Sabtu, 12 Februari 2011

"KILL"

KILL



BOBBY MENGKLIK DUA KALI SEBUAH BOOKMARK DI DESKTOP, DAN
browser pun bekerja. Dalam beberapa detik, halaman itu muncul
di hadapan kami, hanya terdiri dari dua kata: KITA BANGKIT.
Tetapi kali ini kata-kata itu digarisbawahi, dan ketika Bobby
menggerakkan kursor ke sana, tanda panah berubah menjadi tangan
yang menunjuk.
"Sekarang ia berubah menjadi link," katanya. Dia mengklik
dan sebuah kotak dialog kecil muncul meminta kata sandi. "Oh,
brengsek."
"The Straw Men," saranku.
Bobby mengetiknya. Sejenak diam, lalu layar pun berubah
menjadi berwarna hijau dengan teks putih.
INILAH KEBENARANNYA.
Mereka yang Membunuh akan Terselamatkan;
Mereka yang tak Membunuh akan Terinfeksi.
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
Kill!
Diterjemahkan dari The Straw Men,
karya Michael Marshall,
terbitan Jove Book, New York
Published by agreement with the author and the author's agents,
Ralph M. Vicinarrza, Ltd
Penerjemah: Ella Elviana
Penyunting: Marvel Neydi
Copyright � 2002 by Michael Marshall Smith
Indonesian Language Translation Copyright � 2007
by Dastan Books.
All rights reserved.
Cetakan 1, Juli 2007
Jl. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520
Tel.: (021) 8092269 Faks.: (021) 80871671
Hotline SMS: 0817 37 37 37
Website: www.dastanbooks.com
E-mail: layanan@dastanbooks.com
Direct Selling Layanan Antar: (021) 68 614 614
Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui www.zahra.co.id
Marshall, Michael
Kill! / Michael Marshall; penerjemah, Ella Elviana; penyunting, Marvel Neydi
� Cet. 1. � Jakarta: Dastan Books, 2007.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan
524 hal. ; 14 x 21 cm
ISBN 978-979-3972-23-7
Anggota IKAPI
I. Judul II. Elviana, Ella
(KDT)
III Neydi, Marvel
813
Untuk
Jane Johnson
TERIMA KASIH UNTUK DOUG WINTER YANG MELONTARKAN SEBUAH
ungkapan yang membuat benak saya berpikir; untuk Susan Allison,
Chris Smith, dan Jim Rickards untuk membuat kisah ini berputar
cukup panjang; dan juga untuk Linda Shaughnessy, Bob Bookman,
dan David serta Margaret Smith untuk komentar-komentarnya;
untuk Nicholas Royle, Howard Ely, Conrad Williams, Stephen
Jones, dan Adam Simon untuk dukungannya selama pembuatan
buku ini dan proses-proses lainnya.
Cinta selalu untuk keluarga saya, dengan ucapan terima kasih
khusus pada Paula�karena telah membantu saya melihat celah di
dinding tempat saya membanting-bantingkan kepala, dan untuk
berada di sana kala saya berhenti.[]
"Kita lahir terlalu terlambat untuk dewa-dewa, dan terlalu awal
untuk Makhluk. Makhluk adalah sebuah puisi, namun Baru Terlahir,
adalah manusia."
�MARTIN HEIDIGGER,
LANGUAGE, TRUTH, THOUGHT,
Diterjemahkan oleh ALBERT HOFSTADTER
PALMERSTON BUKAN KOTA BESAR, BUKAN PULA KOTA YANG
dengan meyakinkan dapat dikatakan makmur. Kota itu hanya di
sana saja, seperti papan penunjuk di pinggir jalan. la punya masa
lalu dan pernah punya masa depan, tetapi masa depan itu kian
berdebu dan sunyi, tersenggol semakin menjauh dari jalinan sejarah:
bagai keran tua kaku di ujung pipa yang makin berkarat, yang suatu
saat akan bocor hebat hingga air pun tak dapat sampai ke ujungnya.
Kota itu terletak di Sungai Allegheny, di keteduhan perbukitan,
yang dihuni begitu banyak pohon. Rel kereta api dahulu tak jauh
dari sana, tepat di seberang sungai, namun pada pertengahan '70-
an stasiun ditutup dan jalurnya banyak dialihkan. Secuil sisanya kini
hampir terlupakan dan menjadi museum setengah hati, yang bahkan
anak sekolah pun enggan berkunjung lagi. Kadang-kadang turis
MICHAEL MARSHALL
datang melihat-lihat, anak remaja yang acuh tak acuh melongo
menatap foto-foto suram dari mereka yang telah lama wafat, lalu
memilih kembali ke mobil dan bersenang-senang.
Kota itu dibangun di sekitar persimpangan berbentuk huruf T,
bentuk huruf itu kabur oleh jalan-jalan di sampingnya yang tampak
tak yakin akan fungsinya. Sebuah gereja dari kayu berdiri di
persimpangan utama, catnya telah banyak mengelupas, namun
masih terlihat menarik di bawah warna langit biru. Kalau kau pergi
ke kiri, semisal akan menuju ke arah barat di Route 6 untuk melihatlihat
danau Allegheny�mungkin ini satu-satunya alasan kau
melewati jalan ini�kau akan sampai ke Jalan Utama. Di sini kau
dapat menemukan bank dan toko, jendela banknya bagai cermin
dan tanpa nama; sementara jendela-jendela toko tampak perlu
dibersihkan, dan perlu bingkai antik murahan. Penataan tampilannya
yang kurang menarik seakan mengatakan bahwa barang-barang itu
butuh waktu lama sebelum dapat dianggap berharga. Di sebelah
selatan jalan, di area luas yang ditempatinya sendiri, terletak rumah
cantik bergaya Victoria. Rumah itu sudah kosong selama bertahuntahun,
dan meski sebagian besar jendelanya masih utuh, kelupasan
catnya lebih parah dari gereja tadi dan beberapa papan mulai
menyempil.
Jika lapar, kau dapat pergi ke McDonald sedikit lebih jauh ke
jalan, sejajar dengan Museum Kereta Api. Kebanyakan orang
demikian. Palmerston bukan tempat yang buruk. Suasananya damai,
dan orangnya ramah-ramah. Belahan dunia yang menyenangkan,
tingkat kejahatan rendah, dan dekat dengan Hutan Pemerintah
Susquehannock. Orang dapat lahir, membesarkan anak, dan wafat
di sini, tanpa merasa kurang beruntung nasibnya.
12
PALMERSTON PENNSYLVANIA
Tak banyak yang bisa dilakukan di antara tahap-tahap
kehidupan itu.
W A K T U ITU SAATNYA MAKAN SIANG DI HARI RABU, 30 OKTOBER
1991. McD penuh sesak. Sebagian besar meja terisi dan empat
antrean memanjang ke arah tempat memesan makanan. Dua gadis
kecil, empat dan enam tahun yang sedang ditraktir ibunya, berseru
ramai meminta Chicken McNugget. Semua orang menatap papan
menu dengan arahan pramuniaga.
Ada tiga orang dari luar kota hadir, suatu prestasi bagi industri
wisata Palmerston. Salah satunya adalah pria paruh baya yang
mengenakan jas, duduk sendirian di meja di sudut. Namanya Steve
Harris. Dia dalam perjalanan menuju Chicago setelah tugas
penjualan panjang yang hampir seluruh hasilnya mengecewakan.
Menara gaya Italia rumah Victoria itu terlihat dari tempat duduknya,
dan dia memikirkan rumah itu sambil mengunyah, terheran-heran
karena tampaknya tak seorang pun yang ingin memanfaatkan rumah
itu untuk diperbaiki.
Dua orang asing lainnya adalah sepasang turis Inggris, secara
kebetulan duduk di meja sebelah. Mark dan Suzy Campbell
melewatkan sarapan akibat perjalanan beberapa ratus mil pagi itu,
dan merasa sangat kelaparan. Mereka berharap mendapat makanan
mewah, namun setelah berputar-putar sebentar mengelilingi kota,
akhimya mereka pasrah di kedai burger itu. Mengunyah roti lapis
sambil agak berdesakan, awalnya mereka merasa terganggu namun
kemudian sedikit senang mengetahui mereka duduk berdekatan
dengan seorang penduduk setempat yang sedang mengobrol.
Namanya Trent, tubuhnya tinggi, berusia empat puluhan, dengan
13
MICHAEL MARSHALL
rambut berwarna tembaga yang cukup banyak. Mendengar bahwa
mereka sedang dalam perjalanan dengan mobil dari pantai timur
menuju pantai barat selama beberapa hari, dia menganggukkan
kepala setuju�seolah mendapat penjelasan suatu praktik yang dia
pahami namun tak berminat untuk melakukannya sendiri, seperti
mengoleksi kotak korek api, atau panjat tebing, atau mencari
pekerjaan. Dia memahami Inggris sebagai sebuah konsep, dan
menganggap negara itu punya sejarah panjang serta industri musik
rock yang hebat, yang kedua-duanya dia suka.
Perbincangan itu pun berakhir, kehabisan bahan pembicaraan
akibat sedikitnya pengalaman yang dialami bersama. Suzy sedikit
kecewa, karena dia menikmati obrolan itu. Mark tenggelam dalam
pikirannya, dia ingin sedikit berbelanja. Di hotel yang mereka
tempati malam sebelumnya, sang bartender menghabiskan cukup
banyak waktu mencari gelombang radio untuk memainkan musik
yang cukup keras. Tanpa sengaja dia sampai ke stasiun musik
klasik, dan untuk sesaat yang menyenangkan, potongan musik
Goldberg Variations mengalun di bar. Di stasiun radio itu, Mark
membayangkan, hanya ada seorang pria yang terkurung di suatu
pegunungan entah di mana, pintunya dihalangi jeruji dari tumpukan
rekaman Garth Brooks. Alunan Bach masih mengambang di pikiran
Mark di jam-jam berikutnya yang penuh balada manis, kontras
dengan kisah rapuhnya pernikahan dan ketulusan anjing-anjing. Dia
ingin membeli sekeping CD dan memutarnya di mobil. Palmerston
tak punya toko musik klasik.
Obrolan dengan Trent mengakibatkan penundaan kecil bagi
pasangan Campbell. Tanpanya, mereka sudah keluar dari pintu sejak
pukul 12.50. Suzy ingin pergi merokok, dan tanda larangan
merokok terpajang di dinding lewat ikon yang dikenal secara
14
PALMERSTON PENNSYLVANIA
internasional dengan kalimat pendeknya yang mudah dipahami.
Steve Harris tak terburu-buru, dia masih berniat di sana, menatap
rumah di sebidang tanah itu sambil bertanya-tanya berapa kira-kira
harganya.
Pukul 12.53 seorang wanita berteriak di tengah-tengah
restoran.
TERIAKAN ITU SINGKAT DAN JELAS, MELUKISKAN KEGAWATAN.
Orang-orang bergerak menjauh tanpa sadar, menyebabkan bagian
tengah gang mengosong. Terlihat jelas dua orang pria�seorang
remaja yang beranjak dewasa, yang lain pertengahan dua puluhan,
keduanya mengenakan mantel panjang�menjadi fokus perhatian
si wanita. Segera tampak bahwa mereka membawa senapan
semiotomatis.
Cahaya di ruangan mendadak tampak begitu terang, suarasuara
menjadi jelas dan kering, seolah atmosfer lembut terhapus
dari ruangan. Jika kau sedang berada di McDonald saat hari kerja
di waktu jam makan siang dan kopi baru mencapai suhu yang dapat
diminum, dan tiba-tiba kau menyadari bahwa malam telah tiba di
langit yang biru jernih, maka waktu seperti tergelincir ke dalam
momen lambat yang begitu nyata. Seperti detik panjang sebelum
terjadinya hantaman dalam sebuah tabrakan mobil, kekosongan ini
tidak datang untuk menolongmu. Itu bukan jalan untuk lari, atau
anugerah dari Tuhan, dan tidak cukup untuk melakukan apa-apa
di dalamnya kecuali menyambut kematian dan bertanya-tanya
mengapa datangnya begitu lama.
Trent baru akan mengatakan "Billy?" dengan nada kebingungan
yang bodoh, ketika kedua pria itu mulai menembak.
15
MICHAEL MARSHALL
Mereka berdiri di tengah restoran dan dengan tenang serta
cepat menembakkan senapan, batang senapan tersandar aman di
bahu mereka. Kala korban pertama terpelanting ke belakang,
dengan air muka terkejut yang kelu di wajahnya, kedua penembak
itu melanjutkan tembakannya: bersungguh-sungguh, seakan berniat
menunjukkan kepada semacam atasan bahwa mereka patut
melakukan tugas tersebut, dan berusaha melakukannya sebaik
mungkin.
Setelah sekitar satu detik, dan dua korban tewas berikutnya,
semua orang di restoran mendadak berjuang melarikan diri untuk
keluar dari kegilaan itu. Orang-orang mulai menjerit. Mereka
berusaha lari, atau sembunyi, atau menarik orang di depan mereka.
Beberapa berusaha mencapai pintu, namun senapan segera beralih
dan menjatuhkan si pembelot dengan efisien. Rentetan tembakan
menyapu para pelancong dari luar kota itu, dan Mark Campbell
terkena tembakan langsung di belakang kepalanya di saat yang
bersamaan dengan buyarnya wajah sang istri di retakan jendela
kaca berbentuk jaring laba-laba yang menghentikan laju pelurupeluru
tersebut. Trent tewas membawa geram tak lama setelahnya,
separuh berjalan menuju maut ke arah para penembak. Hanya
sedikit yang cukup berani untuk mempertimbangkan tindakan positif
seperti itu, dan mereka tewas dengan segera.
Kebanyakan orang hanya berusaha lari. Keluar dari sana.
Wakil direktur Bedloe Insurance berusaha melakukannya, seperti
juga asisten-tak-efisiennya yang menjengkelkan. Dua belas anak
sekolah mencoba lari. Mereka mencobanya bersamaan sekaligus,
sehingga saling bertubrukan. Banyak yang kakinya terjepit di tengah
tubuh-tubuh yang terluka, dan tewas dengan janggal, lutut dan
panggul saling menyempil saat tumbang. Mereka yang jalannya tak
16
PALMERSTON PENNSYLVANIA
terhalang ditembak jatuh saat melarikan diri, menabrak meja,
dinding, dan meja layan. Di belakang meja itu pelayan yang masih
hidup mengerutkan diri sekecil mungkin, tersadar bahwa dirinya
menduduki genangan air seninya sendiri. Dari tempatnya dia bisa
melihat kaki gugup Duane Hillman, anak muda yang baru-baru ini
pernah jalan bersamanya di rel kereta api. Dia pemuda yang manis,
menawarkan untuk memakai kondom. Begitu dia tahu pemuda itu
tak hanya tertembak namun juga jatuh saat membawa satu baki
minyak panas, dia tak ingin melihatnya. Gadis itu berharap jika dia
sama sekali tak menatap ke arahnya, dan membuat dirinya sekecil
mungkin, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Sebutir peluru
nyasar kemudian menembus meja dan menghunjam tulang
belakangnya.
Ada orang-orang yang bahkan tak berusaha lari, namun diam
di tempat, mata mereka terbuka lebar, jiwa mereka telah lebih
dahulu pergi sebelum selongsong peluru menghantam paru-paru,
selangkangan, dan perut mereka. Setidaknya salah satu dari mereka,
yang baru saja didiagnosis terkena kanker yang sama dengan yang
membunuh ayahnya secara perlahan-lahan, tidak menganggap
peristiwa ini sepenuhiiya dari sudut negatif: meskipun sebetulnya si
dokter muda di rumah sakit, yang tak dia percayai karena terlihat
seperti penjahat di acara TV favoritnya, dapat menolong dirinya
jika dia tetap hidup dan menuruti nasihatnya.
Orang lain yang mematung tak punya alasan yang mirip seperti
dirinya. Mereka hanya tak dapat bergerak hingga tak lagi punya
pilihan.
Di ruangan yang penuh dengan korban, para pembunuh tampak
seperti dewa. Mereka terus menembak, kadang-kadang mengubah
arah tembakan, senapan beralih menghujani tembakan ke sudut
17
MICHAEL MARSHALL
ruangan yang tak disangka-sangka. Mereka mengisi ulang peluru
beberapa kali, meski tak pernah secara bersamaan. Mereka sangat
efisien. Tak seorang pun saling berbicara selama keseluruhan
peristiwa itu.
Dari delapan puluh sembilan orang di McDonald saat makan
siang itu, hanya empat puluh yang mendengar tembakan akhir maut
tersebut. Sembilan belas dari mereka tewas sebelum hari gelap,
sehingga jumlah tewas seluruhnya enam puluh delapan. Di antara
korban yang hidup-adalah gadis di belakang meja layan, yang tak
pemah lagi berjalan dan menjadi alkoholik sebelum menemukan
Tuhan dan kehilangan-Nya sekali lagi. Salah satu dari dua gadis
kecil itu juga selamat. Dia diasuh oleh seorang bibinya di Iowa, dan
menjalani hidup yang relatif damai. Salah satu teman Trent selamat,
dan empat tahun kemudian menjadi penjaga pantai di Laguna
Beach.
Steve Harris juga selamat. Mestinya dia sudah tewas,.dalam
rentetan tembakan pertama ke sisi kiri restoran, namun tubuh Suzy
Campbell terbanting ke atasnya tepat saat dia mencoba menyelip
ke bawah meja. Bobot tubuh wanita itu membuatnya terempas dari
tempat duduknya dan jatuh dengan kepala terlebih dahulu ke lantai.
Beberapa detik kemudian suami Suzy juga ikut tumbang, yang juga
tewas. Kedua wajah pasangan Campbell itu tak lagi dapat dikenali
dari paspornya (keduanya disimpan di dalam saku jaket, berjagajaga
jika ada orang menyelusup masuk mobil saat mereka makan),
namun pakaian yang mereka kenakan�beberapa dikirim kembali
ke Inggris dengan hati-hati, yang lain dijual murah di tempat obral
Gap di daerah Bay Back di Boston�masih dalam keadaan baik.
Hampir tak perlu dibersihkan dan mereka bisa saja berjalan keluar,
naik kembali ke mobil sewaannya, lalu pergi. Mungkin dalam
18
PALMERSTON PENNSYLVANIA
kenyataan yang lebih menyenangkan seandainya itu terjadi, dan
Mark menemukan alunan Goldberg Variations di suatu kebetulan
menyenangkan di kota yang dilalui, mereka mengemudi sisa harinya
di sepanjang jalan lurus di antara pepohonan dengan dedaunan yang
tampak disinari dari dalam: melewati naik-turunnya jalan tol dari
sore hingga malamnya, tanpa menyadari bahwa mereka mengemudi
sendirian.
Dalam dunia ini mereka hanya menyelamatkan nyawa seorang
manusia lain, saat Steve Harris membeku di bawah mereka, terpaku
hingga tak bergerak akibat benturan kepalanya dengan lantai ubin.
Di sekelilingnya adalah tubuh-tubuh manusia. Yang dapat dia lihat
hanyalah kekacauan dan maut: yang terasa olehnya hanyalah
sengatan dari lukanya dan nyeri menusuk di kepala yang kemudian
menjadi gegar otak parah hingga kadang dia merasa nyeri itu tak
pernah hilang. Seorang perawat muda, yang tampak mengagumi
dirinya karena berhasil selamat di kala hampir semua orang tewas,
melewatkan malam itu di rumah sakit Pipersville yang menyebabkan
dia tetap terjaga, ketika yang diinginkannya hanyalah tidur.
Tetapi itu terjadi di kemudian hari, seperti serangan jantung di
tahun 1995 yang berhasil melakukan apa yang dahulu tak berhasil
dilakukan peluru. Dia tak pemah berusaha mencari tahu apakah
rumah Victoria itu sedang dijual. Dia hanya terus bekerja hingga
tak kuat lagi.
Di atas bunyi tembakan dan suara batuk-batuk dan jeritan
mereka yang sekarat, suara sirene yang mendekat dari kejauhan
terdengar makin jelas. Para pembunuli itu masih menembak selama
dua puluh detik berikutnya, mengosongkan kantong kecil di dekat
meja layan, tempat si ibu dan dua anak gadisnya membeku. Lalu
mereka berhenti.
19
MICHAEL MARSHALL
Mereka melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan, dengan
wajah tak menampakkan ekspresi apa pun terhadap apa yang telah
mereka lakukan. Yang lebih muda�remaja bernama Billy�
melangkah mundur, dan memejamkan matanya. Yang satunya lagi
menembak tepat ke wajahnya. Saat tubuh Billy terkulai kaku ke
lantai, pria itu berjongkok untuk melumuri tangannya di genangan
darah. Dia berdiri lagi dan mengedarkan pandangan sekali lagi ke
sekeliling ruangan, tenang, tak terburu-buru. Dia bahkan tak melirik
mobil polisi yang menderu ke Jalan Utama, yang terlalu terlambat
untuk menangani peristiwa yang akhirnya membuat nama
Palmerston dikenal luas.
Kemudian, saat merasa tepat dan siap, pria itu melompat
melewati jendela pecah di belakang tubuh pasangan Campbell dan
menghilang: dia diyakini melarikan diri, di sepanjang jalur kereta
api tua. Dia tak pernah ditemukan.
Tak ada yang mampu memberikan gambaran cukup jelas akan
wajahnya, dan kemudian dia seakan menghilang dari peristiwa dan
hanya menjadi bayang-bayang. Kesalahan seluruhnya ditimpakan
pada Billy semata: seorang anak muda yang hanya melakukan apa
yang dikatakan padanya, oleh seorang pria yang dia pikir kawan
barunya.
Sepuluh tahun pun berlalu.[]
20
BAGIAN I
"Dari bukit, dan bukan di atas bukit ...."
-FRANK LLOYD WRIGHT
dalam THE ARCHITECTURE OF TALIESIN
PEMAKAMAN ITU BERJALAN LANCAR, DALAM ARTI CUKUP BANYAK
yang hadir, orang-orang berpakaian pantas, dan tak ada yang tibatiba
berdiri seraya berkata, "Kalian paham, ini artinya mereka mati."
Acara itu dilangsungkan di sebuah gereja di pinggir kota. Aku tak
mengerti apa artinya gereja denominasi, dan mengapa harus
diadakan dengan arahan dari Harold Davids. Sejauh yang kutahu,
kedua orangtuaku tak begitu religius dan menganut semacam paham
ateisme ramah dan keyakinan bahwa jika Tuhan memang ada maka
Davids mungkin mengendarai mobil bagus, yang kemungkinan
besar buatan Amerika.
23
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MICHAEL MARSHALL
Acara diatur secara efisien oleh kantor Davids, tak menyisakan
sesuatu untuk kukerjakan kecuali menunggu acara dimulai.
Kuhabiskan sebagian besar dari waktu dua hariku di lounge Best
Western. Aku tahu seharusnya aku pergi ke rumah orangtuaku,
namun rasanya tak tahan menghadapinya. Kubaca novel-novel
buruk dan membolak-balik macam-macam majalah yang tersedia
di hotel, tanpa mendapat apa pun kecuali bahwa kau harus
membayar sejumlah besar uang untuk sekali lihat. Tiap pagi aku
meninggalkan hotel, bermaksud jalan-jalan sendirian di sepanjang
jalan utama, tetapi hanya berhasil sampai tempat parkir saja. Aku
tahu apa yang dijual di toko-toko sepanjang jalan Dyersburg,
Montana, namun sama sekali tak terarik dengan alat-alat ski maupun
barang "seni". Malamnya aku makan di hotel, roti lapis dari layanan
kamar dikirim ke bar pada jam makan siang. Semua hidangan
disertai kentang goreng yang dari tekstumya tampak telah mengalami
sejumlah proses industri sejak dicabut dari tanah hingga sampai di
piring. Tak mungkin tanpa kentang goreng. Aku membahas masalah
kentang ini beberapa kali dengan para pelayan, tetapi jatuh kasihan
melihat kepanikan di mata mereka.
Setelah pendeta menjelaskan kepada para pelayat mengapa
maut bukanlah kedukaan total seperti yang mulanya terlihat, kami
berbaris keluar dari gereja. Terasa sedih tak ingin pergi. Aku merasa
aman di sana. Di luar begitu dingin, udaranya begitu kering dan
sunyi. Di belakang pemakaman menjulang kaki bukit Gallatin,
puncak-puncaknya tampak membisu di kejauhan, seolah dilukis di
atas kaca. Dua lubang kubur berdampingan telah disiapkan. Ada
sekitar lima belas orang yang datang menyaksikan pemakaman.
Davids ada di sana, dan seseorang yang tampaknya asistennya.
Mary berdiri di dekatku, rambut putihnya diikat ke belakang
24
BAB SATU
membentuk gelung, wajah panjangnya tampak sedikit letih oleh
dingin. Beberapa pasangan lainnya tampak samar-samar kuingat.
Pendeta itu masih mengucapkan beberapa kata lagi, sebuah
kebohongan menghibur untuk meredam peristiwa ini. Mungkin hal
itu berhasil bagi beberapa pelayat. Aku sendiri hampir tak
mendengamya, berkonsentrasi untuk mencegah kepalaku meledak.
Lalu dua orang pria�yang memang tugasnya seperti ini, sama setiap
minggu�dengan efisien menurunkan kedua peti mati itu ke dalam
tanah. Tambang perlahan-lahan dilalukan dengan tangan, dan peti
mati terukur tepat enam kaki di bawah tanah datar tempat mereka
yang masih hidup berdiri. Beberapa kalimat masih disampaikan,
namun kini hanya komat-kamit yang tergesa�seolah gereja
menyadari bahwa waktu kian menipis. Kau tidak bisa menaruh
orang di peti kayu tanpa hadirin menyadari ada sesuatu yang keliru
sedang terjadi.
Diakhiri dengan pernyataan akhir yang sepi, dan begitulah.
Selesai sudah. Tak ada lagi yang akan terjadi pada Donald dan
Philippa Hopkins. Tak ada yang mencuat dalam pikiran, setidaknya.
Beberapa pelayat masih berdiri beberapa lama, tanpa tujuan.
Setelah itu, aku sendirian di bawah naungan langit raksasa. Aku
berdiri di sana sebagai dua orang. Satu, yang tenggorokannya
tercekat membatu, tak mampu membayangkannya bergerak lagi;
dan yang lainnya adalah yang sadar akan sosok mematung di
samping kuburan, dan juga bahwa, agak jauh sedikit ke sana,
orang-orang berlalu dengan mobil sambil mendengarkan Dixie
Chicks dan sedikit cemas memikirkan keadaan keuangannya.
Kedua sisi diriku ini menganggap hal itu menggelikan.
Aku tahu aku tak bisa berdiri terus selamanya. Mereka takkan
membolehkan hal itu. Ini tak masuk akal, tak mengubah apa-apa,
25
MICHAEL MARSHALL
dan udaranya sangat dingin. Saat aku akhirnya mengangkat muka,
aku sadar bahwa Mary masih di sana, berdiri beberapa kaki
jauhnya dariku. Matanya mengering, mengeras oleh kesadaran
bahwa nasib yang sama akan dia alami tak lama lagi dan hal itu
bukan untuk ditertawakan atau ditangisi. Aku mengerucutkan bibir.
Dia menggapaiku dan mengepitkan tangannya di lengan. Tak
seorang pun dari kami yang berbicara selama beberapa lama.
Ketika Mary meneleponku, tiga hari sebelumnya, aku sedang
duduk di dennaga hotel yang indah di De la Vina di Santa Barbara.
Kadang-kadang aku menganggur, atau memang sedang menganggur
lagi, dan menggunakan tabunganku yang pas-pasan untuk liburan
yang tak patut kuperoleh. Aku sedang duduk dengan sebotol merlot
lokal di hadapanku, selambat mungkin menghabiskannya. Itu bukan
botol yang pertama malam itu, sehingga saat ponsel berdering aku
bermaksud membiarkan layanan pesan mengambil alih. Namun saat
melirik ponsel terlihat siapa yang menelepon.
Kupencet tombol BICARA. "Hei," kataku.
"Ward," jawab Mary. Lalu diam.
Akhirnya aku mendengar suara rendah di seberang. Bunyinya
lembut, pekat. "Mary?" tanyaku cepat. "Kau tak apa-apa?"
"Oh, Ward," ucapnya, suaranya terdengar gelisah dan sangat
tua. Aku langsung duduk tegak di kursiku, berharap samar bahwa
ketegaranku yang pura-pura ini entah bagaimana akan dapat
mengatasi beratnya beban godam yang akan menghantamku jatuh.
"Ada apa?"
"Ward, lebih baik kau datang ke sini."
Akhirnya aku berhasil memaksanya bicara. Terjadi tabrakan
mobil di tengah kota Dyersburg. Kedua orangtuaku tewas seketika.
26
BAB SATU
Sebelumnya aku sudah dapat menduga akan datangnya kabar
buruk mengenai orangtuaku. Jika bukan tentang mereka, Mary tidak
akan menelepon. Namun bahkan sekarang pun, saat aku berdiri
di sampingnya di pemakaman sambil menunduk ke arah peti mati
mereka, aku tak mampu mengucapkan kalimat untuk membingkai
kematian mereka dengan semestinya. Aku kini juga tak bisa
membalas telepon Ibu yang pesannya dia tinggalkan di mesin
penjawab telepon, seminggu sebelumnya. Waktu itu aku tidak
sempat. Aku tidak ingin mereka terhapus dari permukaan bumi
tanpa peringatan, dan ditaruh di bawahnya, tempat mereka tak
dapat mendengarku.
Mendadak aku tersadar, aku tak ingin berada di dekat-dekat
jenazah mereka lagi. Aku mundur selangkah dari makam. Mary
merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sesuatu yang melekat pada
label kardus kecil. Satu set kunci.
"Aku telah membuang sampah tadi pagi," ucapnya, "dan
mengambil beberapa barang dari kulkas. Susu dan semacamnya.
Aku tak ingin kulkas berbau tak enak. Semuanya seperti yang
kutinggalkan."
Aku mengangguk, menatap kunci-kunci itu. Aku sendiri bahkan
tak punya. Tak butuh. Kuncinya ada di dalam, beberapa kali ketika
aku datang berkunjung. Aku sadar baru kali inilah aku melihat Mary
di tempat lain selain di dapur atau ruang keluarga di rumah Ayah
dan Ibu. Seperti itulah rasanya bersama orangtuaku. Kau yang pergi
ke rumah mereka, bukan sebaliknya. Mereka cenderung
niembentuk semacam pusat kehidupan. Terpaksa.
"Mereka sering membicarakanmu, Ward. Sering."
Aku mengangguk lagi, meski tak yakin percaya padanya.
Hampir selama sepuluh tahun orangtuaku bahkan tak tahu di mana
27
MICHAEL MARSHALL
aku berada, dan yang mereka katakan selalu tentang seorang
pemuda, anak tunggal yang dahulu pernah berangkat dewasa dan
tinggal bersama mereka di negara bagian berbeda. Bukannya kami
tak saling mencintai. Kami saling mencintai, dengan cara masingmasing.
Aku hanya tak memberi mereka banyak peristiwa untuk
diperbincangkan, tak ada hal-hal yang para orangtua cenderung
bangga-banggakan tentang anaknya pada teman dan tetangga
mereka. Tak punya istri, tak punya anak, tak punya pekerjaan
untuk diobrolkan. Aku tersadar Mary masih menyorongkan
tangannya, jadi kuambil kunci-kunci itu darinya.
"Berapa lama kau akan tinggal?" tanyanya.
"Tergantung seberapa lama waktu yang dibutuhkan. Mungkin
seminggu. Mungkin kurang."
"Kau tahu rumahku," katanya. "Jangan sungkan, kalau-kalau."
"Tidak akan," jawabku segera, tersenyum canggung. Aku
berharap punya saudara kandung yang dapat mengambil alih
pembicaraan semacam ini dariku. Seseorang yang bertanggung
jawab dan berbakat sosial.
Mary balas tersenyum, namun seperti dari kejauhan, seakan
dia mengerti bukan begini keadaan seharusnya.
"Kau akan pulang segera, menurutku," katanya, kemudian
melangkah menuruni bukit. Di usia tujuh puluh dia sedikit lebih tua
dari orangtuaku, dan berjalan dengan aneh. Dia penghuni Dyersburg
sejak lama, mantan perawat, dan lebih dari itu aku tak tahu.
Aku melihat Davids berdiri di sisi mobil di seberang pemakaman,
membunuh waktu dengan mengobrol bersama asistennya namun
jelas dia menungguku. Dia memiliki kesan seseorang yang siap dan
bersedia untuk bertindak dengan segera dan efisien, untuk
memudahkan urusan.
28
BAB SATU
Kulirik sekali lagi kuburan-kuburan itu, lalu berjalan dengan
gontai di jalur jalan kecil untuk menghadapi tugas-tugas administratif
akibat kepergian seluruh keluargaku.
DAVIDS MEMBAWA HAMPIR SELURUH BERKAS-BERKASNYA DI MOBIL,
dan mengajakku makan siang untuk membereskan semuanya. Aku
tak tahu apakah hal itu membuat urusannya jadi lebih menyenangkan
daripada jika dikerjakan di kantornya, namun aku menghargai
kesopanan seorang pria yang hampir tak kukenal sama sekali.
Kami makan di pusat kota bersejarah Dyersburg, di tempat
bernama Auntie's Pantry. Interiomya dirancang menyerupai kabin
kayu, dengan perabot yang ditebang-tangan oleh para peri. Menu
yang ditawarkan adalah macam-macam sup organik dan roti buatan
sendiri, disertai salad di atas taoge.
Berusia hampir sebaya dengan orangtuaku, tinggi dan kurus
dengan paruh berukuran besar, Davids tampak seperti utusan yang
diperintah Tuhan jika Dia ingin hujan turun di Neraka. Davids
membuka kopernya dan mengeluarkan sejumlah dokumen,
menaruhnya di hadapan dengan gaya seorang pebisnis, mengambil
menu, dan mulai membaca. Davids adalah pengacara orangtuaku,
sejak mereka bertemu dengannya setelah pindah dari California
Utara. Aku pernah bicara dengannya beberapa kali sebelum ini, di
acara rnmum-minum saat Natal atau Thanksgiving di rumah mereka,
namun di benakku dia kini hanyalah salah satu di antara orang-orang
yang pertemananku dengan mereka sudah hampir berakhir. Ini
menghasilkan campuran aneh antara keinginan melanjutkan
hubungan dan jarak yang memisahkan, yang membuatku tak mampu
mengobrol banyak.
29
MICHAEL MARSHALL
Untungnya, Davids memimpin percakapan segera setelah
mangkuk butternut dan sup lichen tiba. Dia meringkas situasi
kematian orangtuaku, yang tanpa adanya saksi mengarah pada satu
fakta tunggal. Sekitar pukul 11.05 hari Jumat malam, setelah
mengunjungi kawan untuk bermain bridge, mobil mereka terlibat
tabrakan dari depan di persimpangan jalan Benton dan Ryle. Mobil
lainnya adalah kendaraan yang sedang diam terparkir di sisi jalan.
Pemeriksaan pasca-kematian memperlihatkan kadar alkohol darah
yang sesuai dengan, mungkin, setengah botol anggur yang dirninum
Ayah, yang tidak mengemudi, dan jus kranberi yang dirninum Ibu.
Jalanan tertutup es, dan belokan itu tidak begitu terang, bahkan
tahun sebelumnya terjadi tabrakan di tempat yang sama. Begitulah.
Ini hanyalah salah satu dari peristiwa semacam itu, kecuali jika aku
ingin terlibat dalam pemeriksaan perdata tanpa hasil, dan aku tak
ingin itu. Tak ada lagi yang dikatakan.
Setelah itu Davids kembali pada urusan administratif, yakni
memintaku menandatangani sejumlah besar berkas, sehingga
maierima kepanilikan rumah dan isinya, sejumlah tahah yang belum
digarap, dan aset finansial milik Ayah. Masalah pajak yang bakaitan
dengan semua itu secara efisien dia jelaskan padaku dan marrintaku
menandatangani lebih lanjut. Urusan dengan Kantor Pajak masuk
telinga kiri keluar telinga kanan, dan aku hanya melirik berkasberkas
itu sepintas lalu. Ayah jelas memercayai Davids, dan dia
bukanlah orang yang sembarangan percaya pada orang lain. Baik
untuk Ayah maka baik pula untukku.
Aku hanya mendengarkan separuh perhatian dan lebih
menikmati sup�setelah resepnya kuperbaiki dengan taburan garam
dan merica banyak-banyak. Pandanganku tertuju pada sendok
terisi penuh yang mengarah ke mulutku, menikmati rasanya dengan
30
BAB SATU
sungguh-sungguh dan meresapinya, bemsaha memenuhi pikiranku
serapat mungkin. Aku hanya memerhatikan ketika Davids
menyebut-nyebut UnRealty.
Dia menjelaskan bahwa bisnis ayahku, yang dari situ dia
berhasil menjual real estate mahal, telah ditutup. Nilai aset yang
tersisa akan ditransfer ke tabunganku, segera setelah proses ini
selesai.
"Dia menutup UnRealty?" tanyaku, mengangkat wajah menatap
pengacara itu. "Kapan?"
"Bukan begitu." Davids menggelengkan kepala, menyeka
mangkuknya dengan sepotong roti. "Dia memerintahkan agar hal
itu dilakukan di saat kematiannya."
"Tak peduli apa pun yang mungkin kukatakan?"
Davids menatap keluar jendela, dan menggosok-gosok
tangannya dengan gerakan kecil untuk membersihkan remah dari
jarinya. "Dia cukup jelas mengenai hal itu."
Supku tiba-tiba terasa dingin, dan rasanya menjadi seperti
cairan rumput kolam. Kudorong mangkuk menjauh. Sekarang aku
paham mengapa Davids bersikeras menyelesaikan berkas-berkas
ini hari ini, bukannya beberapa waktu sebelum pemakaman. Aku
mengumpulkan salinan berkas milikku dan memasukkannya ke
dalam amplop yang Davids sediakan.
"Itu saja?" suaraku terdengar datar dan tajam.
"Kupikir demikian. Maaf kau harus mengalami hal ini, Ward,
tetapi lebih baik lupakan saja segera."
Davids mengambil dompet dari jaketnya dan terbelalak melihat
bon, seakan dia tidak saja tak memercayai penglihatannya tapi juga
menganggap rendah tulisan tangan si pelayan. Jarinya ragu-ragu
31
MICHAEL MARSHALL
sejenak mengeluarkan kartu kredit, alih-alih mengambil tunai.
Kukira dia tak ingin biaya makan siang ini dianggap urusan kantor.
"Kau telah sangat membantu," ujarku. Davids mengabaikan
ucapanku dengan melambaikan tangan, dan menaruh tip tepat
sepuluh persen.
Kami bangkit meninggalkan restoran, lewat di antara meja para
turis yang asyik mengobrol. Di luar kami bersama-sama berdiri,
memerhatikan wanita-wanita bersepatu hak tinggi mondar-mandir
di College Street membawa barang belanjaan dan kartu kredit
untuk dihabiskan.
Akhirnya Davids menyorongkan tangannya dari saku jasnya.
"Jika ada sesuatu yang dapat kulakukan, hubungi saja. Aku tak bisa
membangkitkan orang mati, tentu saja, tetapi untuk hal-hal lain
mungkin aku bisa membantu."
Kami berjabatan tangan, dan dia berjalan sedikit terburu-buru
membaur ke jalanan, wajahnya mengabur. Baru saat itu kusadari,
dengan menyesal karena terlambat, bahwa Davids tidak saja
menjadi pengacara Ayah, namun juga telah menjadi sahabatnya, dan
aku mungkin bukan satu-satunya yang merasa pagi ini begitu berat.
AKU BERJALAN PULANG KE HOTEL DENGAN TANGAN TERKEPAL. PUKUL
sembilan aku sudah sangat mabuk. Bir sudah di tangan sebelum
pintu hotel ditutup di belakangku. Sejak tegukan pertama aku tahu
itu suatu kesalahan. Masaiahnya adalah, tak ada jawaban cerdas
dalam situasi itu.
Awalnya aku hanya duduk di bar, namun setelah beberapa
lama pindah ke pojokan dekat jendela panjang. Tip besar yang
kuberikan di muka memastikan bahwa aku tak perlu menunggu,
32
BAB SATU
atau bahkan bergerak, supaya gelasku selalu terisi penuh. Satu bir,
kemudian scotch. Bir, lalu scotch. Sebuah cara yang tepat dan
efisien untuk mabuk, dan bartender berwajah mulus itu terus
membawakan pesananku dengan lancar.
Aku mengeluarkan dokumen dari amplop manila yang diberikan
Davids dan menghamparkannya di hadapanku. Pikiranku tertuju
pada satu pokok utama.
Selama beranjak dewasa, aku sadar akan satu hal tentang
ayahku. Dia adalah seorang pengusaha. Itulah pekerjaannya dan
jati dirinya. Dia adalah Homo sapiens bisnismaniens. Setiap pagi
dia bangun lalu pergj bekerja, dan pulang malam hari untuk bekerja
lagi. Orangtuaku tak pernah membicarakan masa muda mereka,
dan jarang sekali tentang apa yang mereka alami dalam konsekuensinya,
tetapi aku tahu tentang UnRealty. Ayah pemah bekerja
selama beberapa tahun di firma setempat, lalu satu malam dia
mengajak Ibu keluar untuk makan malam mewah dan
memberitahunya bahwa dia akan membuka biro sendiri. Dia
mengatakannya persis demikian, sepertinya, bak iklan jaminan
bank. Dia telah berbicara dengan beberapa orang, membuat
sejumlah kontak, berkutat dengan buku-buku orang hebat yang
mendorong orang untuk suatu saat mencangklong di bar sebuah
country club dan berkata, "Aku melakukannya dengan caraku."
Itu pasti sulit, tapi Ayah memiliki tekad baja. Baik itu tukang
bengkel, tukang pipa, polisi tilang, bahkan resepsionis hotel, semua
hanya butuh sekali pandang dan memilih untuk tidak macam-macam
dengannya. Jika masuk ke suatu restoran, para staf akan saling
berbisik dan sepakat untuk berdiri tegak dan berhenti meludahi sup.
Perusahaannya, serta riwayatnya, adalah hal paling nyata yang
kupahami dari dirinya.
33
MICHAEL MARSHALL
Meski demikian, di surat wasiatnya, dia menetapkan bahwa
UnRealty akan ditutup. Alih-alih menyerahkan keputusan kepada
putranya, dengan tenang dia menghancurkan hasil kerjanya selama
lebih dari 20 tahun.
Segera setelah Davids memberitahukan hal ini, aku mengerti
ini hanya berarti satu hal. Orangtuaku tak ingin aku mengambil alih
bisnis itu. Dalam beberapa hal, itu masuk akal. Aku pernah menjual
banyak barang, banyak sekali, namun tak pernah sebuah rumah
mahal. Bagaimanapun juga, aku mengerti pikiran mereka. Selalu.
Aku tahu tentang majalah Unique Homes, tentang duPontREGISTRY,
dan Rumah-Rumah Mewah Christie. Aku tahu konservasi lahan dan
ranch, tidak asing dengan nilai kerajinan gaya lama, pemandangan
lahan golf, rumah-rumah terpencil yang mementingkan kedamaian.
Aku tak bisa menahannya. Sudah mengalir dalam darahku. Bahkan
aku mengambil kuliah arsitektur selama dua tahun, sebelum
dikeluarkan dari universitas akibat suatu masalah dan beralih ke
bidang yang berbeda sama sekali. Dan, Ayah masih tak
menginginkan diriku, atau tak percaya bahwa aku dapat mengambil
alih usahanya. Semakin kupikirkan hal itu, semakin aku sakit hati.
Aku terus minum, berharap keadaan menjadi lebih baik. Namun
temyata tidak. Masa bodoh, aku teruskan minum. Bar masih sepi
saat malam mulai beranjak. Lalu pukul sepuluh malam serombongan
pria dan wanita berjas mendadak menyerbu masuk, melepaskan
diri dari impitan grafik-grafik perusahaan yang menekan batin.
Mereka berkerumun mengelilingi bagian tengah bar, gara-gara
terbiasa membentuk jaringan. Tingkah mereka riang gembira seperti
anak kecil, bergairah akan bayangan bersenang-senang serta minum
bir ringan. Saat itu otakku sudah terasa sangat berat dan dingin.
34
BAB SATU
Suara-suara mulai terdengar mengeras dan memburuk, seakan aku
dikelilingi oleh orang yang sedang menyekop kerikil.
Aku menjejak lantai tempatku duduk, melayangkan pandangan
benci kepada para penyerbu itu. Dua orang pria dengan penuh gaya
membuka jaketnya. Seorang bahkan mengendurkan dasinya. Para
bawahan mendekati bos-bosnya dan menempel seperti burung
pantai mematuk mencari ikan. Aku menahan diri. Aku bisa
menghadapi ini. Orang-orang ini mungkin pintar mengolah data dan
menghitung aset, tapi untuk masalah ketahanan di bar, mereka tak
ada apa-apanya. Aku merasa jumawa. Aku menguasai medan. Dan,
bila dipikir-pikir, aku juga mabuk lebih berat dari yang kuduga.
Tiga orang pria muncul di pintu. Mereka berhenti, melihat ke
sekeliling.
Yang kutahu selanjutnya adalah terdengar teriakan, dan orangorang
berjas itu tiarap berlindung. Mulanya aku merasa ketakutan,
dan baru kemudian tersadar karena dirikulah mereka semua lari.
Aku sempoyongan di tengah-tengah ruangan, bajuku basah
akibat gelas bir yang terbalik. Tanganku memegang senjata dan
benda itu mengarah kepada para pria di pintu, yang meneriakkan
perintah-perintah saling berlawanan yang kacau. Mereka tampak
begitu ketakutan. Ini mungkin karena jika seorang pria mengarahkan
senjatanya padamu, kau ingin melakukan apa yang dia
inginkan. Namun sulit jika orang tak mengerti apa yang dia inginkan.
Akhirnya aku berhenti menembak. Pria-pria di pintu dengan
segera menjadi berenam, lalu berkurang tinggal tiga kembali.
Ruangan sunyi di sekelilingku, tapi jantungku rasanya seperti akan
meleleh. Semua orang menunggu apakah kejadiannya akan
bertambah buruk atau membaik.
35
MICHAEL MARSHALL
"Maaf," gumamku. "Ada salah paham."
Kutaruh senjata kembali ke dalam jaket, menyapu berkasberkas
dari atas meja, dan meluncur keluar. Hampir separuh jalan
menuju lobi, aku pun terjatuh, menabrak meja, vas besar, dan
bunga seharga seratus dolar jatuh bersamaku.
PUKUL TIGA PAGI, KAKU OLEH AIR YANG DINGIN, AKU KEMBALI
berbaring di ranjang kamar.
Aku telah diperingatkan oleh manajemen hotel maupun polisi
setempat, yang bisa memahami kelakuanku, meski bersikeras
menahan senjataku sepanjang masa tinggal di sini. Sisa hari diisi
oleh pemakaman. Aku punya izin membawa senjata, yang membuat
mereka terkejut. Namun mereka mengatakan (cukup beralasan)
bahwa dalam surat izin tersebut tak disebutkan bahwa aku boleh
mengacung-acungkannya di dalam bar. Berkas-berkas dari kantor
Davids, yang menyebutkan bahwa aku kini memiliki uang tunai 1,8
juta dolar, dengan hati-hati kutaruh di atas pemahas agar kering.
Aku tak lagi marah pada semua orang. Kenyataan bahwa surat
wasiat dan pernyataan Ayah kini beraroma bir tumpah seolah
membenarkan tindakannya.
Setelah beberapa lama berguling-guling, aku mengambil gagang
telepon, lalu memutar nomor. Telepon berdering enam kali, lalu
terdengar suara mesin penjawab. Suara yang sangat kukenal, yang
mengatakan bahwa Mr. dan Mrs. Hopkins menyesal tak dapat
menjawab telepon, dan harap aku bersedia meninggalkan pesan.
Suaraku itu kelak akan kembali lagi padaku.[]
36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar