Sabtu, 12 Februari 2011

Bird man

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

Diterjemahkan dari Birdman, karya Mo Hayder,
terbitan Seal Books, Canada.
Perpustakaan National RI: Katalog Dalam Terbitan
Hayder, Mo
Birdman / Mo Hayder; penerjemah, Basfin Siregar ;
Cet. 1. � Jakarta: Dastan Books, 2007.
552 hal. ; 14 x 21 cm
978-979-3972-24-4
Anggota IKAPI
I. Judul II. Siregar, Basfin
(KDT)
penyunting,
III
Marvel
Neydi,
Neydi. �
Marvel
813
Penerjemah: Basfin Siregar
Penyunting: Marvel Neydi
Copyright � Mo Hayder 1999
Indonesian Language Translation Copyright � 2007 by Dastan Books.
All rights reserved.
Cetakan 1, September 2007
Jl. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520
Tel.: (021) 8092269 Faks.: (021) 80871671
Hotline SMS: 0817 37 37 37
E-mail: layanan@dastanbooks.com
Website: www.dastanbooks.com
Direct Selling Layanan Antar:
(021) 68 614 614
Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui
www.zahra. co.id
UCAPAN Terima KASIH terutang kepada setiap orang di AMIP
Thornton Heath, terutama detektif superintenden D. Reeve dan
Police Constable M. Little. Juga Iain West dari Departemen
Patologi Forensik Rumah Sakit Guy, Dr. Elizabeth Wilson dan Doug
Stowton dari Layanan Ilmu Pengetahuan Forensik, Zeno Geradts,
dan patolog Ed Friedlander, Universitas Health, Missouri, mereka
semua adalah para profesional dan sangat membantu di luar tiigas
mereka.
5
Ucapan khusus untuk Detektif Inspektur Kepala Steve Gwilliam
atas kesabaran dan bantuannya.
Untuk persahabatan dan kepercayaan mereka terhadapku:
Jimmy Brooks, Karen Catling, Rilke D., Linda Downing, Jon Fink,
Jo Goldsworthy, Jane Gregory, Dave dan Deborah Head, Patrick
Janson-Smith, Sue dan Michael Laydon, Doreen Norman, Lisanne
Radice, Sam Serafy, dan Simon Taylor. Terima kasih juga untuk
Caroline Shanks, yang menyelamatkan hidupku bertahun lalu, untuk
Mairi Hitomi, yang terus melakukannya sampai sekarang, untuk
keluargaku yang benar-benar hebat dan luar biasa (sekumpulan
orang paling berpendidikan dan paling imajinatif yang pernah
kutemui), dan, terutama, untuk Keith Quinn. []
6

REENWICH UTARA. Akhir Mei. Tiga jam sebelum matahari terbit
dan sungai sudah sepi. Perahu bergerak-gerak naik di tambatan
dan ombak musim semi perlahan mengangkat beberapa sekoci
kecil bebas dari lumpur tempat mereka tertidur. Kabut tipis
terangkat dari air, bergerak ke darat, melewati toko-toko gelap,
di atas gedung Millennium Dome yang kosong, dan melintas tempat
pembuangan sampah yang sepi, aneh, seperti lanskap bulan�
sampai akhirnya ia berhenti seperempat mil di darat, di antara
9
mesin-mesin terbengkalai di area konstruksi yang baru separo
dibangun.
Sorot lampu tiba-tiba menyapu�sebuah mobil polisi bergerak
memasuki jalan, cahaya biru menyala perlahan. Diikuti kemudian
oleh mobil kedua dan ketiga. Dua puluh menit kemudian lebih
banyak mobil berkumpul di sana�delapan mobil polisi, dua Ford
Sierra, dan van warna putih milik tim kamera forensik. Sebuah
pembatas jalan dipasang di depan jalan masuk, dan polisi lokal
berseragam diperintahkan untuk menutup akses dari sisi sungai.
Petugas CID (Crime Investigation Division) yang pertama kali
datang berbicara dengan petugas di Croydon, meminta nomor
pager AMIP (Area Major Investigation Pool) dan, lima mil
jauhnya, Inspektur Detektif Jack Caffery, AMIP tim B, terbangun
dari tidumya.
la berbaring mengedipkan mata dalam gelap, mengumpulkan
pikirannya, melawan godaan untuk kembali tidur. Lalu sambil
mengambil napas dalam, ia berhasil bangun dari tempat tidur dan
menuju kamar mandi, memercikkan air ke wajahnya�tidak ada
lagi Glenmorangie saat minggu jaga, Jack, bersumpahlah
sekarang, bersumpahlah�dan berpakaian, tidak terlalu tergesa,
lebih baik datang benar-benar terjaga dan tenang. Sekarang dasi,
sesuatu yang dipandang remeh�CID tidak suka kami terlihat
lebih gemerlap dibanding mereka. Pager, kopi, banyak-banyak
kopi instan�dengan gula namun tanpa susu, tanpa susu�dan yang
terpenting, jangan makan, kau tidak akan pernah tahu apa yang
harus kau lihat nanti. Menghabiskan dua cangkir kopi, menemukan
kunci mobil di saku celana, dan sepenuhnya terjaga karena
kafein. Sebatang rokok gulungan sendiri di antara gigi, menyetir
melalui jalan-jalan sepi Greenwich menuju lokasi kejahatan, di mana
10
atasannya, Detektif Superintenden Steve Maddox, seorang lakilaki
kecil yang beruban sebelum waktunya, senantiasa rapi dalam
balutan jas warna cokelat, menunggu di luar area konstruksi�
mondar-mandir di bawah lampu jalan, memutar-mutar kunci mobil
dan menggigiti bibirnya.
la melihat mobil Jack menepi, menyeberang ke arahnya,
menaruh sikunya di atap mobil, bersandar di jendela yang terbuka
dan berkata, "Kuharap kau tidak baru makan."
Caffery menarik rem tangan. la mengambil rokok dan tembakau
dari dasbor. "Hebat. Benar-benar seperti yang kuharapkan."
"Yang ini sudah ini terlalu lama." Maddox melangkah mundur
seiring Jack keluar dari mobil. "Perempuan, separo ditanam.
Dihantam di tengah-tengah area pembuangan."
"Kau sudah masuk, bukan?"
"Belum, belum. Divisi CID yang memberiku penjelasan. Dan
umm...." Maddox melihat sekilas dari bahunya ke arah di mana para
petugas CID lokal tengah berdiri berkerumun. Ketika ia berbalik
suaranya menjadi pelan. "Ada bekas autopsi di tubuhnya. Sayatan
berbentuk huruf Y."
Jack berhenti, tangannya di pintu mobil. "Autopsi?"
'Ya"
"Mungkin itu mayat dari lab patologi."
"Aku tahu...."
"Olok-olok mahasiswa kedokteran...."
"Aku tahu, aku tahu." Maddox mengangkat tangan, menghentikannya.
"Ini bukan wilayah kita, tapi...." Ia mengecek lagi
melewati bahunya dan bersandar lebih dekat. "Begini, CID
11
Greenwich biasanya cukup baik dengan kita. Ayo, kita senangkan
mereka. Melihat sebentar tidak akan membunuh kita. Oke?"
"Oke."
"Baiklah. Sekarang." Maddox menegakkan tubuh. "Sekarang
kau. Bagaimana denganmu? Yakin kau siap?"
"Sialan, tidak." Caffery membanting pintu, mengambil kartu
pengenal dari dompetnya dan menggerakkan bahu. "Tentu saja aku
tidak siap. Kapan aku pemah siap?"
* * *
Mereka menuju jalan masuk, bergerak sepanjang perimeter. Satusatunya
cahaya adalah pancaran redup dari lampu jalan yang
bertebaran, beberapa kali cahaya putih dari kru kamera forensik
menyapu area pembuangan sampah. Satu mil di atas, mendominasi
pemandangan, adalah bangunan Millennium Dome yang bercahaya,
lampu-lampunya yang merah mengedip kepada bintang.
"Korban terbungkus plastik atau semacamnya," kata Maddox.
"Tapi sangat gelap di sana. Petugas yang pertama datang tidak
yakin�situasinya mencurigakan dan dia jadi gelisah." Maddox
menjulurkan kepalanya ke arah sekumpulan mobil. "Mercedez. Kau
lihat mobil itu?"
"Yeah." Caffery tidak menghentikan langkah. Seorang laki-laki
dengan punggung berat dan berjas tebal bersandar di kursi depan,
berbicara serius dengan seorang petugas CID.
"Sang pemilik. Banyak perbaikan di sana-sini, karena tetek
bengek pergantian milenium. Katanya minggu lalu dia membawa
12
tim untuk merapikan tempat ini. Tanpa sadar mereka mungkin sudah
mengganggu para penghuni kubur... banyak peralatan berat, dan
lalu pada jam satu pagi...."
Maddox berhenti di gerbang dan mereka menunjukkan kartu
pengenal, melangkah ke dalam bersama seorang petugas polisi dan
merunduk di bawah garis pembatas tempat kejadian perkara.
"Dan lalu saat... oh, jam satu pagi ini, tiga remaja bermain-main
di sini dan mereka mengenainya. Sekarang mereka ada di kantor.
CSC (Crime Scene Coordinator) akan memberi tahu kita lebih
banyak. Dia sudah di dalam".
Sersan Detektif Fiona Quinn, koordinator tempat kejadian
perkara (CSC), langsung dari Scotland Yard, menunggu mereka
di bawah sorot lampu, nyaris tidak terlihat di balik baju Tyvek
putihnya. Dengan serius ia menarik penutup kepalanya saat mereka
masuk.
Maddox yang berinisiatif memperkenalkan.
"Jack, perkenalkan Sersan Detektif Quinn. Fionna, ini inspektur
detektifku yang baru, Jack Caffery."
Caffery melangkah maju, tangannya terulur. "Senang bertemu
Anda."
"Saya juga, Sir." Petugas CSC itu melepas sarung tangan
lateksnya dan menjabat tangan Caffery. "Pertama kalinya, bukan?"
"Ya, dengan AMIP."
"Well, andai saya punya sesuatu yang lebih baik untuk Anda.
Keadaannya tidak begitu baik di sana. Tidak baik sama sekali.
Sesuatu membelah tempurung kepalanya�semacam mesin sepertinya.
Dia bersandar pada punggungnya." Fionna kemudian
bersandar untuk mendemonstrasikan. Lengannya terjulur keluar,
13
mulutnya terbuka. Dalam remang cahaya, Caffery bisa melihat
pendar campuran merkuri. "Dari pinggul ke bawah tertanam di
semen. Di sisi trotoar atau semacamnya."
"Korban sudah lama di sana?"
"Belum, belum. Perkiraan kasar..." Fionna mengenakan kembali
sarung tangannya dan menyerahkan masker kepada Maddox,
"kurang dari seminggu; tapi itu lebih dari cukup untuk memanggil
seorang 'pakar'. Kupikir kita harus menunggu sampai siang untuk
menarik patolog dari tempat tidurnya. Dia akan memberi Anda
lebih banyak kalau dia sudah menaruhnya di pit dan melihat aktivitas
serangga itu. Tubuh perempuan itu separo dikubur, separo dibungkus
plastik. Mungkin ada petunjuk."
"Patolog," ujar Caffery. "Anda yakin kita membutuhkan
patolog? CID bilang sudah dilakukan autopsi."
"Memang benar."
"Dan Anda masih ingin kami melihatnya?"
"Ya." Wajah Quinn tidak berubah. "Ya, kupikir kalian tetap
perlu melihatnya. Kita tidak bicara tentang autopsi profesional di
sini."
Maddox dan Caffery saling bertukar pandang. Beberapa saat
mereka terdiam, dan Jack akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Baiklah kalau begitu." Jack mengeringkan tenggorokannya,
mengambil sarung tangan dan masker yang ditawarkan
Quinn lalu dengan cepat memasukkan dasinya ke balik baju. "Ayo.
Mari kita lihat."
* * *
14
Bahkan dengan sarung tangan, kebiasaan lamanya di CID membuat
Caffery tetap berjalan dengan kedua tangannya di dalam saku.
Beberapa kali ia kehilangan jejak lampu forensik Quinn yang terus
bergerak melambai, membuatnya merasa agak gelisah�sejauh ini
di dalam area pembuangan begitu gelap: kru kamera sudah selesai
dan tengah berada di van putih mereka, mengopi kaset master.
Sekarang satu-satunya cahaya adalah sinar redup, pendar kimiawi
dari perekat ber-fluorescent yang dipakai CSC untuk mengenali
benda-benda atau sisi jalan, melindunginya sampai petugas
pemeriksa AMIP datang untuk melabeli dan menaruh semua itu di
dalam tas. Mereka melayang di dalam kabut seperti hantu penasaran,
melewati botol-botol, kaleng-kaleng, sesuatu tak berbentuk
yang tadinya mungkin T-Shirt atau handuk. Ban berjalan pembawa
barang dan jembatan derek berdiri tegak 24 meter lebih menjulang
ke arah langit malam di sekeliling mereka, abu-abu dan hening
seperti roller coaster yang tidak berfungsi.
Quinn mengangkat satu tangannya untuk menghentikan mereka.
"Di sana," katanya pada Caffery. "Anda lihat? Bersandar pada
punggungnya."
"Dimana?"
"Lihat drum minyak itu?" Quinn sedikit menggeser obornya.
"Ya"
"Dan dua tongkat penyangga di sebelah kanannya?"
"Ya."
"Ikuti sampai bawah."
Ya Tuhan.
"Anda melihatnya?"
15
"Ya". Caffery menenangkan dirinya sendiri. "Ya. Saya lihat."
Itu? Itu tubuh manusia? Caffery sempat menyangka kalau
itu tadi adalah busa yang memanjang, sejenis busa yang dikeluarkan
dari aerosol, begitu mengapung, kuning sekaligus bersinar redup.
Lalu ia melihat rambut dan gigi, dan mengenali lengan manusia.
Akhirnya, dengan sedikit memiringkan kepalanya, Caffery menyadari
apa yang sebenarnya ia lihat.
"Oh, demi Tuhan," kata Maddox dengan suara letih. []
16
ETIKA MATAHARI telah tinggi dan menyapu habis kabut, tiap orang
yang sudah melihat mayat itu di siang hari tahu kalau ini bukan
olok-olok sekolah kedokteran. Patolog dari kantor pusat,
Harsha Krishnamurthi, datang lalu menghilang selama satu jam di
dalam tenda forensik. Sebuah tim pencari bersarung tangan
membentuk formasi lingkaran dan mendapatkan instruksi, lalu
siangnya mayat tersebut berhasil dilepaskan dari dalam beton.
Jack menemukan Steve di kursi depan mobil Sierra tim B.
17
"Kau baik-baik saja?"
"Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini, Kawan. Kita
akan membiarkan Krishnamurthi mengambil alih dari sini."
"Pulanglah. Tidur."
"Kaujuga."
"Tidak. Aku tetap tinggal."
"Tidak, Jack. Kaujuga. Kalau kau ingin latihan insomnia, kau
akan mendapatkannya beberapa hari ke depan. Percayalah
padaku."
Jack mengangkat tangannya. "Baiklah, baiklah. Apa pun yang
kaukatakan, Sir."
"Apa pun yang aku katakan."
"Tapi aku tidak akan tidur."
"Baiklah. Tak mengapa. Pulanglah." Steve melambai ke mobil
Jaguar lama milik Jack. "Pulang dan berpura-puralah tidur."
Bayangan tubuh berwarna kuning di bawah tenda terus
menghantui Jack bahkan ketika dia sudah pulang. Di bawah lampu
warna putih tubuh itu terlihat lebih nyata dibanding kondisinya
malam sebelumnya. Kukunya, yang digigit dan dicat warna biru,
tergulung ke dalam telapak tangannya.
Jack mandi, lalu bercukur. Wajahnya di cermin berubah jadi
cokelat karena sebuah pagi dekat sungai. Ada kerutan di sekitar
matanya. Dia tahu dia tidak akan tidur.
Percepatan promosi untuk darah baru di AMIP: lebih muda,
lebih tangguh, lebih fit. Jack menyadari kekesalan petugas yang
berpangkat lebih rendah dan memahami kesenangan kecil mereka
saat shift jaga delapan minggu akhirnya kembali ke tim B, dengan
tepat sekaligus mengesalkan bersamaan dengan kasus pertamanya.
18
Tujuh hari, dua puluh empat jam siaga, malam-malam di mana
dia sering terbangun, lalu disodok telak oleh kasus ini. Tidak ada
waktu untuk beristirahat. Dia tidak akan berada dalam kondisi
terbaiknya.
Dan, hal ini menjadi scmakin kompleks.
Tidak hanya lokasi dan kurangnya saksi yang menyelimuti kasus
ini. Di pagi hari mereka melihat adanya bekas lubang jarum yang
sudah berwarna hitam membusuk.
Pelaku telah melakukan sesuatu terhadap payudara korban,
yang tidak ingin dipikirkan Jack di bak mandinya yang putih. Dia
menyeka rambutnya dan menggoyang-goyangkan kepalanya untuk
mengeluarkan air yang memasuki telinganya. Berhenti berpikir
soal ini. Berhenti membiarkannya berputar-putar di kepalamu.
Steve benar. Dia butuh beristirahat.
Jack sedang berada di dapur, menuang Glenmorangie, ketika bel
depan berbunyi.
"Ini aku," Veronica memanggil melalui kotak surat.
"Seharusnya aku menelepon, tapi ponselku tertinggal di rumah."
Jack membuka pintu. Veronica mengenakan setelan sutra
warna krem dan kacamata gelap Armani bertengger di atas
rambutnya. Tas belanja dari butik-butik di Chelsea melingkar di
sekitar tumitnya. Mobil Tigra convertible merah miliknya diparkir
di bawah cahaya matahari senja dekat gerbang depan, dan Jack
melihat kalau wanita itu tengah memegang kunci pintu depan seakan
baru saja akan masuk.
* * *
19
"Halo seksi," Veronica bersandar, menunggu ciuman.
Jack menciumnya, merasakan lipstik dan napas berbau
penyemprot rasa mentol.
"Mmmmm!" Veronica memegang pergelangan tangan Jack lalu
mundur sedikit, memerhatikan bekas kerutan, jins yang dipakai, dan
kaki Jack yang tak beralas. Botol wiski bergerak-gerak di antara
jari Jack. "Sedang rileks, ya?"
"Aku tadi lagi di kebun."
"Mengawasi Penderecki?"
"Menurutmu aku tidak mampu pergi ke kebun tanpa mengawasi
Penderecki?"
"Tentu saja kau tidak bisa." Veronica mulai tertawa, lalu dia
melihat wajah Jack. "Oh, ayolah Jack, aku cuma bercanda." Dia
mengambil tas belanja Waitrose lalu mengulurkannya pada Jack.
"Aku baru saja belanja�udang, pewangi, bumbu, dan anggur
terbaik. Dan, ini...." Dia mengangkat kotak berwarna hijau gelap.
"Dari Ayah dan aku." Dia mengangkat salah satu kakinya yang
panjang seperti seekor burung eksotik dan menaruh kotak tersebut
di atas lutut untuk membukanya. Sebuah jaket kulit wama cokelat
terbungkus dalam kertas. "Salah satu pakaian yang kami impor."
"Aku sudah punya jaket kulit."
"Oh." Senyum Veronica memudar. "Oh. Baiklah. Tak perlu
khawatir." Veronica menutup kembali kotak tersebut. Mereka
berdua diam selama beberapa saat.
"Tidak." Jack tiba-tiba merasa malu. "Jangan."
"Sejujurnya. Aku dapat menukar jaket ini dari stok."
"Jangan, sungguh. Sini, berikan padaku."
20
Ini, pikir Jack sembari berlutut dekat pintu depan yang tertutup
dan mengikuti Veronica ke dalam rumah, adalah pola Veronica.
Veronica menyarankan untuk mengubah gaya hidup, Jack menolak,
Veronica memajukan bagian bawah bibirnya, menggedikkan
bahunya, dan dengan segera Jack merasa bersalah, menurunkan
punggungnya dan mengalah. Karena masa lalu gadis itu. Sederhana
tapi efektif, Veronica. Dalam waktu enam bulan yang singkat
mereka telah mengenal satu sama lain, rumahnya yang jelek tapi
nyaman itu telah berubah menjadi sesuatu yang asing, dipenuhi oleh
tanaman-tanaman beraroma dan alat-alat digital seharga tabungan
para buruh, leinari pakaiannya penuh oleh pakaian yang tidak akan
pernah dia pakai: setelan karya perancang busana, jaket buatan
tangan, dasi sutra, jins moleskin, scgala barang dari perusahaan
importir Mortimer Street milik ayahnya.
Saat ini, ketika Veronica membuat dirinya merasa di rumahnya
sendiri di dapur Jack�jendela terbuka, Guzzini mendengung,
minyak kacang terbakar di atas wajan hijau menyala�Jack
mengambil wiski dan melangkah ke teras.
Kebun. Di sanalah, pikirnya, tanpa berhenti menuangkan
Glenmorangie, terdapat bukti sempurna bahwa hubungannya
dengan Veronica mulai goyah. Ditanam lama sebelum ayahnya
membeli rumah ini�kebun yang dipenuhi bunga sepatu, lupin1-lupin
Russel, tumbuhan menjalar usia purba dan berkenjal-kenjal�dia
suka membiarkannya tumbuh tiap musim panas sampai hampir
menutupi jendela dengan hijaunya. Tapi Veronica ingin melakukan
pekerjaan menghias, memangkas, memupuki, menanam rumput
jeruk dan semak-semak kecil, berbicara tentang jalan setapak dari
batu kerikil dan pohon-pohon teluk. Dan akhirnya�setelah
Veronica selesai mengepak ulang Jack dan kebunnya�dia ingin
21
Jack menjualnya, meninggalkan tempat ini, London Selatan kecil
ini, meninggalkan rumah bergaya Victoria dengan batu bata tak
tersusun rapi tempat dia dilahirkan, dengan jendelanya yang bersekat
besi, kebunnya yang berantakan, dan suara kereta yang gemerisik
dari kejauhan. Veronica ingin meninggalkan pekerjaannya di
perusahaan ayahnya, pindah dari rumah mereka dan mulai membangun
rumah sendiri untuk Jack.
Tapi Jack tidak bisa. Sejarahnya tertanam terlalu dalam di tanah
seluas seperempat ekar ini untuk bisa dicabut karena dorongan tibatiba.
Dan, setelah enam bulan mengenal Veronica, dia meyakini satu
hal: dia tidak mencintainya.
Saat ini dia mengawasi Veronica melalui jendela, yang sedang
mengupas kentang, membuat gulungan-gulungan mentega. Akhir
tahun lalu Jack sudah menghabiskan empat tahun di CID dan mulai
lambat�seperti berjalan di dalam air, bosan, menunggu hal
berikutnya. Hingga, dalam suatu pesta Halloween CID yang kurang
terkendali, dia sadar bahwa ke mana pun dia menoleh, seorang
gadis dengan rok mini dan selop warna emas mengawasinya,
senyum yang berarti sesuatu di wajahnya.
Veronica memicu Jack dalam dua bulan obsesi hormonal.
Veronica bisa mengimbangi gairah seksnya. Dia membangunkan
Jack pukul enam pagi untuk bercinta dan menghabiskan akhir pekan
dengan berkeliaran di dalam rumah tanpa mengenakan apa-apa
selain sepatu tumit dan lipstik cerahnya.
Veronica memberinya energi baru, dan wilayah lain dalam
kehidupannya mulai berubah. Bulan April dia mendapat tanda tumit
kucing Manolo Blahnik di kepala tempat tidurnya dan transfer ke
AMIP. Seksi pembunuhan.
22
Tapi pada musim semi, seiring memudarnya gairah Jack
terhadap Veronica, agenda Veronica berubah drastis. Dia menjadi
serius dengan Jack, memulai kampanye untuk mengikat Jack ke
dalam dirinya. Suatu malam dia mengajak Jack duduk dan bercerita
tentang ketidakadilan besar dalam hidupnya. Lama sebelum mereka
bertemu: dua tahun masa remajanya habis karena harus berjuang
melawan kanker.
Strategi itu berhasil. Akhirnya, tiba-tiba Jack tidak tahu
bagaimana cara mengakhiri hubungannya dengan Veronica.
Betapa arogan, Jack, dia menyadarinya, seakan-akan
dengan tidak meninggalkannva bisa menjadi kompensasi.
Betapa arogannya dirimu.
Di dalam dapur Veronica mendekatkan dagunya, dagunya yang
asimetris, ke dada, lidahnya di antara giginya, dan menyobek mint
menjadi irisan. Jack menuang wiski dan menghabiskannya sekali
teguk.
Malam ini dia akan melakukannya. Mungkin setelah makan
malam.
* * *
Makan malam siap dalam satu jam. Veronica menghidupkan semua
lampu di dalam rumah lalu menyalakan lilin kebun citronella di
teras.
"Pancetta dan salad kacang dengan rocket, udang dengan
madu dan saus tiram, lalu sorbet Clementine. Aku ini wanita
sempurna atau apa?" Veronica menggoyangkan rambutnya dan
23
secara jelas memamerkan giginya yang terawat mahal. "Kupikir aku
akan mencoba masakan ini buatmu dan melihat apakah cocok
untuk pesta."
"Pesta." Jack sudah lupa. Mereka merencanakannya ketika
mereka berpikir bahwa sepuluh hari setelah minggu-jaga adalah
waktu yang baik, cukup tenang untuk mengadakan pesta.
"Untung aku tidak lupa, bukan?" Veronica melewatinya,
membawa Le Creuset dipenuhi kentang-kentang kecil. Di ruang
tamu jendela terbuka ke arah kebun. "Kita makan malam di sini,
tak perlu membuka ruang makan." Veronica berhenti, melihat ke
T-shirt berkerut yang dikenakan Jack, rambutnya yang hitam liar.
"Tidakkah sebaiknya kau berganti pakaian untuk makan malam?"
"Kau sedang bergurau."
"Well, aku...." Veronica membuka serbet di pangkuannya.
"Aku pikir itu bagus."
"Tidak." Jack duduk. "Aku butuh jasku. Kasusku sudah
dimulai."
Ayolah, tanya aku tentang kasusku, Veronica, tunjukkan
perhatian pada sesuatu selain lemari pakaian atau taplak
mejaku.
Tapi Veronica mulai menaruh kentang di piring Jack. "Kau
punya lebih dari satu setelan, kan? Ayah mengirimmu yang abuabu."
"Yang lain masih di binatu."
"Oh, Jack, kau seharusnya bilang. Aku bisa saja mengambilnya."
"Veronica...."
24
"Oke." Veronica mengangkat tangannya. "Aku minta maaf.
Aku tidak akan menyebutnya lagi...." Dia diam. Di lorong telepon
berbunyi. "Aku ingin tahu siapa itu." Dia mengiris kentang. "Seolah
aku tidak bisa menebak saja."
Jack menaruh gelasnya dan memundurkan kursinya.
"Ya Tuhan," Veronica menghela napas, frustrasi, lalu meletakkan
garpunya. "Mereka punya indra keenam, mereka betul-betul
punya. Tidak bisakah kau mcnibiarkannya?"
'Tidak."
Di lorong Jack mengambil telepon. "Ya?"
"Jangan bilang padaku. Kau barusan tertidur."
"Sudah kubilang tidak akan."
"Maaf melakukan ini padamu, Kawan."
"Ya, ada apa?"
"Aku kembali kemari. Gubernur setuju kita membawa peralatan.
Salah satu tim pencari menemukan sesuatu."
"Peralatan?"
"GPR."
"GPR?" Jack terdiam. Veronica melewatinya dan berjalan ke
atas, menutup pintu kamar di belakangnya. Jack berdiri di lorong
menatapnya, satu tangan menempel di dinding.
"Kau di sana, Jack?"
"Ya, maaf. Apa tadi kaubilang? GPR, itu semacam pencari
tanah atau apa?"
"Radar tanah."
"Oke. Kalau begitu...." Jack mencungkil dinding dengan kuku
ibu jarinya. "Berarti kau mendapat mayat lagi?"
25
"Kita mendapatkannya lagi." Steve serius. "Empat mayat lagi."
"Sialan." Jack memijat lehernya. "Di ujung pembuangan atau
apa?"
"Mereka sudah memulai pengangkatan sekarang."
"Oke. Kau akan berada di mana?"
"Di halaman. Kita bisa mengikuti mereka turun sampai ke
Devonshire Drive."
"Rumah mayat? Greenwich?"
"Uh-uh. Krishnamurthi sudah mulai dengan mayat pertama. Dia
setuju melakukannya sepanjang malam untuk kita."
"Oke. Kutemui kau di sana dalam 30 menit."
Di lantai atas, Veronica di dalam kamar tidur dengan pintu dirutup.
Jack berganti pakaian di kamar Ewan, melihat sekali keluar jendela
kalau-kalau ada aktivitas di seberang rel di rumah Penderecki�
tidak ada�dan membereskan dasinya, menjulurkan kepalanya ke
dalam kamar tidur.
"Baiklah. Kita akan bicara. Saat aku kembali...."
Jack berhenti. Veronica duduk di atas tempat tidur, selimut
menutup sampai ke lehernya. Dia tengah memegangi sebuah botol
pil.
"Apaitu?"
Veronica mendongak, memandang Jack. Matanya sayu.
"Ibuprofen. Kenapa?"
"Apa yang kaulakukan?"
* * *
26
"Tidak ada."
"Apa yang kaulakukan, Veronica?"
"Tenggorokanku naik lagi."
Jack berhenti, dasi bertambah panjang di tangan kirinya.
"Tenggorokanmu naik?"
"Itu yang kukatakan."
"Sejak kapan?"
"Aku tidak tahu."
"Well, tidak tahu kalau tenggorokanmu naik lagi atau tidak."
Veronica menggumamkan sesuatu di antara napasnya, membuka
botol, menuang dua pil ke telapak tangannya dan memandang
Jack. "Pergi ke suatu tempat menyenangkan?"
"Kenapa kau tidak bilang tenggorokanmu naik? Bukankah kau
seharusnya dites?"
"Tak usah khawatir soal itu. Kau punya hal lebih penting untuk
dipikirkan."
"Veronica...."
"Apa lagi sekarang?"
Jack diam beberapa saat. "Tidak ada." Dia selesai membenahi
dasinya dan berbalik ke tangga.
"Tak perlu khawatir tentang diriku," Veronica berkata di
belakangnya. "Aku tidak akan menunggu."[]
27
UKUL SETENGAH TIGA PAGI. Jack dan Steve berdiri diam menatap
lewat pakaian autopsi tipis warna putih: lima meja bedah
ahuriinium, lima mayat, dibuka dari pubis hingga ke bahu, kulit
dikelupas bagai kulit binatang, menampilkan tulang mentah yang
berpola dengan lemak dan otot. Cairan menetes ke baki di bawah
mereka.
Jack mengenal ini dengan baik: bau disinfektan yang bercampur
dengan bau busuk organ manusia di udara dingin. Tapi lima. Lima.
29
Semuanya ditandai dan diberi tanggal yang sama. Dia belum pemah
melihat dalam skala sebesar ini. Para pemeriksa mayat bergerak
pelan dalam sepatu karet mereka yang berwarna hijau peppermint
dan alat penyeka, tampak tidak menganggap hal ini aneh. Salah
seorang tersenyum dan menawari Jack masker.
"Tunggu sebentar, Tuan-Tuan." Harsha Krishnamurthi berada
di meja bedah paling jauh. Wajah mayat itu telah dibuka dari bagian
tengkorak sampai belahan hidung squamous, dan dilipat sedemikian
rupa hingga rambut dan wajah tergantung bagai sebuah topeng karet
basah, bagian dalam di luar, menutupi mulut dan leher, penyaruan
pada tulang selangka Krishnamurthi mengangkat isi perut keluar
dan menaruhnya ke dalam mangkuk tahan-karat.
"Siapa yang bertugas?"
"Aku." Seorang pemeriksa mayat bertubuh kecil berkacamata
muncul di dekatnya.
"Bagus, Martin. Timbang mereka, jalankan mereka, dan
siapkan sampel. Paula, aku sudah selesai di sini. Kau bisa
menutupnya. Jangan sampai jahitannya menutupi luka. Sekarang,
Tuan-Tuan." Dia mendorong sebuah lampu halogen, melepas klep
kaca depan plastiknya, dan berpaling ke Steve dan Jack, bersarung
tangan, tangannya yang basah tergantung kaku di depan. Dia
tampan, ramping, di usia lima puluh, matanya yang dalam dan
berwarna hijau kayu sedikit basah karena usia, janggutnya yang abuabu
tampak rapi. "Tur besar, bukan?"
Steve mengangguk. "Apakah kita tahu sebab kematiannya?"
"Kupikir begitu. Dan, bila aku benar, penyebab kematian
mereka sangat menarik. Aku akan jelaskan nanti." Krishnamurthi
lalu menunjuk ke sebuah ruangan di bawah.' Ahli entomologi akan
memberi kalian lebih banyak... tapi aku bisa memberi perkiraan.
30
Mayat pertama yang kalian temukan adalah yang terakhir mati. Kita
sebut dia nomor lima. Dia meninggal kurang dari seminggu lalu. Lalu
kita mundur ke belakang, hampir sebulan, lalu lima minggu, dan lalu
sebulan setengah. Korban pertama mungkin meninggal sekitar bulan
Desember. Tapi rentangnya semakin pendek. Kita beruntung: tidak
terlalu banyak menggunakan perkakas kelas tiga... mayat-mayat itu
terpelihara dengan baik."
Dia lalu menunjuk ke gundukan daging yang sudah mulai
menghitam di atas meja bedah nomor dua.
"Yang pertama mati. Tulangnya yang panjang menunjukkan
kalau dia belum berusia 18 tahun. Ada scsuatu yang tampak seperti
tato di lengan kirinya. Mungkin tato itu hanya satu-satunya cara
untuk mengidentifikasi siapa dia. Cara itu atau dengan odontologi.
Ini..."�dia mengangkat sebuah jari yang sudah bengkok�"terlihat
ketika datang. Aku tidak tahu seberapa banyak yang kalian lihat
di lapangan. Tapi semua korban memakai make up. Make up yang
sangat tebal. Sangat jelas terlihat, bahkan ketika mereka sudah
berada di dalam tanah selama ini. Eye shadow, lipstik. Fotografer
sudah memotret semuanya."
"Make up, tato-tato...."
"Ya, Mr. Maddox. Dan, bila berpikir dengan jalur itu, dua
korban memiliki infeksi pada rongga pinggul, satu memiliki anus
keratiniz, ada penggunaan narkoba dalam jumlah besar, dan katup
endocarditis triscupid. Aku tidak ingin melompat ke kesimpulan...."
"Ya, ya, ya," Steve menggumam. "Jadi kita tahu bahwa mereka
adalah pekerja seks. Kupikir kita sudah menebak hal itu. Apa yang
bisa kaukatakan tentang mutilasinya?"
"Ah! Menarik!" Krishnamurthi mendekat ke salah satu mayat,
meminta mereka untuk ikut mendekat. Jack berpikir, bukan yang
31
pertama kali, seperti apa sisi dari daging tergantung sesosok korban
yang dikuliti. "Kau dapat melihat bahwa yang telah aku lakukan
adalah membuka perut dengan ketat, berusaha menghindari operasi
yang dilakukan pelaku kita, dan menghindari daerah sekitar
payudara, agar aku bisa mengambil sampel incisi dan melihat apa
yang terjadi di dalam sana."
"Dan?"
"Sejumlah lapisan di payudara telah diangkat."
Steve dan Jack bertukar pandang.
"Ya. Secara sederhana bisa dikatakan kalau pengangkatan ini
merupakan standar operasi payudara beta mark. Jahitan ke bagian
atas juga sama. Kupikir, karena itu pelaku tidak melakukan
'dekorasi' apa pun pada korban yang berpayudara kecil."
"Yang mana?"
"Korban nomor dua dan tiga. Mari kutunjukkan sesuatu yang
menarik." Krishnamurthi mengajak mereka mendekati seorang
pemeriksa mayat yang tengah menjahit batang tubuh yang baru dia
ambil ususnya. "Pola perlawanan dari kuku tidak menjanjikan... dan
yang paling aneh adalah aku tidak dapat menemukan satu tanda
pun adanya perlawanan. Kecuali pada yang ini. Korban nomor
tiga."
Mereka lalu berkumpul mengelilingi mayat tersebut. Tubuh itu
kecil, hampir seperti anak-anak, dan Jack tahu bahwa karena
kemiripan yang kebetulan ini, rasional atau tidak, korban itu akan
dikesampingkan dalam pertimbangan tim.
"Dia berbobot sekitar empat puluh kilogram. Itu tidak lebih dari
enam stone2,''' kata Krishnamurthi, membaca pikiran Jack. "Tapi
32
dia juga bukan remaja. Hanya saja, dia sangat mungil. Mungkin
karena itu payudaranya tidak dimutilasi."
"Warna rambutnya ...?"
"Itu pewarna rambut. Rambut berdegradasi secara perlahan.
Rambut aubergine ini... tidak akan berubah banyak setelah
kematian. Sekarang, lihat." Dia menunjuk ke jari warna hitam basah
di pola tak beraturan di panggul. "Sulit membedakannya luka-luka
pembusukan yang normal, tapi tanda ini sebenarnya adalah bekas
balutan. Antemortem.3 Dan, bekas tekanan di sini di sekitar wajah.
Di bagian tumit juga, pergerakan, pendarahan. Yang lain mati
sedingin es. Mereka seperti"�dia menggantung tangannya dan
menirukan jambul kepala�"baru saja dirumpahkan dari sisi itu.
Seperti jaruhnya balok kayu. Tapi yang ini... yang ini berbeda."
"Berbeda?" Jack mendongak. "Kenapa berbeda?"
"Korban ini melawan, Tuan-Tuan. Dia berjuang untuk hidupnya."
"Yang lain tidak melawan?"
"Tidak." Krishnamurthi mengangkat tangannya. "Aku akan
sampai ke sana. Bersabarlah, oke?" Dia bergeser ke samping
sebuah neraca tiga tiang dan bergerak ke mayat pertama yang
mereka temukan, yang terlampau besar dan membengkak.
"Begini." Dia mendongak, menunggu Steve dan Jack mengikuti.
"Sekarang begini. Kita akan menyebut mayat ini korban nomor
lima. Kondisinya memang mengenaskan. Tidak diragukan lagi kalau
luka di kepalanya terjadi sebelum kematian, dilakukan dengan alat
berat. Perkiraan tentang adanya suara buldoser itu benar. Memberi
kita masalah besar dalam mengidentifikasinya. Harapan terbaik kita
adalah sidik jari, meski di sini ada masalah." Dia mengangkat tangan
33
mayat tersebut dan perlahan menggosok kulitnya maju-mundur.
Kulit itu bergerak, berlendir, licin, seperti kulit yang berada di atas
sebuah agar-agar.
"Lihat betapa licinnya? Tidak ada harapan sama sekali bisa
mendapatkan sidik jari lengkap secara langsung. Yang harus kita
lakukan adalah mengelupas kulit jari ini dan mencetak sidik jarinya."
Dia menurunkan kembali tangan tersebut. "Dia seorang pemakai
narkoba, tapi kematiannya terjadi seketika, bukan karena overdosis.
Tidak ada tanda seperti esophageal dan tracheal, tidak ada edema
berkenaan dengan paru-paru." Perlahan Krislinamurthi membalik
tubuh tersebut dan menunjuk ke bagian kulit yang berwarna
kehijauan di bagian pinggul. "Apa yang kalian lihat ini adalah
pembusukan. Tapi di bawah pembusukan itu, dapatkah kaulihat
tusukan darah hitam?"
"Ya"
Dia membalikkan tubuh itu kembali. "Penggumpalan darah tak
beraturan. Dia dipindah setelah mati. Ada lagi penggumpalan di
lengan... bahkan yang agak tidak wajar, di tumitnya."
"Tidak wajar?"
"Kau akan menemukannya pada korban yang digantung.
Darah menumpuk dari atas ke kaki dan ke tumit."
Jack mengerutkan dahinya. "Kau bilang bagian lehernya tidak
apa-apa."
"Memang. Dan, dari apa yang tersisa di lehernya, aku berani
menjamin bahwa dia bukan korban penggantungan."
"Lalu?"
"Dia hanya berada di posisi berdiri selama beberapa waktu
setelah kematiannya."
34
"Berdiri?" Jack berkata. "Berdiri?" Bayangan sosok mayat
yang berdiri membuatnya tidak merasa nyaman. Dia menoleh pada
Steve, mengharapkan penjelasan�semacam penegasan yang lebih
mudah. Tapi tidak ada. Sebaliknya, bahkan Steve menyipitkan
mata dan menggelengkan kepalanya. Aku tidak tahu, seolah dia
berkata. Jangan selalu melihatku untuk setiap jawaban.
"Mungkin dia ditopang agar berdiri," Krishnamurthi melanjutkan.
"Aku tidak melihat daerah kulit yang masih berwarna
keputihan untuk menunjukkan bagaimana persisnya dia ditopang�
pembusukannya sudah terlalu jauh�tapi dia sangat mungkin
ditopang di bawah lengannya, atau dijepit hingga bisa berada di
posisi tegak. Beberapa saat setelah kematiannya, ketika darah
belum lagi mengental." Dia berhenti. "Mmmm-hm. Aku melewatkan
itu."
"Apa itu?"
Krishnamurthi membungkuk dan perlahan mengangkat sesuatu
dari kulit kepala.
"Rambut."
Jack mencondongkan tubuhnya. "Rambut kemaluan?"
"Mungkin." Krishnamurthi mengangkatnya ke lampu. "Bukan.
Ini rambut kepala. Kulit hitam. Tidak akan berguna untuk tes DNA
kecuali dengan mitochondrial. Tidak ada cukup kantong-rambut
di dalamnya." Dengan hati-hati dia menaruh rambut tersebut ke
dalam kantong plastik dan menyerahkannya kepada pemeriksa
mayat untuk diberi label. "Aku sudah mengambil sejumlah rambut
wama pirang dari tiga korban. Rambut itu sekarang tengah dikirim
ke Lambeth." Dia lalu bergeser ke meja berikutnya. "Korban nomor
dua. Dia tewas empat belas atau lima belas minggu lalu. Lima puluh
35
delapan kilogram, usia mungkin tiga puluh tahun. Jarinya sudah
mengering, tapi kita akan tetap mendapatkan sidik jari yang bagus.
Ada chelation pembangun jaringan yang sangat bagus di pasar.
Gelatin. Membengkakkan ujungnya. Biasanya untuk itu kami harus
lepas tangan dan mengerjakannya di Lambeth, tapi..."�dia mencondongkan
tubuh ke Steve�"sejak ribut-ribut soal Marchioness
aku sudah berhenti berpikir lepas tangan. Kerjakan semuanya di
sini, di lapangan, nyaman atau tidak."
Krishnamurthi pindah ke meja berikutnya, tempat sebuah mayat
berkulit putih terbaring di tengah, terbentang. Sebuah sarang labalaba
fascia perak putih gemerlap di antara tulang rusuk yang biru.
Rambut pirangnya yang sudah dibersihkan dari pewarna dibasahi
dan disisir rapi ke belakang untuk memperlihatkan bagian dahi.
Tenggorokannya juga dibedah dan dibuka lebar, memperlihatkan
sekilas benang samar-samar.
"Korban nomor empat, Tuan-Tuan."
Jack menyentuh pelan tumit mayat itu. "Bagus." Sebuah tato,
secara mengejutkan tampak jelas, beberapa sentimeter di atas
tulang tarsal. Bugs Bunny. Lambahg wortel hijau di atas.
"Kaubilang tidak ada tanda overdosis?"
"Benar. Juga tidak ada tanda trauma."
"Jadi bagaimana mereka mati?"
Krishnamurthi mengangkat jarinya yang bemoda dan tersenyum
pelan. "Di sinilah aku mendapat ide. Lihat ini." Perlahan Krishnamurthi
memasukkan jarinya ke dalam rongga leher, dengan hati-hati
membuka tenggorokan itu agar terbuka lebih lebar, menggeser
beberapa inci batang tenggorok dan kerongkongan hingga rongga
melingkar itu terlihat licin dan abu-abu. "Orang ini sungguh pintar.
36
Tapi tak sepintar diriku. Bila kau mengeringkan cukup banyak
cairan cerebrospinal dari bawah ini"�dia memegang lalu menepuk
punggung tangannya�"kematian seketika, nyaris tidak ada tanda.
Bahkan pengambilan cairan tulang belakang standar harus dilakukan
sangat, sangat hati-hati; kau mengambil terlalu banyak cairan itu dan
huree, pasienmu meninggal. Para korban ini memiliki jumlali cairan
CSF yang cukup di tulang belakang dan tidak ada bekas luka
tusukan di punggung. Jadi aku berpikir kalau dia memotong jalan
tengali itu dan langsung menusuk"�Krishnamurthi mendorong kulit
kepala yang sudah terkalibrasi itu di antara tulang belakang dan
dengan hati-hati mengambil sedikit myelin caul putih�"kejaringan
syaraf itu sendiri."
"Jaringan syaraf?"
"Benar." Krishnamurthi mengambil sampel jaringan kedua dan
membungkuk mengamatinya. "Hmmm." Dengan hati-hati dia
menggerakkan pisau bedah dan bergumam sendiri. "Tidak. Aku
keliru." Keningnya berkerut lalu dia mendongak. "Ini tidak
dilakukan dengan menyedot CSF."
'Tidak?"
"Tidak. Tapi pernah ada sesuatu yang menyebar di sink
Begini, Superintenden Steve, jaringan syaraf adalah struktur yang
sangat halus. Kau hanya perlu memasukkan jarum ke medulla
oblongata, memutarnya sedikit, dan setiap fungsi fisiologis akan
berhenti... seperti yang kita lihat pada mereka."
"Kematian seketika."
"Tepat sekali. Aku tidak melihat kerusakan parah yang
kauharapkan dengan teknik itu, tapi tidak berarti tidak ada sesuatu
yang diinjeksikan di sink Tidak jadi soal apa yang diinjeksikan...
37
bahkan air pun bisa mematikan. Jantung dan paru-paru subjek tetap
akan berhenti. Seketika."
"Dan, kau bilang bahwa selain korban nomor tiga, tidak satu
pun dari mereka yang melawan?"
"Begitulah."
"Lalu bagaimana?" Jack mengusap pelipisnya perlahan. "Bagaimana
dia membuat mereka diam?"
"Perkiraanku adalah ketika kau mendapat hasil analisis perut,
darah, dan jaringan-dalam lewat toksikologi, kau akan menemukan
sesuatu yang menyebabkan mereka tidak bergerak." Krishnamurtlii
menegakkan kepalanya. "Kita harus berasumsi bahwa mereka
setengah sadar ketika jarum itu menusuk."
"Benar." Jack melipat tangannya dan bertumpu lagi pada
tumitnya. "Lambeth harus melakukan tes alkohol, Rohypnol, barbs,
mazis, dan itu...." Jack mengangguk ke dahi korban. Sekitar satu
sentimeter di bawah batas rambut, dia dapat melihat tanda berupa
garis horizontal pucat berwarna cokelat-kekuningan. "Tanda itu di
kepalanya."
"Ya,anehbukan?"
"Mereka semua punya tanda yang sama?"
"Semua kecuali korban nomor empat. Tanda itu melingkar di
sekeliling kepala. Hampir berbentuk lingkaran sempuma. Dan, tanda
itu memiliki pola unik: beberapa titik, lalu garis."
Jack membungkuk lebih dekat. Titik titik garis. Apakah ini
lelucon seseorang? "Bagaimana tanda ini dibuat?"
"Belum tahu... aku akan mengerjakannya."
"Bagaimana dengan benang untuk menutup bekas pembedahan
ini?"
38
"Ya," Krishnamurthi diam beberapa saat. "Itu profesional."
Jack menegakkan tubuhnya. Steve memandangnya dengan
matanya yang abu-abu terang di balik maskernya. Jack menaikkan
alisnya. "Bukankah itu menarik?"
"Aku tidak bilang tekniknya profesional, Tuan-Tuan."
Krishnamurthi melepas sarung tangannya, memasukkannya ke dalam
tempat sampah biohazard warna kuning dan membenamkannya ke
dasar. "Hanya materialnya. Itu sutra. Tapi pengambilan jaringannya
tidak sampai ke proses xiphoid. Sangat kasar. Pengambilan
jaringan payudara beta, itu teknik bedah klasik yang diajarkan di
sekolah kedokteran." Krishnamurthi mengambil batangan sabun
kuning lalu menyabuni lengannya. "Dia mengambil lemak dari
tempat yang tepat, dan pengambilannya sangat bersih, dilakukan
dengan pisau bedah. Tapi jahitannya... tidak profesional. Sama
sekali tidak profesional."
"Tapi kalau kubilang pelaku mempunyai pemahaman tentang
dasar-dasar pembedahan, kau akan bilang...?"
"Aku akan bilang kau benar. Poin yang bagus. Dia bisa
menemukan jaringan syaraf, dan itu mengagumkan." Krishnamurthi
mencuci tangan dan melepas pelindung matanya. 'Well, kau ingin
lihat apa yang dia perbuat sebelum menjahitnya kembali?"
"Ya."
"Kemari."
Sambil mengeringkan tangannya, Krishnamurthi mengajak
mereka ke sebuah ruangan di mana pemeriksa mayat bertubuh
kecil tadi sedang mengunyah permen karet dan membersihkan usus
di sebuah penggosok porselen: memegangnya di bawah keran dan
membersihkan isinya di dalam sebuah mangkuk. Dia dengan hati-
39
hati memeriksa garis luar dan dalam, mengecek kalau-kalau ada
korosi. Ketika melihat Krishnarnurthi, dia menaruh usus tersebut
ke sisi lain lalu mencuci tangannya.
"Tunjukkan apa yang kita temukan di rongga dada, Martin."
"Tentu."
Martin menaruh permen karet di pipinya dan mengambil
sebuah mangkuk baja besar yang tertutup selembar kertas cokelat.
Dia membuka kertas tersebut dan mengangkat mangkuknya,
menunjukkannya pada mereka.
Steve menunduk dan membuang mukanya seakan-akan baru
saja ditampar. "Ya Tuhan." Dia berbalik, mengambil saputangan
monogram bersih dari saku jasnya.
'Tunjukkan padaku."
"Tentu." Martin mengangkat mangkuk tersebut dan Jack
perlahan-lahan melihat dari tepi atasnya.
Di bagian bawah mangkuk yang bau dan bernoda darah itu,
lima sosok mungil berdesakan seolah hendak mencoba tetap
hangat. Jack melihat ke arah Martin. "Apakah mereka seperti yang
kupikirkan?"
Pemeriksa mayat itu mengangguk. "Oh ya. Mereka adalah
seperti apa yang terlihat."[]
40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar