Sabtu, 29 Januari 2011

sukses tanpa gelar

SUKSES TANPA GELAR
Membangkitkan Roh Keberhasilan galam Diri Anda
oleh: Andrias Harefa

Ucapan Terima Kasih
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
banyak orang yang telah membuat buku
ini diterbitkan.
Pertama-tama kepada dua orang yang paling
sering menantang saya untuk membukukan
tulisan-tulisan yang pernah saya tulis: Luciana
Lazuardi dan Lilis Setyayanti.
Kepada Saudara Dwi Helly Purwono, Wandi
S. Brata, dan Gabriel Sugiyanto dari penerbit
Gramedia Pustaka Utama, yang memungkinkan
buku ini menyapa pembaca.
Kepada teman berpikir, mentor dan senior
saya: Mardjuki, Soen Siregar, Susanto, Stefanus
Theopilus, dan Jansen H. Sinamo.
Kepada para "guru imajiner" yang mendidik
saya di universitas kehidupan, antara lain: Soe
Hok Gie, Ahmad Wahib, Ivan Illich, Paulo
Freire, Stephen Tong, John Stot, Paul Hidayat,
Dale Carnegie, Erich Fromm, Maxwel Malzt,
Duane Schultz, M. Scott Peck, Anthony Robbins,
xii SUKSES TANPA CELAR
Stephen R. Covey, Alvin Toffler, John Naisbitt,
Charles Handy, Joe Girard, Steve Geppi, Thomas
Alva Edison, Kusnadi, Susi Pudjiastuti,
Kwik Kian Gie, Mudji Sutrisno, Ignas Kleden,
WS. Rendra, Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur,
Kang Sobary, Ariel Heryanto, Mochtar Buchori,
dan banyak lagi yang lain.
Kepada Anna, Imma, Darman Giman, dan
Emilia, yang bersedia mengetik ulang beberapa
naskah dan Agus Santosa yang dengan tekun
menyusunnya menjadi satu.
Kepada Ibu Alma, Ibu Atiek WB, Sigit, Ferry,
Agus Saliyo, Musa, Djatmiko, Elia, Martina,
Lita, Lanny, Lilyawati, Aneta, Asri Iman, Indra,
Toni, John, Joshua, Noel, Ginting, Paul, Puthut,
Surjo, Tuti, Pramudya, Rachel, Lily, Shanti, Haryati,
Nicke, Herlina, Dika, Herry, Luhut, Saor,
Jody, Agung, Totok, dan orang-orang yang sering
memberikan komentar terhadap artikelartikel
saya di majalah ANTUSIAS, yang sebagian
besar dimuat dalam buku ini.
Kepada rekan-rekan lain yang berjasa karena
memicu ide saya dengan berbagai pertanyaan,
namun tidak mungkin saya sebutkan satu per
satu di sini.
Terima kasih tak terhingga kepada Anda semua!
Pengantar:
MEMBANGK1TKAN "ROH
KEBERHASILAN"
Saya termasuk orang yang percaya bahwa,
bila kita mempelajari kebenaran dan tidak
mengalami perubahan hidup, maka hanya
ada dua kemungkinan: kita tidak sungguh-sungguh
belajar atau yang kita pelajari bukan kebenaran.
Saya juga setuju dengan Ignas Kleden yang
pernah mengatakan bahwa filsafat belajar yang
benar adalah bahwa belajar berarti praktek. Sebab
pengetahuan tentang hal yang benar dan
baik, betapapun hebatnya, bila tidak dipraktekkan,
diamalkan dalam kehidupan nyata, menjadi
kesia-siaan belaka. Hanya pengetahuan mengenai
hal yang jahat, yang tak perlu dipraktekkan.
Untuk itu, dalam buku ini saya mencoba menyampaikan
kebenaran yang saya yakini berdasarkan
fakta-fakta yang nyata, agar diuji melalui
praktek oleh pembaca yang budiman.
Dengan kata lain buku ini menantang setiap
pembacanya untuk belajar sungguh-sungguh dan
XIV SUKSES TANPA GELAR Pengantar: Membangkitkan "Roh Keberhasilan" XV
menguji apakah buku ini berisi kebenaran mengenai
sukses yang sejati atau justru ketidakbenaran
yang menyesatkan.
Andai dengan mengamalkan "ajaran" dalam
buku ini pembaca mencapai kehidupan yang lebih
baik—secara finansial, sosial emosional, mental
dan spiritual—maka tujuan penulisan buku
ini telah tercapai. Bila tidak, buku ini telah menjadi
kesia-siaan belaka.
Jadi, pertama-tama buku ini bersifat praktis
dan jauh dari "ilmiah". Tak ada gunanya membaca
buku ini tanpa keinginan untuk mempraktekkannya.
Sebaliknya, jika diamalkan, buku ini
dapat menuntun pembaca memasuki kehidupan
yang lebih "kaya" dan lebih bermakna.
Kedua, sekalipun bersifat praktis, buku ini
ditulis dengan keyakinan bahwa setiap gagasan
yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan,
paling tidak secara moral maupun spiritual.
Artinya, isi buku ini diyakini tidak bertentangan
dengan agama apa pun yang diakui dan dianut
oleh masyarakat Indonesia.
Ketiga, buku ini bukanlah hasil pemikiran
pribadi penulis. Sangat banyak gagasan yang
"dipinjam" dari pihak lain. Namun segala keterbatasan,
kenaifan, dan kelemahan buku ini menjadi
tanggung jawab penulis.
Keempat, buku ini mencoba mencari jawaban
terhadap tiga pertanyaan pokok: apa itu sukses,
mengapa orang (dapat) sukses, dan bagaimana
menjadi sukses.
Dalam paradigma "lama" (dalam arti yang
paling banyak atau dominan), untuk menjadi
sukses orang harus dikuasai oleh "roh memiliki".
Bila Anda ingin berhasil dalam mendapatkan
pekerjaan atau promosi jabatan, misalnya, Anda
"harus" memiliki gelar kesarjanaan, memiliki kemampuan
berbahasa Inggris, memiliki keterampilan
mengoperasikan komputer, memiliki koneksi,
memiliki uang untuk menyogok petugas
yang menyeleksi, memiliki katabelece atau surat
sakti, dan seterusnya. Tanpa "roh memiliki" Anda
"tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan
yang Anda inginkan.
Akibatnya, "roh memiliki" sangat kuat mengakar
dalam budaya kita. Tanpa memiliki hal-hal
tersebut, orang kehilangan keyakinannya untuk
berhasil dalam kehidupan. Dan orang yang kehilangan
keyakinan, pada hemat saya, telah kehilangan
jati dirinya sendiri. la menjadi kelompok
marginal, yang dipandang sebelah mata dan tidak
diperlakukan sebagai manusia. "Roh memiliki"
telah menyesatkan banyak orang.
Paradigma "baru" yang saya coba tawarkan
XVI SUKSES TANPA GELAR Pengantar: Membangkitkan "Roh Keberhasilan" xvii
menolak tegas hal tersebut. Untuk berhasil mencapai
keinginannya, orang tidak harus memiliki
lebih dulu. Tanpa gelar kesarjanaan, tanpa kemampuan
berbahasa Inggris, tanpa koneksi,
tanpa katebelece, tanpa uang sogok, dan tanpa
keterampilan komputer, orang masih dimungkinkan
untuk berhasil. Yang diperlukan adalah
membangkitkan "roh keberhasilan" dalam diri
kita.
"Roh keberhasilan" ini bersumber pada realitas
kebenaran, fakta, dan sejarah manusia itu
sendiri. Orang-orang yang berhasil ternyata meraih
keberhasilannya lewat sebuah proses belajar
yang tidak dikuasai oleh "roh memiliki". Lewat
proses tersebut ia bertemu dengan "roh keberhasilan"
sehingga mampu mendefinisikan makna
sukses bagi dirinya. Dan dengan membangkitkan
"roh keberhasilan" itu ia membuat keputusankeputusan
dan komitmen untuk bersikap dan
bertindak sesuai dengan keyakinannya sendiri
yang, kadang kala, berbeda bahkan bertentangan
dengan pandangan umum.
Itulah sebabnya buku ini dibagi dalam tiga
bagian. Bagian pertama mengajak pembaca untuk
memikirkan makna sukses bagi diri sendiri,
yakni sukses pada level pribadi. Mencari makna
sukses berarti melakukan perjalananan ke dalam
diri sendiri. Mencari makna sukses berarti menguji
dan mengevaluasi social "mirror (pandangan-pandangan
atau label yang diberikan masyarakat
dan orang-orang luar mengenai diri kita pribadi)
yang acap kali buram dan gagal memantulkan
realitas kebenaran yang sejati. Dalam perjalanan
ke dalam diri itu, saya mengajak pembaca untuk
bertanya apakah makna sukses yang sesungguhnya,
dan apa hubungannya dengan kepribadian
yang sehat, dengan kebahagiaan dan kepuasan
batin, dengan modernitas?
Untuk menemani perjalanan ke dalam diri
itu, bagian kedua memberikan contoh-contoh
yang nyata. Karena pertimbangan praktis, maka
sebagian dari contoh-contoh tersebut diambil
dari beberapa tulisan yang telah dimuat dalam
penerbitan khusus di perusahaan tempat saya
pernah bekerja. Satu dari tujuh contoh orang
sukses dalam buku ini memiliki gelar kesarjanaan.
Namun gelar bukanlah determinan utama yang
membuat ia berhasil, sementara kisahnya sendiri
terlalu bagus untuk tidak dimasukkan.
Selanjutnya, bagian terakhir memuat rahasia
untuk sukses tanpa memiliki gelar, mengalahkan
"roh memiliki" dengan cara membangkitkan
"roh keberhasilan". Di sini ingin ditegaskan bahwa
faktor-faktor penentu sukses sejati itu
xviii SUKSES TANPA GELAR Pengantar: Membangkitkan "Roh Keberhasilan" XIX
bukanlah atribut-atribut "fisik" seperti gelar
akadernis, jabatan, uang, dsb., bahkan juga bukan
sekadar sikap positif dan keterampilan tertentu.
Tetapi lebih dari itu. la mencakup pemahaman
mengenai kebenaran (truth) mengenai
keberadaan manusia dan segala potensinya, key.akinan
dan peta mental (belief, paradigm) seseorang,
serta komitmennya untuk mengembangkan kebiasaan
dan karakter yang selaras dengan nilainilai
kebenaran yang dipahaminya. Sukses yang
sejati itu memanusiakan manusia.
Mengingat situasi Indonesia akhir-akhir ini,
saya berharap bahwa kontribusi "kecil" melalui
buku ini dapat membangun sebuah pemahaman
yang lebih dekat dengan kebenaran. Pemahaman
yang bertumpu pada asumsi bahwa kita dapat
berhasil tanpa gelar, sepanjang kita mampu
membangkitkan "roh keberhasilan" dalam diri
kita. Dan karenanya bila krisis ekonomi membuat
banyak orang kehilangan kesempatan untuk
menyelesaikan pendidikan formal (dan pekerjaan),
tak perlulah menjadi putus asa.
Akhirnya, izinkan saya mohon maaf bila ada
hal-hal yang kurang berkenan di hati pembaca,
sekaligus saya mengundang berbagai kritik dan
saran demi penyempurnaan buku ini. Dan semoga
karya sederhana ini ikut membangun harapan
orang-orang yang kehilangan mata pencariannya
karena badai krisis yahg belum berlalu dari
negeri tercinta ini.
Salam
Jakarta, 17 Agustus 1998
Andrias Harefa
Bagian I
PERJALANAN
KE DALAM DIRI
Sang Pemberi Makna
Kehidupan orang-orang sukses telah
menunjukkan kepada kita bahwa kualitas
hidup kita tidak ditentukan oleh
apa yang terjadi pada (menimpa) diri kita, tetapi
lebih ditentukan oleh makna yang kita berikan
dan tindakan yang kemudian kita ambil sesuai
dengan makna hasil interpretasi (tafsiran) tersebut,"
demikian tutur Anthony Robbins dalam
Unlimited Power dan Awaken the Giant Within.
Kesimpulan yang dirumuskan oleh Robbins
bukanlah suatu hal yang sama sekali baru. Penganut
positive thinking dan promoter positive mental
attitude seperti Napoleon Hill dan Norman Vincent
Peale telah menuturkan hal senada, bahkan
sebelum Robbins lahir. Dalam perspektif serba
positif itu, Hill dan Peale menekankan pentingnya
memberikan makna positif terhadap segala peristiwa
dan pengalaman hidup yang kita jalani. Jika
kita selalu bersikap positif (baca: memberikan
makna positif), maka kehidupan ini menjadi
SUKSES TANPA GELAR Perjalanan ke dalam Diri
nikmat untuk dijalani sekalipun banyak peristiwa
memilukan menimpa diri kita.
Stephen Covey lewat The Seven Habits of Highly
Effective People, mengoreksi aliran sikap mental
positif. Menurut Covey, sikap kita terhadap
sesuatu hal bersumber pada peta mental atau
kerangka acuan yang disebutnya paradigma.
Karenanya, bila kita ingin mengalami perubahan
secara signifikan, yang lebih penting bukanlah
mengubah sikap dan perilaku tetapi memperbaharui,
meng-itp date, melengkapi atau menggeser
paradigma.
Paradigma kita, benar atau salah, adalah
sumber dari sikap dan perilaku kita, yang pada
gilirannya menentukan hubungan kita dengan
diri kita, sesama kita, dan lingkungan sekitar kita.
Untuk menjelaskan gagasannya, Covey menuturkan
cerita berikut: "Andai saja Anda ingin
tiba di suatu tempat tertentu di tengah kota
Chicago, sebuah peta jalan-jalan di kota tersebut
akan sangat membantu Anda untuk tiba di tujuan.
Namun, bila ternyata terjadi kesalahan cetak
sehingga peta Chicago yang Anda pegang sebenarnya
adalah peta Detroit, maka dapatkah
Anda bayangkan ketidakefektifan dan frustrasi
yang akan Anda alami dalam usaha mencapai
tujuan Anda? Anda mungkin akan menata perilaku
Anda, berusaha lebih keras, lebih teliti, lebih
giat, dan melangkah' lebih cepat. Tapi usaha
Anda itu hanya akan membawa Anda ke tempat
yang salah secara lebih cepat. Anda mungkin
akan menata sikap Anda, mencoba berpikir
lebih positif. Anda tetap tidak akan sampai ke
tujuan Anda. Jika Anda bersikap sangat positif,
maka Anda dapat menikmati perjalanan Anda,
tidak peduli di mana pun Anda berada. Masalahnya
bukan perilaku atau sikap yang salah, melainkan
Anda memiliki peta yang salah. Dan
hasilnya adalah Anda tersesat.
Baik Robbins, Hill, Peale, maupun Covey
pada dasarnya mengingatkan dan menyadarkan
kembali hakikat manusia sebagai si pemberi
makna kehidupan. Mudji Sutrisno, rohaniwan
sekaligus budayawan, menyebutkan istilah "homo
significant" sebagai suatu fenomena kultural dalam
budaya membaca.
Ketika sebuah naskah berada di depan pembaca
dan belum dibaca, ia terlihat rapih, masih
terlipat, masih "mati". Namun, begitu dibaca
dan ditelaah dengan garis-garis "stabilo" atau
pensil berwarna, tengoklah secara visual naskah
tersebut—sekarang ia tampak "berwarna-warni"
meriah. la tampil hidup! Dibangunkan dari "tidurnya
sebagai huruf-huruf mati", lalu dibangSUKSES
TANPA GELAR Perjalanan ke dalam Diri
kitkan dan diberi napas hidup yang baru. Kalimat
yang tadinya merupakan cetakan huruf mati,
kini dalam "pembacaan" sang pembaca lalu
diberi "roh baru", diberi "makna baru", dihidupkan.
Di sinilah, dalam proses membaca, si pembaca
tampil sebagai sang pemberi makna, pemberi
"arti" bagi naskah itu. la berlaku sebagai
"homo significant"—sang pemberi makna.
Sejarah hidup kita sebagai pribadi tak ubahnya
seperti naskah bacaan. la adalah "masa lalu",
sesuatu yang telah "mati". Namun, kita dapat
"menghidupkannya kembali" dengan memberikan
"makna baru" , "arti baru".
Usaha memberi (atau mungkin lebih tepat
dikatakan mencari) "makna baru" atau "arti
baru" itu memerlukan, apa yang disebut jlomo
Mudji, sebuah sanctuary, yakni: ruang cakrawala
bening, suasana damai, kerasan tanpa diburu.cemas
dan takut, horizon hening di lubuk sanubari,
di mana para peziarah (manusia) ini mampu beristirahat,
mengolah pertanyaan-pertanyaan dahsyat
dan kegetiran hidup dalam atmosfer aman
tenteram di dalam nurani kita masing-masing.
Ziarah dari satu sanctuary ke sanctuary yang
lain, ketika kita mengolah perjalanan hidup, merenungkan
kegetiran hidup, mengadu, bahkan
memprotes pada Dia yang kita percaya sebagai
Sang Pencipta, mencegah kita dari kemandegan,
kegamangan yang ajeg, dan kegagapan menghadapi
arus deras perubahan sosial kultural yang
sedang, dan masih akan terus, melanda kehidupan
mi.
Dalam sanctuary, kita menata ulang paradigma,
sikap, dan perilaku kita agar tidak beku pada
tradisinya, tidak menjadi usang dan tak mampu
lagi menjawab tantangan perubahan zaman baru.
Sebagai praktisi di bidang pelatihan dan pengembangan
sumber daya insani negeri tercinta
ini, saya sungguh berharap bahwa apa yang saya
lakukan dapat sedikit membantu orang-orang
bisnis melakukan ziarah mereka dari satu sanctuary
ke sanctuary yang lain. Dan dengan demikian
membantu proses pemberian "makna baru",
"arti baru" bagi setiap langkah bersejarah yang
diambil sang pemberi makna ciptaan Yang Ilahi
itu. Sudah barang tentu saya pun hams melakukan
ziarah saya sendiri.
Perjalanan ke dalam Diri
Ayyu Qaumin Antum
J' ika negeri-negeri Persia dan Rum sudah kamu
taklukkan, manusia macam apakah kamu waktu
itu? Para Sahabat menjawab: Kami akan mengatakan
apa yang diperintahkan Allah. Lalu Nabi menimpali,
atau barangkali yang lainnya. Kalian akan
bersaing antara satu dengan yang lain, sating dengki,
bend membenci, kemudian kamu bertindak sewenangwenang
kepada golongan miskin dan lemah yang kehilangan
rumah, lalu kamu tempatkan golongan yang
satu di atas golongan yang lain," demikian salah satu
hadits Nabi Muhammad yang diucapkan pada
umat Islam di Madinah sekitar 15 abad lalu.
Ketika mengutip hadits tersebut dalam kotbah
Idul Fitri dan Kualitas Hidup dalam Menyongsong
Kebangkitan Nasional Kedua, Dr. M. Yunan Yusuf
mengingatkan bahwa, "Bila dibandingkan dengan
Imperium Romawi dan Persia yang menjadi dua adikuasa
ketika itu, kaum muslimin adalah bangsa kecil
yang belum berkembang, underdeveloped country."
"Ayyu qaumin antum", manusia macam apakah
kamu nanti? Sebuah pertanyaan kritis yang
menantang setiap insan untuk selalu mawas diri.
Pertanyaan cerdas yang mempersoalkan esensi
dari semua keberhasilan (achievements), maupun
pencapaian-pencapaian tujuan-tujuan tertentu
(accomplishments). Sebuah pertanyaan yang membuat
bulu kuduk saya berdiri dan menghantui
pemikiran saya berbulan-bulan lamanya.
Membuat bulu kuduk berdiri? Menghantui
pemikiran? Ya. Bagaimana tidak, sejak memutuskan
untuk mengembangkan karier sebagai konsultan
dan instruktur di bidang pengembangan
sumber daya manusia, obsesi utama saya adalah
membantu setiap peserta di kelas untuk mengembangkan
potensinya. Asumsi dasarnya ialah melalui
pengembangan dan pelipatgandaan potensipotensi
yang selama ini tersembunyi dalam diri
mereka, diharapkan mereka mampu meningkatkan
kualitas hidup sebagai manusia yang utuh.
Peningkatan kualitas hidup tersebut harus tercermin
dalam peningkatan karier profesi, kesejahteraan
dan ketenteraman hidup. Apalagi, buku
teks yang selalu dibagikan pada peserta jelasjelas
"menjanjikan" hal-hal tersebut. Judul bukubuku
seperti Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan
Anda, Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia,
Cara Memperoleh Kawan dan Mempengaruhi Orang
10 SUKSES TANPA GELAR
serta Petunjuk Berbicara Efektif dengan Cepat dan
Mudah, dan Iain-lain, menimbulkan harapan-harapan
tertentu bagi peserta pelatihan.
Pertanyaan yang mengusik permenungan saya
adalah: apabila banyak hal yang diinginkan
orang dalam kehidupan ini telah berhasil dicapainya,
berdasarkan keterampilan-keterampilan yang
diperoleh lewat pelatihan, maka manusia macam
apakah mereka waktu itu?
Para alumni pelatihan umumnya memiliki
kelebihan dalam hal kepercayaan diri, kemampuan
berkomunikasi, dan human relations serta
people skill lainnya. Ditambah dengan sikap-sikap
positif dan knowledge yang mereka miliki, maka
kemungkinan untuk mengembangkan karier,
menambah penghasilan, dan meningkatkan taraf
hidup mereka menjadi sesuatu yang secara relatif
"lebih mudah". Hal mana terbukti dengan,banyaknya
kesaksian alumni yang berhasil mencapai
cita-cita mereka dikelak kemudian hari (tidak
sedikit di antaranya yang berhasil mendapatkan
apa yang mereka inginkan pada saat pelatihan
masih berlangsung). Simak saja kesaksian-kesaksian
peserta yang ditulis oleh almarhum Dale
Carnegie dalam buku-bukunya yang selalu best
seller. Puluhan atau mungkin ratusan kesaksian
yang dikutip itu dilengkapi dengan data-data
Perjalanan ke dalam Diri 11
pemberi kesaksian, sehingga terbuka untuk dikonfirmasikan
kepada yahg bersangkutan. Belum
terhitung dan ini jumlahnya mungkin jutaan,
kesaksian-kesaksian dari mulut ke mulut yang
tak pernah dibukukan.
Masalahnya, harus diakui bahwa keterampilanketerampilan
yang diajarkan melalui pelatihan
ini bisa saja disalahgunakan oleh mereka yang
melalaikan nilai-nilai moral, keadilan, kebenaran,
kesucian, ketaatan, dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Keterampilan tersebut ibarat
senjata-senjata ampuh yang dapat dipergunakan
sesuai dengan keinginan manusia yang memakainya.
Keterampilan human relations, misalnya, bisa
dimanfaatkan untuk memanipulasi orang lain,
mengeksploitasi buruh, mendiskreditkan orangorang
tertentu, dan seterusnya.
Syukur Alhamdullilah dan Halleluyah, bahwa
latihan keterampilan-keterampilan itu selalu disertai
dengan sosialiasi nilai-nilai universal yang
baik, mulia, dan luhur. Kejujuran, ketulusan, keajegan
dalam bersikap positif terhadap diri,
orang lain dan pekerjaan selalu ditekankan
ulang pada setiap sesi pelatihan. Dengan demikian
dapat diharapkan sosialisasi nilai-nilai luhur dan
mulia itu dapat mereduksi ekses-ekses (akibat
negatif) yang tidak kita harapkan.
12 SUKSES TANPA GELAR
Perenungan saya akhirnya bermuara pada harapan.
Harapan bahwa rekan-rekan instruktur
tak menjadi bosan menekankan pentingnya sikapsikap
positif yang didasari oleh nilai-nilai luhur,
agung dan mulia, yang seyogianya menyertai
peningkatan keterampilan dan penambahan pengetahuan
di kelas-kelas pelatihan. Sebab tanpa
nilai-nilai luhur mulia yang melandasinya maka
ayyu qaurnin anturn (manusia macam apakah
kamu nanti)?
Kepribadian Sukses
Maxwell Maltz yang dikenal dengan
uraian-uraiannya mengenai Psycho-
Cybernetics, mengemukakan tujuh ciri
kepribadian sukses.
Ciri pertama: Sense of direction. Orang yang
sukses mempunyai kemampuan untuk mengarahkan
dan memimpin dirinya sendiri. la tidak ditentukan
oleh situasi lingkungannya. Di antara
banyak karyawan yang suka mangkir kerja dan
terlambat masuk kantor, karyawan berkepribadian
sukses selalu rajin dan datang lebih awal. Di
antara manusia yang suka mengeluh, ia tak
mengucapkan kalimat-kalimat keluhan walaupun
banyak hal bisa dikeluhkannya.
Ciri yang pertama ini sangat dekat dengan
apa yang disebut oleh Stephen R. Covey dengan
istilah proaktivitas. Orang yang proaktif tidak
didikte oleh suara-suara mayoritas, sebab mereka
mendasarkan sikap dan perilaku mereka atas
rasa tanggung jawab terhadap kehidupan pribadi
14 SUKSES TANPA GELAR Perjalanan ke dalam Diri 15
mereka. Orang-orang yang suka mengkambinghitamkan
situasi, lingkungan, dan orang lain di
sekitarnya, jelaslah bukan tipe ini.
Ciri kedua: Understanding. Orang sukses berkemampuan
untuk memahami diri mereka, memahami
orang lain, dan memahami pekerjaan
mereka. Dan, mungkin ini jauh lebih penting,
mereka mau belajar memahami segala sesuatu.
Dalam bahasa Covey, orang-orang seperti ini
memiliki kebiasaan "seek first to understand, then to
be understood". Mereka tidak suka berkata "Anda
harus memahami saya", tidak suka menuntut
orang lain menyesuaikan diri dengan mereka,
tetapi justru sebaliknya.
Qri ketiga: Courage. Keberanian bertindak
merupakan hal yang melekat .dalam diri orang
berkepribadian sukses. Apa pun risiko yang
menghadang langkahnya, tak mejnbuat mereka
mundur. Secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa mereka berprinsip "lebih baik bertindak,
walau kelak terbukti tindakan itu salah daripada
takut bertindak dan karenanya tidak pernah melakukan
sesuatu". Manusia yang hanya membeo
dan tak pernah berani menyatakan pilihan sikap
yang berbeda dengan orang lain, tidak masuk
dalam kategori ini.
Ciri keempat: Charity. Sifat kikir dan egosentris
tidak membuat seseorang meraih sukses. Kemurahan
hati, murah dalam memberikan pujian,
suka menolong, bersedia membagi hak miliknya
pada orang lain, adalah sifat-sifat yang menyertai
kesuksesan seseorang.
Ciri kelima: Esteem (self-esteem). Suka mengemis,
meminta belas kasihan, dan mentalitas budak
bertentangan dengan tabiat orang sukses di segala
zaman. Orang sukses memiliki harga diri
yang sehat.
Ciri keenam: Self-Acceptance. Orang sukses
menerima kelemahan-kelemahan mereka, sekaligus
mengetahui bahwa dalam diri mereka terdapat
kekuatan-kekuatan yang unik dan berbeda
dengan manusia lain. Mereka enggan menyediakan
banyak waktu untuk meratapi kelemahankelemahan
mereka, tetapi berusaha keras mengembangkan
potensi-potensi positif yang telah
dikaruniakan Sang Ilahi kepadanya.
Ciri ketujuh: Self-Confidence. Inferiority complex
dan superiority complex tidak melahirkan orang
sukses. Kepercayaan diri ini berkaitan erat dengan
penerimaan diri sebab percaya diri merupakan
akibat dari adanya self-acceptance dan self-respect.
Sikap minder dan arogan adalah musuh besar
kepribadian sukses.
Adalah menarik bahwa apa yang disebut oleh
16 SUKSES TANPA GELAR
Maltz sebagai ciri-ciri kepribadian sukses tersebut
memiliki persamaan-persamaan yang mendasar
dengan empat ciri orang-orang yang sehat secara
psikologis. Duane Schultz dalam bukunya Growth
Psychology: Models of Healthy Personality mencoba
menguraikan titik-titik persamaan -yang dimiliki
oleh orang-orang berkepribadian sehat—Schultz
mengkaji tujuh teori pribadi sehat berdasarkan
konsep Gordon Allport, Carl Rogers, Erich
Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor
Frankl, Fritz Perls.
Pertama, orang-orang yang sehat secara psikologis
mengontrol kehidupan mereka secara sadar.
Walaupun tidak selalu secara rasional, orangorang
sehat mampu secara sadar mengatur tingkah
laku dan bertanggung jawab terhadap nasib
mereka sendiri. Mereka, karertanya, tidak suka
menyalahkan lingkungan atau mengkambinghitamkan
orang lain.
Kedua, orang-orang yang sehat secara psikologis
mengetahui diri mereka apa dan siapa. Mereka
menyadari kekuatan dan kelemahan, kebaikan
dan keburukan mereka, dan umumnya
mereka sabar dan menerima hal-hal tersebut.
Mereka tidak berkeinginan menjadi sesuatu yang
bukan mereka. Meski mereka dapat memainkan
peranan-peranan sosial untuk memenuhi tuntut-
Perjalanan ke dalam Diri 17
an-tuntutan orang lain atau situasi (kecuali dalam
pandangan Perls), namun mereka tidak mengacaubalaukan
peranan-peranan ini dengan diri
mereka yang sebenarnya.
Ketiga, mereka bersandar kuat pada masa kini.
Meski para ahli teori itu percaya bahwa kita
tidak kebal terhadap pengaruh-pengaruh masa
lampau (khususnya pada masa kanak-kanak),
namun tidak seorang pun mengatakan bahwa
kita tetap dibentuk oleh pengalaman-pengalaman
awal (sebelum usia 5 tahun). Pada sisi lain mereka
memandang masa depan sebagai sesuatu
yang sangat penting, tetapi tidak mengganti
masa kini dengan masa depan.
Dan keempat, orang yang sehat secara psikologis
tidak merindukan ketenangan dan kestabilan,
tetapi mendambakan tantangan dan kegembiraan
dalam kehidupan, tujuan-tujuan baru dan pengalaman-
pengalaman baru.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah:
benarkah orang yang sukses itu selalu sehat secara
psikologis? Apakah orang yang secara psikologis
sehat pasti orang yang sukses? Tulisan ini
tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bagaimana pendapat Anda?
Perjalanan ke dalam Diri 19
Sukses Itu Bahagia
Konon, dalam kultur masyarakat Jawa,
pria yang sukses didefinisikan sebagai
orang-orang yang memiliki lima hal
penting. Pertama, sukses berarti memiliki garwo
alias istri. Seorang lelaki yang belum beristri
dianggap 'belum lengkap'. Bahkan dalam cerita
raja-raja Jawa, memiliki istri saja masih kurang
'mentereng'. Selain permaisuri yang memiliki
hak melahirkan putra mahkota, para raja umum-
»•
nya memiliki selir-selir yang menakjubkan jumlahnya
dan sebagian dipersembahkan oleh rajaraja
kecil yang takluk padanya sebagai upeti.
Kedua, sukses berarti memiliki banyak pusoko
(pusaka). Ini menyangkut bukan saja keris, badik,
rencong atau senjata andalan—yang sebagian
disebut 'kiai'—tetapi juga sederet kedudukan
atau pangkat dan juga gelar kebangsawanan
atau kesarjanaan. Makin ampuh senjata koleksinya,
makin tinggi pangkatnya, makin banyak
gelarnya, makin "sukses" ia di mata pengikutnya.
Ketiga, sukses berarti memiliki wismo atau rumah.
Rumah yang makin banyak atapnya, makin
luas tanahnya, makin megah bangunannya,
berarti makin sukseslah si pemiliknya. Kalau rumah
masih kontrakan atau belum lunas cicilannya,
atau luasnya kurang dari lapangan bola,
masih jauhlah ia dari sukses.
Keempat, sukses berarti memiliki turonggo
atau kendaraan tunggangan. Kalau dulu hal ini
diidentikkan dengan berbagai jenis kuda, maka
sekarang diartikan sebagai kendaraan modern
seperti Lexus, Lamborgini, Mercedez, Volvo, Terrano,
Land Cruiser atau sejenisnya. Makin banyak
dan makin mahal, makin sukseslah si pemiliknya
di mata orang.
Terakhir, sukses berarti memiliki kukilo. Jika
dulu berarti perkutut, maka sekarang dapat diartikan
apa saja yang berfungsi sebagai pengisi
waktu luang, semacam hobi atau klangenan yang
relevan. Main golf, mengoleksi batu permata dan
berlian, berburu lukisan mahal, pesiar dengan kapal
pribadi, koleksi ikan arwana, macan tutul atau
gading dari Afrika, termasuk dalam kategori ini.
Definisi sukses di atas bersifat seksis, diskriminatif
berdasarkan jenis kelamin. Karenanya dalam
perkembangannya kemudian masyarakat memberikan
definisi baru yang lebih netral.
20 SUKSES TANPA GELAR
Sukses kemudian diberi atribut "baru", yakni:
car, credit card, car phone, condominium and career.
The Five-C ini tidak memiliki perbedaan esensial
dengan sukses sebagaimana disebut di atas. Car
identik dengan turonggo, condominium searti dengan
wismo, career sama dan sebangun derfgan pusoko.
Halnya garwo, mungkin masih berlaku juga bagi
lelaki. Hanya saja wanita yang memiliki banyak
lelaki masih belum positif citranya di masyarakat
kita. Wanita sukses masih dihubungkan dengan
suami dan anak. Punya karier bagus tanpa suami
dianggap masih kurang lengkap. Apalagi kalau
punya anak tanpa suami.
Soal car phone dimasukkan sebagai syarat sukses
karena diasumsikan sebagai bukti keakraban
dengan teknologi modern. Tak dipersoalkan apakah
itu aset yang bernilai produktif atau hanya
untuk kepentingan konsumtif-^-semacam kukilo
yang berfungsi sebagai klangenan. Dan soal credit
card dijadikan indikasi banyaknya uang di bank.
Kartu kredit menjadi simbol manusia kaya raya.
Makin banyak kartu yang dikantunginya (Visa
dan Master dari berbagai bank, Amex, Diners,
dll.), makin "berhak" orang merasa dirinya sukses.
Pandangan sukses di atas secara tegas mengatakan
bahwa sukses berarti to have—memiliki.
Perjalanan ke dalam Diri 21
Pertanyaanya adalah: apakah dengan memiliki
banyak hal orang menjadi bahagia? Apakah kebahagiaan
itu? Apa ciri orang bahagia?
Thomas Szaz, seorang psikiater, pernah menuturkan
bahwa kebahagiaan adalah "suatu keadaan
imajinatif yang dulu dikenakan oleh mereka yang
masih hidup kepada orang yang telah meninggal, dan
sekarang biasanya dikenakan oleh orang yang sudab
dewasa kepada anak-anak dan sebaliknya oleh anakanak
kepada orang dewasa". Artinya anak-anak
berpikir betapa bahagianya menjadi orang dewasa,
yang bebas memilih, dipercaya, punya uang,
kuat, dst. Karenanya mereka ingin cepat-cepat
dianggap dewasa (dengan meniru berbagai perilaku
orang dewasa, misalnya). Sementara itu
orang dewasa mengingat masa kanak-kanak mereka
sebagai masa-masa bahagia. Pada masa itu
tidak ada tanggung jawab, tidak ada tuntutan,
tidak banyak kewajiban, hanya bermain, makan
dan tidur sesuka hati.
Bahagia juga dipahami sebagai suatu keadaan
hati yang abadi yang berupa kepuasan, keadaan
damai sejahtera dan pengharapan yang amat
mendalam—bukan sekadar getaran-getaran perasaan
yang tak berarti karena mengalami peristiwa
yang menyenangkan.
Dalam pengertian Webster, orang yang tidak
22 SUKSES TANPA GELAR
bahagia bukanlah orang sukses, sekalipun ia serba
memiliki. Sebab Webster mendefmisikan sukses
sebagai "kepuasan batin atau kebahagiaan karena
pencapaian tujuan-tujuan tertentu dalam tahaptahap
kehidupan". Apabila orang memiliki segala
sesuatu yang diinginkannya, tetapf.. ia tidak
mengalami kepuasan batin, maka orang itu belum
sukses.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengukur
atau mengetahui apakah seseorang itu
bahagia atau tidak?
John Powel dalam Happiness Is an Inside Job,
menuturkan bahwa kata "bahagia" dan "kebahagiaan"
diambil dari kata Latin beatus dan beatitude
(Inggris) yang berarti tantangan dan perolehan,
yakni menjanjikan memberikan (secara tak
langsung) kebahagiaan sejati kep'ada orang yang
menyambut tantangan dan selangkah demi selangkah
memperoleh sesuatu, mencapai sesuatu,
atau menyelesaikan sesuatu.
Dalam bukunya Powel menyebutkan Sepuluh
Laku Hidup Bahagia sebagai berikut: pertama,
menerima diri apa adanya; kedua, menerima sepenuhnya
tanggung jawab atas hidup kita; ketiga,
berusaha memenuhi segala kebutuhan kita
untuk bersantai, berolah raga, dan makan; keempat,
hidup kita harus kita jadikan wujud cinta
Perjalanan he dalam Diri 23
kasih; kelima, kita harus menghirup udara baru
dengan keluar dari kungkungan kemapanan
yang nyaman; keenam, kita harus belajar menjadi
"penemu jalan baik"; ketujuh, kita harus mengupayakan
pertumbuhan, bukan kesempurnaan;
kedelapan, kita harus belajar berkomunikasi secara
efektif; kesembilan, kita harus belajar bersuka
cita atas hal-hal baik dalam hidup; kesepuluh,
kita harus berdoa sebagai bagian dari hidup kita
sehari-hari.
Yang paling menarik dari Powel adalah pernyataannya
bahwa kodrat hidup manusia adalah
hidup bahagia. Dengan kata lain, segala upaya
untuk hidup bahagia adalah upaya memenuhi
"panggilan kodrati" sebagai manusia ciptaan
Tuhan.
Menjadi sukses mungkin menarik bila sukses
berarti bahagia. Dan pandangan sukses sebagai
memiliki segala sesuatu yang diinginkan dapat
mereduksi kemanusiaan seseorang. Sukses sejati
berarti memiliki untuk dapat memberi, memiliki
untuk dapat belajar menerobos kemapanan,
belajar untuk bersyukur dan menebarkan cinta
kasih, belajar untuk bertumbuh dan berkembang.
Menjadi sukses sungguh "mengerikan", bila
dengan memiliki banyak kita justru terisolasi
24 SUKSES TANPA GELAR
dan teralienasi (terasing, merasa hampa dalam
kemewahan materi) dari hidup dan kehidupan
itu sendiri.
Anatqmi Orang Modern
Modern, menurut Mochtar Buchori
(Kompas, 3 Juli 1989), berasal dari
kata Latin modernus yang berarti
"yang tepat, yang sesuai dengan ukuran". Akar
katanya ialah mod yang berarti "mengambil
langkah-langkah yang tepat, yang sesuai dengan
ukuran". Dari akar kata itu terbentuklah katakata
lain seperti modus yaitu "ukuran", model ya.ng
berarti "contoh, yang menurut ukuran, yang dapat
ditiru", modicum yang bermakna "sesuatu dalam
ukuran atau jumlah kecil", dan moderat dalam
arti "yang masih dalam ukuran, bukan yang ekstrem".
Kalaupun kata modern tidak bisa dikatakan
mengalami distorsi (perusakan makna), maka
yang terjadi sedikitnya adalah pendangkalan
makna. Sebab dalam perkembangannya kata
"modern" kemudian berubah arti menjadi "yang
baru" atau "yang mutakhir", dan "yang sesuai
dengan selera atau gaya masa kini". Dan karena
26 SUKSES TANPA GELAR
ke-modern-an atau modernitas kemudian dipahami
hanya sebagai kebaruan, kemutakhiran,
kesesuaian dengan gaya atau selera yang sedang
populer dalam masyarakat. Maka orang tidak
lagi mempersoalkan ketepatan, kesesuaian dengan
kebutuhan, kesesuaian dengan standar atau ukuran
yang sudah ditentukan. Bahkan tidak lagi dipertanyakan
apakah yang baru dan populer itu
lebih baik atau justru lebih jelek dari yang lama
yang digantikannya.
Akibat pendangkalan makna tersebut, banyak
orang mengidentifikasikan modernitas dengan
sajian koki-koki Kentucky, California, Wendy,
atau "American Warteg" lainnya. Modern berarti
bekerja dengan komputer, menggunakan telepon
genggam, berlibur ke Paris, New York, Melbourne
atau Amsterdam. Modern berarti berganti nama
dari Poniran menjadi Johny, Inem m,enjadi Mince,
atau membuang kaset-kaset irama keroncong dan
dangdut untuk digantikan dengan kaset-kaset
metal yang memekakkan telinga tetangga kirikanan.
Modern berarti olah raga harus di Country
Club Cinere atau Fitnes Center di Pantai
Mutiara, dan seterusnya.
Identifikasi modernitas dengan atribut-atribut
yang sesungguhnya lebih bersifat ornamental
(jadi tidak esensial) itu lebih mencerminkan
Perjalanan ke dalam Diri 27
"kegagapan" menghadapi arus deras perubahan
yang melanda'seluruh penjuru dunia (baca: globalisasi).
Hal mana terjadi karena segala sesuatu
yang baru itu tidak disikapi dengan filterisasi
atau proses seleksi berdasarkan ukuran-ukuran
atau standar, ketepatan dan kesesuaian dengan
kebutuhan dan adaptasi, melainkan diterima dengan
semangat taken for granted.
Penerimaan secara membabi-buta terhadap
segala unsur baru yang muncul, baik dari dalam
(lokal, domestik), maupun dari luar (Amerika,
Eropa atau Jepang) sangatlah mungkin disebabkan
oleh ketiadaan model panutan yang menunjukkan
anatomi orang modern sejati. Dalam
perspektif yang demikian rumusan Profesor Alex
Inkeles, sosiolog dari Universitas Harvard, menjadi
penting untuk disimak.
Inkeles menuturkan sembilan ciri atau kriteria
orang modern (Djunaidi: Kompas, 1 Desember
1991), yakni: Pertama, orang modern mempunyai
sifat terbuka terhadap perubahan-perubahan dan
mengakui bahwa hari esok sangatlah mungkin
berbeda dengan hari kemarin. Tidak terlalu optimis
akan berada di papan atas selamanya, namun
juga tidak terlalu pesimis akan tetap terinjak
di lapisan bawah seumur hidup.
Kedua, orang modern mampu mempunyai
28 SUKSES TANPA GELAR
opini terhadap masalah-masalah yang timbul di
luar lingkungannya. Suatu hal yang menuntut
perluasan wawasan terus-menerus tanpa harus
kehilangan tempat berpijak.
Ketiga, orang modern berorientasi pada masa
sekarang dan masa depan, sehingga tic&k menjadi
tawanan masa lampau. Berani melakukan trial
and error agar tidak mandeg, tidak "gttmunan Ian
kagetan" (heran dan mudah terkejut). Orang yang
terjangkit post-power syndrom bukanlah orang modern.
Keempat, orang modern menganggap planning
and organizing merupakan cara untuk menjalankan
kehidupan. Orang yang bertindak hanya
dengan insting (reaktif) dan tak mampu duduk
diam merencanakan dan mengor^anisasi sumber
daya miliknya dengan sendirinyS termasuk kuno
dan akan segera masuk ke museum mengikuti
jejak dinosaurus.
Kelima, orang modern memiliki keyakinan
bisa mempengaruhi, bukan dipengaruhi dan didikte
oleh lingkungan sekitarnya. Mereka yang
tidak mengembangkan otot-otot proaktifnya tidak
layak disebut modern.
Keenam, orang modern punya kepercayaan
dalam diri karena ada sesuatu yang bisa diperhitungkan
atau calculable dan bukannya ditentu-
Perjalanan ke dalam Diri 29
kan oleh orang per orang ataupun nasib-nasiban.
Para tiran dan diktator berikut fans-nya, serta
mereka yang dipenjara oleh ramalan para dukun,
tak memenuhi syarat menjadi orang modern.
Ketujuh, orang modern menghargai dirinya
dan nilai orang lain. Artinya, jiwa budak dan
suka memperbudak bertentangan dengan jiwa
orang modern.
Kedelapan, orang modern punya keyakinan
akan faedah ilmu pengetahuan dan teknologi,
bukannya ramalan dan angan-angan kosong.
Terakhir, orang modern memiliki kepercayaan
terhadap apa yang disebut "distributive justice"
yakni hasil yang diperoleh semata-mata akibat
jasa yang diberikan dan bukan oleh sebab-sebab
lain. Mereka yang mendapatkan faedah sematamata
karena koneksi, relasi, hubungan keluarga,
dan mereka yang memperoleh kemudahan serta
fasilitas bukan dari hasil kerja keras, peras otak,
sebenarnya tak ada kaitan sama sekali dengan
orang modern, betapapun berkilau dan menterengnya
mereka di mata lingkungan.
Uraian di atas menegaskan kembali bahwa
jantung dari modernitas sesungguhnya bersifat
idiil: ia merupakan sesuatu yang melekat pada
cara kita berpikir, yang kemudian muncul dalam
pandangan, sikap, dan perilaku atau tindakan
30 SUKSES TANPA GELAR
kita. la lebih ditentukan oleh peta mental atau
paradigma seseorang.
Saya percaya bahwa orang modern tidak dilahirkan
begitu saja. Karena semua ciri orang
modern yang diutarakan Inkeles itu, satu per
satu dapat dipelajari, dapat ditumbuH-kembangkan
dan dibangun melalui pengetahuan, latihan,
pendidikan, pengalaman dan pergulatan hidup.
Dan dengan demikian setiap orang memiliki potensi
untuk menjadi manusia modern.
Bagian II
TUJUH
ORANG "GILA"
YANG SUKSES
Dari Gubuk ke New York
Ia lahir di Gubuk, kota kecamatan kecil di
Purwodadi, Jawa Tengah. Orangtuanya
memiliki sebuah toko kelontong di dekat
Mrapen, yang tak bisa disebut besar.
Kecintaannya pada karate membuatnya tak
ingin masuk universitas. Setamat SMA di Semarang
pada tahun 1979, ia menjadi pelatih karate
di mana-mana. Karate menjadi nafkah hidupnya.
Seorang pelatih yang melihat kesungguhan hatinya
untuk belajar karate memberi nasihat, "Kalau
mau jadi karateka jangan tanggung-tanggung.
Belajar di tempat asalnya sana, Jepang."
Nasihat itu diterimanya, maka ia pun berangkat
ke Tokyo pada tahun 1983- Cita-citanya cuma
satu: menjadi pelatih karate yang andal dan
hidup dari karate. Apalagi di Jepang pelatih
karate menerima gaji besar.
Sebelum berhasil mencapai cita-citanya, untuk
bertahan hidup ia rela menjadi tukang cuci piring
di restoran. Lalu menjadi pembawa bundel34
SUKSES TANPA GELAR
bundel koran yang dijual di stasiun-stasiun kereta
api bawah tanah, karena duitnya lebih banyak.
Pernikahannya dengan Neireida, pelatih karate
asal Amerika di Negeri Sakura itu mengubah
haluan hidupnya. "Harga diri saya sebagai lakilaki
tidak bisa menerima bahwa gaji\saya lebih
kecil dari istri saya," katanya terus terang. Dan
ia mengajak istrinya pulang ke Gubuk, Purwodadi,
dengan membawa 60 dolar AS di kantong.
Untuk menyenangkan Neireida, ia mengajak
sang istri ke Bali. Tanpa maksud yang jelas, ia
membeli kain tenun ikat dan batik. Semuanya
barang bekas. la buatkan desain dan ia jahitkan
menjadi pakaian jadi. Lalu mereka kembali ke
Gubuk.
"Kalau kita hidup di New York, saya nggak
mau kerja lagi. Sebab kesempatan baik saya di
Tokyo hilang. Kamu yang cari makan, saya tinggal
di rumah," demikian tanggapan istrinya ketika
diajak ke New York. la pun menyanggupinya.
Keteguhan hatinya untuk pergi ke New
York setara dengan keteguhan yang membawanya
ke Tokyo beberapa tahun sebelumnya.
November 1985 ia tiba di New York dan untuk
sementara tinggal di rumah mertuanya. Ia
hidup dengan menjual buku saku dan kaset-
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 35
kaset bekas di kaki lima. Pakaian desainnya dari
tenun ikat dan batik bekas dijual di flea market
(pasar kaget) di East Village, depan St. Mark.
Jualannya itu ternyata laku. "Pakaian yang
modalnya 5 dolar bisa saya jual 15—20 dolar. Setelah
dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, saya
masih punya sisa untuk pulang ke Indonesia
ditambah modal 300 dolar (AS) yang saya pakai
lagi untuk belanja di Bali," tuturnya dalam sebuah
wawancara di Harian Kompas, tahun 1992.
Kusnadi, demikian namanya, tidak pernah
mempersoalkan apakah ia berbakat atau tidak
untuk berbisnis. Yang ia tahu adalah bahwa ia
punya keyakinan kuat untuk dapat hidup di
tempat yang diinginkannya, baik di Tokyo maupun
di New York. Yang ia tahu adalah bahwa ia
bersedia bekerja keras untuk mencari nafkah.
Baik ketika di Tokyo maupun di New York, ia
pernah menjadi tukang cuci piring di restoran.
"Sebenarnya saya mau jadi pelayan di New York,
tapi sayang bahasa Inggris saya nggak lancar,"
akunya. Ternyata penguasaan bahasa Inggris
bukanlah determinan utama keberhasilannya.
la cepat beradaptasi dengan lingkungannya
yang baru. Sewaktu menjadi pencuci piring di
New York, ia hanya berjualan pada hari Sabtu
dan Minggu. Dan setelah menelusuri jalanan
36 SUKSES TANPA GELAR
dengan naik bis, subway (kereta api bawah tanah),
melihat-lihat kakilima, flea market, tokotoko
pakaian, department stores di hampir seluruh
kota, ia yakin dapat hidup dengan berjualan pakaian
saja.
Maka Kusnadi pun mulai mengumpulkan
modal. Selama sekitar 4 tahun ia menabung hasil
mencuci piring di restoran pada hari Senin
hingga Jumat dan hasil berjualan es krim keliling
blok-blok di New York pada hari Sabtu-
Minggu. Hasilnya lebih besar. Hanya dengan
berjualan es krim, ia dapat mengumpulkan 600
dolar. Karena itu, ia kemudian bisa kembali belanja
kain dan menjahitkan pakaian desainnya di
Bali dengan modal 3.000 dolar AS.
Kusnadi juga belajar bahwa bagi orang New
York khususnya dan orang AmerikS pada umumnya,
uang bukan persoalan. "Asal ada kesan
alamiah dan motif-motifnya sesuai dengan selera
mereka. Warna-warnanya dekat dengan warna
tanah. Warna kuning dan hijau tidak disukai.
Kalau ini diperhatikan, maka harga tidak menjadi
soal. Pernah satu setel pakaian yang saya tawarkan
40 dolar, orang tidak mau beli. Tapi ketika saya
naikkan menjadi 200 dolar, malah laku. Terutama
karena saya mengatakan bahwa ini adalah satusatunya
yang ada di dunia. Berbisnis di New
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 37
York juga harus memberikan kesan besar. Karena
itu ketika masih tinggal di rumah mertua, bila
ada telepon, saya dan Neireida selalu menjawab
"Kusnadi Boutique". Kalau mereka tahu bahwa
butik milik Kusnadi itu hanya rumah tinggal,
milik mertua lagi, wah bisa hancur saya," katanya
menyimpulkan pelajaran yang diperolehnya
dari segmen pasar yang dilayaninya.
Sekalipun Neireida semula mengatakan tak
mau bekerja lagi di New York, namun perjalanan
menentukan lain. Karena tuntutan pentingnya
memahami syarat dan prosedur ekspor-impor ke
dan dari Amerika, Neireida kemudian menangani
masalah ini. Hal itu semula terpaksa dilakukan
karena Kusnadi tak bisa mengurus masalah
pakaian jadi dan tenun ikat bekas seberat 70 kg
yang ditahan pihak bea cukai Amerika. Mereka
berdua harus mengumpulkan ribuan dolar untuk
dapat menebusnya. Jadilah mereka partner bisnis,
yang tetap bersama sekalipun memutuskan untuk
mengakhiri ikatan perkawinan mereka dan
bersiap membina keluarga baru dengan pasangan
masing-masing (Kusnadi kemudian menikah dengan
seorang gadis asal Indramayu yang pernah
tinggal di Bandung). Neireida mengurus perizinan
dan hubungan dengan butik-butik yang menjual
tenun ikat mereka di Amerika dan Kanada.
38 SUKSES TANPA GELAR
Kini Kusnadi memiliki dua butik, di New
York dan Los Angeles. la mendistribusikan produknya
melalui 1.650 butik di Amerika dan Kanada.
Semua proses produksi dilakukannya di
Bali lalu di ekspor ke Amerika. Di salah satu butik
langganannya di Beverly Hills, tempat para
bin tang Hollywood, ia bisa menjual sepotong
pakaian seharga 6.000 dolar AS. Salah satu topi
dari tenun ikat berlabel Kusnadi pernah dipakai
Mick Jagger dan kelompoknya dalam suatu pertunjukan
di California.
Omsetnya tahun 1991 senilai 1,2 juta dolar
dan sekarang mungkin sudah melampaui 5 juta
dolar AS. Jumlah yang luar biasa mengingat
modal awalnya hanya 60 dolar.
Kusnadi mempekerjakan lebih dari 100 karyawan
di Bali, tempat mereka rnendesain dan
menjahit pakaian. la menghabiskan waktu sekitar
dua bulan di Bali dan dua bulan berikutnya di
Amerika. "Separuh dari yang bekerja di pabrik
saya adalah kawan-kawan saya di Gubuk. Saya
ajak ke Bali dengan keluarganya. Anak-anak
mereka saya sekolahkan dan saya berjanji akan
menyekolahkan mereka sampai universitas. Selebihnya
dari pelosok-pelosok desa di Bali, yang
namanya tidak akan dikenal para turis. Walaupun
mereka hanya lulusan SD, namun kerja mereka
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 39
luar biasa. Saya juga punya dua rumah di dua
desa terpencil di mana saya membuat batik.
Kawan-kawan saya di sana ada 10 orang di tiap
rumah," demikian Kusnadi menuturkan sumber
daya manusia yang dimilikinya.
Ketika ditanya apakah ia merasa sudah berhasil
dalam bisnisnya, Kusnadi mengatakan tidak tahu.
la agaknya masih melakukan perjalanan "ke
dalam dirinya" setelah gagal dalam perkawinan
yang pertama. Yang jelas keyakinan pokok (belief)
Kusnadi bahwa ia dapat hidup di New York
dengan menjual baju telah terbukti benar.
Jika Anda adalah "anak kampung" yang "hanya"
berijazah SMA, tidak memiliki modal usaha
lebih dari 60 dolar dan tidak fasih berbahasa
Inggris, Kusnadi mungkin dapat menjadi tokoh
inspiratif. Walau tak harus menjadi Kusnadi
yang lain, Anda dapat menempuh jalan menuju
keberhasilan sesuai dengan pilihan keyakinan
Anda sendiri, bukan? Semoga.
Sukses Si Tomboy
Pengalaman di sekap dalam kamar gelap
selama berhari-hari oleh Petugas Laksusda
(Pelaksana Khusus Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah)
dan kegagalan untuk mendapatkan surat kelakuan
baik telah membuatnya memilih untuk berhenti
sekolah. Waktu itu, tahun 1982, perempuan
yang lahir 15 Januari 1965 ini, baru duduk di
kelas dua SMAN I Yogyakarta. la pun dinyatakan
drop out. Dan sebuah perjalanan hidup yang unik
pun dimulai.
Selama sekitar delapan tahun ia pontang-panting
kerja serabutan dan menghabiskan hidupnya
di jalanan. la pernah berkejar-kejaran dengan
petugas keamanan, bergulat dengan ombak dan
karang, ikut mencari harta karun di Nusakambangan.
Ganti usaha, ia keliling menembus belantara
hutan Sumatera mencari sarang burung.
Kadang dalam pencarian itu ia menyetir sendiri
mobil truknya.
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 41
Tahun 1983, dengan modal RplOO.OOO ia
membeli ikan di Parigandaran dan menjualnya
sendiri ke mana-mana. Keuntungan dari modal
awal itu ditambah hasil kerja serabutan lainnya
terus diputar dan dikembangkan hingga bisa
membeli ikan dalam jumlah banyak.
Dalam kurun waktu tersebut, hampir setiap
subuh ia menunggui nelayan-nelayan yang pulang
melaut, membeli ikan mereka, dan membawanya
ke Jakarta dengan menyetir sendiri mobil truknya.
Reny Sri Ayu Arman, yang pernah mewawancarainya,
menulis, "Bahkan hal itu dilakukannya
saat dia hamil hingga kandungannya berusia
tujuh bulan" (Kompas Minggu, 16/8/98).
Perempuan tomboy yang tampil sederhana ini
(bercelana. jeans atau celana pendek, kaos oblong,
kemeja, jam tangan plastik murahan, topi pandan
atau rajut, dan wajah yang nyaris polos tanpa
make up dan perhiasan) adalah Presiden Direktur
PT Andhika Samudra Internasional (ASI), pemegang
merek Susi Brand. Lewat ASI ia mengekspor
ikan, udang, lobster, dan produk-produk laut
lainnya ke Jepang, Singapura, dan Hong Kong.
Bahkan khusus lobster untuk Jepang, 46 persen
impornya diiakukan ASI.
Itulah sebabnya ketika Letter of Credit (LC)
Indonesia banyak ditolak di luar negeri, bulan
42 SUKSES TANPA GELAR
April 1998 ASI justru dengan mudah mendapatkan
200.000 dolar AS dari pemesannya di Jepang
dalam bentuk red dose LC. Bulan Oktober
sebelumnya ia telah mendapatkan pinjaman tanpa
syarat sebesar 30 juta yen. Hal ini menunjukkan
bahwa PT ASI sangat mandiri dan tidak di-»>l
dikte oleh pemesannya. la justru lebih berperan
dalam menentukan aturan main yang harus diikuti
pemesannya.
Prestasi lain menyangkut kiprahnya untuk
produk non chemical treatment. Semua produk
yang diekspor (ikan, udang, lobster, dll.) hanya
diolah secara tradisional: dicuci dengan air garam,
disterilkan lalu dibekukan. Untuk peralatan hanya
dicuci dengan air panas. Jepang yang terkenal
sangat ketat dalam soal ini, semula menolak
cara yang demikian. Namun ia berjuang untuk
meyakinkan konsumennya dengan membav^a
mereka meninjau pabriknya dan memberikan
berbagai penjelasan argumentatif. Ia berhasil.
Pengakuan internasional terhadap cara yang dilakukannya
dipublikasikan berbagai media asing,
di antaranya majalah perikanan terbesar di Negeri
Kanguru, Austasia Aquaculture edisi 1996/
1997. Puluhan kontainer yang dikirimnya ke Jepang
tak satu pun ditolak.
Susi Pudjiastuti, demikian nama srikandi yang
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 43
satu ini, memiliki visi yang jelas tentang masa
depan perusahaannya. 'Kalau Tuhan merestui, pada
saat Susi berusia 40 tahun nanti, PT ASI akan
go public dengan komposisi saham sebagai berikut:
30% untuk orang Jepang, 30% untuk dirinya,
2,5% dihibahkan untuk karyawan, dan sisanya
untuk publik.
Visi yang jelas ini diimbangi pula dengan kecintaannya
pada lingkungan dan kepedulian sosialnya
yang tinggi. Untuk menciptakan industri
yang environment friendly, Susi sedang membuat
pembangkit tenaga listrik tenaga matahari, yang
tak merusak lapisan ozon. Pepohonan, pabrik
beratap rumbia, sebagian lantainya terbuat dari
kayu, dan kolam ikan merupakan bukti komitmennya
untuk membangun industri hijau. Setiap
hari limbah pabriknya (kepala dan tulang sisa
ikan) ditampung tukang kerupuk dan bakso. Disetiap
ruangan terdapat tiga tempat sampah untuk
sampah kering, basah, dan plastik. Tiap petang
sampah yang bisa dibakar akan dibakar,
sisanya dijadikan kompos. Sementara tanah-tanah
kosong di sekitar rumah dan pabriknya dijadikan
hutan bakau.
Kepedulian sosialnya dinyatakan dengan sesekali
menyetir sendiri truknya bolak-balik mengangkut
orang-orang kampung yang turun dari
44 SUKSES TANPA GELAR
gunung sekali setahun dan ingin menikmati keindahan
pantai Pangandaran. Karena mereka
tak punya uang, ia yang membayar tiket masuk
mereka. Disamping itu para janda dan yatim
piatu di sekitar PT ASI selalu kebagian "hadiah
Lebaran" berupa 25 kg beras dan uang tunai*1
Rp25.000 per keluarga, dengan memperhatikan,
jumlah anggota keluarga tersebut.
Susi memang "tak mampu" menyelesaikan sekolah
menengah atasnya di Yogya. Tapi ia mampu
membuat pabriknya di Pangandaran, Ciamis, Jawa
Barat, bergerak tanpa henti 24 jam sehari,
30 hari sebulan setahun penuh. Dan mungkin
bila tahun 2005 tiba, saat ia menginjak umur
ke-40, ia ingin memulai perjalanan yang lain dalam
hidupnya (Bukankah life begins at forty?).
Untuk banyak orang, tak tamat sekojatr menengah
berarti kiamat. Tapi bagi Susi, "kiamat"
itu masih bisa diolah menjadi rahmat dan berkat.
Susi, Susi. Maukah engkau menjadi guru bagi
putri-putri pertiwi?
Sukses Tanpa Sekolah
Anak kecil itu berlari-lari pulang ke rumahnya.
Tangannya yang mungil memegang
sepucuk surat dari guru sekolahnya.
Di ambang pintu rumah ia berteriak,
"Mama, Mama, ada surat dari Pak Guru". Ibunya,
Nancy Elliot, mantan guru, menyambut
anak bungsu dari tujuh bersaudara itu dengan
ciuman dan pelukan penuh kasih sayang.
"Coba Mama lihat," ujarnya seraya membuka
amplop surat dengan hati-hati. Tangannya gemetar
saat matanya menelusuri kata demi kata
yang terpampang jelas di hadapannya: "Anak ini
terlalu bodoh untuk dididik. Kami mengembalikannya
pada Anda. Mulai besok, ia tak perlu datang
ke sekolah lagi."
"Ma, mengapa Mama menangis?" tanya si
anak, penuh keluguan. Dengan cucuran air mata
sang ibu meraih tubuh kecil itu, memeluknya
sambil berkata, "Thomas, I educate you my self."
Waktu itu, si anak berusia 7 tahun, dan baru tiga
46 SUKSES TANPA GELAR
bulan mengecap pendidikan formal di sekolah.
Dan ia memang tak pernah masuk sekolah lagi.
Ketika usianya 12 tahun, anak yang dipanggil
Thomas itu menjadi penjual kue, koran, kacang,
dan permen di kereta api. la pernah ditampar
kondektur, sehingga pendengarannya (telinga)
rusak dan dilarang bekerja di kereta api.
Sungguh sulit dibayangkan bahwa anak yang
"terlalu bodoh", drop-out Sekolah Dasar, dan
sempat menjadi pedagang asongan itu, kemudian
mencantumkan namanya dalam deretan ilmuwan
paling terkemuka di muka bumi. Tidak kurang
dari 3-000 penemuan dicatat atas namanya, atau
atas nama orang-orang yang bekerja dengannya.
Dialah Thomas Alva Edison. Penemuan-penemuan
seperti laboratorium riset untuk industri,
stasiun tenaga listrik, sistem distribusi Kstrik,
fonograf (kemudian dikembangkan menjadi taperecorder),
kinetograf (kamera film), kinetoskop
(proyektor film), lokomotif listrik, mikrofon dan
pengeras suara, adalah beberapa contoh yang
selalu dikaitkan dengan nama Edison. Apakah
Edison menjadi cerdas secara ajaib, sehingga ia
menjadi tokoh yang berhasil? Ternyata tidak.
Meskipun ia sangat gemar membaca, dan memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam berkonsentrasi
sedemikian rupa, sehingga melupakan
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 47
semua hal di luar subyek yang sedang diselidikinya,
Edison juga seorahg pelupa berat. Mungkin
sulit dipercaya ketika suatu hari, saat masih asyik
memusatkan pikirannya untuk memecahkan
sebuah masalah ilmiah, Edison pergi ke kas negara
untuk membayar pajak. la harus berdiri cukup
lama, sebelum akhirnya mendapat giliran. Dan
ketika gilirannya tiba, ia lupa narnanya sendiri.
Salah seorang tetangga, setelah mengetahui
betapa ia kebingungan, mengingatkan bahwa
namanya adalah Thomas Alva Edison.
Masih ada cerita lain yang tak kalah menarik.
Suatu pagi, setelah semalam suntuk bekerja di
laboratorium, Edison menantikan sarapannya.
Mungkin karena terlalu lelah, ia tertidur di meja
makan. Salah seorang asistennya, yang baru saja
selesai makan ham dan telur, ingin mempermainkan
dirinya. Ia meletakkan piring-piring dan
cangkir kosong di meja Edison. Beberapa menit
kemudian, Edison bangun, mengusap matanya
dan melihat piring dan cangkir kosong. Ia berpikir
sebentar, lalu menyimpulkan bahwa tentunya
ia sudah sarapan sebelum tertidur. la lalu
menjauhkan diri dari meja makan dan mulai bekerja
lagi. Thomas Edison tak akan pernah tahu
duduk perkara yang sebenarnya, jika asistenasistennya
tidak tertawa terbahak-bahak.
48 SUKSES TANPA GELAR
Jadi, Thomas Alva Edison bukanlah seorang
jenius dalam arti yang dibayangkan banyak
orang. Namun terbukti bahwa ia sukses luar biasa.
Dalam usia belasan tahun, ia dapat membuat
beberapa peralatan mesin cetak telegrafis yang
dijualnya seharga US$40.000. Pada usia 2$
tahun, ia mendirikan laboratorium riset untuk
industri. Dalam waktu 13 bulan, ia mencatatkan
400 macam penemuan.
Saya kira Edison benar, ketika ia mengatakan
bahwa orang bisa berhasil bila memiliki 1 % inspirasi
(ide yang hebat) dan 99% perspirasi (keringat
alias kerja keras). Sayang, saya tak pernah
berhasil menemukan, berapa harga keringat seorang
Edison, yang meninggal di West Orange,
New York, 18 Oktober 1931, dalam usia 84 tahun.
Anda tahu?
Sukses Tukang Semir
Jika faktor penentu sukses adalah keluarga
atau garis keturunan, orang ini seharusnya
gagal total. Andai faktor penentu sukses adalah
pendidikan tinggi, ia pun tidak berpeluang
untuk berhasil. Lalu apa yang membuatnya berhasil
kemudian?
la lahir di Detroit, 1 November 1928. Kedua
orangtuanya, yang berasal dari Sicilia, tidak mengenal
pendidikan dan amat miskin. Tak ada
pekerjaan tetap yang dilakukan ayahnya untuk
memastikan kelangsungan hidup mereka. Bahkan
lebih parah lagi, ayahnya sangat "ringan tangan"
terhadap anak-anaknya. Kehidupan yang berat
telah merusak jiwanya. la sering memukuli
anaknya, dan baru berhenti bila bagian tubuh si
anak mengeluarkan darah atau lebam-lebam.
Bagi sang ayah, ia adalah anak pembawa sial,
kurang ajar, tak tahu untung, dan seterusnya.
Minuman keras dan judi adalah tempat pelarian
orangtua yang malang ini.
Beruntung ia mempunyai seorang ibu, yang
50 SUKSES TANPA GELAR
sekalipun tak berpendidikan namun memiliki
rasa kasih yang besar. Setelah dipukuli dan dicaci
maki ayahnya, anak malang ini akan dihibur
oleh ibunya. Sambil membersihkan bekas luka
akibat pukulan dengan air hangat, ibunya selalu
membisikkan kata-kata pembangkit semangat-.
"Jangan dengarkan kata-kata ayahmu, Nak. Kamu
bukan anak kurang ajar. Kamu anak Ibu
yang pintar. Suatu hari kelak kamu akan berhasil
dan dikenal orang," ujar Ibunya meramalkan
masa depan bocah kecil itu.
Ketika masih di sekolah dasar, anak ini mencoba
meringankan beban orangtuanya dengan
bekerja serabutan. la menjadi penyemir sepatu,
menjajakan koran dijalanan, mencuci pakaian
orang, atau buruh kontraktor. la juga pernah
mencoba menjadi "bajingan cilik" yang kemudian
tertangkap dan dimasukkan ke penjara arjakanak
nakal.
Gagal menjadi "mafioso kecil", ia kemudian
mencoba mendapatkan pekerjaan yang haial.
Sayangnya, karena tak punya pendidikan yang
baik—ia drop out dari sekolah menengah, ia tak
punya banyak pilihan. Rekornya tak tanggungtanggung,
dipecat dari lebih 40 pekerjaan karena
sikapnya yang buruk. Ketika diterima di Angkatan
Darat Amerika pun, ia hanya mampu bertahan
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 51
selama 97 hari, dan akhirnya dikeluarkan juga.
la sering teringat kata-kata ayahnya. "Mungkin
ayah benar. Aku ini pembawa sial, anak
kurang ajar yang tak bisa bekerja dengan baik,"
pikirnya meratapi nasib.
Lelaki berusia 35 tahun tanpa pekerjaan ini
suatu hari mendengar istrinya berkata, "Joe, di
rumah ini tidak ada makanan. Anak kita tak punya
makanan untuk hari ini. Lakukanlah sesuatu".
Waktu itu salju turun setebal lutut di luar
rumah. Dibalut kekalutan dan rasa frustasi bercampur
rasa tanggung jawab sebagai kepala keluarga,
ia keluar dari rumah dengan satu tekad
bulat, "Aku tak akan kembali ke rumah hari ini
tanpa membawa makanan."
Tekad itu membawanya ke sebuah showroom
Chevrolet. Dan di malam hari ia berhasil membawa
pulang makanan untuk keluarganya. Usianya
35 tahun dan kariernya sebagai wiraniaga otomotif
baru dimulai. Masih mungkinkah ia berhasil?
Tahun pertama ia menjual 267 unit Chevrolet.
Tahun berikutnya naik menjadi 307 unit. Lalu
343 unit pada tahun ketiga. Tahun keempat ia
menjual 614 unit mobil. Dan sejak tahun 1966
itu namanya tercatat sebagai wiraniaga otomotif
nomor satu dunia menurut Guinness Book of Records.
52 SUKSES TANPA GELAR
"Nubuat" ibunya menjadi kenyataan. la anak
pintar yang dikenal orang. Semua kata-kata
ayahnya ternyata salah. Tekadnya makin bulat
untuk membuktikan bahwa, "aku bukan anak
bodoh, bukan pembawa sial, bukan anak kurang
ajar. Aku anak pintar dan dunia akan mengerjM
namaku seperti kata Ibu."
Prestasi sebagai wiraniaga nomor wahid itu
dipertahankannya secara konsisten selama hampir
12 tahun. Penjualan tahunan terbanyak dilakukannya
pada 1973, 1.425 unit mobil dijualnya
sendiri. Dalam satu bulan ia pernah menjual 174
unit mobil. Rekor penjualan harian terbanyak
adalah 18 unit mobil. Selama 15 tahun berkarier
(1963-1977), ia telah menjual 13.001 unit mobil,
atau rata-rata menjual 6 unit mobil per hari
(jumlah ini adalah target penjualan per- bulan
untuk wiraniaga otomotif di Indonesia sebejum
krisis ekonomi 1997). Penghasilannya di atas
200.000 dolar Amerika per tahun, jumlah yang
tidak sedikit pada waktu itu.
la akhirnya menerima berbagai penghargaan,
di antaranya adalah: The Golden Plate Award dari
American Academy of Achievement dan Dr.
Norman Vincent Peale menominasikan dirinya
untuk menerima Horatio Alger Award, penghargaan
bagi orang Amerika yang terbukti berhasil
Tujuh Orang "Gila " yang Sukses 53
melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan
menjadi tokoh masya'rakat.
Setelah menggantungkan "sales-kit" tahun
1977, ia kemudian dikenal sebagai pembicara
dan penceramah motivasional. Dibantu Stanley
H. Brown, Robert Casemore dan Robert L.
Shook, ia menuliskan kisah-kisah suksesnya melalui
buku How to Sell Anything to Anybody (1977),
How to Sell Your-self (1979), dan How to Close
Every Sales (1989). la juga menuturkan kiat-kiat
suksesnya melalui kaset-kaset dan video.
Namanya adalah Joe Girard. Tahun 1992 ia
berbicara dalam seminar wiraniaga di Hotel Hilton,
Jakarta. Setelah itu ia diundang kembali sebagai
pembicara utama dalam Achievers Congres
di Indonesia tahun 1996. Menurut panitia pengundang,
honor bicaranya US$2,000 per jam
atau US$10,000 per hari.
Orangtua miskin dan pengangguran, penjara
anak-anak nakal, drop out dari sekolah, dipecat
40 kali lebih, dan usia yang tak muda lagi untuk
memulai sebuah karier, semuanya tak mampu
membelenggu Joe. la, mengutip judul buku
Frank Bettger, meretas belenggu kegagalan dan
meraih sukses dalam penjualan.
Maukah kita melepaskan diri dari belenggubelenggu
kegagalan kita sendiri?
Sukses Tukang Pos
anyak anak yang "gila" komik di dunia
ini. Kesenangan anak terhadap komik
melintasi batas negara, ras, dan agama.
Namun tak banyak anak yang kemudian berhasil
mengembangkan kecintaan terhadap komik
menjadi sebuah usaha yang menghasilkan kekayaan
berlimpah ruah. Steve Geppi adalah salah
satu—untuk saya bahkan satu-satunya—jutawan
Amerika yang membangun kerajaan bisnis d.alam
bidang distribusi komik.
Steve bukanlah orang yang luar biasa. la b.ukan
putra mahkota konglomerat, bukan anak
jenius yang selalu lulus cum laude seperti Habibie,
bukan ahli waris kerajaan, dan bukan pula anak
senator ternama di negeri impian itu. Pekerjaan
pertamanya adalah tukang sortir buku-buku komik
di belakang sebuah toko minuman keras.
Waktu itu usianya masih 9 tahun. Pada usia 10
Steve bekerja mengurusi pengembalian pajak bagi
tetangganya. Ayahnya tak memiliki pekerjaan
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 55
yang jelas. Dan pada usia 13 tahun ia drop out
dari sekolah. Selama s'atu tahun ia bekerja sebagai
pengawas anak-anak yang membolos sekolah.
Steve menikah pada usia belia, 19 tahun. Saat
itu ia memerlukan pekerjaan tetap untuk memberi
nafkah pada keluarganya. Ia mengikuti test
masuk sebagai mailman (tukang pos) dan mendapatkan
bayaran kurang lebih Rp6.000 per jam.
la bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 14.30
siang hari, mengantarkan surat-surat. Terkadang
ia bekerja lembur menggantikan petugas yang
absen. Dalam lima tahun gajinya naik lima kali
lipat, menjadi sekitar RplS.OOO per jam.
Tahun 1972, Steve mendapat ide bisnis secara
tak sengaja. Waktu itu ia melihat seorang keponakannya
sedang membaca komik Batman. Sudah
lama ia tak menyentuh komik. Namun Georgie
Kues, sang keponakan itu membangkitkan kembali
kecintaannya pada komik. la menyadari
bahwa pasti ada orang dewasa yang merasakan
hal serupa bila melihat komik kesukaan mereka
di waktu kecil.
Steve lalu membeli sekeranjang komik bekas
dari seorang wanita dalam perjalanannya mengantar
surat-surat. Kemudian ia menghabiskan
akhir pekannya untuk menyaksikan pameran
56 SUKSES TANPA CELAR
komik, membeli dan menjualnya kembali kepada
penggemar lainnya.
Tahun 1974, usianya sekitar 26 tahun, Steve
memutuskan untuk berhenti sebagai tukang pos
dan membuka toko komik. Rekan-rekannya menertawakan
keinginan Steve dan mengatakanbahwa
ia pasti kembali setelah dua bulan. Tapi
mereka tidak pernah melihat Steve mengantar
surat lagi sejak saat itu.
Toko pertama yang diberinya nama Geppi's
Comic World, digelar di basement sebuah toko reparasi
televisi. Dan para pelanggannya kemudian
menyarankan agar harga komik lama tidak dijual
murah, sebab orang yang mencari komik
tua tidak akan mempersoalkan masalah harga
komik yang diinginkannya. Tak ada yang. menyangka
bahwa saran sederhana itu kelak-akan
membuat Steve menangguk keuntungan besar.
Steve kemudian mengadakan perjalanan panjang
mengumpulkan komik bekas dan menyusunnya
dalam berbagai kategori. la menginvestasikan
uang sekitar Rp6.000.000 untuk mengumpulkan
komik dan ditemani mobil van merek Ford ia
melakukan perjalanan menelusuri jalan-jalan di
Pensylvania.
Tanpa menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya
waktu itu, Steve sebenarnya menjadi
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 57
salah satu perintis bisnis komik eceran di Maryland.
Industri komik masih terhitung baru waktu
itu.
Tahun 1982, Steve telah memiliki 4 toko komik,
termasuk toko komik di daerah turis, Harborplace,
Baltimore. Tak lama setelah itu ia mendirikan
jaringan distributor komik, Diamond
Comic Distributors. Setiap tahun pertumbuhan
Diamond sekitar 40%. Pada waktu yang hampir
bersamaan, ia merekrut orang-orang profesional
untuk mengontrol bisnisnya.
Dewasa ini Diamond memiliki 27 gudang di
Amerika, Kanada, dan Inggris, dan mempekerjakan
900-an karyawan. Steve menggunakan kecanggihan
teknologi informasi untuk memudahkan
pelanggannya melakukan pemesanan ulang
secara cepat dan memiliki jaringan distribusi seperti
bisnis makanan eceran dengan segala mata
rantai bisnisnya.
Di Amerika, melalui Diamond Steve menguasai
45% pangsa pasar dalam bisnis komik
eceran. Tahun 1987 total penjualannya baru
mencapai sekitar Rp38 milyar, dan melonjak
menjadi Rp280 milyar pada tahun 1992. Tahun
berikutnya total penjualan mencatat angka tak
kurang dari Rp450 milyar, dan tahun 1994 melewati
angka Rp500 milyar. (Semua angka dalam
58 SUKSES TANPA GELAR
tulisan ini dihitung dengan asumsi nilai tukar
Rp2.500 per US dolar).
Steve Geppi adalah contoh bagaimana sebuah
mimpi yang tak terlalu jelas pada awalnya, kemudian
menjadi kenyataan. la menjadi rnilyarder
tanpa modal besar dan tanpa pendidikan yang
berarti.
Menurut orang-orang dekatnya, kunci keberhasilan
Mr. Geppi adalah visi bisnis yang luar
biasa, keberanian mengambil risiko, dan keterampilan
untuk menarik minat dan simpati setiap
orang yang ditemuinya. Disamping itu bisa disimpulkan
juga bahwa Mr. Geppi adalah seorang
yang sangat memperhatikan masukan dari pelanggannya,
rendah hati, mau belajar, dan tidak
pernah merasa terlambat untuk mulai melakukan
sesuatu.
Saat ini Mr. Geppi tidak lagi menge"ndarai
mobil Fordnya yang tua. la mengendarai sedan
Lexus, mobil paling mewah yang diproduksi Toyota
Motor Corporation. Dalam sejarah Amerika,
ia adalah satu-satunya tukang pos yang berhasil
menjadi milyarder.
Indonesia memiliki puluhan juta anak. Sebuah
pasar yang luar biasa potensial. Dan anak-anak
itu akan lebih bahagia bila ada "Geppi-Geppi"
Indonesia yang memastikan mereka selalu men-
Tujuh Orang "Gila " yang Sukses 59
dapatkan komik yang mereka inginkan. Belum
termasuk para orangtlia yang juga memiliki komik-
komik favorit yang jika dimungkinkan ingin
mereka koleksi untuk mengenang masa-masa
bahagia waktu kecil.
Apakah Anda berminat untuk melayani kebutuhan
ini?
Sukses Jongos Kantor
Pendidikan formalnya berakhir di bangku
sekolah menengah atas. Pekerjaan yang
pertama adalah sebagai pekerja sosial di
Salvation Army—organisasi keagamaan yang
memiliki banyak rumah yatim piatu di banyak
negara. Usianya 18 tahun waktu itu. Dan dua
tahun berikutnya ia terdaftar sebagai jongos
kantor (office boy atau janitor) di sebuah gedung
di kota Glendale yang terletak di antara Los
Angeles dan Orange Country, negara b'agian
California, Amerika Serikat.
Siapa nyana, pada usia sekitar 25 tahun, ia
kemudian menjadi begitu terkenal bahkan dipuja
masyarakat luas. Dari seorang pemuda kurang
pendidikan yang punya masalah dengan berat
badan, dalam waktu kurang dari satu dekade, ia
telah mentransformasikan hidupnya secara luar
biasa. la menjadi figur orang yang sukses, sehat,
sejahtera, dan bahagia.
la tampil dalam berbagai program televisi,
Tujuh Orang "Gila " yang Sukses 61
memberi nasihat kepada banyak orang: pemimpin
sebuah negara (termasuk kemudian Bill Clinton),
para gubernur negara bagian, para senator, pimpinan
perusahaan, bahkan sampai orang-orang
yang sakit fisik maupun mental.
Ia berdiskusi dengan para ahli diet, melatih
para eksekutif perusahaan, bekerja bersama para
atlit dan anak-anak cacat (learning-disable kids).
Dan setelah pekerjaannya selesai, ia terbang dengan
jet pribadinya menuju San Diego. Di sana
ia menghabiskan waktunya bersama istri dan keempat
anaknya di sebuah rumah semegah istana
yang menghadap ke Lautan Pasifik—sementara
beberapa tahun sebelumnya ia hanyalah bujangan
miskin yang kelebihan berat badan dan tak punya
pekerjaan yang membanggakan.
Ia diundang untuk berbicara dalam berbagai
forum nasional, bahkan internasional. Jika panitia
yang mengundangnya dalam sebuah seminar
mengharapkan kehadiran 2.000 peserta, maka di
gedung yang berkapasitas 5.000 orang, mereka
yang datang tak kurang dari 7.000 orang. Semuanya
seakan berlomba untuk melihat, mendengarkan,
dan menikmati ceramahnya. Jalanan di
sekitar gedung itu akan macet total sepanjang
satu mil. Dan ratusan orang berebutan untuk
dapat menyentuh tangannya atau mencoba
62 SUKSES TANPA GELAR
memberikan pelukan penuh kasih sayang tulus.
Semua itu merupakan ekspresi dari rasa terima
kasih yang besar kepada tokoh muda yang telah
memberikan nasihat kepada mereka, yang nasihatnya
telah berdampak positif luar biasa bagi
kehidupan mereka sehari-hari.
la memang bagaikan anak kampung yang berhasil
menjadi pangeran dalam dongeng-dongeng
H.C. Andersen. Pada awal kiprahnya dalam memberikan
seminar-seminar dan kursus-kursus psychology
of motivation and achievement ia ditertawakan,
diejek, dan dikririk. Para profesor dan doktor
psikologi mempertanyakan kredibilitasnya.
Namun hanya dalam waktu sekitar 7 tahun, ia
telah diakui luas sebagai orang yang kompeten,
Beberapa pakar yang memiliki otoritas akademis
bahkan berguru kepadanya tanpa rasa malii.
Kredibilitas orang muda yang lahir di awal
tahun 60-an ini makin kukuh ketika ia mendirikan
sembilan perusahaan dan menulis dua buku
national best seller di Amerika, yang tebalnya
lebih dari 400 halaman. Para penulis dan tokoh
terkemuka di Amerika memberikan pujian luar
biasa pada karya tulis lulusan SMA ini. Kata
pengantar bukunya di ditulis oleh Dr. Kenneth
Blanchard (termahsyur lewat One Minute Manager),
Sir Jason Winters (penulis Killing Cancer),
Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 63
Dr. Frederick L. Covan, Psikolog Kepala di Rumah
Sakit Bellevue di kota New York. Pujian
tertulis untuk karyanya disampaikan oleh Dr.
Barbara De Angelis, Charles Givens, Pat Riley,
Dr. Stephen R. Covey (semuanya penulis buku
best-seller di tingkat nasional dan internasional),
Martin Sheen (bintang film), Peter Guber (Direktur
Utama dan CEO, Sony Picture), dan Scott
DeGarmo (Editor-in-Chief and Publisher, Success
Magazine).
Dalam waktu sekitar 5 tahun, buku pertamanya
berjudul Unlimited Power, telah diterjemahkan
ke dalam sebelas bahasa. Dan selama 10 tahun
terakhir, lebih dari satu juta orang telah mendengarkan
kaset-kaset, video-video, dan membaca
buku-bukunya di seluruh dunia. Belum termasuk
lebih dari 250.000 orang yang dilayaninya melalui
konseling pribadi, seminar, latihan, lokakarya,
dst. Dalam daftar "pelanggannya" tercatat, antara
lain para senator anggota kongres, presiden perusahaan
dan negara, para manajer, ibu rumah
tangga, wiraniaga, akuntan, ahli hukum, konselor,
psikiater, atlit profesional, dan doktor berbagai
disiplin ilmu. Juga orang-orang sakit mental,
mereka yang mengalami depresi, orang-orang
berpkepribadian ganda atau mereka yang merasa
tidak memiliki kepribadian sama sekali.
64 SUKSES TANPA GELAR
Orang muda yang menulis Awaken the Giant
Within pada tahun 1991 ini, mengembangkan
apa yang populer dengan sebutan Neuro-Linguistic
Programming (NLP) yang kemudian direvisinya
menjadi Neuro-Associative Conditioning (NAC).
Suatu konsep yang baru dikenal pada awal ta%.
hun 70-an berkat jasa Richard Bandler dan John
Grinder.
NLP atau NAC mengasumsikan bahwa untuk
menjadi manusia unggul, seseorang harus memiliki
contoh atau teladan atau model untuk ditiru.
Bila seseorang yang mempunyai masalah
dengan berat badan dan ingin menjadi lebih
langsing misalnya, maka ia perlu mencari sebuah
model yang tepat. Kemudian mempelajari apa
yang mereka makan, bagaimana mereka makan,
apa yang mereka pikirkan, apa yang rfiereka
yakini, lalu tirulah. Teladan atau mbdef yang
dimaksud tidak harus "nyata", tetapi bisa juga
imajiner—dalam arti tokoh tersebut telah lama
wafat.
NAC adalah kunci sukses orang muda ini.
Dan namanya adalah Anthony Robbins. Dapatkah
ia ditiru?
Sukses Melalui Kegagalan
Inilah kisah seorang anak manusia, yang dilahirkan
tahun 1809; yang diusir bersama
keluarganya dari tanah milik mereka ketika
usianya baru 7 tahun; kemudian ditinggal mati
ibunya saat masih berusia 9 tahun; yang pada
usia 22 tahun sempat bekerja sebagai staf administrasi
sebuah toko, namun akhirnya dipecat;
yang terjerat utang dari bisnisnya yang bangkrut
pada tahun berikutnya—ia memerlukan
waktu sekitar 17 tahun untuk melunasi utangnya
itu.
Inilah kisah seorang anak manusia, yang "nekad"
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif,
dan gagal; yang mencoba berbisnis lagi dan
bangkrut untuk kedua kalinya; yang pada usia
25 tahun ditinggal mati kekasih (Ann Rutledge)
yang sangat dicintainya; yang mengalami penolakan
cinta pada kesempatan kedua.
Inilah kisah seorang anak manusia, yang pada
usia 29—31 tahun dua kali mencalonkan diri se66
SUKSES TANPA GELAR
bagai anggota legislatif, dan dua-duanya berakhir
dengan kegagalan; yang akhirnya menikahi Mary
Todd pada usia 33 dan kemudian banyak mengalami
penderitaan dalam perkawinannya; yang
gagal menjadi anggota kongres pada usia 34 dan
39; yang ditinggal mati ketiga anaknya (satu\
berusia 4 tahun, dan yang lainnya tidak sempat •
melewati ulang tahun mereka yang ke-18).
Inilah kisah anak manusia, yang mengalami
penolakan ketika melamar ke US Land Office;
yang kalah dalam pemilihan anggota senat pada
usia 45 tahun; yang menjadi calon Presiden
Amerika pada usia 47 tahun dan kalah; yang kalah
lagi dalam pemilihan calon anggota senat 2
tahun berikutnya. Inilah kisah anak manusia,
yang pada usia ke-51 akhirnya terpilih sebagai
Presiden Amerika Serikat. T
Tidaklah diragukan bahwa manusia yang satu
ini mengenal dan memahami benar apa makna
kegagalan dan penderitaan karena ditinggal
orang yang dicintai (ibu, kekasih, dan anakanak),
dipecat dari pekerjaan, terjerat utang dan
gagal menjadi praktisi bisnis, gagal menjadi
anggota kongres, gagal menjadi anggota badan
legislatif, gagal menjadi senator berulang kali,
gagal menjadi presiden pada kesempatan pertama.
Untuk sebagian orang hal-hal semacam itu da-
Tujuh Orang "Gila " yang Sukses 67
pat mengantar mereka ke rumah sakit jiwa, atau
memberikan alasan kuat untuk bunuh diri.
Namun orang ini bertahan. la tidak melakukan
tindakan bodoh, tidak dipenjarakan oleh
rasa frustrasi. Manusia yang satu ini memiliki
pandangan yang unik mengenai kegagalan. la
pernah berkata: "Tidak pent ing berapa kali Anda
gagal, yang pent ing berapa kali Anda bangkit". Dan
perjalanan hidupnya adalah proses kebangkitan
dari kegagalan berantai.
Potret wajah manusia yang satu ini dikenal
dalam sejarah umat manusia, tidak saja di negeri
yang pernah dipimpinnya—yang kemudian menjadi
negara adi kuasa dan cenderung bertindak
sebagai "polisi dunia" dewasa ini—tetapi juga di
berbagai pelosok bumi. Wajahnya yang "keras"
karena benturan penderitaan itu terpampang
dalam dolar-dolar Amerika.
Itulah kisah singkat seorang anak manusia
bernama Abraham Lincoln, yang terpilih menjadi
Presiden Amerika Serikat pada tahun I860. Sebuah
kisah tentang kefanaan dunia. Kisah tentang
perjuangan melepaskan diri dari belenggu kegagalan
dan merengkuh keberhasilan yang juga
sementara sifatnya. la seolah menjadi peringatan
bahwa—seperti judul salah satu novel Sidney
Sheldon—nothing lasts forever, tiada yang abadi.
68 SUKSES TANPA GELAR
Kegagalan pun tidak. Sebab kegagalan dalam
kehidupan Lincoln hanyalah keberhasilan yang
tertunda.
Tidak penting berapa kali Anda gagal, yang
penting berapa kali Anda bangkit! Adakah kisahnya
memberikan inspirasi bagi Anda?
Bagian III
MEMBANGKITKAN
ROH KEBERHASILAN
Jadilah Proaktif
"Kualitas kehidupan kita 10% ditentukan oleh apa
yang terjadi pada diri kita, dan 90% ditentukan oleh
bagaimana kita menanggapi kejadian-kejadian tersebut."
Dalam literatur manajemen dan self development
yang ditulis sejak awal tahun
90-an istilah proaktif makin banyak
digunakan. Secara agak khusus istilah proaktif
"menggeser" kata inisiatif, karena memiliki pengertian
yang lebih kaya, lebih lengkap, lebih
luas, lebih dalam.
Menurut Stephen Covey, salah seorang tokoh
yang mempopulerkan istilah ini, proaktif didefinisikan
sebagai kekuasaan, kebebasan, dan kemampuan
untuk memilih respons-respons kita terhadap apa yang
terjadilmenimpa diri kita berdasarkan nilai-nilai
yang kita anut. Lawan kata proaktif adalah reaktif,
yakni ketidakberdayaan dan ketidakbebasan
serta ketidakmampuan memilih respons terhadap
apa yang terjadi pada dirinya dan/atau ketidakjelasan
mengenai nilai-nilai yang kita anut.
72 SUKSES TANPA GELAR
Seseorang dikatakan proaktif apabila ia mengambil
inisiatif untuk bertindak, berpikir positif
terhadap apa yang telah terjadi, dan menerima
tanggung jawab atas tindakannya. Sementara
orang reaktif tidak berinisiatif, berpikir negatif,
dan menolak tanggung jawab—karena merasa
bahwa pihak atau hal lain di luar dirinyalah yang
bertanggung jawab (baca: selalu mencari kambing
hitam).
Meski secara teoritis manusia proaktif dan
manusia reaktif dapat dibedakan secara gamblang,
namun dalam kehidupan sehari-hari pembedaan
tersebut tidak mudah dilakukan. Hal ini terutama
disebabkan karena tidak seorang pun dapat dikatakan
proaktif 100% atau reaktif 100%. Atau
tidak seorang pun yang dapat mengklaim bahwa
responsnya selalu proaktif atau reaktif rrfelulu,
sepanjang waktu, 24 jam sehari, 7 hari seminggu,
nonstop. Mereka yang 100% proaktif mungkin
malaikat (bukan manusia) dan mereka yang
100% reaktif adalah binatang (juga bukan manusia).
Dalam sejarah, orang-orang yang disebut
proaktif (misalnya: Mahatma Gandhi, Abraham
Lincoln, Bung Karno, Victor Frankl, Nelson
Mandela, dll.) sesungguhnya lebih tepat disebut
sebagai orang-orang yang memiliki proaktivitas
Memhangkitkan Roh Keberhasilan 73
tinggi. Mereka memberikan respons-respons proaktif
dalam banyak - aspek kehidupan mereka
(ekstensitasnya) dengan kualitas tinggi (intensitasnya).
Artinya, dari 10 kejadian yang menimpa
hidup mereka, 9 di antaranya ditanggapi secara
proaktif.
Meminjam konsep Covey, mereka yang disebut
proaktif itu dapat memiliki proaktivitas tinggi
karena mengembangkan karunia-karunia Tuhan
yang diberikan secara khusus kepada manusia,
yakni: kesadaran diri, had nurani, kehendak bebas,
dan daya imajinasi kreatif.
Kesadaran diri adalah kemampuan kita untuk
mengambil jarak terhadap diri sendiri dan menelaah
pemikiran kita, motif-motif kita, sejarah
kita, naskah hidup kita, maupun kebiasaan dan
kecenderungan kita—melepas "kaca mata" kita
dan melihatnya. Kesadaran diri merupakan fokus
dari gerakan penyembuhan, psikoanalisis (Sigmund
Freud, dkk.), dan lebih-lebih psikoterapi
(Victor Frankl, dkk.).
Hati nurani menghubungkan kita dengan kearifan
jaman dan kebijaksanaan hati, merenungkan
prinsip dan praktek, memahami bakat-bakat
dan menentukan misi hidup kita. Hati nurani
merupakan fokus agama, kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, moralitas, dan etika.
74 SUKSES TANPA GELAR
Kehendak bebas adalah kemampuan untuk
bertindak atau memilih tindakan, kemampuan
memberikan tanggapan berdasarkan kesadaran
diri, hati nurani, dan visi kita. Kehendak bebas
merupakan fokus pendekatan kekuatan kehendak
—di mana ada kemauan di situ ada jalan, tiada.
derita tiada prestasi (no pain no gain).
Imajinasi kreatif adalah kemampuan untuk
meneropong keadaan di masa yang akan datang,
untuk menciptakan sesuatu dalam benak kita,
dan memecahkan masalah secara sinergetik.
Imajinasi kreatif adalah fokus dari gerakan visualisasi
dan kekuatan pikiran—positive thinking
(Vincent Peale, dkk.), possibility thinking (Robert
Schuller, dkk.), lateral thinking (Edward de Bono),
psycho-cybernetics (Maxwell Malzt), Neum-Linguistic
ProgrammingfNLP yang kemudian dfrevisi
menjadi Neuro-Associated Conditioning!^ A.^. (Anthony
Robbins, dkk.), dsb.
Empat hal tersebut di atas merupakan karunia
Tuhan yang diberikan kepada manusia agar manusia
dapat mengalami kepenuhannya sebagai
manusia ciptaan Tuhan. Binatang tidak memiliki
hal-hal tersebut. Karenanya tidak ada respons
kambing, anjing atau monyet sekalipun yang
dapat disebut proaktif. Binatang diciptakan sebagai
makhluk yang reaktif. Mereka tidak memiliki
Membangkitkan Roh Keberhasilan 75
kesadaran diri (bahwa mereka ada di sini dan kini),
tak punya hati nurani (benar salah, etis dan
tak etis tak pernah mereka pikirkan), tak memiliki
kekuatan kehendak dan tak mampu berimajinasi
secara kreatif (tak dapat berkhayal dan melamun).
Orang reaktif menggunakan bahasa yang
berbeda dengan orang yang proaktif. Orang
reaktif sering mengatakan, misalnya: "Tak ada
yang bisa saya lakukan", "Begitulah saya", "la
membuat saya sangat marah", "Saya harus ...",
atau "Hanya jika , saya akan ".
Orang proaktif lebih suka menggunakan
ungkapan seperti: "Mari kita lihat alternatifalternatif
yang ada", "Saya dapat memilih pendekatan
yang berbeda", "Saya lebih suka", "Saya
akan ...", dst.
Uraian Covey memiliki persamaan dengan
apa yang disinggung oleh M. Scott Peck dalam
bukunya The Road Less Travelled (1985). Dalam
bab mengenai disiplin, sebagai sarana, teknik,
dan cara menghadapi penderitaan hidup yang
konstruktif, Peck menjelaskan empat unsur
disiplin: menunda kepuasan (delaying gratification),
menerima tanggung jawab (acceptance of responsibility),
menjunjung tinggi kebenaran (dedication
to the truth or reality), dan menyeimbangkan
(balancing). Hanya dengan menjalani disiplin,
76 SUKSES TANPA GELAR
menurut Peck, orang bertumbuh menjadi dewasa
secara mental dan spiritual.
Dalam uraian mengenai acceptance of responsibility,
Scott Peck memberikan contoh-contoh
mengenai mereka yang tidak sehat-jiwa, yakni
mereka yang neurosis dan yang mengalami chap-,
acter disorder.
Orang-orang neurosis dikenali dengan ungkapan-
ungkapannya, seperti: "Saya seharusnya", atau
"Saya mestinya", atau "Saya seharusnya tidak".
Mereka cenderung untuk menyalahkan diri sendiri
dan menyesali diri secara berlebihan.
Mereka yang mengidap character disorder (sakit
jiwa?), berkata, "Saya tidak mampu", atau "Saya
dulu tidak bisa", atau "Saya terpaksa", "Saya harus".
Orang-orang ini melihat dunia luarlah yang
bertanggung jawab, orang lain atau lingkungan
sekitarlah yang memaksa mereka berbuar demikian.
Ungkapan reaktif menunjukkan gejala yang
disebut Peck sebagai neurosis maupun character
disorder. Keduanya menunjukkan ketidakmatangan
jiwa dan spiritual. Keduanya menjadi akar
penyebab keinginan bunuh diri pasien-pasien
yang dilayani psikiater ini.
Jadi, menjadi proaktif sesungguhnya adalah
panggilan kemanusiaan untuk menjadi sehat se-
Membangkitkan Roh Keherhasilan 77
cara mental dan spiritual. Dengan mengembangkan
proaktivitas kita' memenuhi derajat kemanusiaan
kita setinggi-tingginya, seutuh-utuhnya,
sesehat-sehatnya. Dan itulah sebabnya saya
senang memberikan pelatihan yang menolong
orang-orang mengembangkan proaktivitas yang
telah mereka miliki, sementara pada saat yang
sama saya mengembangkan proaktivitas dalam
diri saya sendiri.
Bersikap Positif
1^^ alam materi pelatihan Motivational
jl Building yang disampaikan oleh ins-
^^ truktur sebuah lembaga terkemuka di
Singapura, disebutkan dua fakta hasil penelitian
sebagai berikut: Pertama, 90% dari waktu dan
biaya pendidikan formal diarahkan untuk mendapatkan
fakta-fakta dan hitungan matematis. Hanya
10% yang bertujuan untuk mengembangkan
sikap. Kedua, Universitas Harvard pernah mengungkapkan
bahwa 85% dari sebab-sebab 3cesuksesan,
pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan
Iain-lain, disebabkan oleh sikap-sikap seseorang.
Hanya 15% disebabkan oleh keahlian atau kompetensi
teknis yang dimilikinya. Berdasarkan
kedua fakta tersebut disimpulkan bahwa kita
menghabiskan 90% waktu dan biaya pendidikan
untuk mengembangkan bagian yang memberikan
kontribusi sebesar 15% terhadap keberhasilan
yang kita capai. Dan hanya 10% dari waktu dan
biaya kita alokasikan untuk hal-hal (baca: sikap)
Membangkitkan Roh Keberhasilan 79
yang justru menjadi faktor-faktor pendukung
dari 85% keberhasilan kita.
Validitas dan akurasi data-data penelitian
tersebut di atas memang masih dapat diperdebatkan.
Namun demikian, sedikitnya kita
akan setuju bila dikatakan bahwa antara pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), dan sikap
(attitude) yang kita pelajari di bangku pendidikan
formal dan pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang kita perlukan dalam dunia kerja, terdapat
kesenjangan atau perbedaan yang mencolok.
Dan di antara ketiga faktor penunjang keberhasilan
tersebut, pengembangan dan pelatihan
yang berkaitan dengan rekayasa sikap manusia
merupakan faktor yang paling sulit dibenahi.
Kurangnya pengetahuan secara relatif mudah
disesuaikan dengan memberikan pelajaran-pelajaran,
informasi, buku-buku tertentu yang sesuai
dengan kebutuhan praktis untuk bekerja. Pengembangan
keterampilan juga tak terlalu sulit
dilatihkan dengan melakukan atau memberikan
petunjuk-petunjuk teknik pelaksanaan, misalnya
bagaimana mengetik, mengganti busi, mengoperasikan
komputer, menggunakan telepon atau
faks, dan seterusnya. Dengan berjalannya waktu
dan bertambahnya pengalaman melakukan hal80
SUKSES TANPA GELAR
hal yang serupa, keterampilan macam apa pun
bisa dimiliki.
Lain halnya dengan sikap. Bagaimana membuat
seseorang yang selalu merasa inferior dapat
menjadi percaya diri dan tidak terjebak pada
ekstrem lain yaitu merasa superior? Bagaiman?i
mengajak seseorang yang berada dalam penjara
mensyukuri hidupnya di ruang yang serba terbatas
itu? Bagaimana mengubah sikap seseorang
yang punya kecenderungan menyalahkan orang
lain, mengkritik dan mengomeli bawahan atau
atasannya setiap hari? Bagaimana membantu
para insinyur yang terpaksa bekerja (demi hidup
sehari-hari) di bidang penjualan dan pemasaran
asuransi agar dapat menikmati pekerjaan di bawah
tekanan target-target yang harus dicapai
agar mendapatkan insentif yang memadai? Bagaimana
memilih sikap yang tepat bila ternyata
atasan kita tidak cerdas tapi selalu mendiktekan
kehendaknya? Bagaimana membuat seseorang
yang selalu berkeringat dingin bila berbicara di
rapat direksi agar mampu berdiri dengan kepala
tegak dan berbicara tanpa tergagap-gagap? Dan
seterusnya.
Dictionary of Behavioral Science mendefinisikan
sikap sebagai "Learned predisposition to react consistently
in a given manner to certain person, objects or
Membangkitkan Roh Keberhasilan 81
consepts". Sementara Webster menguraikan sikap
sebagai "a manner of acting, feeling, or thinking that
shows one's disposition, opinion". Kamus Oxford
menyebutkan sebagai "way of feeling, thinking or
behaving". Singkatnya, sikap merupakan suatu
cara merasakan, cara berpikir, yang berada di dalam
diri seseorang dan kemudian dinyatakan dalam
tindakan, perilaku, atau kebiasaan tertentu.
Sikap ini dapat berkaitan dengan diri sendiri
(attitude toward self), orang lain (others), pekerjaan
(jobs), perusahaan atau lembaga (organization),
gagasan atau ide (concepts), komitmen dan energi
(misalnya waktu).
Karena sikap menyangkut pola rasa dan pola
pikir, pengaruh sikap menjadi amat sangat
menentukan. Dale E. Galloway dalam bukunya
Twelve Way to Develop a Positive Attitude mengatakan
secara tepat bagaimana pengaruh sikap terhadap
kehidupan kita. Sikap dapat menjadikan
kita utuh atau menghancurkan kita, menyembuhkan
kita atau melukai kita, mendatangkan
sahabat atau musuh, membuat kita gelisah atau
tenang, membuat kita merasa susah, malang,
dan menderita atau senang, gembira, dan bahagia,
menjadikan kita pecundang atau justru pemenang.
Bahkan Alfred Alder (1870-1937), seorang
ahli jiwa terkemuka berkebangsaan Jerman,
82 SUKSES TANPA GELAR
mengatakan "Persoalan pokok kehidupan ialah
sikap terhadap orang lain."
Tetapi orang dapat juga menganggap bahwa
sikap tidaklah penting. Dan membaca tulisan ini
dianggap membuang waktu percuma, itulah
contoh sebuah sikap. Sayangnya, itu adalah
sikap negatif.
Posi dan Nega
Syukurlah, manajemen akhirnya menaikkan
gaji kita," tutur Posi dengan wajah
cerah. Senyumnya mengembang tanpa
henti seraya menimang-nimang amplop berisi
gaji yang baru diterimanya.
"Tapi kenaikan 17% ini tak ada artinya jika
dibanding dengan kenaikan kebutuhan hidup
kita sehari-hari," tanggap Nega yang berjalan
beriringan dengan Posi. "Premium saja naik lebih
dari 42 persen. Seharusnya manajemen menyesuaikan
gaji kita kali ini sedikitnya 50 persen
... itu baru cocok, " lanjut Nega tak puas. la lalu
mengingatkan Posi bahwa penyesuaian gaji
itu tak ada artinya karena tahun lalu tak ada
penyesuaian sejenis. "Jika dihitung dengan inflasi
tahun terakhir ini saja, kita masih tekor terus,"
Nega mengeluh. Wajahnya ditekuk bagai sedang
bermuram durja. Dari kejauhan keduanya mirip
beauty and the beast.
"Mas Nega tak seharusnya mengeluh terus.
84 SUKSES TANPA GELAR
Rejeki itu harus disyukuri. Semua itu berkah
Gusti Allah. Artinya jerih payah kita sebagai
wong rilik (orang kecil) masih dihargai. Kita tak
harus demonstrasi atau mogok seperti rekanrekan
di perusahaan lain," papar Posi mencoba
meredakan emosi rekan sekampungnya itu. A
"Ah, kamu itu memang bodoh. Kita cuma
dielus-elus manajemen agar tak ikut aksi mogok.
Seharusnya kita melakukan itu sejak tahun lalu.
Coba hitung jam kerjamu tiap hari, hampir selalu
lebih dari 10 jam bukan? Belum lagi waktu
yang kita habiskan di bis kota yang penuh keringat
saat ngantor dan pulang ke rumah. Kita ini
dijadikan sapi perahan terus, Dik Pos. Kerja keras
bagian kita, tapi hasilnya diembat bos-bos di
atas sana. Itu tidak adil, Dik. Kalau di perusahaan
lain, orang seperti kita mungkin bisa dapat gaji
lebih baik", jawab Nega ngotot.
"Waduh, Mas Nega ini curigaan terus. Wong
gaji di level supervisor ke atas itu hanya naik 15
persen Iho Mas," sanggah Posi lugu.
"lya, iya. Tapi mereka itu kan banyak seserannya.
Tugas luarlah, entertainment-lah, komisilah.
Itukan seabrek-abrek. Lha kita?"
Perbincangan Posi dan Nega di atas fiktif adanya.
Namun tidakkah selalu kita temui orangorang
yang mewakili figur semacam itu dalam
Membangkitkan Roh Keberhasilan 85
keseharian kita? Atau tidakkah kita sering kali
juga memilih sikap-sikap semacam itu saat pengumuman
kenaikan gaji disampaikan pimpinan
perusahaan?
Sesungguhnya, Posi mewakili kemampuan
kita untuk melihat sisi positif dari setiap peristiwa
yang datang menjemput. Ada yang menyebutnya
sebagai sikap positif, cara berpikir positif, realistis,
dan seterusnya. Sementara Nega mewakili kapasitas
kita untuk memfokuskan diri pada sisi negatif
kehidupan, cenderung menuntut, tak pernah
merasa puas, enggan bersyukur, dan selalu ingin
lebih dan lebih tanpa mengetahui batasnya. Jelasnya,
Posi dan Nega adalah dua sisi yang nangkring
dalam diri kita sendiri dan tak kunjung
akur sampai mati.
Sikap hidup kita pada dasarnya dipengaruhi
oleh pilihan pengembangan dua sisi yang selalu
bersitegang dalam diri kita sendiri. Bila kita lebih
sering (karena untuk selalu mungkin mustahil)
memfokuskan diri pada aspek-aspek yang
menguntungkan dan menggembirakan atau
memberi pelajaran dalam setiap peristiwa yang
tak kita sukai sekalipun, maka sikap positif menjadi
dominan. Sikap semacam ini memudahkan
kita untuk menikmati pekerjaan dan kehidupan,
memanjatkan puji syukur pada Tuhan, mengSUKSES
TANPA GELAR
gairahkan harapan-harapan dan meningkatkan
motivasi berkarya.
Sebaliknya juga benar. Andai fokus perhatian
kita lebih sering menjurus (karena dibiasakan,
sehingga seolah-olah tak mungkin lagi diubah)
pada aspek-aspek yang merugikan, menyulitkan,
menjengkelkan, menyakitkan hati dan mencemaskan,
maka sikap negatiflah yang dominan. Sikap
ini melemahkan semangat, menggelitik hasrat
untuk berkeluh kesah tanpa akhir, mengutuki
diri (atau orang lain, bahkan bisa juga Tuhan),
bermuram durja, minder atau arogan, selalu cemas
dan resah gelisah, dan seterusnya.
Sudah barang tentu menjalani kehidupan dengan
sikap yang positif jauh lebih menyenangkan.
Masalahnya adalah mengapa kita tak selalu berhasil
bersikap demikian?
Menurut Anthony Robbins, antara lain'karena
sikap (attitude or belief) kita dipengaruhi sedikitnya
oleh lima hal berikut: kejadian-kejadian traumatis,
hasil-hasil yang diperoleh sebelumnya, pengetahuan,
lingkungan, dan visi kehidupan.
Sementara Stephen Covey, penulis Principle-
Centered Leadership, menekankan pengaruh prinsip-
prinsip kehidupan yang kita anut.
Untuk mengembangkan sikap positif secara
konstruktif (tidak asal positif dan naif), baiklah
Membangkitkan Roh Keberhasilan 87
disadari bahwa kita selalu memiliki kekuatan
untuk menentukan'fokus pilihan dalam bersikap
(freedom to choose). Suatu kekuatan yang unik, sebab
hanya manusialah yang memilikinya. Berdasarkan
kesadaran tersebut kita dapat "membentuk"
lima faktor yang mempengaruhi sikap seperti
disebutkan Robbins. Menilai ulang peristiwa-
peristiwa traumatis dengan paradigma baru,
menginventarisasi hasil-hasil cemerlang yang pernah
kita raih, menambah pengetahuan dengan
belajar (membaca adalah salah satu cara yang
efektif), bergaul dalam lingkungan orang-orang
yang memiliki concern serupa dan menguatkan
visi kehidupan yang berpengharapan pada Tuhan.
Ada harga yang harus dibayar untuk itu. Kita
perlu melatih diri secara berkesinambungan dan
tekun. Latihan mendisiplin diri agar terbiasa bersikap
positif itu layak kita perjuangkan. Sebab,
meminjam kalimat Dr. Samuel Johnson, "Kebiasaan
untuk melihat sisi terbaik pada setiap peristiwa
bernilai lebih dari puluhan juta setiap
tahunnya."
86
Skeptis dan Asertif
Secara sederhana sikap skeptis dinyatakan
dengan "mengharamkan" pernyataan yang
seratus persen benar, seratus persen absolut,
seratus persen mutlak. Kebenaran agama dipertanyakan,
kenyataan disangsikan, segala sesuatu
diragukan, pengetahuan yang sebenarnya itu
tak mungkin dicapai, tak ada sesuatu pun yang
dapat dibuktikan secara mutlak.
Sikap skeptis sangat membantu perkembangan
ilmu pengetahuan. la membantu para' ilmuwan
untuk selalu kritis terhadap pendapat, hasil penelitian,
teori-teori baku, dan seterusnya. Namun
hidup berdasarkan skeptisisme sungguh bukan
hal yang gampang. Paling tidak karena jika seseorang
selalu mempertanyakan dan meragukan
pendapat atau teori-teori orang lain, maka pada
saat yang sama ia juga seharusnya meragukan
dan mempersoalkan keragu-raguannya sendiri.
Andai tak ada yang mutlak, maka pendapat
bahwa "tak ada yang mutlak" itu sendiri tidak
mutlak, bukan?
Membangkitkan Roh Keberhasilan 89
Dalam perspektif penganut skeptisisme, iklan
Sustagen Yunior di'televisi kita jelas-jelas konyol
dan tak perlu dipercayai. Sebab iklan itu berbunyi
"Yang baik buat Opa, Papa, dan Mama, tentu
baik juga buat Anto". Itu tidak benar. Yang baik
buat Anto mungkin justru Susu Bendera atau
Susu Cap Nona, Dancow atau yang lain.
Ilustrasi lain dapat lebih mempertegas betapa
sulitnya hidup bersama penganut skeptisisme sejati.
Seorang Camat di Bekasi pulang ke rumahnya
menjelang pukul dua dini hari. Istrinya yang
setia menunggu dan menanyakan mengapa suami
tercinta pulang terlambat. "Tadi saya memimpin
rapat tentang rencana pembangunan real estate
di daerah selatan. Peserta rapat terbagi dalam
dua kelompok pro dan kontra dengan rencana
tersebut. Mereka nyaris baku hantam kalau tidak
segera saya tengahi. Kemudian saya memanggil
pernimpin kelompok A. la menjelaskan alasan-
alasan mereka mengapa tak menyetujui rencana
tersebut. Setelah mendengarkannya sampai
pukul dua belas tengah malam, saya memutuskan
bahwa alasan-alasannya benar. Hal ini langsung
diprotes kelompok B. Lalu saya dipaksa mendengarkan
alasan-alasan mereka mengenai pentingnya
pembangunan real estate tersebut bagi masyarakat
banyak. Dua jam saya mendengarkan
90 SUKSES TANPA GELAR
mereka dengan seksama. Akhirnya, saya yakin
pendapat mereka juga benar. Karenanya rapat
kemudian ditutup dan akan dilanjutkan besok
malam," papar Pak Camat panjang lebar. "Bapak
ini sontoloyo," sergah istrinya. "Bagaimana mungkin
pendapat kedua pihak yang bertentangart-.
sama-sama benar," lanjut sang istri tak mau me-:
ngerti. Terkejut atas respons istrinya Pak Camat
tampak berpikir keras sebelum akhirnya menjawab,
"lya-ya, kamu benar juga."
Orang skeptis yang berhati lembut cenderung
menerima dan membenarkan segala pendapat,
meskipun jelas-jelas saling bertentangan. Sebaliknya,
sikap skeptis orang yang berhati keras akan
menolak semua pendapat dan menyalahkan semuanya,
tak satu pun yang benar.
Sikap skeptis juga "melemahkan" iman terhadap
ajaran-ajaran agama. Agama sendin diragukan,
dan agama orang lain dilecehkan. Untuk
menjadi ateis pun ia sangsi. Sulit, bukan?
Secara parsial, sikap skeptis ini juga sering
muncul dalam rapat-rapat di kantor/perusahaan.
Bila orang-orang skeptis yang mendominasi pembahasan
masalah dalam rapat, maka waktunya
akan berlarut-larut dan masalah menjadi lebih
rumit berbelit-belit. Mereka bisa berkicau bagai
para ahli filsafat yang bertugas mencari laba.
Membangkitkan Roh Keberhasilan 91
Untungnya, misalnya dalam pembahasan masalah
yang kontroversial, sikap skeptis bukanlah
satu-satunya pilihan. Sedikitnya kita dapat menentukan
dua sikap lain: asertif (tegas) atau
agresif (menyerang).
Asertif menunjukkan keberanian menyatakan
pendapat, berdiri di satu pihak/posisi, seraya menunjukkan
penghargaan terhadap pendapat dan
keyakinan atau pilihan lain yang berbeda bahkan
bertentangan. Seorang yang asertif cenderung
lebih obyektif memberikan penilaian tentang
masalah yang sedang dikaji. Menurut ahli psikologi,
asertivitas dilandasi self-confidence yang
kuat. Artinya, hanya orang yang percaya diri
yang cukup berani menyatakan pendiriannya
yang bisa jadi berbeda dan bertentangan dengan
pendirian orang lain.
Berbeda dengan asertivitas, agresivitas bercirikan
keinginan untuk menguasai dan merugikan
orang lain untuk mencapai sasaran. Orang yang
agresif cenderung menyerang pendapat, bahkan
pribadi orang lain yang tak sepaham. Kata
"agresi"' "agresif", dan "agresivitas" lebih sering
berkonotasi negatif. Secara psikologis dikatakan
bahwa sikap agresif biasanya ditunjukkan oleh
mereka yang terjangkit inferiority-complex atau
superiority-complex. Yang pertama karena perasaan
92 SUKSES TANPA GELAR
rendah diri (inferior), sedangkan yang kedua karena
sifat arogan atau sombong (superior). Artinya,
orang yang percaya diri (self-confidence) cenderung
enggan bersikap agresif. Itu sebabnya sikap
agresif lebih sering dihubungkan dengan orang
yang tak percaya diri, rendah diri atau sombong?.
Apa yang hendak ditegaskan melalui uraian
singkat di atas adalah bahwa sikap skeptis, agresif,
dan asertif sesungguhnya merupakan pilihan.
Sikap mana yang perlu dikembangkan, Anda
pasti lebih tahu.
Berkomunikasi atau Mati
Sulit rasanya mempercayai bahwa sukses
besar diraih dalam kurun waktu yang
singkat. Saya sendiri cenderung menganut
prinsip tabur-tuai. Apa yang ditabur orang, akan
dituainya kemudian. Dan proses menuai itu
umumnya terjadi setelah kurun waktu yang cukup
lama. Saya tak percaya pada sukses instant,
sukses yang bisa terjadi dalam sekejab bagaikan
membuat kopi Nescafe.
Namun saya mengakui bahwa Anthony Robbins
memaksa saya memikirkan ulang prinsip
tersebut di atas. Bagaimana tidak, Robbins dalam
usianya yang relatif muda (sebelum 30 tahun)
berhasil meraih sukses besar. Sungguh luar
biasa.
Apa rahasia sukses orang muda itu?
"Communication is power," tutur Robbins lewat
bukunya yang terkenal Unlimited Power (1986).
Menurut Robbins, dalam dunia modern ini kualitas
hidup seseorang identik dengan kualitasnya
94 SUKSES TANPA GELAR
dalam berkomunikasi, baik terhadap diri sendiri
(internal) maupun kepada dunia luar (eksternal).
Komunikasi internal menyangkut hal bagaimana
kita menggambarkan diri kita, mengatakan
dan merasakan jati diri kita. "Apa yang kita
lakukan dalam hidup kita ditentukan oleh bagai-.
mana kita berkomunikasi dengan diri sendiri,"'
papar Robbins. Artinya, ".. .the quality of our lives
is determined not by what happens to us, but rather by
what we do about what happens" Maksudnya, komunikasi
internal tersebut haruslah bersifat positif.
Peristiwa-peristiwa yang kita alami, yang menyenangkan
atau menyedihkan, harus diinterpretasikan
dan dikomunikasikan secara positif terhadap
diri kita.
Pada sisi lain Robbins menegaskan bagaimana
kemahiran berkomunikasi dengan duniaT luar
(komunikasi eksternal), menentukan berapa besar
kesuksesan yang bisa dirangkul. "Tingkat kemahiran
berkomunikasi dengan dunia luar akan
menentukan tingkat keberhasilan Anda bersama
orang lain—secara pribadi, emosional, sosial,
dan finansial," kata Robbins meyakinkan.
Apa yang dikatakan Robbins mengingatkan
saya pada cerita lain yang dialami Eugene Me
Daniel. Dalam bukunya Scare and Stripes, Me
Daniel menceritakan pengalamannya sebagai
Membangkitkan Roh Keberhasilan 95
Kapten Angkatan Udara Amerika yang tertembak
jatuh dalam perang di Vietnam Utara. Menjalani
masa berat sebagai tahanan perang selama
enam tahun membuat Me Daniel memahami
pentingnya komunikasi dalam hidup ini. "Tahanan
yang tidak berkomunikasi dengan tahanan
lain cenderung mati lebih cepat," tutur Me Daniel.
Persoalannya menjadi rumit karena masingmasing
tahanan dipisahkan dan dilarang berbicara
satu sama lain. Namun, karena berkomunikasi
merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan
semangat agar tetap hidup, sang kapten
berusaha dengan segala cara untuk berkomunikasi
dengan tahanan lain. Dengan risiko ditembak
mati, mereka mengembangkan suatu
sistem komunikasi yang rumit. Tawa, siulan, ketukan
di dinding, kebiasaan baju, nyanyian. Dan
apa saja mereka coba lakukan untuk berkomunikasi
satu sama lain. "The lone, isolated being becomes
week, vulnarable, I knew I had to make contact, no
matter what the cost" tulisnya.
Apa yang dilakukan oleh Me Daniel dapat diterangkan
dalam perspektif siklus pengembangan
diri (cycle of self development). Pertama-tama, Me
Daniel memilih untuk bersikap positif terhadap
segala hal negatif yang menimpanya. Sebuah pilihan
sadar yang tidak mudah dibentuk pada
96 SUKSES TANPA GELAR
orang yang mengalami peristiwa "pahit" seperti
itu. Namun sikap positif saja tidak memecahkan
persoalan konkret yang dihadapinya. Karena itu
sang Kapten mempelajari ilmu dan prinsip-prinsip
komunikasi. la memperbaiki paradigmanya.
la tahu komunikasi tidak saja bersifat verbal, le»,
wat kata-kata. Komunikasi dapat dikembangkan
dengan cara-cara kreatif lainya. Tawa, kebiasaan
baju dan nyanyian serta ketukan pada dinding
penjara adalah cara-cara kreatif yang membuatnya
tetap mampu berkomunikasi. Tapi sikap positif
ditambah pengetahuan tentang teknik-teknik
komunikasi masih harus dilengkapi dengan latihan
praktis. Itu sebabnya Me Daniel memutuskan
untuk bertindak, mempratekkan pengetahuannya
dengan kesediaan menanggung risiko ditembak
mati. Hasilnya, lahirlah keterampilanl
keahlian yang luar biasa dalam berkomunikasi.
Singkatnya, sikap positif yang didasari oleh
paradigma yang lebih akurat (ilmu dan prinsipprinsip
tertentu) dan latihan praktis serta keterampilan
berkomunikasi itulah yang membuat
Me Daniel mampu bertahan dan keluar dari
Vietnam Utara dalam keadaan hidup.
Mengutip pengalaman Me Daniel, Roger Alles
dalam bukunya You Are the Message menegaskan
bahwa keterampilan berkomunikasi seharusnya
Membangkitkan Roh Keherhasilan 97
dimasukkan dalam daftar syarat-syarat kehidupan
yang layak. Berkomunikasi dengan orang lain
sama pentingnya dengan kebutuhan terhadap
makan, minum, pakaian, dan tempat berteduh
(pangan, sandang, dan papan). Sebab tanpa kemampuan
berkomunikasi manusia sesungguhnya
telah "mati".
Itulah sebabnya, saya gembira mendapat kesempatan
melatih para karyawan, sekretaris,
manajer, dan eksekutif untuk mampu berbicara
pada diri sendiri (self-talk), memberi presentasi
secara efektif, menggunakan bahasa tubuh, ekspresi
wajah dan berbagai potensi lainnya yang
dapat meningkatkan efektivitas komunikasi mereka.
Dan saya sadar bahwa bila mereka tidak
meninggalkan kelas sebagai manusia yang lebih
baik, berarti saya gagal.
Pekerja yang Lahap
uatu ketika, saya mengantarkan adik
saya ke terminal Pulo Gadung di belahan
timur Jakarta. Karena bertepatan dengan
liburan panjang anak sekolah, terminal itu tampak
ramai dijejali calon penumpang yang terkadang
berebutan untuk naik ke dalam bus.
Di tengah keramaian yang membuat suhu Jakarta
terasa makin panas itu, mata saya tertegun
melihat tiga anak remaja berusia belasan tahun
yang sedang menyemir sepatu. Salah satu di antaranya
tampak "menonjol". Sebab, di haclapannya
tak kurang dari tujuh pasang sepatu antri
menunggu giliran. Sementara "kompetitornya"
hanya mendapat order dua-tiga pasang.
Sambil menunggu kedatangan bus yang akan
membawa adik saya mudik ke Sumatera, saya
putuskan untuk terus memperhatikan penyemir
di dekat tempat kami duduk. Makin saya perhatikan,
makin tertarik hati saya dibuatnya.
Bagaimana tidak. Penyemir yang berkaos
biru dengan celana pendek warna merah tanda
Membangkitkan Roh Keberhasilan 99
seragam SD itu tampak benar-benar enjoy dengan
pekerjaannya. Sesekali ia menyeka keringat di
wajahnya yang lugu. Sementara tangannya yang
mungil dengan cekatan memoles sepatu dan
menggosoknya dengan kain kecil yang makin
hitam. Mulutnya tampak selalu bersenandung
atau kadang bersiul-siul kecil. Tak tampak kelelahan
sama sekali. Bahkan ia masih sempat bercanda
dengan "kompetitornya" yang telah kehabisan
order.
Setiap usai menyemir sepasang sepatu, ia
menggunakan sepatu itu untuk "berkaca". Jika
bayangan yang muncul di sepatu itu belum memuaskannya,
ia kembali menggosok dengan cermat
sisi-sisi yang tak memantulkan wajahnya
itu. Kemudian, ia meminta, "kompetitornya"
untuk mengantarkan sepatu itu kepada "pelanggannya"
yang kebanyakan adalah calo-calo di
terminal Pulo Gadung. Dan bila "honor" yang
diterimanya lebih dari harga standar (Rp300;
untuk sepasang sepatu), maka si pengantar diberinya
"tips" gocap (lima puluh rupiah).
Kecepatannya menyemir juga membuat saya
takjub. Jika temannya selesai menyemir sepasang
sepatu, ia telah menyelesaikan dua-tiga pasang
sekaligus, dengan hasil yang jauh lebih baik (baca:
mengkilap).
100 SUKSES TANPA GELAR
Diam-diam saya mengkaji rahasia "sukses"
anak kecil tadi. Setidaknya ada empat hal yang
dominan. Pertama, ia menikmati pekerjaannya
dengan sungguh-sungguh. la bahkan tidak tampak
sedang "bekerja" tetapi lebih seperti sedang
"bermain-main". Senandung riang dan siulannyU
menandakan hal ini. Kedtia, ia bekerja dengan
cepat, dua hingga tiga kali lebih cepat dari
teman-temannya. Dan ketiga, ia memperhatikan
dengan cermat mutu pekerjaannya, tidak hanya
asal cepat dan asal semir. Semua sepatu yang disemirnya
harus mampu mernantulkan wajahnya
kala digunakan untuk berkaca. Tidaklah terlalu
mengherankan bila kemudian ia mendapatkan
banyak order. Ini berkaitan dengan hal heempat, ia
sangat murah hati. Yang terakhir ini dibuktikan
dengan kesediaan membagi rejeki, walau ihanya
sekeping gocapan. Hal mana membuat "kompetitornya"
yang lagi nganggur senang berkumpul
mengelilinginya bagai menonton seni pertunjukkan
"menyemir sepatu". Dan mereka dengan
suka cita menerima tugas mengantarkan sepatu
yang selesai disemir kepada pemiliknya.
Kontras dengan pengalaman di atas, saya sering
kali menyaksikan karyawan kantor yang
berpakaian rapi berdasi narnun melakukan pekerjaan
dengan wajah murung. Bekerja dengan
Membangkitkan Roh Keberhasilan 101
lamban dan tak memperhatikan mutu pekerjaannya,
sehingga menfmbulkan banyak komplein
dan gerutuan pelanggan. Berulangkali, misalnya,
saya merasa jengkel dengan cara pelayanan kasir
di beberapa bank pemerintah maupun swasta
yang bekerja sambil mengeluh ini itu. Mereka
tidak memiliki antusiasme, hal yang tidak saja
membuat mereka tidak menikmati pekerjaannya,
tetapi juga membuat pelanggan tidak merasa
senang dengan pelayanannya.
Anak penyemir sepatu tadi memberikan gambaran
yang sangat jelas tentang apa yang disebut
antusiasme. Para pakar ada yang mendefinisikan
antusiasme sebagai love in action yang merupakan
ekspresi dari prinsip love your customers.
Webster menjelaskan antusiasme sebagai semangat
yang menggebu-gebu atau minat yang berkobar-
kobar atau kegairahan. Semua definisi itu
cocok dengan sikap dan perilaku remaja penyemir
sepatu itu, walau saya berani bertaruh bahwa ia
tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang
cara meningkatkan antusiasme bekerja.
Saya cenderung mendefinisikan orang yang
antusias itu sebagai pekerja yang lahap. Meski
KUBI versi Poerwadarminta mengartikan kata
lahap dalam konotasi negatif (baca: rakus, makan
banyak tanpa pilih-pilih), namun bekerja dengan
102 SUKSES TANPA GELAR
lahap berarti positif. Karyawan yang lahap artinya
karyawan yang melakukan pekerjaannya dengan
gembira, apa pun pekerjaannya. la juga melakukan
pekerjaannya dengan cepat atau berusaha
secepat mungkin menyelesaikan suatu pekerjaan.
la juga memperhatikan mutu pekerjaannya. Dah
a murah hati bila mendapatkan rejeki ekstra.
Persis seperti penyemir sepatu itu.
Tanpa sadar, penyemir sepatu di Pulo Gadung
itu telah mengajarkan kepada saya betapa pentingnya
bekerja dengan lahap. Dan sebagai imbalan,
saya tak berkeberatan membayar 20 kali
harga standar untuk sepatu saya yang disemirkan
dengan lahap. Terima kasih, Dik !
Mentalitas "AIDS"
AIDS yang disebabkan oleh virus HIV
dan melemahkan sistem pertahanan
tubuh belum lama ditemukan. Penyakit
yang terutama berkembang melalui hubungan
seksual ini, untuk sementara, belum ditemukan
obatnya. Milyaran dolar telah disumbangkan
ke dunia medis untuk melakukan penelitian
guna memulihkan mereka yang terpapar, namun
hasilnya masih saja remang-remang. Sementara
daftar nama penderita yang makin panjang seolah-
olah menjadi litani tanpa henti.
Sesungguhnya, secara mental AIDS jauh lebih
mengerikan. la merupakan, meminjam istilah
Elwood N. Chapman, cerminan jiwa (Attitude:
Your Most Priceless Possession, 1990). Sederhananya,
mentalitas AIDS adalah penyataan sikap negatif.
Mereka yang mengidap penyakit mental ini tidak
saja membahayakan dirinya, tetapi juga meracuni
lingkungan sekitar di mana ia berinteraksi:
keluarga, perusahaan, lingkungan sosial-keagama104
SUKSES TANPA GELAR
an, masyarakat, bangsa, dan negara. AIDS dalam
konteks ini merupakan akronim dari Aduh,
Isu-isu, Duit, dan Sapi-perahan.
ADUH. Tanda pertama yang paling mudah
dikenali bagi mereka yang terjangkit mental
AIDS adalah selalu mengeluh. Kemahiran "mengaduh"
ini sedemikian hebatnya sehingga tiada
hari yang terlewatkan tanpa keluhan. Jalan yang
macet, makanan yang keasinan, gaji yang dirasa
kurang, cuaca yang buruk, pakaian yang kotor,
hidung yang tak mancung, mata yang sipit, tangan
yang kasar, kulit yang hitam, pekerjaan
yang menumpuk, dan segala sesuatu yang terpikir
dan terasa dapat dijadikan alasan untuk memenuhi
"panggilan jiwa" menggerutu.
ISU-ISU. Nama lainnya adalah gosip^ Makin
digosok makin sip. Gosip, seperti pernah ditulis
Ignas Kleden (Tempo, 11 Februari 1989)", sajigat
mudah diterima karena sifatnya yang setengah
jelas. Tak pernah diketahui apa motif orang yang
mengarang dan menyebarkannya. Apalagi, pada
dasarnya, yang menarik dalam gosip bukanlah
apa yang digosipkan, melainkan bahwa hal itu
digosipkan. Dia bukanlah soal yang mengandung
masalah yang layak dibicarakan bersama, karena
ia adalah hasil sekumpulan orang yang ada bersama
tanpa masalah bersama. Karena kalimat-
Membangkitkan Roh Keberhasilan 105
kalimat "wajib" dalam bergosip-ria, antara lain:
"Sssstttt ... kamu tahu nggak, si ...", atau "Jangan
bilang siapa-siapa ya, tadi siang ..."
Tidaklah sulit untuk mencari topik dan menciptakan
isu. Sebagian dari kita dapat melakukannya
tanpa salah, meski tak pernah mengikuti
pendidikan jurusan gosip. Terlalu banyak pilihan
terna yang bisa dipergunjingkan tanpa henti.
Dari soal lipstik, operasi plastik, gaji manajer,
sampai politik (suksesi, demokrasi).
DUIT. Arus deras materialisme, dalam banyak
hal, bermuara pada duit. Kita cenderung mengukur
segala sesuatu berdasarkan apa yang kita
miliki.
Semangatnya berakar pada filosofi "you are
what you have" (Erich Fromm: To Have or To Be,
1976). Karena kualitas diri diukur dengan apa
yang dimiliki, maka duit dinobatkan—tanpa
upacara—menjadi maha dewa sembahan.
Jika suatu pekerjaan tidak menghasilkan uang
secara langsung bagi yang mengerjakannya, hal
itu tidak pantas dikerjakan betapapun nilai nonmaterial
yang dikandungnya.
SAPI-PERAHAN. Jika skala perbandingan
gaji buruh dengan gaji direktur adalah satu banding
tak terhingga, maka jelaslah siapa yang di106
SUKSES TANPA GELAR
jadikan sapi-perahan. Namun, pada sisi lain, jika
skala perbandingan itu lebih "rasional", tetapi
sang direktur selalu pulang larut malam sementara
karyawan-karyawannya pulang "tepat waktu",
maka hal sebaliknya yang terjadi.
Sebagian dari kita, yang selalu memandang
hubungan kerja dengan kaca mata "sapi" dan
majikan, memelihara mentalitas AIDS.
Untuk mengobati mental AIDS yang kita
miliki, setidaknya perlu dikembangkan empat
kebiasaan positif. Kebiasaan pertama adalah bersyukur.
Mensyukuri apa yang kita miliki sesungguhnya
tidaklah terlalu sulit. Alih-alih mengeluh,
cobalah memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat
kita syukuri dalam setiap peristiwa seharihari.
Hitunglah berkat-berkat yang me.ngalir,
sandang-pangan-papan yang relatif memenuhi
kebutuhkan hidup minimum, pekerjaah y^ng
memacu aktualisasi sejuta potensi (terutama saat
menghadapi persoalan-persoalan rumit), keselamatan
pergi dan pulang kerja, bahkan napas kehidupan
yang masih dipercayakan Sang Ilahi pada
kita hari ini, dapat dijadikan alasan mengucapkan
syukur.
Kedua, menciptakan kebiasaan berbicara tentang
hal-hal yang positif daripada membuat isuisu
negatif. Memuji orang lain yang berpakaian
Membangkitkan Roh Keberhasilan 107
rapi, ramah, suka menolong, penuh pengertian,
dan sebagainya, dap'at dijadikan langkah awal.
Ketiga, hindari pendewaan materi. Uang adalah
alat bantu agar dapat digunakan dengan bijak
untuk meraih kebahagiaan, bukan tujuan. Sepanjang
uang diperlakukan sebagai alat untuk berbuat
kebaikan, ia akan menjadi "karyawan" yang
baik. Tapi sebagai "majikan", uang justru menjadi
setan.
Keempat, biasakanlah berpikir menang-menang
(win-win). Kalau kita akan mendapatkan (mengharapkan)
suatu hasil dari perbuatan/pekerjaan
yang halal, pikirkanlah pula bagaimana hal yang
sama seharusnya juga diperoleh mereka yang
bekerja bersama kita.
Memang, jauh lebih mudah membicarakan
cara-cara mengobati mental AIDS daripada berusaha
melakukannya secara nyata. Namun, kita
perlu menentukan pilihan, mentalitas macam
apa yang ingin kita bentuk dalam hidup ini?
Lampiran
TUJUH PAKET
SUKSES

Dale Carnegie (1988-1955), yang menulis How
to Win Friend and Influence People (1936) dan How
to Stop Worrying and Start Living (1948), menyimpulkan
sepuluh kiat sukses berikut:
1. Rasa percaya diri berdasarkan konsep diri
yang sehat
2. Keterampilan human relations yang baik
3- Kemahiran berkomunikasi secara lisan
4. Kemampuan memimpin orang lain
5. Sikap positif terhadap diri sendiri, orang
lain, dan pekerjaan
6. Antusiasme
7. Keterampilan menjual ide dan gagasan
8. Kemampuan mengatasi stres yang berlebihan
secara positif
9. Daya ingat yang baik
10. Wawasan hidup yang luas.
110 SUKSES TANPA GELAR
Denis Waitley, lewat buku berjudul The Psychology
of Winning (1984), yang sangat dipengaruhi
oleh positive thinker, Norman Vincent Peale, menyebutkan
orang sukses sebagai orang yang memiliki:
1. Positive
2. Positive
3. Positive
4. Positive
5. Positive
6. Positive
7. Positive
8. Positive
9. Positive
10. Positive
Self- Awareness
Self-Esteem
Self-Control
Self-Motivation
Self-Expectancy
Self-image
Self-Direction
Self-Discipline
Self-Dimension
Self-Projection.
. .
George Gallup Jr. dan Alec M. Gallup daiam
The Great American Success Story (1986), menyimpulkan
bahwa orang yang berprestasi dan sukses
memiliki:
1. Akal sehat
2. Pengetahuan khusus akan bidang kerja
3. Kemampuan mengandalkan diri sendiri
4. Kecerdasan secara umum
5. Kemampuan untuk menyelesaikan tugas
Lampiran: Tujuh Paket Sukses 111
6. Kepemimpinan
7. Pengetahuan tentang yang benar dan yang
salah
8. Kreativitas
9. Kepercayaan diri
10. Mampu mengungkapkan diri secara oral
11. Perhatian pada orang lain
12. Keberuntungan.
Raymond C. Johnson dalam buku berjudul
The Achievers: Self-Management for Success (1987),
menyimpulkan kiat sukses adalah:
1. Mampu membuat impresi atau kesan yang
menguntungkan
2. Membangun reputasi yang baik
3. Memiliki antusiasme
4. Mampu berempati
5. Memiliki banyak sahabat
6. Mampu berpikir baik
7. Mampu mengambil keputusan
8. Mahir mendelegasikan
9. Mampu mengatasi tekanan atau stres
10. Tidak menjadi menara gading.
Stephen R. Covey, penulis The Seven Habits of
Highly Effective People (1990) dan Principle-Cen112
SUKSES TANPA GELAR
tered Leadership (1992), setelah melakukan studi
pustaka mengenai orang-orang yang berhasil
selama 200 tahun (1776—1976) sejarah Amerika,
menyimpulkan adanya tujuh prinsip dan kebiasaan
orang-orang yang efektif, yakni:
\
K -
1. Prinsip Visi Pribadi: kebiasaan bertindak
proaktif
2. Prinsip Kepemimpinan Diri: kebiasaaan memulai
aktivitas dengan melihat akhirnya lebih
dulu
3. Prinsip Manajemen Diri: kebiasaan mengutamakan
yang utama
4. Prinsip Kepemimpinan Interpersonal: kebiasaan
berpikir menang-menang
5. Prinsip Komunikasi yang Empatik: kebiasaan
berusaha mengerti lebih dulu agar dimejigerti
kemudian
6. Prinsip Kerja Sama Kreatif: kebiasaan sinergi
7. Prinsip Pembaruan Diri yang Seimbang: kebiasaan
memperbaharui diri.
John Wareham lewat karyanya The Anatomy
of a Great Executive (1992), mengatakan ada sepuluh
unsur pokok bagi sukses seorang eksekutif,
yaitu:
Lampiran: Tujuh Paket Sukses 113
1. Kemampuan menampilkan persona atau
"topeng" diri y'ang tepat
2. Kemampuan mengelola energi diri secara
baik
3. Kejelasan dan kesehatan sistem nilai pribadi
dan kontrak-kontrak batin
4. Kejelasan sasaran-sasaran hidup yang tersurat
maupun yang tersirat
5. Kecerdasan atau penalaran yang baik
6. Adanya kebiasaan kerja yang baik
7. Keterampilan interpersonal, berinteraksi dan
bergaul dengan orang lain yang baik
8. Kemampuan beradaptasi dan kedewasaan
emosional
9. Pola kepribadian yang tepat atau sesuai
dengan tuntutan pekerjaan
10. Kesesuaian tahap dan arah kehidupan dengan
ekspektasi gaya hidup.
Albert E.N. Gray, lewat pidato termasyhur
yang disampaikannya tahun 1940 di Philadelphia,
di hadapan peserta seminar tahunan wiraniaga
asuransi se-Amerika (ditranskrip menjadi
naskah berjudul The Common Denominator of Success),
menyimpulkan secara jenius bahwa, "Successful
people formed the habits of doing things that
failures don't like to do. They don't like them either
114 SUKSES TANPA GELAR
necessarily. But their disliking subordinated by the
strength of their purposes." (Orang sukses rnenunjukkan
kebiasaan rnelakukan hal-hal yang tidak
suka dilakukan oleh para pecundang. Sebenarnya,
mereka juga tidak suka rnelakukan hal-hal tersebut.
Tetapi ketidaksukaan mereka dikalahkan"1
oleh kekuatan dari tujuan-tujuan mereka).
Pidato Gray sejalan dengan inti pesan Goethe
bahwa, "It is not doing the things we like, but liking
the things we have to do that make life happy" (Bukannya
rnelakukan hal-hal yang kita sukai, tapi
menyukai hal-hal yang harus kita lakukan, itulah
yang membuat hidup bahagia).
Tenting Penulis
ANDRIAS HAREFA dilahirkan
di Curup, 6 September
1964. la aktif di berbagai kegiatan
sejak siswa—mahasiswa.
la tercatat sebagai Ketua
PSK Yogyakarta, Ketua Presidium
MPK SMAN 3 Yogyakarta,
penceramah dalam forum-forum ilmiah
remaja DIY Ketika menjadi mahasiswa Fakultas
Hukum UGM, ia mengikuti pendidikan dasar
militer. la juga pernah menjabat sebagai Wakil
Ketua DPC Permahi Yogyakarta, Ketua Kelompok
Studi Saksi, Ketua Forum Diskusi Bulanan
FH UGM, Koordinator Komisi Penelitian dan
Pengembangan PMK Yogyakarta, Pengurus BPC
Perkantas DIY
Minatnya dalam bidang jurnalistik membuatnya
menjadi Redaktur tunggal media kreatif
mingguan Ebed Yahweh dan Juris. Dan bersama
Ir. Soen Siregar ia mendirikan dan menjabat
116 SUKSES TANPA GELAR
sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi
Majalah Bulanan SAKSI (1988-1989), dan Pendiri/
Dewan Redaksi Majalah Manajemen Terapan
dan PSDM ANTUSIAS (1989-1991). la juga
menulis banyak artikel dan buku, antara lain:
Petunjuk Praktis Presentasi Efektif (Dasindo Press,''
1995), Menjual Tanpa Hambatan (Dasindo Press,:
1995).
Selama tujuh tahun ia memegang lisensi
sebagai instruktur Dale Carnegie Training dan
mendapatkan 5 penghargaan sebagai HRD Consultant
yang paling produktif (sales performance).
Klien yang pernah dilayaninya antara lain: PT
Toyota Astra Motor, Toyota Rent A Car, Mobil
88, Auto 2000, United Tractors, Bank BNI 46,
Bank UIB, Bank BCA, Bank Danamon, .Unibank,
Bank Dharmala, Bank NISP, Telkom,'Bintang
Toedjoe, Nutrifood Indonesia, Duta Graha,
IPB (Program Magister Manajemen Agribisnis),
Universitas Maranatha, Nasmoco, Hadji Kalla,
Hasjrat Abadi, Agung Concern, dll. Di luar Jakarta,
ia pernah memberikan seminar dan pelatihan
di Bogor, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya,
Bali, Ujung Pandang, Manado, Balikpapan,
Medan, dan Padang.
Tahun 1998, anak ketiga dari lima bersaudara
ini memutuskan untuk ikut mendirikan Institut
Tentang Penults 117
Darma Mahardika, organisasi yang memberikan
jasa konsultansi dan pelatihan di bidang Etos
Kerja Profesional, Kepemimpinan Etis, Inovasi
dan Kewirausahaan, dan Kualitas Keunggulan.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
tentang seminar, ceramah, dan konsultansi,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar