konon rumah yang paling miskin sekalipun
memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di
kerajaan tersebut.
Bakti kepada Siwa
Rahwana mengangkat gunung
Kailasha. Relief dari Gua
Ellora, Maharashtra.
Setelah keberhasilannya di
Alengka, Rahwana mendatangi
Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari,
Rahwana mencoba mencabut gunung tersebut dan
memindahkannya sambil main-main. Siwa yang merasa kesal
dengan kesombongan Rahwana, menekan Kailasha dengan jari
kakinya, sehingga Rahwana tertindih pada waktu itu juga.
Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rahwana, pada
siapa ia harus bertobat. Lalu Rahwana menciptakan dan
menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia
melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa
membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian
dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan,
khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedangbulan),
pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rahwana
menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rahwana terkenal dengan
tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama "Shiva
Tandava Stotra". Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh
nama 'Rahwana', berarti "(Ia) Yang raungannya dahsyat",
diberikan kepadanya oleh Siwa – konon bumi sempat
berguncang saat Rahwana menangis kesakitan karena ditindih
gunung.
Raja di tiga dunia
Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rahwana melakukan
penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat
(asura – rakshasa – detya – danawa), dan makhluk surgawi.
Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia
mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rahwana sendiri
menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu
mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin
persahabatan dengan mereka. Setelah menaklukkan para raja
dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat
sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rahwana yang
kejam dan tamak, Rahwana mengerahkan pasukannya
menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak
dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus.
Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk
surgawi, dan bangsa naga.
Istri dan wanita
Rahwana menculik Sita dan
membunuh Jatayu. Lukisan
karya Raja Ravi Varma.
Selain terkenal sebagai
penakluk tiga dunia, Rahwana
juga terkenal akan
petualangannya menaklukkan
para wanita. Rahwana memiliki
banyak istri, yang paling
terkenal adalah Mandodari,
putera Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema.
Ramayana mendeskripsikan bahwa istana Rahwana dipenuhi
oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru
dunia. Dalam Ramayana juga dideskripsikan bahwa di Alengka,
semua wanita merasa beruntung apabila Rahwana
menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah
pertemuan Rahwana dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Wedawati, seorang pertapa
wanita. Wedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu
agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rahwana melihat
kecantikan Wedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia
meminta Wedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia
merayu Wedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena
Wedawati menolak, Rahwana mencoba untuk melarikannya.
Kemudian Wedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali
sebagai penyebab kematian Rahwana. Setelah berkata
demikian, Wedawati membuat api unggun dan menceburkan diri
ke dalamnya. Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi
sebagai Sita, yang diculik oleh Rahwana sehingga Rama turun
tangan dan membunuh Rahwana.
Penculikan Sita
Setelah pos jaga para raksasa di Yanasthana dihancurkan oleh
Rama dan Laksmana, berita tersebut disampaikan kepada
Rahwana. Menteri Rahwana yang bernama Akampana
menyarankan agar Rahwana mau menculik Sita, namun niat
tersebut ditolak oleh Marica. Setelah adik perempuan Rahwana
yang bernama Surpanaka mengadu bahwa dua orang kesatria
telah melukainya, Rahwana marah besar. Ia segera menuju ke
kediaman Marica untuk meminta bantuan, tanpa mempedulikan
nasihat baik dari Marica. Setelah rencana disusun, Marica
menyamar menjadi kijang kencana untuk mengalihkan perhatian
Rama, sedangkan Rahwana menyamar menjadi seorang
brahmana tua yang lemah. Ketika Rama dan Laksmana berada
jauh, Rahwana segera menjangkau Sita, dan setelah itu Sita
dibawa kabur. Sita disekap di taman Asoka, letaknya di dalam
lingkungan istana Rahwana di kerajaan Alengka. Di sana,
Rahwana berkali-kali mencoba merayu Sita namun tidak pernah
berhasil.
Pertempuran dan kematian
Adegan Rahwana bertarung
dengan Rama. Lukisan dari
Tamil Nadu, dibuat sekitar
abad ke-19.
Tindakan Rahwana
mengundang kemarahan
Rama. Dengan bantuan dari
raja wanara bernama
Sugriwa, Rama
menggempur Alengka.
Untuk mengantisipasi
serangan Rama, Rahwana mengirimkan pasukan terbaiknya
yang dipimpin oleh raksasa-raksasa kuat. Serangan pertama
dilakukan oleh Hanoman pada saat ia datang ke Alengka
sebagai mata-mata untuk menemui Sita. Dalam pertempuran
tersebut, putera Rahwana yang bernama Aksayakumara gugur.
Dalam pertempuran selanjutnya, para menteri dan kerabat
Rahwana gugur satu persatu, termasuk Indrajit putera Rahwana
dan Kumbakarna adik Rahwana.
Pada hari pertempuran terakhir, Rahwana maju ke medan
perang sendirian dengan menaiki kereta kencana yang ditarik
delapan ekor kuda terpilih. Ketika ia keluar dari Alengka, langit
menjadi gelap oleh gerhana matahari yang tak terduga.
Beberapa orang berkata bahwa itu merupakan pertanda buruk
bagi Rahwana yang tidak menghiraukannya sama sekali.
Pertempuran terakhir antara Rama dengan Rahwana
berlangsung dengan sengit. Pada pertempuran itu, Rama
menaiki kereta Indra dari sorga, yang dikemudikan oleh Matali.
Setiap Rama mengirimkan senjatanya untuk menghancurkan
Rahwana, raksasa tersebut selalu dapat bangkit kembali
sehingga membuat Rama kewalahan. Untuk mengakhiri riwayat
Rahwana, Rama menggunakan senjata Brahmastra yang tidak
biasa. Senjata tersebut menembus dada Rahwana dan
merenggut nyawanya seketika.
Salah satu versi Ramayana menceritakan bahwa Rahwana
tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan sekalipun,
sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pancasona. Untuk
mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata sakti
yang dapat berbicara bernama Kyai Dangu. Senjata tersebut
mengikuti kemana pun Rahwana pergi untuk menyayat kulitnya.
Setelah Rahwana tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia
memutuskan untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar.
Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan kedua gunung itu
menghimpit badan Rahwana sehingga raja raksasa itu tidak
berkutik. Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala
dari Sondara dan Sondari, yaitu putera kembar Rahwana yang
dibunuh untuk mengelabui Sita. Versi ini ditampilkan oleh R. A.
Kosasih dalam komik Ramayana karyanya.
Keluarga
Rahwana memiliki banyak kerabat dan saudara yang
disebutkan dalam Ramayana. Karena sulit menemukan datadata
mengenai mereka selain Ramayana, tidak banyak yang
diketahui tentang mereka. Menurut Ramayana, ibu Rahwana
adalah puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang
pertapa bernama Wisrawa. Rahwana memiliki kakek bernama
Pulastya, putera Brahma. Dari pihak ibunya, Rahwana memiliki
kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica,
putera Tataka, saudara Malyawan. Rahwana memiliki tiga istri,
dan tujuh putera.
Putera
Tujuh putera Rahwana yaitu:
1. Indrajit alias Megananda
2. Prahasta
3. Atikaya
4. Aksa alias Aksayakumara
5. Dewantaka
6. Narantaka
7. Trisirah
Saudara
Selain itu, Rahwana memiliki enam saudara laki-laki dan dua
saudara perempuan. Saudara-saudaranya tersebut terdiri dari
tiga saudara kandung dan lima saudara tiri. Saudara-saudara
Rahwana yaitu:
1. Kubera, kakak tiri Rahwana, lain ibu namun satu ayah.
Raja Alengka sebelum Rahwana. Ia merupakan dewa
penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan.
2. Kumbakarna, adik kandung Rahwana. Rakshasa yang
tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan
karena anugerah Brahma.
3. Wibisana, adik kandung Rahwana. Penasihat di Kerajaan
Alengka.
4. Kara, adik tiri Rahwana. Raja dan pelindung perbatasan
Alengka yang bernama Janasthan atau Yanasthana di
Chitrakuta.
5. Dusana, adik tiri Rahwana. Patih di Yanasthana.
6. Ahirawana, adik tiri Rahwana. Raja di Patala.
7. Kumbini, adik tiri Rahwana. Istri rakshasa Madhu, ibu dari
Lawanasura.
8. Surpanaka, adik kandung Rahwana. Rakshasi yang
tinggal di Yanasthana, dilukai oleh Laksmana. Ia
mengadu kepada Kara dan Rahwana, dan merupakan
biang keladi yang menyebabkan permusuhan antara
Rama dan Rahwana.
Kumbakarna
Kumbakarna versi pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna (Sansekerta:
; Kumbhakar?a) adalah saudara kandung
Rahwana, raja rakshasa dari Alengka. Kumbakarna merupakan
seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan,
tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan
kakaknya yang salah. Ia memiliki suatu kelemahan, yaitu tidur
selama enam bulan, dan selama ia menjalani masa tidur, ia
tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Arti nama
Dalam bahasa Sansekerta, secara harafiah nama Kumbhakarna
berarti "bertelinga kendi".
Keluarga
Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Wisrawa, dan
ibunya adalah Kekasi, puteri seorang Raja Detya bernama
Sumali. Rahwana, Wibisana dan Surpanaka adalah saudara
kandungnya, sementara Kubera, Kara, Dusana, Kumbini,
adalah saudara tirinya. Marica adalah pamannya, putera
Tataka, saudara Sumali. Kumbakarna memiliki putera bernama
Kumba dan Nikumba. Kedua puteranya itu gugur dalam
pertempuran di Alengka. Kumba menemui ajalnya di tangan
Sugriwa, sedangkan Nikumba gugur di tangan Hanoman.
Anugerah Brahma
Saat Rahwana dan Kumbakrana mengadakan tapa, Dewa
Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang
mereka lakukan. Brahma memberi kesempatan bagi mereka
untuk mengajukan permohonan. Saat tiba giliran Kumbakarna
untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke
dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia
memohon "Indraasan" (Indrasan – tahta Dewa Indra), ia
mengucapkan "Neendrasan" (Nindrasan – tidur abadi). Brahma
mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang
terhadap adiknya, Rahwana meminta Brahma agar
membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan untuk
membatalkan anugrahnya, namun ia meringankan anugrah
tersebut agar Kumbakarna tidur selama enam bulan dan
bangun selama enam bulan. Pada saat ia menjalani masa tidur,
ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Peran di Alengka
Kumbakarna sering memberikan nasihat kepada Rahwana,
menyadarkan bahwa tindakanya keliru. Ketika Rahwana
kewalahan menghadapi Sri Rama, maka ia menyuruh
Kumbakarna menghadapinya. Kumbakarna sebenarnya tahu
bahwa kakaknya salah, tetapi demi membela Alengka tanah
tumpah darahnya dia pun maju sebagai prajurit melawan
serbuan Rama. Kumbakarna sering dilambangkan sebagai
perwira pembela tanah tumpah darahnya, karena ia membela
Alengka untuk segala kaumnya, bukan untuk Rahwana saja,
dan ia berperang melawan Rama tanpa rasa permusuhan,
hanya semata-mata menjalankan kewajiban.
Pertempuran dan kematian
Saat Kerajaan Alengka diserbu oleh Rama dan sekutunya,
Rahwana memerintahkan pasukannya untuk membangunkan
Kumbakarna yang sedang tertidur. Utusan Rahwana
membangunkan Kumbakarna dengan menggiring gajah agar
menginjak-injak badannya serta menusuk badannya dengan
tombak, kemudian saat mata Kumbakarna mulai terbuka,
utusannya segera mendekatkan makanan ke hidung
Kumbakarna. Setelah menyantap makanan yang dihidangkan,
Kumbakarna benar-benar terbangun dari tidurnya.
Setelah bangun, Kumbakarna menghadap Rahwana. Ia
mencoba menasihati Rahwana agar mengembalikan Sita dan
menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan kakaknya itu
adalah salah. Rahwana sedih mendengar nasihat tersebut
sehingga membuat Kumbakarna tersentuh. Tanpa sikap
bermusuhan dengan Rama, Kumbakarna maju ke medan
perang untuk menunaikan kewajiban sebagai pembela negara.
Sebelum bertarung Kumbakarna berbincang-bincang dengan
Wibisana, adiknya, setelah itu ia berperang dengan pasukan
wanara.
Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan
wanara dan banyak melukai prajurit pilihan seperti Anggada,
Sugriwa, Hanoman, Nila, dan lain-lain. Dengan panah saktinya,
Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan
kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan
wanara. Kemudian Rama memotong kedua kaki Kumbakarna
dengan panahnya. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna
mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara.
Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan
kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama.
Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah
tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan
membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka.
Mandodari
Dalam wiracarita Ramayana, Mandodari (Sansekerta:
; Mandodari) adalah nama puteri seorang Danawa
bernama Mayasura, dengan seorang bidadari bernama Hema.
Konon Mandodari sangat cantik. Ia merupakan istri pertama
Rahwana, dan merupakan ibu dari Indrajit. Kampung
halamannya diduga terletak di Mandodari, ibukota negara
bagian Jodhpur di India pada zaman kuno. Konon disana pula
para keturunan Rahwana bermigrasi setelah kematian
Rahwana.
Saat Rahwana menculik istri Rama yang bernama Sita,
Mandodari memberi nasihat agar Sita dikembalikan kepada
Rama. Namun Rahwana bersikeras untuk tidak mengembalikan
Sita, bahkan siap berperang dengan Rama. Akhirnya Rahwana
gugur di tangan Rama. Mandodari menangis dan meratap ketika
melihat suaminya tersebut telah gugur. Kemudian, ia dirawat
oleh Wibisana, adik Rahwana.
Mayasura
Dalam mitologi Hindu, Maya ( ), atau Mayasura ( )
adalah raja besar yang menguasai ras Asura, Daitya dan
Rakshasa di muka bumi. Ia juga merupakan arsitek mahir bagi
penduduk di bawah tanah. Ia juga membangun istana megah di
Indraprastha. Ia berguru kepada Sukracarya, guru para daitya
dan asura.
Ramayana
Dalam Ramayana, Mayasura merupakan ayah dari Mandodari,
istri Rahwana. Ia membangun sebuah istana megah di tengah
gua. Hanoman bersama para wanara menjumpai istana tersebut
dalam kitab Sundarakanda. Di tengah gua tersebut, hidup
seorang wanita bernama Swayampraba. Wanita itu menolong
Hanoman dan para wanara agar sampai di pantai selatan India.
Mahabharata
Dalam Mahabharata, pada saat Pandawa membuka sebuah
hutan untuk dijadikan kota Indraprastha, Kresna memanggil
Wiswakarma untuk menciptakan kota dengan struktur megah.
Mayasura turut serta dalam pekerjaan itu dengan membangun
sebuah balairung besar bernama Mayasabha untuk Raja
Yudistira pada saat pembangunan kota Indraprastha.
Indrajit
Kemenangan Indrajit.
Lukisan karya Raja Ravi
Varma.
Indrajit (Sanskerta: ; Indrajit) atau Megananda
(Sanskerta: ; Méghanada) adalah nama seorang
tokoh antagonis dalam wiracarita Ramayana yang dikenal
sebagai putra sulung Rahwana sekaligus putra mahkota
Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan ksatria yang sakti
mandraguna. Dalam perang melawan pasukan Wanara, ia
pernah melepaskan senjata Nagapasa yang keampuhannya
mampu melumpuhkan Sri Rama. Setelah melalui pertempuran
seru, ia akhirnya tewas di tangan Laksmana adik Rama.
Asal-usul
Indrajit adalah putra Rahwana, raja bangsa Rakshasa dari
Kerajaan Alengka. Ibunya bernama Mandodari putri Asura
Maya. Sewaktu lahir, Indrajit diberi nama Megananda karena
tangisan pertamanya diiringi suara petir menggelegar, pertanda
kelak ia akan tumbuh menjadi seorang kesatria besar.
Ketika dewasa, Megananda pernah membantu ayahnya
bertempur melawan para dewa kahyangan. Dalam pertempuran
itu, Megananda berhasil menangkap dan menawan Indra, raja
para dewa. Dewa Brahma muncul melerai. Indra pun
dibebaskan oleh Megananda. Sebagai gantinya ia mendapatkan
pusaka ampuh dari Brahma bernama Brahmasta. Brahma juga
memberikan julukan Indrajit kepada Megananda yang bermakna
"Penakluk Indra".
Pertempuran di Alengka
Perang besar di Alengka meletus karena ulah Rahwana
menculik Sita istri Sri Rama. Rama bekerja sama dengan
bangsa Wanara yang dipimpin Sugriwa menyerbu istana
Alengka.
Satu per satu panglima Alengka terbunuh. Indrajit tampil
sebagai andalan ayahnya. Ia bertarung melawan seorang
Wanara muda bernama Anggada putra Subali. Anggada
berhasil menghancurkan kereta Indrajit sehingga pasukannya
pun bersorak "Jaya Anggada! Jaya anggada".
Indrajit yang sangat malu mengerahkan pusaka Nagapasa yang
mampu mengeluarkan ribuan ular berbisa. Rama dan Laksmana
roboh tak berdaya dililit ular-ular tersebut. Sewaktu para Wanara
berduka karena kehilangan pemimpin mereka, tiba-tiba muncul
Garuda mengusir ular-ular yang melilit kakak-beradik tersebut.
Kebangkitan Rama dan Laksmana membuat pertempuran
berlanjut. panglima-panglima Alengka semakin banyak yang
tewas. Akhirnya hanya tinggal Indrajit yang menjadi andalan
Rahwana. Ia melepaskan pusaka Brahmasta mengenai
Laksmana sehingga roboh sekarat.
Kematian
Laksmana bangkit kembali setelah diobati Rama menggunakan
tanaman yang dibawa Hanoman. Pasukan Wanara kembali
bergerak menyerbu istana Alengka. Indrajit menciptakan Sita
palsu untuk dibunuhnya di hadapan para Wanara. Melihat istri
Rama tewas, para Wanara kehilangan semangat bertempur.
Mereka menganggap tujuan peperangan sudah tidak ada lagi.
Wibisana (adik Rahwana yang memihak Rama) menyadari
kalau Inrajit sedang menyelenggarakan ritual untuk
mendapatkan kekuatan. Ia meminta Laksmana untuk
menggagalkan ritual Indrajit sebelum mencapai kesempurnaan.
Laksmana disertai para prajurit Wanara mendatangi tempat
ritual Indrajit. Konsentrasi Indrajit terganggu dan ritualnya pun
dihentikan. Ia kemudian bertarung menghadapi Laksmana.
Laksmana pun melepaskan panah Indrastra dengan
mengucapkan doa atas nama Rama. Panah tersebut melesat
memenggal kepala Indrajit.
Versi pewayangan
Menurut versi pewayangan Jawa, Indrajit bukan putra kandung
Rahwana, melainkan hasil ciptaan Wibisana. Saat itu istri
Rahwana yang bernama Dewi Kanung sedang mengandung
bayi perempuan reinkarnasi seorang pertapa wanita bernama
Widawati. Rahwana bersumpah akan menikahi putrinya itu jika
kelak lahir, karena Widawati merupakan cinta pertamanya.
Ketika Kanung melahirkan, Rahwana sedang berada di luar
istana. Wibisana segera mengambil bayi perempuan tersebut
dan dihanyutkan ke sungai dalam sebuah peti. Bayi itu terbawa
arus sampai ke Kerajaan Mantili dan ditemukan oleh raja negeri
tersebut yang bernama Janaka. Janaka memungut bayi putri
Rahwana tersebut sebagai anak angkat dengan diberi nama
Sinta.
Sementara itu, Wibisana menciptakan bayi laki-laki dari
segumpal awan yang diberi nama Indrajit. Bayi Indrajit
diserahkan kepada Rahwana. Rahwana kecewa dan berniat
membunuh Indrajit. Ternyata semakin dihajar Indrajit justru
semakin tumbuh dewasa. Rahwana berubah pikiran dan
mengakuinya sebagai anak.
Indrajit kemudian bertempat tinggal di Kasatrian Bikukungpura.
Istrinya seorang bidadari bernama Dewi Indrarum.
Dalam perang besar melawan bala tentara Sri Rama, Indrajit
mengerahkan pusaka Nagapasa. Muncul ribuan ular menyerang
pasukan Wanara. Namun semua itu dapat ditaklukkan oleh
burung Garuda ciptaan Laksmana. Indrajit kemudian
mengerahkan ilmu Sirep Begananda, membuat Rama,
Laksmana, dan seluruh pengikut mereka roboh tak berdaya.
Mereka tertidur bagaikan orang mati.
Hanya Wibisana dan Hanoman yang tetap terjaga. Hanoman
berangkat ke Gunung Maliyawan untuk mengambil tanaman
Sandilata, sedangkan Wibisana menghadapi Indrajit. Wibisana
menceritakan asal-usul Indrajit yang sebenarnya. Indrajit
akhirnya sadar bahwa selama ini ia bersalah telah membela
angkara murka Rahwana. Ia pun meminta agar Wibisana
mengembalikan dirinya ke asal-muasalnya.
Indrajit kemudian mengheningkan cipta, sedangkan Wibisana
melepaskan pusaka Dipasanjata ke arahnya. Tubuh Indrajit pun
musnah seketika, dan kembali menjadi awan putih di angkasa.
Prahasta
Prahasta (Sansekerta: , Prahastha) adalah nama
seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana yang dikenal
sebagai paman Rahwana sekaligus pembesar Kerajaan
Alengka. Ia merupakan tokoh bijaksana yang sering
memberikan nasihat-nasihat berharga kepada Rahwana.
Prahasta akhirnya gugur membela negerinya ketika berperang
melawan Anila dari bangsa Wanara.
Versi Ramayana
Versi Ramayana menyebut Prahasta sebagai putra tertua
Sumali, raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka. Ia
memiliki saudara perempuan bernama Kaikesi yang melahirkan
Rahwana. Di bawah pemerintahan Rahwana, Prahasta
bertindak sebagai pejabat senior yang sering memberikan
nasihat-nasihat kepada keponakannya itu dalam menjalankan
roda pemerintahan.
Ketika Kerajaan Alengka diserang oleh bangsa Wanara yang
dipimpin oleh Sri Rama, Prahasta maju sebagai panglima
menghadapi mereka. Perang tersebut meletus karena istri
Rama yang bernama Sita diculik oleh Rahwana. Nasihat-nasihat
Prahasta agar Sita dikembalikan sama sekali tidak dituruti oleh
Rahwana. Prahasta pun terpaksa maju perang demi membela
tanah airnya yang diserang musuh, bukan untuk membela
Rahwana.
Prahasta akhirnya gugur di tangan seorang perwira Wanara
bernama Nila. Melalui pertarungan sengit Nila berhasil
menghancurkan tubuh Prahasta menggunakan sebongkah batu
karang yang sangat besar.
Versi pewayangan
Dalam versi pewayangan, khususnya di Jawa, Prahasta
menjabat sebagai patih dalam pemerintahan Rahwana. Ia
dikenal bijaksana namun kurang didengarkan nasihatnasihatnya
oleh keponakannya itu.
Nama asli Prahasta adalah Sukesa. Ia memiliki kakak
perempuan bernama Sukesi. Keduanya lahir dari rahim putri
Kerajaan Mantili bernama Danuwati yang dinikahi oleh Sumali
raja Kerajaan Alengka. Meskipun Sumali berwujud raksasa,
namun Sukesi dan Sukesa terlahir berwujud manusia seperti ibu
mereka.
Pada suatu hari datang seorang resi sahabat Sumali bernama
Wisrawa yang hendak melamar Sukesi sebagai menantunya.
Wisrawa memiliki seorang putra bernama Danapati yang
mendambakan Sukesi sebagai istrinya. Namun Sukesi hanya
mau menikah dengan orang yang bisa mengajarkan ilmu
pencerahan bernama Sastrajendra Hayuningrat.
Wisrawa mengaku menguasai ilmu tersebut namun tidak bisa
sembarangan mengajarkannya. Sumali yang tertarik setelah
mengetahui khasiat ilmu tersebut memohon agar dirinya diajari
ilmu tersebut. Dalam sebuah sanggar tertutup Wisrawa
mengajarkan ilmu Sastrajendra Hayuningrat kepada Sumali.
Sumali pun memperoleh pencerahan dan berubah wujud
manjadi manusia.
Sementara itu Sukesa yang penasaran mengintai dari luar.
Karena mencuri dengar tanpa izin, tubuhnya pun berubah wujud
menjadi raksasa. Sejak saat itu ia memakai nama Prahasta.
Singkat cerita, karena suatu kesalahan, Sukesi justru menikah
dengan Wisrawa, bukan dengan Danapati. Dari perkawinan itu
lahir Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana.
Dalam pemerintahan Rahwana yang naik takhta menggantikan
Sumali, Prahasta diangkat sebagai patih. Prahasta seringkali
memberikan nasihat-nasihat bijaksana namun tidak pernah
diperhatikan oleh keponakannya yang bersifat angkara murka
tersebut.
Dalam perang besar melawan Sri Rama, Rahwana naik ke
kahyangan menemui kakak tirinya, yaitu Danapati yang telah
menjadi dewa bergelar Batara Kuwera. Kuwera ditugasi Batara
Guru untuk menjaga bunga pusaka bernama Kembang
Dewaretna yang konon menjadi kunci kekalahan bangsa
Wanara yang mendukung Sri Rama.
Setelah melalui pertarungan seru akhirnya Rahwana berhasil
merebut Kembang Dewaretna. Kuwera hanya bisa mengambil
seekor kumbang yang menghuni jambangan bunga pusaka
tersebut. Ia mencipta kumbang itu menjadi seekor Wanara
bernama Kapi Pramuja.
Pramuja kemudian turun ke dunia untuk meminta restu Sri
Rama agar berhasil merebut kembali Kembang Dewaretna.
Setelah itu ia pun menyusup ke dalam gedung pusaka di dalam
istana Alengka tempat Rahwana menyimpan bunga tersebut.
Prahasta yang ditugasi Rahwana menjaga Kembang Dewaretna
berhasil diperdaya oleh ilmu sirep Pramuja sehingga sempat
tertidur sejenak. Ketika ia bangun Kembang Dewaretna telah
hilang dicuri Pramuja.
Rahwana marah besar atas kelalaian Prahasta. Prahasta pun
berangkat mengejar Pramuja. Di tengah jalan ia harus
bertempur menghadapi barisan prajurit Wanara yang dipimpin
oleh Anila. Anila juga berpangkat patih dalam pemerintahan
Sugriwa, raja kaum Wanara.
Dalam pertempuran itu, Anila terdesak oleh Prahasta. Banyak
prajuritnya yang tewas di tangan raksasa tua tersebut. Ia sendiri
sudah kehabisan tenaga dan memilih melarikan diri menghindari
amukan Prahasta. Di perbatasan kota Alengka Anila menjumpai
tugu besar dan menggunakannya untuk memukul kepala
Prahasta. Prahasta pun tewas dengan tubuh hancur lumat.
Tugu yang dijebol Anila dan digunakannya untuk membunuh
Prahasta tersebut berubah menjadi seorang bidadari bernama
Indradi, yang tidak lain adalah ibu kandung Sugriwa. Ia
merupakan istri seorang resi bernama Gotama yang telah
mengutuknya menjadi tugu karena berselingkuh dengan Batara
Surya. Kematian Prahasta oleh pukulan Anila telah membuat
Indradi terbebas dari kutukan suaminya.
Aksayakumara
Dalam wiracarita Ramayana, Aksa (Sansekerta: ; Ak a)
alias Aksayakumara (Sansekerta: ;
Ak ayakumara) atau Aksakumara adalah seorang rakshasa,
putera Rahwana. Ia mahir dalam bertarung dan menggunakan
senjata panah. Ramayana mendeskripsikan Aksayakumara
sebagai seorang ksatria yang bertarung dengan sportif dan tidak
meremehkan lawan.
Aksayakumara dalam Ramayana
Saat Hanoman pergi untuk menemui Dewi Sita yang ditawan di
Alengka oleh Rahwana, ia membuat kekacauan di taman
Asoka. Mengetahui bahwa taman kesayangannya dirusak oleh
seekor wanara, Rahwana mengerahkan tentaranya bersama
Aksayakumara untuk menaklukkan wanara tersebut. Dengan
menaiki kereta perang yang diperolehnya melalui tapa,
Aksayakumara pergi menunaikan tugasnya. Ketika ia melihat
Hanoman duduk dengan gagah perkasa di puncak pintu
gerbang, Aksayakumara merasa bahwa ia harus mengerahkan
seluruh kekuatannya. Karena sama-sama sakti, Hanoman dan
Aksayakumara terlibat dalam duel sengit. Aksayakumara
menghujani Hanoman dengan panah tajam, namun Hanoman
berhasil menangkis serangan Aksayakumara msekipun
beberapa anak panah melukai tubuhnya.
Melihat Aksayakumara melakukan perlawanan yang sportif,
Hanoman merasa kagum dengan raksasa muda tersebut dan
merasa enggan untuk membunuhnya. Namun demi kewajiban,
Hanoman menyerang Aksayakumara sehingga keretanya
hancur berkeping-keping. Kuda dan kusirnya tidak berkutik.
Tanpa kereta, Aksayakumara berdiri di tanah dan melepaskan
anak panahnya ke arah Hanoman, namun Hanoman mampu
berkelit. Setelah pertarungan sengit berlangsung lama,
Hanoman meremukkan tulang-tulang Aksayakumara sampai
hancur sehingga ia tewas seketika.
Atikaya
Dalam wiracarita Ramayana, Atikaya (Sansekerta: ;
Atikaya) adalah putera Rahwana dengan istri keduanya,
Danyamalini. Atikaya merupakan adik Indrajit dan bertenaga
sangat kuat. Ia belajar segala rahasia dalam ilmu memanah dan
mendapat senjata ilahi dari Dewa Siwa ketika ia menangkap
Trisula Dewa Siwa di Gunung Kailasha.
Meski kekuatannya sangat luar biasa, ia dibunuh oleh
Laksmana dengan senjata Brahmastra, panah sakti pemberian
Dewa Brahma. Cara tersebut diberitahu oleh Dewa Bayu atas
bujukan Dewa Indra, sebab Atikaya memakai baju zirah tak
terdandingi yang didapat dari Dewa Brahma. Satu-satunya cara
untuk menghancurkan baju zirah tersebut adalah dengan
menggunakan senjata Brahmastra. Kisah kematiannya dimuat
dalam kitab Yuddhakanda.
Trisirah
Trisirah (bahasa Sansekerta: ; Trishira) merupakan
anak Prabu Dasamuka (Rahwana), Raja Alengka. Ia merupakan
adik Indrajit. Namanya dalam bahasa Sansekerta berarti "(Dia)
Yang memiliki tiga kepala".
Ia bertarung dengan Rama dan menyerang dengan ratusan
panah. Menerima serangan itu, Rama berkata bahwa panah
yang dilepaskannya tidak terasa apa-apa melainkan seperti
bunga yang ditaburkan ke tubuh Rama. Kemudian pertarungan
diakhiri, dan akhirnya Rama berhasil membunuh Trisirah.
Lawa
Lawa (Sanskerta: ), dan saudara kembarnya yang bernama
Kusa, adalah putera-putera dari Rama dan Sita, yang
diceritakan dalam kitab Ramayana. Menurut legenda, ia
merupakan pendiri kota Lahore. Lawa dan Kusa lahir setelah
Sita dibuang ke tengah hutan oleh Rama, dalam keadaan hamil
tua. Di masa pembuangan, Sita tinggal di asrama Walmiki.
Disanalah Lawa dan Kusa lahir. Mereka dididik oleh Walmiki
dalam ilmu sastra maupun ilmu militer.
Ketika Rama menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, Lawa
dan Kusa menantang Rama (yang tidak mengetahui identitas
mereka) untuk berduel dengan taruhan kuda sebagai pelengkap
upacara Aswamedha Yadnya. Ketika Rama mengetahui siapa
Lawa dan Kusa sebenarnya, ia mengajak mereka ke Ayodhya.
Lawa dan Kusa tumbuh sebagai pemimpin besar seperti ayah
mereka. Kemudian mereka mendirikan kota Lahore and Kasur.
Kusa (Ramayana)
Rama melawan Kusa dan Lawa.
Kusha (bahasa Sanskerta: ?? ? ,
Tamil: Kuchan, Melayu: Gusi,
Thai: Mongkut, Khmer:
Ramalaks), dalam mitologi
Hindu, adalah salah satu putra
kembar Rama dan Sita (yang
lainnya bernama Lawa). Terlahir
di hutan setelah Sita diusir dari
Ayodhya, mereka dididik dan
diajari ilmu militer di bawah
bimbingan Resi Walmiki.
Saat Rama menyelenggarakan yadnya (upacara) Ashwamedha,
mereka menantang ayahnya sendiri (yang pada saat itu tidak
mereka ketahui) dalam sebuah duel dengan menawan kuda
yang dipakai persembahan. Setelah Rama mengetahui identitas
mereka, ia mengajak mereka kembali ke Ayodhya.
Kusa juga dipanggil "Kush," dan dipercaya sebagai pemimpin
kerajaan yang berpusat di Kasur pada zaman dahulu.[1]
Kerajaan Alengka
Kerajaan Alengka atau Lanka (Sansekerta: ; "lanka",
berarti “pulau”) adalah nama sebuah kerajaan pada sebuah
pulau di selatan India yang diperintah oleh Raja Rawana pada
zaman Ramayana. Pada zaman sekarang, kerajaan tersebut
dikenal dengan nama Sri Lanka. Kerajaan tersebut dibentengi
oleh sebuah plato di antara tiga puncak gunung yang dikenal
sebagai Gunung Trikuta. Puncak yang tertinggi dari gunung
tersebut dikenal dengan puncak Adam. Ibukota Kerajaan
Alengka pada zaman kuno pernah dibakar oleh Hanuman.
Setelah Rawana dibunuh oleh Rama Ragawa, tahta kerajaan
tersebut diserahkan kepada adik Rawana, Wibisana. Setelah
itu, tahta kerajaan selalu dipegang oleh keturunannya, bahkan
sampai pada zaman Mahabharata. Dalam kisah Mahabharata,
Sahadewa mengunjungi negeri tersebut untuk mengambil upeti
dalam rangka mendukung upacara Rajasuya yang
diselenggarakan oleh Raja Yudistira.
Versi Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, kerajaan Alengka sering dieja
dengan nama Ngalengkadiraja. Kerajaan ini identik dengan
Rahwana, tokoh antagonis dalam Ramayana.
Raja Pertama
Raja pertama Alengka adalah Prabu Hiranyakasipu. Ia terlibat
peperangan melawan Sri Maharaja Sunda, yaitu raja Jawa
Barat penjelmaan Batara Brahma. Hiranyakasipu akhirnya mati
di tangan Sri Maharaja Suman, penjelmaan Batara Wisnu.
Hiranyakasipu kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Banjaranjali, yang menyerah kepada Brahma dan
Wisnu.
Raja Terakhir
Raja terakhir Alengka adalah Rahwana. Karena ulahnya
menculik Sinta istri Rama, ia pun mengalami kehancuran.
Sepeninggal Rahwana, takhta Alengka jatuh ke tangan adiknya,
yaitu Wibisana. Sesuai tradisi Jawa bahwa istana lama yang
telah dirusak musuh pantang untuk ditempati, maka ia pun
membangun istana baru bernama Singgelapura.
Sejak pemerintahan Wibisana, kerajaan Alengka pun berganti
nama menjadi Kerajaan Singgelapura.
Wanara
Lukisan Rama bertemu
dengan Sugriwa, Tara (istri
Sugriwa), dan para wanara.
Ilustrasi untuk kitab
Ramayana.
Dalam mitologi Hindu,
Wanara (Sanskerta: ; Vanara) berarti "manusia berekor
monyet". Istilah ini sangat terkenal untuk merujuk kepada ras
manusia-kera dalam wiracarita Ramayana yang memiliki sifat
gagah berani dan selalu ingin tahu. Istilah Wanara juga bisa
merupakan kependekan dari "Wana-nara" (manusia (nara) yang
hidup di hutan (wana)). Wiracarita Mahabharata
menggambarkan mereka sebagai suku yang hidup di tengahtengah
hutan. Mereka dijumpai oleh Sadewa, seorang jendral
Pandawa yang memimpin kampanye militer ke India Selatan.
Menurut Ramayana, para Wanara umumnya tinggal di Kiskenda
yang di masa sekarang terletak di wilayah India Selatan, di
tengah hutan Dandaka, dimana Sri Rama menjumpai mereka
saat berpetualang mencari Sita. Para wanara menolong Rama
mencari Sita, dan juga turut bertarung melawan Rahwana, sang
penculik Sita.
Seperti yang digambarkan dalam wiracarita, ciri-ciri wanara
misalnya suka bersenang-senang, kekanak-kanakan, ringan
tangan, suka bercanda, hiperaktif, gemar berpetualang, jujur
nan polos, setia, berani, dan ramah. Mereka lebih pendek
daripada tinggi manusia pada umumnya dan tubuh mereka
ditutupi oleh bulu yang cerah, umumnya berwarna cokelat.
Wanara yang terbesar dan terkenal adalah Hanoman, abdi setia
Sri Rama, dan merupakan inkarnasi dari Dewa Siwa. Beberapa
wanara terkenal lainnya adalah Anjani (ibu Hanoman), Sugriwa,
Subali, Nila dan Anggada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar