Sabtu, 12 Februari 2011

Hantu Jeruk Purut

THE
BARTIMAEUS
TRILOGY
BUKU KETIGA
GERBANG PTOLEMY
JONATHAN STROUD
PTOLEMY 'S
GATE
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt
GERBANG PTOLEMY
JONATHAN STROUD
THE
BARTIMAEUS
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2007
TRILOGY
BUKU KETIGA
PTOLEMY 'S
GATE
a
PTOLEMY'S GATE
by Jonathan Stroud
Copyright � 2005 by Jonathan Stroud
All rights reserved
Copyright arranged with The Laura Cecil Agency
17 Alwyne Villas, London, Nl 2HG, England through Tuttle-
Mori Agency Co., Ltd
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
GERBANG PTOLEMY
Alih bahasa: Poppy Damayanti Chusfani
Editor: Dini Pandia
GM 322 07.010
Hak cipta terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Anggota IKAPI,
Jakarta, September 2007
576 hlm; 20 cm
ISBN-10: 979 - 22 - 2964 - 7
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 2964 - 6
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
a
Untuk Isabelle,
dengan cinta
"Janganlah menyembah jikalau tidak
mengetahui siapa yang disembah,
siapa yang disembah akhirnya cuma
menyembah ketiadaan, suatu sembahan
yang sia-sia."
(Syekh Siti Jenar)
* * *
a
jika engkau tidak mengetahui
Tokoh-Tokoh Utama
Mr. Rupert Devereaux
Mr. Carl Mortensen
Ms. Helen Malbindi
Ms. Jessica Whitwell
Mr. Bruce Collins
Mr. John Mandrake
Ms. Jane Farrar
Mr. Quentin Makepeace
Mr. Harold Button
Mr. Sholto Pinn
Mr. Give Jenkins
Ms. Rebecca Piper
Perdana Menteri Inggris Raya dan
Kerajaan, serta bertindak sebagai
Kepala Polisi
Menteri Peperangan
Menteri Luar Negeri
Menteri Pertahanan
Menteri Dalam Negeri
Menteri Penerangan
Wakil Kepala Polisi
Penulis drama; penulis Petticoats
and Rifles dan karya-karya lain
Penyihir, cendekiawan, dan kolektor
buku
Pedagang; pemilik Pinn's
New Accoutrements di Piccadilly
Penyihir Level Kedua, Departemen
Urusan Dalam Negeri
Asisten Mr. Mandrake, Menteri
Penerangan
Penyihir
Ms. Kitty Jones
Mr. Clem Hopkins
Mr. Nicholas Drew
Mr. George Fox
Ms. Rosanna Lutyens
Pelajar dan pelayan bar
Cendekiawan tanpa tempat menetap
Penghasut politik
Pemilik Frog Inn, Chiswick
Guru privat
Bartimaeus Jin�melayani Mr. Mandrake
Ascobol
Cormocodran
Mwamba
Hodge
Jin-jin tingkatan lebih tinggi�
melayani Mr. Mandrake
Purip
Fritang
Jin-jin tingkatan lebih rendah�
melayani Mr. Mandrake
MAKHLUK HALUS
COMMONER
Bagian Satu
a
embunuh-pembunuh bayaran melompat masuk ke halaman
istana pada tengah malam, empat bayangan bergerak cepat di
dinding. Tembok yang mereka lompati tinggi, tanah di bawahnya
keras; mereka tidak menimbulkan suara lebih nyaring
daripada titik-titik air hujan yang menghantam tanah. Selama
tiga detik mereka meringkuk di sana, rendah dan tidak bergerak,
mengendus udara. Kemudian mereka melangkah, melintasi
taman yang gelap, di antara semak-semak tamarisk dan
pohon kurma, menuju bagian istana tempat anak laki-laki itu
tidur. Cheetah yang dirantai bergerak dalam tidurnya; jauh di
tengah padang pasir, serigala-serigala liar melolong.
Mereka berjingkat, tanpa meninggalkan jejak apa pun di
rumput panjang yang basah. Jubah mereka berkibar, membuat
bayangan mereka melebur menjadi gelombang kelebatan. Apa
yang dapat dilihat? Tidak ada selain dedaunan yang bergerak
11
Bartimaeus
125 SM
Alexandria
P
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
ditiup angin. Apa yang dapat didengar? Tidak ada selain angin
yang berembus di antara daun-daun palem. Tidak terlihat apa
pun, tidak tampak apa pun. Jin berbentuk buaya, penjaga kolam
suci, tidak terganggu meskipun mereka melewati ekornya
dalam jarak sangat dekat. Sebagai manusia, mereka lumayan
ahli.
Panasnya siang hari telah terlupakan; udara dingin. Bulan
bundar yang pucat bersinar di atas istana, memancarkan cahaya
peraknya ke atap dan halaman.1
Di balik tembok, kota besar memperdengarkan suara-suara
lirih tengah malam: derak roda di jalan tanah, tawa samar dari
distrik hiburan di sepanjang dermaga, ombak berdebur di pantai.
Cahaya lampu menyinari jendela-jendela, bara menyala di
perapian di atap-atap rumah, dan dari puncak menara di sebelah
gerbang pelabuhan menyala api unggun yang cahayanya
tampak hingga tengah lautan. Sinarnya menari-nari seperti cahaya
imp di tengah ombak.
Di pos-pos mereka, para penjaga bermain judi. Di aula-aula
berpilar, para pelayan tertidur beralaskan jerami. Gerbang istana
dikunci dengan selot tiga rangkap, setiap selot lebih besar
daripada manusia. Tidak ada mata yang memandang ke taman
di bagian barat, tempat kematian mendekat, mengendap sesunyi
kalajengking, dengan empat pasang kaki yang tidak bersuara.
1 Ini salah satu keanehan sekte mereka; mereka bertindak hanya pada malam bulan
purnama. Membuat tugas-tugas mereka semakin sulit, tantangannya semakin besar.
Dan mereka tidak pernah gagal. Selain itu, mereka hanya mengenakan pakaian
hitam, menghindari daging, alkohol, wanita, tidak memainkan instrumen musik
tiup, dan anehnya tidak makan keju kecuali yang terbuat dari susu kambing yang
mereka ternakkan sendiri di tempat tinggal mereka di pegunungan padang pasir.
Sehari sebelum melakukan tugas, mereka berpuasa, bermeditasi dengan cara
menatap tanah tanpa berkedip, kemudian makan kue hashish dan biji jintan, tanpa
minum, sampai kerongkongan mereka berwarna kuning manyala. Mengherankan
sekali mereka mampu membunuh orang.
12
Jendela kamar si anak laki-laki berada di lantai satu istana.
Empat bayangan merunduk di bawah dinding. Sang pemimpin
memberi tanda. Satu demi satu mereka merapatkan diri ke
dinding batu; satu demi satu mereka mulai memanjat, bergelantungan
dengan jemari tangan dan ujung kuku jari kaki
mereka.2 Dengan cara ini mereka memanjat tiang-tiang marmer
dan air terjun es dari Massilia sampai Hadhramaut; dinding
batu yang kasar bagi mereka terasa mudah. Mereka terus memanjat,
seperti kelelawar di dinding gua. Sinar bulan memantul
pada benda bersinar yang terdapat di mulut mereka.
Pembunuh pertama mencapai jendela: ia melompat seperti
harimau ke ambang jendela dan mengintip ke dalam kamar.
Cahaya bulan menerangi ruangan; ranjang jerami disinari
cahaya seperti siang hari. Anak laki-laki itu tidur di sana, tidak
bergerak seakan sudah mati. Rambutnya yang gelap tergerai
lemas di bantal, lehernya yang pucat tampak bersinar di atas
seprai sutra.
Sang pembunuh bayaran mengambil belati yang terjepit di
antara giginya. Dengan saksama tanpa suara, ia memeriksa keadaan
kamar, mengukur besarnya dan memeriksa kemungkinan
adanya jebakan. Kamar itu luas, tertutup bayangan, minim
perabotan. Tiga pilar besar menopang langit-langit. Di kejauhan
terdapat pintu dari papan, dipalang dari dalam. Lemari,
setengah penuh dengan pakaian, bersandar pada dinding, pintunya
terbuka. Sang pembunuh melihat singgasana mewah disampiri
jubah yang dilemparkan begitu saja, sepasang sandal
tergeletak di lantai, baskom onyx penuh dengan air. Harum
parfum samar-samar tercium di udara. Sang pembunuh bayar-
2 Kuku-kuku jari kaki mereka mengerikan dan melengkung, dikikir tajam seperti
cakar elang. Para pembunuh bayaran merawat kaki mereka dengan saksama, karena
merupakan bagian penting dalam pekerjaan mereka. Kaki-kaki mereka rutin
dicuci, digosok dengan batu apung, dan dilembapkan dengan minyak zaitun
sehingga kulitnya selembut bulu halus itik.
13
an, yang menganggap wangi-wangian seperti itu menjijikkan,
mengerutkan hidung.3
Matanya menyipit; ia membalik belatinya, memegang ujung
mata pisaunya yang bersinar dan mengilap dengan jari dan ibu
jarinya. Belati itu bergetar sekali, dua kali. Ia mengukur jarak
sekarang�ia belum pernah meleset, mulai dari Carthage
hingga si tua Colcis. Setiap belati yang dilontarkannya selalu
tepat sasaran.
Pergelangan tangannya menyentak; gerakan belati yang memantulkan
sinar perak seakan membelah udara menjadi dua.
Belati itu mendarat dengan suara lembut, gagangnya tegak
pada bantal, hanya satu inci dari leher si anak laki-laki.
Sang pembunuh bayaran berhenti bergerak dengan ragu,
masih merunduk di ambang jendela. Di punggung tangannya
terdapat luka berbentuk silang yang menandakan dirinya anggota
akademi kegelapan yang ahli. Seorang ahli tidak pernah
meleset. Lontarannya sudah tepat, diperhitungkan dengan rinci...
Namun ternyata meleset. Apakah sang korban berubah
posisi dalam tidur? Mustahil�anak laki-laki itu tidur lelap sekali.
Dari sekitar tubuhnya sang pembunuh mengeluarkan belati
kedua.4 Sekali lagi membidik dengan saksama (sang pembunuh
sadar saudara-saudaranya menunggu di belakang dan di
bawahnya di dinding: ia merasakan ketidaksabaran mereka).
Kembali pergelangan tangannya mengentak, belati melayang�
Dengan suara lembut, belati kedua mendarat di bantal, satu
inci di sisi satunya leher sang pangeran. Dalam tidurnya,
3 Sekte mereka menghindari parfum demi alasan praktis, mereka lebih memilih
membaluri diri dengan bau-bauan yang sesuai dengan kondisi setiap pekerjaan:
serbuk sari untuk di taman, dupa untuk di kuil, debu di padang pasir, kotoran
dan sampah di kota. Mereka orang-orang yang amat berdedikasi.
4 Aku takkan mengatakan dari mana belati itu diambilnya. Katakan saja belati itu
memiliki masalah kebersihan, selain amat tajam.
14
mungkin bermimpi�mulut anak laki-laki itu berkedut seperti
membentuk senyum kecil di ujung-ujung bibirnya.
Dari balik serat hitam syal yang menutupi wajahnya, si pembunuh
mengerutkan kening. Dari dalam tuniknya ia mengeluarkan
secarik kain, disimpul ketat menjadi seutas tali. Selama
tujuh tahun terakhir sejak sang Pertapa menugaskan pembunuhan
pertamanya, tambang pencekiknya tidak pernah putus, kedua
tangannya tidak pernah mengecewakan.5 Sehening macan,
ia meluncur dari ambang jendela dan melintasi lantai yang
diterangi cahaya bulan.
Di ranjangnya anak laki-laki itu menggumamkan sesuatu. Ia
bergerak di balik selimutnya. Sang pembunuh membeku, seperti
patung hitam di tengah ruangan.
Di belakang, di jendela, dua temannya menempatkan diri
di ambangnya. Mereka menunggu, memerhatikan.
Anak laki-laki itu mendesah dan kembali tenang. Ia berbaring
telentang di bantal, gagang belati mencuat di kedua sisi
kepalanya.
Tujuh detik berlalu. Sang pembunuh mulai kembali bergerak.
Ia mengitari ranjang ke bagian belakang tumpukan bantal,
melingkarkan ujung-ujung tambang pada tangannya. Sekarang
ia persis berada di atas si anak laki-laki; ia membungkuk
cepat, meletakkan tambang melintang di leher yang terlentang�
Mata anak laki-laki itu terbuka. Ia meraih dengan satu tangan,
mencengkeram pergelangan tangan kiri si pembunuh,
5 Sang Pertapa dari Pegunungan melatih para pengikutnya melakukan berbagai cara
pembunuhan tanpa risiko gagal. Tanpa tertandingi mereka mempergunakan
tambang pencekik, pedang, pisau, tongkat, tali, racun, senjata piringan, bola
pelontar, peluru, dan panah, juga mampu melumpuhkan dengan tatapan maut.
Menyebabkan kematian dengan jentikan jari atau gerakan jemari kaki juga
diajarkan, dan sepsialisasi mereka adalah menggigit. Yang paling hebat adalah itu
semua mereka lakukan tanpa rasa bersalah: setiap pembunuhan dibenarkan dan
diampuni aliran keagamaan yang tidak memedulikan nyawa orang lain.
15
dan tanpa susah payah melontarkan si pembunuh, kepala terlebih
dulu, ke dinding terdekat, mematahkan lehernya seperti
batang alang-alang. la melemparkan selimut sutranya dan dengan
sekali lompat, berdiri tegak, menghadap jendela.
Di ambang jendela, dibayangi sinar bulan, dua pembunuh
bayaran mendesis seperti ular di bebatuan. Kematian kawan
mereka merupakan hinaan terhadap harga diri mereka. Salah
satunya mengambil sebatang pipa tulang dari balik jubah; dari
rongga di giginya ia mengeluarkan sebentuk peluru, setipis
kulit telur, berisi racun. Ia meletakkan pipa di antara bibirnya,
meniup sekali: peluru itu melesat melintasi ruangan, tepat ke
arah jantung si anak laki-laki.
Anak laki-laki itu bersalto; peluru hancur menghantam pilar,
memercikinya dengan cairan. Asap hijau membubung ke udara.
Kedua pembunuh melompat masuk ke kamar; satu mengarah
ke sini, satu mengarah ke sana. Keduanya kini memegang
pedang scimitar, memutar-mutar pedang masing-masing dengan
gerakan membingungkan di atas kepala, mata mereka yang
gelap menyapu seluruh ruangan.
Anak laki-laki itu lenyap. Ruangan hening. Racun berwarna
hijau menggigit permukaan pilar; batunya mendesis.
Belum pernah selama tujuh tahun ini, dari Antioch hingga
Pergamum, para pembunuh ini gagal melakukan tugas.6
Lengan-lengan mereka berhenti bergerak; mereka memperlambat
langkah, mendengarkan dengan saksama, mengendus
udara kalau-kalau bisa mencium bau ketakutan.
Dari balik pilar di tengah ruangan terdengar suara menggemeresak
lirih, seperti tikus bergerak-gerak di jerami. Kedua
6 Dan mereka tidak ingin memulai kebiasaan itu sekarang. Sang Pertapa terkenal
amat kejam pada murid-murid yang kembali membawa kegagalan. Ada sebidang
dinding di perguruan itu yang dilapisi kulit mereka�cara brilian untuk memacu
semangat murid-murid sang Pertapa, juga bagus untuk menghalangi jalan angin.
16
pembunuh itu saling menatap; mereka maju perlahan, berjingkat-
jingkat, pedang terangkat tinggi-tinggi. Satu menuju ke
kanan, melewati tubuh meringkuk temannya yang sudah mati.
Satu menuju ke kiri, di sebelah kursi emas, yang di atasnya
terhampar jubah raja-raja. Mereka bergerak seperti hantu menyusuri
sisi ruangan, mengelilingi pilar dari dua arah.
Di belakang pilar, gerakan sembunyi-sembunyi: bentuk anak
laki-laki bersembunyi di balik bayangan. Kedua pembunuh itu
melihatnya; keduanya mengangkat pedang dan bergerak maju,
dari kiri, dari kanan. Keduanya menyerang dengan kecepatan
belalang sembah.
Teriakan serentak dua orang, serak dan liar. Dari balik pilar
tampak gerakan tidak keruan lengan dan kaki yang menggelundung:
kedua pembunuh berdempetan rapat, tertusuk
pedang satu sama lain. Mereka tersungkur ke tengah ruangan
yang diterangi cahaya bulan, berkelojotan pelan kemudian berbaring
tidak bergerak.
Hening. Ambang jendela kosong, tidak tampak apa pun di
sana kecuali bulan. Awan melintasi piringan terang bulat itu,
membuat mayat-mayat di lantai tertutup bayangan hitam. Api
sinyal dari menara pelabuhan memancarkan cahaya merah
samar di langit. Tidak ada suara. Awan berlalu menuju laut,
cahaya bulan datang kembali. Dari balik pilar melangkah si
anak laki-laki, kakinya yang telanjang tidak menimbulkan
suara di lantai, tubuhnya kaku dan waspada, seakan merasakan
tekanan dalam ruangan. Dengan langkah hati-hati ia mendekati
jendela. Perlahan, perlahan, mendekat, mendekat... Ia melihat
halaman yang penuh tanaman, pepohonan, dan menara-menara
penjaga. Ia memerhatikan tekstur ambang jendela, bagaimana
cahaya bulan menyinari konturnya. Makin dekat... Sekarang
ia meletakkan tangan pada permukaan batunya. Ia mencondongkan
tubuh keluar untuk mengintip ke halaman di bawah
tembok. Lehernya yang kurus dan putih memanjang...
17
Tak ada apa pun. Halaman kosong. Tembok di bawah curam
dan halus, permukaan batunya tampak jelas dalam cahaya
bulan. Anak laki-Iaki itu mendengarkan keheningan. la mengetuk-
ngetukkan jemari ke ambang jendela, mengangkat bahu
dan menoleh ke dalam.
Kemudian pembunuh yang keempat, melekat erat seperti
laba-laba hitam pada tembok di atas jendela, meluncur turun
di belakangnya. Kaki-kakinya menimbulkan suara seperti bulu
yang terjatuh di salju. Anak laki-laki itu mendengarnya; ia berputar,
menoleh. Sebilah pisau melayang, ditangkis, ditepiskan
tangan dengan nekat�mata pisau itu berdenting menghantam
dinding. Jemari sekuat besi mencengkeram leher si anak lakilaki;
kedua kakinya ditendang. Ia terjatuh, mendarat dengan
keras di lantai. Berat tubuh sang pembunuh menekannya. Kedua
tangannya terkunci. Ia tidak dapat bergerak.
Pisau itu bergerak turun. Kali ini bertemu dengan sasarannya.
Maka urusan pun diselesaikan dengan semestinya. Membungkuk
di atas tubuh si anak laki-laki, sang pembunuh menarik
napas�untuk pertama kali sejak teman-temannya menemui
ajal. Ia duduk bertumpu pada pahanya yang kekar, melonggarkan
cengkeramannya pada gagang pisau, dan melepaskan pergelangan
tangan anak laki-laki itu. Ia menundukkan kepala
dengan gerakan tradisional untuk menghormati sang korban.
Tepat pada saat itu si anak laki-laki mengangkat tangan dan
mencabut pisau yang menancap di dadanya. Sang pembunuh
mengerjapkan mata ketakutan.
"Bukan perak, kau tahu" kata si anak laki-laki. "Salah besar."
Ia mengangkat tangan.
Ledakan di dalam kamar. Percikan api hijau memancar dari
jendela.
18
Anak laki-laki itu berdiri dan melemparkan pisau ke ranjang.
la merapikan rok lipitnya dan meniup debu dari lengannya.
Kemudian ia terbatuk-batuk keras.
Terdengar suara gemeresik lirih. Di seberang ruangan, kursi
emas itu bergerak. Jubah yang menutupinya tersingkap. Seorang
anak laki-laki lagi keluar dari antara kaki-kaki kursi,
mirip sekali dengan yang pertama, meskipun berkeringat dan
berantakan karena berjam-jam bersembunyi di sana.
Ia berdiri di atas mayat-mayat para pembunuh bayaran,
napasnya memburu. Kemudian ia menengadah ke langit-langit.
Di atas sana terdapat tanda gosong berbentuk tubuh pria.
Siluet tubuh itu seakan terkejut.
Si anak laki-laki menurunkan pandangan ke arah duplikatnya
yang menatapnya dari seberang ruangan yang ditimpa
sinar bulan. Aku memberi hormat main-main.
Ptolemy mengibaskan rambut hitamnya yang tergerai menutupi
mata dan membungkuk.
"Terima kasih, Rekhyt," katanya.
19
aman telah berubah.
Suatu waktu, dulu sekali, aku tidak terkalahkan. Aku dapat
berputar-putar di udara dalam bentuk gumpalan awan dan
menyebabkan badai pasir di tempat-tempat yang kulintasi. Aku
bisa menembus pegunungan, mendirikan istana di atas pilarpilar
kaca, merobohkan hutan dalam satu embusan napas. Aku
mengukir kuil-kuil dari inti bumi dan memimpin pasukan untuk
menyerang bala tentara mayat hidup, sehingga para pemain
harpa dari dua belas negara memainkan musik untuk mengenangku
dan para pencatat sejarah selama dua belas abad menuliskan
tindakan-tindakanku yang luar biasa. Ya! Aku Bartimaeus�
secepat cheetah, sekuat gajah jantan, mematikan seperti
ular berbisa!
Tapi itu dulu.
Sekarang... Well, saat ini aku berbaring di tengah jalan,
telentang rata dan semakin rata. Mengapa? Karena di atas
tubuhku terdapat bangunan roboh. Beratnya mengimpitku.
20
Bartimaeus
1
Z
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
Ototku tegang, uratku menonjol; berusaha sekuat apa pun,
aku tidak dapat bebas.
Pada prinsipnya tidak perlu malu jika kau harus bersusah
payah kalau ada bangunan menimpamu. Aku pernah menghadapi
masalah seperti ini beberapa kali; bagian deskripsi pekerjaan.
1 Namun memang membantu mengurangi rasa malu
jika bangunan yang dimaksud itu besar dan megah. Tapi dalam
situasiku sekarang, bangunan mengerikan yang menimpaku,
yang dicabut hingga pondasinya dan dilontarkan ke
arahku dari tempat tinggi, tidaklah besar maupun megah.
Bukan dinding kuil atau obelisk granit. Bukan pula atap marmer
istana kaisar.
Bukan. Bangunan yang mengimpitku tanpa daya ke tanah,
seperti kupu-kupu di nampan kolektor, berasal dari abad kedua
puluh dan memiliki fungsi yang spesifik.
Oh, baiklah, bangunannya WC umum. Cukup besar, kuingatkan,
tapi tetap saja. Aku senang tidak ada pemain harpa
atau pencatat sejarah yang kebetulan lewat.
Kuingatkan bahwa bangunan WC ini memiliki dinding beton
dan atap besi yang tebal sekali, serta aura jahat yang membantu
melemahkan anggota tubuhku yang memang sudah kelelahan.
Dan pastilah terdapat berbagai jenis pipa, tangki air,
dan keran berat di dalamnya, menambah bobotnya. Namun
1 Pernah ada kejadian saat sebidang kecil Piramid Besar Khufu menimpaku di suatu
malam tanpa bulan pada tahun kelima belas bangunan itu didirikan. Aku sedang
menjaga daerah tempat kelompokku bekerja ketika beberapa bongkah batu kapur
roboh dari atas, menghantam keras salah satu kakiku. Tepatnya apa yang terjadi
tidak pernah terungkap, meskipun kecurigaanku tertuju pada teman lamaku
Faquarl, yang bekerja bersama sekelompok saingan di sisi seberang piramid. Aku
tidak mengeluh terang-terangan, namun menunggu dengan sabar sampai rohku
kembali pulih. Beberapa lama kemudian, saat Faquarl pulang melintasi Padang
Pasir Barat membawa emas Nubia, aku mendatangkan badai pasir ringan, membuatnya
kehilangan harta karun yang dibawanya dan menimbulkan kemarahan
sang firaun. Faquarl membutuhkan waktu dua tahun untuk mengumpulkan ceceran
harta karun itu dari antara butiran-butiran pasir.
21
tetap saja menyedihkan bagi jin sekelas diriku kalau sampai
remuk tertimpa bangunan seperti itu. Aku bahkan lebih mengkhawatirkan
rasa terhinanya yang luar biasa daripada bobotnya
yang meremukkan.
Di sekitarku air dari pipa-pipa yang pecah dan patah mengalir
murung menuju selokan. Hanya kepalaku yang terbebas
dari dinding beton yang mengimpit; seluruh tubuhku terjebak.
2
Cukup sudah sisi negatifnya. Sisi positifnya adalah aku tidak
mampu kembali ke pertempuran yang terjadi di sepanjang jalan
pedesaan.
Pertempuran itu tidak besar-besaran, apalagi kalau dilihat
pada plane pertama. Tidak banyak yang dapat dilihat. Lampu
di rumah-rumah semua mati, tiang-tiang listrik terpuntir; jalanan
gelap gulita, hitam pekat. Beberapa bintang bersinar dingin
di langit. Sekali-dua kali sinar hijau kebiruan tampak menyala
dan meredup, seperti letupan dari bawah air.
Keadaan lebih ricuh pada plane kedua, tempat dua kelompok
burung yang berseteru dapat terlihat berputar-putar
dan melesat menyerang satu sama lain, baku hantam membabi
buta dengan sayap, paruh, cakar, dan ekor. Sekelompok camar
atau jenis unggas lain yang berderajat rendah saja akan dicela
jika berkelakuan payah seperti itu; fakta bahwa burung-burung
itu elang membuat keadaan ini semakin mencengangkan.
Pada plane-plane lebih tinggi, semua burung jadi-jadian itu
menampakkan wujud aslinya, dan jin-jin yang berkelahi kelihatan
jelas.3 Dilihat dari sudut pandang ini, langit malam penuh
2 Solusi terbaik adalah berubah bentuk�menjadi sesosok hantu, misalnya, atau wisp,
dan langsung melayang pergi. Namun ada dua masalah. Satu: aku mendapati
diriku sulit berubah bentuk sekarang, amat sulit, bahkan dalam keadaan prima.
Dua: tekanan berat di atas tubuhku akan merontokkan rohku begitu tubuhku
melunak untuk berubah bentuk.
3 Wujud yang lebih asli, maksudnya. Pada dasarnya kami semua berwujud sama,
22
dengan wujud-wujud yang berkelebatan, tidak keruan dan
melakukan aktivitas mengerikan.
Permainan yang sportif ditinggalkan sama sekali. Aku melihat
lutut bertanduk menyodok perut lawan, membuatnya
terlontar berputar-putar hingga mendarat di balik cerobong
asap tempat ia bisa memulihkan diri. Memalukan sekali! Jika
berada di tengah pertempuran, aku takkan melakukan hal seperti
itu.4
Namun aku tidak berada di tengah mereka. Aku dinonaktifkan.
Nah, kalau saja afrit atau marid yang melakukan ini terhadapku,
aku masih bisa mempertahankan harga diriku. Tapi
tidak. Sebetulnya yang mengalahkanku tidak lain dan tidak
bukan adalah jin level ketiga, jenis yang biasanya dapat kugulung
dan kumasukkan ke saku lalu kuisap sebagai rokok sehabis
makan malam. Aku masih bisa melihat jin wanita itu
dari tempatku berbaring sekarang, gerakan gemulai femininnya
yang cekatan agak mengurangi keburukan kepalanya yang seperti
babi dan kaki babinya yang mencengkeram garu. Di
sanalah dia, berdiri di atas kotak surat, menghantam ke kiri
dan kanan sekuat tenaga sehingga pasukan pemerintah, tempat
seharusnya aku bergabung, menyingkir dan menjauhinya. Ia
musuh tangguh, memiliki pengalaman di Jepang, kalau dilihat
dari kimono yang dikenakannya. Sejujurnya, aku terkecoh penampilannya
yang kampungan dan menghampirinya dengan
yaitu tidak berbentuk. Namun setiap makhluk halus memiliki "bentuk" yang
disukainya, yang mereka pertontonkan kalau sedang berada di Bumi. Roh-roh
kami dibentuk menjadi sosok personal ini pada tingkatan plane yang lebih tinggi,
sementara pada tingkatan plane lebih rendah, kami mengambil samaran yang lebih
sesuai dengan situasi. Dengar, aku yakin kalian sudah tahu semua ini.
4 Aku akan menghajarnya duluan dengan lututku, kemudian mencolok matanya
dengan ujung sayapku, sambil menendang tulang keringnya sekalian. Jauh lebih
efektif. Teknik berperang jin-jin muda ini begitu tidak efisien, membuatku
sedih.
23
santai tanpa memasang Perisai. Sebelum aku sadar, terdengar
suara oink yang menusuk telinga, gerakan secepat kilat, dan�
bum!�ia meninggalkan aku terjepit di jalan, terlalu lemah
untuk membebaskan diri.
Namun sedikit demi sedikit tanganku berhasil lolos. Lihat!
Itu Cormocodran datang, mencabut tiang lampu jalan dan
memutar-mutarnya seperti sebatang ranting; di sana berlari
Hodge, melontarkan anak panah beracun bertubi-tubi. Pasukan
musuh berkurang dan mulai berubah bentuk menjadi lebih
mengerikan lagi. Aku melihat beberapa serangga raksasa berdengung
dan menukik, satu atau dua wisp berputar-putar
kalut, beberapa tikus got berlari menuju bukit. Hanya si babi
betina yang masih bertahan dengan keras kepala dalam wujud
aslinya. Teman-temanku maju serentak. Seekor kumbang jatuh
berputar-putar dalam kepulan asap; wisp hancur dihantam dua
Detonasi. Pasukan musuh melarikan diri; bahkan si babi sadar
permainan sudah berakhir. Ia melompat anggun ke serambi,
bersalto ke atap, dan menghilang. Jin-jin yang menguasai pertempuran
langsung berlari mengejar.
Jalanan hening. Air menetes di dekat telingaku. Dari ujung
rambut hingga ujung kaki, rohku berdenyut-denyut. Aku mendesah
berat.
"Ya ampun," terdengar suara tergelak. "Ada gadis butuh pertolongan."
Seharusnya aku menyebutkan bahwa kontras dengan bentukbentuk
centaur dan raksasa -di sisiku, aku berwujud manusia
malam itu. Manusia perempuan: langsing, rambut hitam panjang,
ekspresi menantang. Tidak berdasarkan wujud orang tertentu,
tentu saja.
Yang tadi berbicara muncul di sudut bangunan WC dan
berhenti untuk mengikir kuku di patahan pipa yang kasar. Ia
tidak mengambil wujud yang halus; seperti biasa ia memilih
wujud raksasa bermata satu, dengan otot kekar menonjol dan
24
rambut panjang pirang yang dikepang rumit seperti anak
perempuan. la mengenakan baju kelabu kebiruan tanpa bentuk
yang akan dianggap mengerikan di desa nelayan abad pertengahan.
"Gadis manis yang malang, terlalu lemah untuk melepaskan
diri." Si cyclops memeriksa salah satu kukunya dengan cermat;
menganggapnya agak terlalu panjang, ia menggigitinya dengan
ganas memakai gigi-giginya yang kecil dan tajam lalu mengikirnya
di dinding WC yang permukaannya dilapisi batu kerikil.
"Bisa bantu aku bangun?" aku bertanya.
Si cyclops melirik ke ujung-ujung jalan yang kosong. "Sebaiknya
hati-hati, Say," katanya, bersandar santai pada bangunan
WC sehingga bebanku bertambah berat. "Ada beberapa makhluk
jahat berkeliaran malam ini. Jin dan foliot... juga imp-imp
nakal, yang bisa mengisengimu."
"Jangan berlagak tolol, Ascobol," aku menggeram. "Kau
tahu ini aku."
Mata si cyclops yang hanya satu berkedip-kedip cepat di bawah
bulu matanya yang bermaskara. "Bartimaeus?" katanya
terkejut. "Mungkinkah...? Pastinya Bartimaeus yang hebat takkan
begitu mudah dikalahkan! Kau pasti imp atau mouler yang
dengan berani meniru suaranya dan... Tapi, tidak�aku salah!
Ini memang kau." Ia mengangkat alis dengan ekspresi shock.
"Luar biasa! Tidak kusangka Bartimaeus yang agung bisa mengalami
kejadian seperti ini! Master pasti akan sangat kecewa."
Aku mengumpulkan sisa-sisa harga diriku. "Semua master
hanyalah sementara," aku menyahut. "Semua perasaan malu
juga. Aku bisa menunggu."
"Tentu saja, tentu saja." Ascobol melambaikan lengan-lengannya
yang seperti kera dan memutar tubuh dalam gerakan
pirouette. "Benar sekali, Bartimaeus! Jangan biarkan kejatuhan
membuatmu depresi. Tidak penting bahwa hari-hari kejayaan-
25
mu telah berlalu, bahwa kau sekarang menjadi sehina will-o'-
the-wisp? Tidak peduli tugasmu besok adalah membersihkan
debu di kamar master kita, alih-alih terbang bebas di udara.
Kau teladan bagi kami semua."
Aku tersenyum, memperlihatkan gigi-gigiku yang putih. "Ascobol,"
kataku, "bukan aku yang terjatuh, namun lawan-lawanku.
Aku bertarung melawan Faquarl dari Sparta, dengan Taloc
dan Tollan, dengan Tschue yang cerdik dari Kalahari�konflik
yang kami timbulkan membelah bumi, menghancurkan sungai.
Aku selamat. Siapa musuhku sekarang? Sesosok cyclops dengan
lutut bengkok yang mengenakan rok. Saat bebas dari sini, aku
tidak melihat konflik baru ini akan bertahan lama."
Si cyclops tersentak ke belakang, seakan tersengat. "Ancaman
yang mengerikan! Kau seharusnya malu. Kita berada di pihak
yang sama, bukan? Aku yakin kau punya alasan bagus mengapa
jadi begitu kasar karena terimpit WC. Aku tidak memintamu
bersopan santun, tapi harus kukatakan kau telah kehilangan
keramah-tamahanmu."
"Dua tahun pengabdian tanpa henti melenyapkan ramahtamahku,"
kataku. "Aku menjadi lekas marah dan lesu, merasakan
gatal terus-menerus yang tidak dapat kugaruk pada rohku.
Dan itu membuatku berbahaya, seperti yang akan kauketahui
sebentar lagi. Nah, untuk terakhir kalinya, Ascobol, angkat
benda ini."
Well, terjadi saling bantah beberapa kali lagi, tapi sikapku
menimbulkan efek yang kuinginkan. Sambil mengangkat
5 Will-o'-the-wisp: makhluk halus kecil yang berjuang agar tidak ketinggalan zaman.
Tampak seperti api berkelip di plane pertama (meskipun sebagian orang menganggapnya
lebih menyerupai cumi-cumi yang berdenyut), makhluk halus ini
mula-mula dipekerjakan para penyihir untuk memikat orang-orang agar meninggalkan
jalanan sepi menuju lubang jebakan di tanah. Kemudian banyaknya
kota yang didirikan mengubah itu semua; wisp di perkotaan sekarang terpaksa
berkeliaran di atas lubang saluran air di jalan, yang sebetulnya tidak menimbulkan
efek apa-apa.
26
bahunya yang berbulu, si cyclops mengangkat bangunan WC
itu dari tubuhku, mengempaskannya hingga berkeping-keping
ke trotoar di seberang. Seorang gadis yang tubuhnya agak penyok-
penyok berdiri limbung.
"Akhirnya," kataku. "Kau lama sekali."
Si cyclops menjentikkan setitik abu dari roknya. "Maaf," katanya,
"tapi aku terlalu sibuk memenangkan pertempuran untuk
menolongmu dulu. Tapi, semua beres. Master kita akan
senang�berkat usahaku, tentu saja." la melirik.
Sekarang setelah dalam keadaan vertikal, aku tidak berniat
meneruskan percekcokan. Aku memeriksa kerusakan yang terjadi
pada rumah-rumah sekitar. Tidak terlalu parah. Beberapa
atap roboh, jendela pecah... Pertempuran kecil-kecilan tadi
telah dirahasiakan cukup baik. "Pasukan Prancis?" aku bertanya.
Si cyclops mengangkat bahu, yang merupakan gerakan hebat
juga karena ia tidak memiliki leher. "Mungkin. Atau mungkin
pasukan Ceko atau Spanyol. Siapa tahu? Mereka semua menyerang
kita akhir-akhir ini. Well, waktu terus berjalan dan aku
harus bergabung dengan para pengejar. Aku akan meninggalkanmu
supaya kau bisa merawat luka dan sakitmu, Bartimaeus.
Bagaimana kalau kau mencoba teh peppermint atau rendam
kakimu dengan camomile, seperti kebiasaan orang-orang jompo?
Adieu!"
Si cyclops mengangkat rok dan, dengan lompatan berat, melesat
ke udara. Sayap-sayap keluar dari punggungnya; dengan
kepakan berat ia melayang pergi. Ia bergerak segemulai lemari
berlaci, tapi paling tidak ia memiliki energi untuk terbang.
Aku tidak. Tidak sebelum aku mengambil napas.
Gadis berambut gelap itu menyeret langkah menuju sebongkah
cerobong asap yang tergeletak di halaman rumah
terdekat. Perlahan, dengan gerakan lambat seperti orang cacat,
27
ia menjatuhkan diri dan terduduk sambil memegangi kepala
dengan dua tangan. Ia menutup matanya.
Hanya istirahat sejenak. Lima menit saja.
Waktu berlalu, subuh mendekat. Bintang-bintang yang
dingin mulai redup.
28
eperti yang menjadi kebiasaannya beberapa bulan terakhir,
penyihir hebat John Mandrake sarapan di ruang tamu, duduk
di kursi rotan di sebelah jendela. Tirai berat yang menutupi
jendela disingkap sembarangan; langit di luar tampak kelabu
dan kelam, kabut berputar melayang perlahan di antara pepohonan
di taman depan rumah.
Meja bundar kecil di hadapannya diukir dari pohon cedar
Lebanon. Saat ditimpa sinar matahari yang hangat, meja itu
menguarkan bau harum, namun pagi ini permukaan kayunya
gelap dan dingin. Mandrake menuangkan kopi ke dalam gelas,
membuka tutup piring dari perak, dan mulai memakan kari
telur dan daging goreng. Di rak di belakang roti panggang dan
buah gooseberry kalengan tergeletak surat kabar dan amplop
yang direkatkan dengan lilin merah darah. Mandrake menyesap
kopi dengan tangan kiri; dengan tangan kanannya ia mengibaskan
surat kabar agar terbentang di meja. Ia melirik halaman
depan, menggerutu pelan, dan meraih amplop. Pisau pembuka
surat tergantung di pasak pada rak; setelah meletakkan
29
Nathaniel
2
S
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
garpu, Mandrake membuka amplop itu dengan gerakan santai
dan mengeluarkan secarik perkamen yang tedipat. la membacanya
dengan teliti, alisnya berkerut. Kemudian ia melipatnya
kembali, memasukkannya lagi ke amplop, dan sambil mendesah
kembali makan.
Ketukan di pintu; dengan mulut setengah dipenuhi daging
goreng, Mandrake memberikan perintah tidak jelas. Pintu terbuka
pedahan dan wanita muda yang langsing masuk malumalu,
tas kerja di tangan.
Wanita itu berhenti. "Maaf, Sir," ia memulai. "Apakah saya
terlalu pagi?"
"Tidak sama sekali, Piper, tidak sama sekali." Mandrake
mengibaskan tangan, menunjuk kursi di seberang meja sarapan.
"Kau sudah makan?"
"Ya, Sir." Wanita itu duduk. Ia mengenakan rok biru tua
dan jaket menutupi blus putih yang rapi. Rambutnya yang
cokelat lurus disisir rapi dan dijepit di belakang kepala. Ia meletakkan
tas kerja di pangkuan.
Mandrake menusukkan garpu pada kari telur. "Maaf kalau
aku tetap makan," katanya. "Aku tidak tidur sampai pukul tiga
dini hari, karena kerusuhan terakhir. Kali ini di Kent."
Ms. Piper mengangguk. "Saya dengar, Sir. Ada memo di
Kementerian. Apakah kerusuhan itu karena jin?"
"Ya; sejauh yang bisa dilihat pada globe-ku. Aku mengirim
beberapa demon ke sana. Well, akan kita lihat sebentar lagi.
Apa yang kaubawa untukku pagi ini?"
Ms. Piper membuka tas kerja dan mengeluarkan beberapa
berkas. "Ada beberapa proposal dari menteri-menteri junior,
Sir, mengenai kampanye propaganda di daerah sekitar. Untuk
Anda setujui. Beberapa ide baru mengenai poster..."
"Coba lihat." Mandrake menenggak kopi, mengulurkan
tangan. "Ada lagi?"
"Rincian rapat Konsulat terakhir�"
30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar