Senin, 14 Februari 2011

Qodho dan Qodhar

TANYA JAWAB TENTANG QADHA' DAN
QADAR
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
SIAPA YANG TIDAK WAJIB MEMPELAJARI AQIDAH
KHUSUSNYA TENTANG QADAR
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Siapakah yang tidak wajib mempelajari Aqidah,
khususnya Qadar karena dikhawatirkan salah ?".
Jawaban.
Masalah ini sebagaimana masalah penting lainnya harus dipahami oleh manusia untuk agama dan
dunianya. Dia harus mendalami dam memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar mampu
memahami dan meyakininya sehingga permasalahannya menjadi sangat jelas. Karena seseorang tidak
boleh meragukan sedikitpun tentang masalah-masalah penting seperti ini. Adapun masalah yang tidak
merusak agama bila ditunda dan tidak dikhawatirkan menjadi sebab berpalingnya seseorang (dari
agama), maka boleh ditunda selama masih ada hal yang lebih penting daripadanya. Masalah Qadar
adalah masalah yang wajib dipahami oleh setiap hamba (Allah) sehingga dapat menghantarkannya pada
keyakinan yang mendalam. Sebenarnya masalah tersebut tidaklah sulit, segala puji hanya bagi Allah. Hal
yang memberatkan pelajaran aqidah bagi sebagian orang adalah karena mereka, dengan sangat
disayangkan lebih mendahulukan sisi "bagaimana" dari pada "mengapa". Sebenarnya manusia dituntut
untuk menggunakan dua kata tanya secara berurutan, yaitu "mengapa" baru disusul dengan "bagaimana".
Mengapa kamu melakukan itu ? (Jawabnya), ini adalah keikhlasan. Bagaimana cara kamu melaksanakan
itu ? (Jawabnya) dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kebanyakan orang sekarang sibuk merealisasikan jawaban pertanyaan "bagaimana" dan lalai dari
jawaban pertanyaan "mengapa". Oleh karena itu, sebagaimana anda lihat sendiri, dari sisi ikhlas mereka
tidak mau banyak berupaya, sedang dari sisi ketaatan memiliki semangat yang tinggi. Maka manusia
sekarang lebih memperhatikan sisi ini (sisi awal) dan melalaikan sisi yang lain yang lebih penting, yaitu
sisi aqidah, keikhlasan dan tauhid. Oleh karena itu, anda banyak menemukan sebagian besar orang yang
bertanya tentang masalah duniawi yang sangat amat remeh dan hatinya tertutup oleh dunia, melalaikan
Allah secara total dalam praktek jual beli kendaraan dan berpakaian.
Terkadang sebagian mereka menyembah/menjadi budak dunia sementara dia tidak menyadarinya dan
terkadang dengan tidak sadar menyekutukan Allah dengan dunia, karena dengan sangat disesalkan, sisi
tauhid dan aqidah sudah tidak diperhatikan lagi, baik di kalangan masyarakat awam maupun para
penuntut ilmu. Ini adalah masalah yang berbahaya. Sebaliknya memperhatikan perkara aqidah saja tanpa
mengamalkan apa yang telah disyari'atkan (Allah) sebagai benteng dan pagar (dari perbuatan jahat) juga
sangat keliru. Karena kita telah mendengar dari berbagai siaran (TV dan radio) dan membaca dari media
massa adanya upaya penyederhanaan pemahaman bahwa agama adalah aqidah yang toleran dan
2 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
beberapa ungkapan serupa yang lain. Pada hakikatnya, hal ini sangat dikhawatirkan menjadi pintu bagi
orang yang ingin menghalalkan yang haram dengan alasan bahwa aqidah membenarkan, akan tetapi
harus diperhatikan dua sekaligus agar terjadi pertanyaan "kenapa" dan "bagaimana".
Ringkasnya.
Setiap orang harus mempelajari ilmu tahuhid dan aqidah agar mengetahui Rabb yang dia sembah,
mengetahui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengetahui tentang hukum-hukum kauniyah-Nya
(ketentuan-Nya tehadap alam) dan hukum-hukum syari'ah-Nya, mengetahui kebijakan-Nya dan rahasia
syari'ah dan ciptaan-Nya, sehingga dia tidak tersesat dan menyesatkan orang lain. Ilmu Tauhid adalah
ilmu yang paling agung karena agungnya obyek yang dibicarakan di dalamnya (Allah). Oleh karena itu,
ilmu tersebut disebut oleh para ulama' dengan "Fiqh Akbar". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
"Artinya : Barangsiapa dikehendaki Allah menjadi baik, maka Dia memahamkannya tentang
agama".
Ilmu yang paling pertama dan utama dalam agama adalah ilmu tauhid dan aqidah. Akan tetapi seseorang
juga harus memperhatikan bagaimana cara dan dari mana sumber memperolehnya. Maka seharusnya dia
mengambil ilmu tersebut dari sumber yang murni serta selamat dari berbagai syubhat, agar dia bisa
menolak syubhat tersebut dan menjelaskan aqidah murni yang telah dia peroleh sebelumnya. Hendaklah
sumber yang dipelajari adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu pendapat
para Sahabat, kemudian pendapat para imam sesudahnya yakni tabi'in maupun pengikutnya dan
kemudian pendapat para ulama' yang dapat dipertanggung jawabkan ilmu dan kejujurannya, khususnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Al-Qayim, semoga rahmat dan ridha (Allah)
terlimpah kepada mereka berdua, seluruh umat Islam dan para imam mereka.
PERBEDAAN QADHA' DAN QADAR
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbedaan antara Qadha' dan Qadar?"
Jawaban.
Para ulama' berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan
Qadha' adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.
Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar.
Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut
Qadha'. Masalah ini (Qadha') banyak sekali disebut dalam Al-Qur'an, seperti firman Allah.
"Artinya : Sesuatu itu telah diqadha" [Yusuf : 41]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Allah mengqadha' dengan benar" [Ghafir : 20]
Dan ayat-ayat lain yang serupa. Maka Qadar adalah ketentuan Allah terhadap segala sesuatu sejak zaman
azali, sedangkan Qadha' merupakan pelaksanaan Qadar ketika terjadi. Sebagian Ulama' mengatakan
bahwa kedua istilah tersebut mempunyai satu makna.
Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua istilah tersebut bila dikumpulkan
(Qadar-Qadha'), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila dipisahkan antara satu dengan yang lain
3 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
maka mempunyai makna yang sama. Wallahu 'alam.
ADAKAH KEKHUSUSAN TENTANG QADHA' DAN
QADHAR ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah di antara Qadha' dan Qadar terdapat
keumuman dan kekhususan ?"
Jawaban
Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila
dimutlakkan, maka memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada
perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang
luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat
dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"
Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan
(dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha')
maka memuat makna Qadha'. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha' bermakna sesuatu yang
ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya.
Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan
antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha'.
ADAKAH TINGKAT KEIMANAN KEPADA QADHA' DAN
QADAR
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin -Semoga Allah meninggikan derajatnya di antara
orang-orang yang mendapat petunjuk- ditanya : "Tentang Iman kepada Qadha' dan Qadar?"
Jawaban
Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah
masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman
dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut,
walillah al-Hamd, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan
iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala
sesuatu, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sunggung telah
menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]
Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia
yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan
(dunia) maupun akhiratnya.
Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.
4 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala
meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan
dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara
global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak
ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di
bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]
Dia juga berfirman.
"Artinya : Bagi-Nya kunci-kunci segala sesuatu yang gaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang di darat dan di laut dan tidak ada
sehelai daunpun yang gugur kecuali Dia mengetahui-Nya dan tidak ada satu benihpun di
kegelapan bumi dan tak ada sesuatupun yang kering dan basah kecuali ada di dalam kitab
yang jelas" [Al-An'am : 59]
Dia juga berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dan Aku mengetahui apa yang
dibbisikkan hatinya" [Qaf : 16]
Dia juga berfirman.
''Artinya : Allah mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah : 283]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik
secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir,
karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan
kesempurnaan Allah. Karena kebalikan ilmu adalah mungkin bodoh atau alpa dan keduanya berupa aib
(cacat). Allah terlah berfirman tentang Nabi Musa ketika dia ditanya oleh Fir'aun.
"Artinya : Maka apa saja yang telah terjadi di abad-abad terdahulu, dia (Musa) menjawab :
Pengetahuan tentang itu di sisi Rabb-ku di dalam kitab yang Rabb-ku tidak akan salah dan
alpa ( di dalamnya)" [Thaha : 51-51]
Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang
telah lewat.
[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena
ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata :
"Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir
segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan
menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz
ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.
"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.
Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj :
70]
Allah juga berfirman. "Sesungguhnya itu semua berada dalam kitab", artinya telah tertulis dalam kitab
(Lauh Mahfudz). (Sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah). Kemudian penulisan tersebut
terkadang bersifat rinci. Maka janin yang ada di perut ibunya bila melewati umur empat bulan, maka
Allah mengutus malaikat kepadanya dan mengutusnya membawa empat kalimat, yaitu menulis rizki,
ajal, perbuatan, celaka atau bahagia, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih Abdullah bin Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan di tulis juga di dalam Qadar apa saja
5 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
yang terjadi dalam tahun itu.
Sebagaimana Allah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah menurunkan pada malam yang berkah, sesungguhnya
Aku memberi peringatan di dalamnya tentang perbedaan sesuatu yang mengandung hikmah,
sebagai perintah dari-Ku, sesungguhnya Aku Rabb Yang Mengutus" [Ad-Dukhan : 3-5]
[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang
ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk.
Allah telah berfirman.
"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]
Allah juga berfirman.
"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu
semuanya" [Al-An'am : 149]
Dia juga berfirman
"Artinya : Kalau Rabb-mu menghendaki maka Dia menjadikan umat manusia menjadi umat
yang satu" [Hud : 118]
Dia juga berfirman.
"Artinya : Bila Dia (Allah) menghendaki maka Dia memusnahkanmu dan mengadakan
penciptaan yang baru" [Fathir : 16]
Dan masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-Nya terjadi karena kehendak-Nya.
Begitu juga segala perbuatan makhluk terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidak terjadi saling bunuh di antara orang-orang
setelah mereka datang penjelasan kepada mereka, akan tetapi mereka berselisih ; sebagian
mereka beriman dan sebagian kafir. Dan apabila Allah menghendaki maka mereka tidak
saling membunuh, akan tetapi Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki" [Al-Baqarah :
53]
Ini adalah nash (teks Al-Qur'an) yang sangat jelas bahwa semua perbuatan hamba telah dikehendaki
Allah dan apabila Allah tidak menghendaki mereka untuk melakukannya maka mereka tidak akan
melakukan.
[4] Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan
selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah
ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu
makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.
"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]
Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman :
"Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat). Para ulama berselisih pendapat tentang kata "ma"
(apa saja), apakah dia berupa "ma masdhariyah" (sehingga tidak bermakna) atau "ma maushulah"
(sehingga bermakna apa saja). Berdasarkan dua perkiraan di atas ( ma mashdariyah atau ma maushulah),
maka ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. inilah keempat
tingkatan keimanan kepada Qadar yang harus diimani, tidak sempurna keimanan seseorang terhadap
Qadar kecuali dengan mengimani keempat-empatnya.
Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan
6 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena
bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin
Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah
penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali
pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau
memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut,
maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda
kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju
Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ
untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah
penyakit.
"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka
janganlah kamu mendatanginya".
Kesmipulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa
melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya
beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang
tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan
saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka
dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau
ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab
padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.
Kemudian ketahuilah bahwa adanya kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit),
yaitu pertanyaan seseorang : "Apabila perbuatanku dari Qadar Allah, maka bagaimana saya harus
menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"
Jawabannya.
Hendaknya dikatakan kepadanya kamu tidak bisa beralasan malakukan ma'siyat dengan Qadar Allah,
Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya
(ma'siyah) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa
yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan
sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya
.? Begitu juga dalam hal duniawi, kamu melakukan sesuatu yang kamu anggap ada kebaikannya dan
menghindari yang kamu anggap berbahaya. Maka mengapa kamu tidak bersikap demikian dalam urusan
akhirat ? Saya tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menempuh jalan yang sulit lalu dia berkata :
"Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah.
Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan perkataan yang diarahkan kepadamu bahwa Jannah
mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kamu menempuh jalan menuju
Neraka, maka kamu bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan.
Maka mengapa kamu merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka Jahim dan meninggalkan jalan
menuju Jannah Na'im ? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat,
maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul. Allah terlah berfirman.
"Artinya : Aku telah mengutus para rasul yang memberi berita gembira dan memberi peringatan agar
manusia tidak mempunyai alasan kepada Allah setelah para rasul" [An-Nisa' : 165]
Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya,
karena apabila kamu beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika
dalam kelapangan kamu akan bersyukur kepada Allah dan tidak membanggakan diri dan tidak melihat
bahwa semua itu hasil kemampuan dan keutamaan, akan tetapi sebaliknya kamu meyakini bahwa ini
hanya sebab dan bila kamu telah berhasil melaksanakan sebab yang menjadikan kamu mendapatkan
kelapangan dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kamu akan bertambah syukur dan
hal ini akan mendorong kamu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya,
7 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
dan kamu tidak akan melihat kelebihan pada dirimu di atas Rabb-mu bahkan sebaliknya kamu melihat
anugrah Allah kepadamu. Allah telah berfirman.
"Artinya : Mereka memberi anugrah keadamu dengan masuk Islam mereka, katakanlah : kamu tidak
memberi anugerah kepadaku dengan masuk Islammu akan tetapi Allah-lah yang telah memberi anugrah
kepadamu untuk menunjukkan kepadamu pada iman, bila kamu benar" [ Al-Hujurat : 17]
Begitu pula manakala kamu tertimpa kesusahan (musibah), maka kamu tetap percaya kepada Allah,
menerima dan tidak terlalu menyesal karenanya bahkan tidak diliputi kegundahan (yang berat).
Bukankah anda tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang
lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah
pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah
berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan
membukakan perbuatan syetan".
Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya
kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah
berfirman.
"Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada
dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar
supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang
diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]
Orang yang tidak percaya kepada Qadar sudah pasti mengamali kegoncangan ketika tertimpa musibah
dan akan bersedih dan syetanpun kana membuka pintu untuknya dan dia akan merasa terlalu bersuka ria
dan terlena ketika mendapat kegembiraan. Akan tetapi iman kepada Qadar akan mampu mencegah itu
semua.
SEGALA SESUATU TELAH DITENTUKAN DAN MANUSIA
DIBERI PILIHAN
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Tentang Qadar ; apakah pokok perbuatan telah di
takdirkan, sementara manusia diberi kebebasan memilih (punya kebebasan) cara pelaksanaannya ?
Sebagai contoh apabila Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid, maka dia
pasti membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya untuk memilih cara membangun.
Begitu juga, apabila Allah telah mentakdirkan kema'syiatan, maka manusia sudah barang tentu
melakukannya, akan tetapi Dia membiarkan akalnya untuk memilih cara melaksanakannya. Ringkasnya
manusia itu diberi kebebasan memilih cara melaksanakan sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya.
Apakah itu benar ?"
Jawaban
Masalah ini (Qadar) memang menjadi pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak zaman dahulu.
Oleh karena itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu dua
kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.
Kelompok Pertama.
Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia buta tentang kebebasan memilih hamba. Dia
mengatakan : "Sesungguhnya dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan tidak mempunyai kebebasan
8 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
memilih jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap bersama angin dan sebagainya sama
dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kelompok Kedua.
Memandang bahwa seorang hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan pilihannya sendiri,
sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang hamba bebas memilih semua
perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar Allah.
Kelompok Penengah.
Maka mereka melihat dua sebab. Mereka memandang pada keumuman Qadar Allah dan sekaligus
kebebasan memilih hamba-Nya. Maka mereka mengatakan : "Sesungguhnya perbuatan hamba terjadi
karena Qadar Allah dan dengan pilihan hamba itu sendiri. Dia tentu tahu perbedaan antara jatuhnya
seseorang dari atap karena angin dan semisalnya dengan turun melalui tangga atas pilihannya sendiri.
Yang pertama adalah orang yang melakukannya diluar pilihannya dan yang kedua dengan pilihannya
sendiri. Masing-masing dari keduanya terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah yang tidak akan terjadi
dalam kerajaan-Nya apa yang tidak Dia kehendaki, akan tetapi sesuatu yang terjadi dengan pilihan
seorang berhubungan dengan taklif (pembebanan/hukum) dan dia tidak punya alasan Qadar dalam
melanggar apa yang telah dibebankan kepadanya, baik berupa perintah maupun larangan. Karena dia
melakukan sesuatu yang menyalahi (hukum Allah) dan ketika melakukannya dia belum tahu apa yang
ditakdirkan kepadanya. Maka perlakuan tersebut menjadi sebab siksaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Oleh karena itu, ketika dia dipaksa oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang menyalahi
(hukum Allah), maka tidak ada hukum dan siksaan atas perbuatan tersebut karena keterpaksaannya,
Apabila manusia mengetahui bahwa melarikan diri dari api ke tempat yang lebih aman adalah pilihannya
sendiri dan bahwa kedatangan ke rumah bagus, luas dan layak tinggal juga merupakan pilihannya, di sisi
lain dia juga meyakini bahwa melarikan diri dan kedatangan tersebut terjadi karena Qadha' dan Qadar
Allah. Sedangkan tetap tinggal (di rumah tersebut) sehingga ditelan api dan ketelatannya untuk
menempati rumah dapat dikatakan menyia-nyiakan kesempatan yang berakibat penyesalan. Maka kenapa
dia tidak memahami ini dalam hal kecerobohannya dengan meninggalkan sebab-sebab yang bisa
menyelamatkan dirinya dari neraka akhirat dan menggiringnya untuk masuk jannah.?
Adapun gambaran bahwa ketika Allah telah mentakdirkan seorang hamba untuk membangun masjid,
maka dia pasti akan membangun masjid, akan tetapi Dia (Allah) membiarkan akalnya dalam
menentukan cara membangun, adalah gambaran yang kurang tepat. Karena gambaran tersebut
mengindikasikan bahwa cara membangun adalah kebebasan akal dan tidak terkait dengan Qadar Allah di
dalamnya dan sumber pikiran (untuk membangun) semata-mata karena kekuasaan Qadar dan tidak ada
kaitannya pilihan (hamba) di dalamnya. Hal yang benar adalah sumber pikiran membangun merupakan
bagian dari pilihan manusia karena dia tidak dipaksakan, sebagaimana dia tidak dipaksa untuk
merenovasi rumahnya atau membongkarnya, Akan tetapi munculnya pikiran tersebut, sebenarnya telah
ditakdirkan oleh Allah tanpa ia sadari, karena dia belum tahu bahwa Allah telah mentakdirkan apapun
kecuali setelah terjadinya, karena Qadar itu rahasia dan tertutup yang tak dapat diketahui kecuali melalui
petunjuk Allah dalam bentuk wahyu atau kejadian nyata. Begitu juga cara membangun tetap dalam
Qadar Allah, karena Allah telah menetapkan segala sesuatu, baik secara global maupun rinci dan tidak
mungkin menusia bisa memilih sesuatu yang tidak dikehendaki dan ditetapkan Allah, akan tetapi bila
seseorang memilih sesuatu dan melakukannnya maka dia baru tahu dengan yakin bahwa hal tersebut
telah ditetapkan Allah. Dengan demikian, manusia diberi kebebasan memilih berbagai sebab nyata yang
telah ditetapkan Allah sebagai sebab terjadinya perbuatan dan ketika melakukannya manusia tidak
merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi, bila dia telah melakukan perbuatan tersebut berdasarkan
sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai sebab, maka kita baru tahu dengan yakin bahwa Allah
telah menetapkannya (mentadkdirkan), baik secara global maupun rinci.
Demikian juga, kami bisa berbicara tentang perbuatan ma'siyat manusia, dimana kamu mengatakan :
"Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kepadanya perbuatan ma'siyat, sehingga dia pasti
melakukannya. Akan tetapi Dia (Allah) membiarkan (menyerahkan) kepada akalnya tentang cara
9 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
pelaksanaannya".
Maka dalam hal ini, kami katakan sebagaimana yang telah kami sampaiakan dalam hal pembangunan
masjid di atas ; Sesungguhnya Qadar Allah kepadanya untuk melakukan ma'siyat tidak berarti
menghilangkan kebebasan (memilih)nya. Karena ketika dia memilih perbuatan tersebut (ma'siyat) dia
belum tahu apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, lalu dia melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan
pilihannya dan tidak merasa dipaksa oleh siapapun. Akan tetapi ketika dia telah melakukannya, maka
kita baru mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. begitu juga, cara
pelaksanaan mas'iyat dan proses menuju ke sana yang terjadi dengan pilihan manusia tidak berarti
menghilangkan Qadar Allah. Karena Allah telah mentakdirkan segala sesuatu, baik secara global
maupun rinci dan telah menetapkan sebab-sebab menuju ke sana dan seluruh perbuatan-Nya tidak
terlepas dari Qadar-Nya dan begitu juga perbuatan hamba-Nya, baik yang bersifat ikhtiyari (sesuai
pilihan) maupun idhthirari (terpaksa), Allah berfirman.
"Artinya : Apakah kamu belum tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
bumi, sesungguhnya hal itu telah ada dalam Kitab, sesungguhnya itu bagi Allah sangat
mudah" [Al-Hajj : 70]
Allah juga berfirman.
"Artinya : Begitu juga Aku telah menjadikan bagi setiap nabi musuh yang berupa
syetan-syetan dari bangsa Manusia dan Jin yang sebagian menyampaikan kepada sebagian
lain ucapan palsu. Dan apabila Rabb-mu menghendaki, maka mereka tidak melakukannya
(kebohongan). Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongannya" [Al-An'am : 12]
Allah juga berfirman.
"Artinya : Begitu juga Allah telah menghiasi kebanyakan orang-orang musyrik dengan
pembunuhan anak-anak mereka kepada teman-teman mereka untuk menarik mereka dan
meremangkan agama mereka. Apabila Allah menghendaki, maka mereka tidak
melakukannya. Maka tinggalkanlah mereka dan kebohongan mereka" [Al-An'am : 137]
Dia juga berfirman.
"Artinya : Kalau Allah menghendaki, maka tidaklah saling membunuh orang-orang setelah
mereka setelah datang penjelasan kepada mereka. Akan tetapi mereka saling berselisih,
sehingga sebagian mereka ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Kalau Allah
menghendaki, maka mereka tidak saling membunuh" [Al-Baqarah : 253]
Setelah itu, maka sebaiknya seseorang tidak membicarakan dengan diri sendiri atau dengan orang lain
tentang persoalan seperti ini yang akan berakibat gangguan dan menimbulkan prasangka adanya
pertentangan antara Syari'ah dengan Qadar. Karena hal itu bukanlah merupakan kebiasaan sahabat,
padahal mereka orang yang paling semangat untuk mengetahui berbagai kebenaran dan lebih dekat
dengan nara sumber dan pemecahan kesedihan. Disebutkan dalam Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi
Thalib bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tak seorangpun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga atau tempatnya di neraka"
Kemudian (sahabat) bertanya : "Ya Rasulullah, apakah kita tidak menyerah saja" (Dalam suatu riwayat
disebutkan :'Apakah kita tidak menyerah saja pada catatan kita dan meninggalkan amal). Beliau
menjawab : "Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)". (Dalam suatu riwayat
disebutkan : "Beramallah, karena setiap orang dipermudah menuju sesuatu yang telah diciptakan
untuknya"). Orang yang termasuk ahli kebahagian, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli
kebahagiaan. Adapun orang yang termasuk ahli celaka, maka dia dipermudah menuju perbuatan ahli
celaka". Kemudian beliau membaca ayat : "Adapun orang yang memberi dan bertaqwa dan
membenarkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya menuju kemudahan. Adapun orang yang
bakhil dan menumpuk kekayaan dan mebohongkan kebaikan, maka Aku akan mempermudahnya
menuju kesulitan".
10 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir1.html
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa Nabi melarang sikap menyerah pada catatan (takdir) dan
meninggalkan beramal, karena tak ada peluang untuk mengetahuinya dan beliau menyuruh hamba untuk
berbuat semampu mungkin, yang berupa amal. Beliau mengambil dalil dengan ayat yang menunjukkan
bahwa orang yang beramal shalih dan beriman, amal dia akan dipermudah menuju kemudahan. Ini
merupakan obat yang berharga dan mujarab, di mana seorang hamba akan mendapatkan puncak
kesejahteraan dan kebahagiaannya dengan mendorong untuk beramal shalih yang dibangun di atas
landasan iman dan dia akan bergembira dengannya karena ia akan didekatkan dengan taufiq menuju
kemudahan di dunia dan akhirat.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada kita semua untuk melakukan amal shalih
dan mempermudah kita menuju kemudahan dan menajauhkan kita dari kesulitan dan mengampuni dia
akhirat dan dunia. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
(bersambung)
Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar
edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin'
terbitan Pustaka At-Tibyan, penterjemah Abu Idris
Dicopy dari milis assunnah@yahoogroups.com
posting oleh Yayat Ruhiyat
dikirim via japri oleh Al Akh Naufal
di posting di milis is-lam@isnet.org oleh Mohammad Sigit
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
1 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
TANYA JAWAB TENTANG QADHA' DAN
QADAR
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
APAKAH MANUSIA DIBERI KEBEBASAN MEMILIH?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah manusia dibebaskan memilih atau
dijalankan?".
Jawaban.
Penanya seharusnya bertanya pada diri sendiri ; Apakah dia merasa dipaksa oleh seseorang untuk
menanyakan pertanyaan ini, apakah dia memilih jenis mobil yang dia inginkan ? dan berbagai
pertanyaan semisalnya. Maka akan tampak jelas baginya jawaban tentang apakah dia dijalankan atau
dibebaskan memilih.
Kemudian hendaknya dia bertanya kepada diri sendiri ; Apakah dia tertimpa musibah atas dasar
pilihannya sendiri ? Apakah dia tertimpa penyakit atas dasar pilihannya ? Apakah dia mati atas dasar
pilihannya sendiri ? dan berbagai pertanyaan semisalnya. Maka akan jelas baginya jawaban tentang
apakah dia dijalankan atau dibebaskan memilih.
Jawabnya.
Sesungguhnya segala perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat jelas dia lakukan
atas dasar pilihannya. Simaklah firman Allah.
"Artinya : Maka barangsiapa menghendaki, maka dia mengambil jalan menuju Rabb-Nya"
[An-Naba : 39]
Dan firman Allah.
"Artinya : Sebagian dari kamu ada orang yang menghendaki dunia dan sebagian dari kamu
ada orang yang menghendaki akhirat" [Ali-Imran : 152]
Dan firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa menghendaki akhirat dan menempuh jalan kepadanya dan dia
beriman, maka semua perbuatannya disyukuri (diterima)". [Al-Isra' : 19]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Maka dia diwajibkan membayar fidyah, berupa puasa atau sedekah atau hajji"
2 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
[Al-Baqarah : 196]
Di mana dalam ayat fidyah di atas, pembayar fidyah diberi kebebasan memilih apa yang akan
dibayarkan.
Akan tetapi, apabila seseorang menghendaki sesuatu dan telah melaksanakannya, maka kita tahu bahwa
Allah telah menghendaki hal itu, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Sungguh barangsiapa dari kamu menghendaki beristiqomah, maka kamu tidak
akan berkehendak kecuali Allah Rabb sekalian alam menghendakinya" [At-Takwir : 29]
Maka sebagai kesempurnaan rububiyah-Nya, tidak ada sesuatupun terjadi di langit dan di bumi
melainkan karena kehendak Allah Ta'ala.
Adapun segala sesuatu yang menimpa seseorang atau datang darinya dengan tanpa pilihannya, seperti
sakit, mati dan berbagai bencana, maka semua itu murni karena Qadar Allah dan manusia tidak punya
kebebasan memilih dan berkehendak.
Semoga Allah memberi Taufiq.
HUKUM RIDHA' TERHADAP QADAR
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum ridha (rela) kepada Qadar?
dan apakah do'a itu bisa menolak Qadha?
Jawaban.
Ridha pada Qadar hukumnya wajib, karena ha itu termasuk kesempurnaan ridha akan rububiyah Allah.
Maka setiap mu'min harus ridha pada Qadha' Allah. Akan tetapi Muqadha (sesuatu yang diqadha') masih
perlu dirinci, karena sesuatu yang diqadha berbeda dengan Qadha itu sendiri. Qadha adalah perbuatan
Allah, sedangkan sesuatu yang diqadha' adalah sesuatu yang dikenai Qadha'. Maka Qadha' yang
merupakan perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh membencinya
selamanya.
Adapun sesuatu yang diqadha' terbagi menjadi tiga macam.
Wajib direlaka1. n
2. Haram direlakan.
3. Disunnahkan untuk direlakan
Sebagai contoh, perbuatan ma'siyat adalah sesuatu yang diqadha oleh Allah dan ridha pada kemasyiatan
hukumnya haram, sekalipun dia terjadi atas Qadha Allah. Maka barangsiapa melihat pada kema'siyatan,
maka dia harus rela dari sisi Qadha' yang telah lakukan Allah dan harus mengatakan bahwa Allah Maha
Bijaksana dan kalau kebijakan-Nya tidak menentukan ini, maka dia tidak akan pernah terjadi. Adapun
dari sisi sesuatu yang diqadha', maka perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib menghilangkan
kema'siyatan tersebut dari dirimu sendiri dan orang lain.
Sebagian dari sesuatu yang diqadha' harus direlakan, seperti kewajiban syar'iyah, karena Allah telah
menentukannya secara riil dalam syar'iyah. Maka kita harus merelakannya, baik dari sisi Qadha'nya
maupun sesuatu yang diqadha'.
Bagian ketiga disunnahkan untuk merelakannya dan diwajbkan bersabar karenanya, yaitu berbagai
musibah yang terjadi, Maka semua musibah yang terjadi, menurut para ulama, disunnahkan untuk
merelakan dan tidak diwajibkan. Akan tetapi wajib bersabar karenanya. Perbedaan antara sabar dan rela
3 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
adalah bahwa dalam sabar seseorang tidak menginginkan apa yang terjadi, akan tetapi dia tidak mencoba
sesuatu yang menyalahi syara' dan menghilangkan kesabaran, sedangkan rela adalah seseorang tidak
membenci apa yang terjadi, sehingga terjadinya atau tidak terjadinya baginya sama saja. Inilah perbedaan
antara rela dengan sabar. Oleh karena itu, para ulama Jumhur mengatakan : "Sesungguhnya sabar itu
wajib, sedangkan rela itu disunnahkan".
Adapun pertanyaan : "Apakah do'a itu dapat menolak Qadha", maka jawabnya demikian :
Sebenarnya do'a merupakan sebab teraihnya sesuatu yang dicari dan dalam kenyataannya, do'a dapat
menolak Qadha dan tidak dapat menolaknya sekaligus. Artinya terdapat dua sisi pandang dalam do'a.
Sebagai contoh orang sakit terkadang berdo'a kepada Allah (untuk disembuhkan), kemudian sembuh.
Maka dalam hal ini, seandainya ia tidak berdo'a, maka dia akan tetap sakit, akan tetapi dengan do'a
tersebut dia menjadi sembuh. Hanya saja kita dapat mengatakan bahwa Allah telah menetapkan,
sembuhnya penyakit tersebut dengan lantaran do'a dan ini telah tertulis/tersurat. Maka do'a tersebut
secara lahir dapat menolak Qadar, di mana manusia meyakini bahwa kalau tidak ada do'a tersebut, maka
penyakit tersebut akan tetap diderita. Akan tetapi, hakikatnya, do'a tersebut tidak menolak Qadha',
karena pada dasarnya do'a tersebut juga telah tertulis (ditakdirkan) dan kesembuhan tersebut akan terjadi
dengannya. Inilah Qadar yang sebenarnya telah tertulis di zaman azali. Demikianlah, sehingga segala
sesuatu pasti melalui sebab dan sebab tersebut telah dijadikan Allah sebagai sebab teraihnya dan sesuatu
itu semua telah tertulis sejak zaman azali sebelum terjadi.
APAKAH DO'A BISA MENGUBAH KETENTUAN?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah do'a berpengaruh merubah apa yang telah
tertulis untuk manusia sebelum kejadian?"
Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa do'a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi
perubahan itupun sudah digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda berdo'a, berarti
meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do'a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga
tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh,
juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum
tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka.
Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do'a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para
sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum)
memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah
untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do'a tersebut
berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.
Dengan demikian, do'a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan
tersebut telah tertulis dengan lantaran do'a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar
Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka
semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.
BAGAIMANA ALLAH MENYIKSA MANUSIA SEDANG ITU
SUDAH DITENTUKAN ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Ada polemik yang dirasakan sebagian manusia,
yaitu bagaimana Allah akan menyiksa karena ma'siyat, padahal telah Dia takdirkan hal itu atas manusia
4 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
?"
Jawaban.
Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa
karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah
yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di
depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas
pilihannya sendiri. Allah telah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar),
maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur" [Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan
menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut
dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam
(keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu
sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum
adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama
kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda
akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak
mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan :
"Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan demikian, apa yang telah anda
tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita
dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang
berupa amal-amal yang menyalahi syara' dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan
syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa
anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di
dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara
Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah
ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman.
"Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok" [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan
bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. Oleh karena
itu, sebagian ulama' mengatakan : "Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup". Dan kita semua tidak
pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas
dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan
pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya
untuk kita.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan
tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu'minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari
beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan
kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : "Tunggu dulu hai
Amirul Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah". Umar mengatakan :
"Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah". Maka Umar berargumentasi dengan
argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam.
Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk
memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena
5 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma'siyat
kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas. Allah
berfirman.
"Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar
manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" [An-Nisa : 165]
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun
Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul
selamanya. Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar
Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga Allah memberi Taufiq.
APAKAH REZKI DAN JODOH TELAH DI TULIS DI LAUH
MAHFUDZ
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah rezqi dan jodoh juga telah tertulis di Lauh
Mahfudz ?".
Jawaban.
Segala sesuatu sejak awal terciptanya Qalam sampai tiba hari Qiyamat telah tertulis di Lauh Mahfudz,
karena sejak permulaan menciptakan Qalam Allah telah berfirman kepadanya : "Tulislah", Dia (Qalam)
bertanya : "Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?" Allah berfirman : "Tulislah segala sesuatu yang
terjadi". Kemudian dia (Qalam) menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat. Juga
diriwayatkan dari Nabi :
"Artinya : Sesungguhnya janin yang ada dalam kandungan ibunya ketika telah melewati
umur empat bulan, maka Allah mengutus Malaikat kepadanya yang meniupkan roh dan
menulis rizqi, ajal, amal dan apakah dia celaka atau bahagia".
Rezqi juga telah tertulis dan ditakdirkan beserta sebab-sebabnya, tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sebagian dari sebab-sebab (rezqi) adalah pekerjaan manusia untuk mencari rezqi, sebagaimana firman
Allah :
"Artinya : Dia (Allah) adalah Tuhan yang telah menjadikan bumi tunduk (kepadamu), maka
berjalanlah dia atas pundaknya dan makanlah sebagian rezqi-Nya dan kepada-nyalah tempat
kembali" [Al-Maidah : 15]
Sebagian dari sebab-sebab rezqi lagi adalah menyambung persaudaraan (sillaturrahim), termasuk berbuat
baik kepada kedua orang tua dan menyambung hubungan keluarga, karena Nabi telah bersabda.
"Artinya : Barangsiapa ingin dilapangkan rezqinya dan dipanjangkan umurnya, maka
hendaklah dia menyambung persaudaraan (sillaturrahim).
Sebagian sebab-sebab rezqi lagi adalah bertaqwa kepada Allah, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa bertaqwa, maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan
memberinya rezqi dengan tanpa disangka-sangka" [Ath-Thalaq : 2-3]
Janganlah anda mengatakan : "rezqi telah tertulis dan terbatasi dan aku tidak akan melakukan
6 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
sebab-sebab untuk mencapainya". Karena pernyataan tersebut adalah suatu kelemahan. Sedangkan yang
disebut kepandaian adalah kamu tetap berupaya mencari rezqi dan sesuatu yang bermanfaat bagimu,
baik untuk agamamu maupun untuk duniamu. Nabi bersabda.
"Artinya : Seorang yang pandai adalah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal setelah
mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang hanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan"
Sebagaiamana rezqi telah tertulis dan ditaqdirkan bersama sebab-sebabnya, maka jodoh juga telah
tertulis (beserta sebab-sebabnya). Masing-masing dari suami istri telah tertulis untuk menjadi jodoh bagi
yang lain. Bagi Allah tidak rahasia lagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di langit.
JIKA PERBUATAN ORANG KAFIR TELAH DITULIS
MENGAPA DIA DISIKSA ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah perbuatan orang-orang kafir telah tertulis
di Lauh Mahfudz ? Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"
Jawaban.
Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia
telah tertulis sejak dia berada di perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam hadits shahih dari Abdullah
bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu ia berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang benar lagi
dibenarkan) bercerita kepada kami.
"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara kamu dikumpulkan penciptaannya di perut
ibunya selama empat puluh hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi 'alaqah selama empat
puluh hari pula, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah
kepadanya seorang malaikat, dan diperintahkan dengan empat kalimat untuk menulis
rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka atau bahagia".
Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah
'Azza wa Jalla sejak zaman azali dan orang yang berbahagia telah diketahui pula oleh Allah sejak zaman
azali. Akan tetapi barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan diadzab padahal Allah
telah menetapkan atas mereka akan hal itu sejak zaman azali.?
Jawaban kami.
Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka, jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para
rasul telah diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan. Juga telah dijelaskan petunjuk
dan kesesatan dan mereka diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus menjauhi jalan
yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak ; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh
karena itu kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain mereka, berusaha meraih kemaslahatan
dunia dengan kehendak dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka berupaya meraih
sesuatu yang membahayakan di dunia atau meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang
bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang
akan berusaha meraih manfaat bagi dirinya. Dengan demikian, seharusnya mereka berusaha meraih
manfaat dalam urusan-urusan agama mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari
urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, bahkan penjelasan tentang kebaikan dan
keburukan dalam urusan agama di dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul lebih
banyak dan lebih besar daripada penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban mereka adalah
menempuh jalan yang menghatarkannya kepada keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh jalan
yang menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.
7 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran sama sekali tidak merasa ada orang yang
memaksanya. Bahkan perasaannya mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu dengan kehendak dan
ikhtiarnya. Maka apakah ketika memilih kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya
.? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak mengetahui bahwa sesuatu telah ditetapkan terjadi pada
kita kecuali sesudah terjadi. Adapun sebelum terjadi, kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan
untuk kita karena hal ini termasuk perkara ghaib.
Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu : sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan
anda ada dua perkara ; hidayah dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah
dengan anggapan bahwa Allah telah menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat
lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah menetapkannya ? Kami tegaskan kepada
anda sebelum memasuki jalan ini ; apakah anda mempunyai pengetahuan bahwa hal ini telah ditetapkan
kepadamu ? ia pasti menjawab : "Tidak". Dan mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia mengatakan :
"Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda tidak menempuh jalan hidayah seraya
menganggap bahwa Allah telah menetapkan hal itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati mereka"
[Ash-Shaf : 5]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.
Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan
yang sukar" [Al-Lail :5-10]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu para sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali
telah dicatat tempat duduknya di jannah dan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya ; wahai
Rasulullah, apakah kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang telah ditetapkan ?
Beliau bersabda.
"Artinya : Tidak, beramallah kelian, karena tiap-tiap orang dimudahkan kepada sesuatu
yang diciptakan baginya"
Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik. Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta
mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang
sukar".
Inilah jawaban kami atas pertanyaan yang disampaikan oleh penanya tadi, dan betapa banyaknya orang
yang beralasan seperti tadi dari kalangan orang-orang yang sesat. Alangkah anehnya mereka karena
mereka sama sekali tidak pernah beralasan dengan yang semisal ini dalam masalah-masalah dunia.
Bahkan anda mendapati mereka menempuh sesuatu yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam
persoalan-persoalan duniawi. Manakala dikatakan kepada seseorang ; jalan yang ada dihadapanmu ini
adalah jalan yang sulit lagi rumit, di sana ada para pencuri dan banyak binatang buas, sedangkan ini jalan
kedua, jalan yang mudah, ringan dan aman, tidak mungkin seseorang menempuh jalan yang pertama dan
meninggalkan jalan yang kedua. Demikian pula dengan dua jalan ; jalan neraka dan jalan jannah. Para
rasul menjelaskan jalan ke jannah lalu mereka mengatakan : inilah jalan ke jannah. Mereka juga
mejelaskan jalan ke neraka lalu menegaskan : inilah jalan menuju neraka. Mereka memperingatkan dari
jalan yang kedua dan menganjurkan untuk menempuh jalan pertama. Sementara para pendurhaka
beralasan dengan qadha Allah dan Qadar-Nya -padahal mereka tidak mengetahuinya- atas kemaksiatan
dan kejahatan yang mereka lakukan dengan ikhtiarnya dan dalam hal ini mereka tidak memiliki hujjah di
8 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
sisi Allah Ta'ala.
SESUNGGUHNYA MANUSIA BERAMAL DENGAN
AMALAN JANNAH
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : " Tentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
: 'Sesungguhnya seseorang selalu beramal dengan amalan ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara
dirinya dengan jannah kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya sehingga ia
melakukan amalan ahli neraka, lalu iapun memasukinya. Dan seorang yang senantiasa beramal dengan
amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali hanya sehasta. Namun
ketetapan telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalan ahli jannah dan iapun memasukinya".
Apakah hadits ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang yang membaguskan amalannya" [Al-Kahfi : 30]
Jawaban.
-Semoga Allah merahmatinya- dengan ucapannya : Ini adalah hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu
'anhu. Di dalamnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa ada seseorang yang
beramal dengan amalan ahli jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan jannah kecuali hanya
sehasta, karena dekatnya ajal dan kematian dirinya. Namun ketetapan telah mendahuluinya yang
menegaskan bahwa ia termasuk penghuni neraka, hingga iapun melakukan amalan ahli neraka, lalu
masuk kedalamnya- kita berlindung kepada Allah daripadanya. Ini adalah fenomena yang nampak pada
manusia seperti yang dijelaskan oleh sebuah hadits shahih.
"Artinya : Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan ahli jannah dalam pandangan
manusia, padahal ia termasuk ahli neraka"
Demikian pula persoalan kedua, manusia yang beramal dengan amalan ahli neraka, lalu Allah memberi
karunia kepadanya dengan taubat dan kembali kepada jalan Allah menjelang ajalnya, hingga iapun
beramal dengan amalan ahli jannah lalu ia masuk kedalamnya.
Ayat yang disebutkan oleh penanya tidak bertentangan dengan hadits di atas, karena Allah Ta'ala
berfirman : "Pahala orang yang membaguskan amalannya" Maksudnya, barangsiapa yang membaguskan
amalannya di dalam hati maupun dhahirnya, maka Allah Ta'ala tidak menyia-nyiakan pahalanya. Tetapi
yang dimaksud oleh kasus pertama yang beramal dengan amalan ahli jannah lalu ketetapan telah
mendahuluinya, adalah orang yang beramal dengan amalan ahli jannah dalam pandangan manusia saja.
Atas dasar ini, amalannya tidak termasuk kebaikan. Dengan demikian hadits tadi tidak bertentangan
sama sekali dengan ayat Al-Qur'an.
Wallahul Muwafiq
CARA MENGKOMPROMIKAN FIRMAN ALLAH DALAM
SURAT AL-AN'AM : 125
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : " Tentang bagaimana mengkompromikan antara
firman Allah Ta'ala : "Maka barangsiapa dikehendaki Allah untuk menunjukkannya, Dia akan
melapangkan dadanya kepada Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk menyesatkannya,
Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak, seolah-olah ia sedang naik ke langit" [Al-An'am : 125]
9 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
Dengan firman-Nya : "Maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman dan
barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir" [Al-Kahfi : 29]
Jawaban.
Mengkompromikan di antara kedua ayat itu adalah sebagai berikut ; Allah Ta'ala memberitahukan dalam
sebagian ayat-Nya bahwa semua urusan ada dalam kekuasaan-Nya. Dan dalam sebagian ayat lainnya
memberitahukan bahwa semua perkara itu kembali kepada mukallaf. Mengkompromikannya begini :
setiap mukallaf memiliki kehendak, ikhtiar dan kemampuan. Sementara yang menciptakan kehendak,
ikhtiar dan kemampuan tersebut adalah Allah Azza wa Jalla. Maka tidak mungkin seorang makhluk
memiliki kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
Allah Ta'ala berfirman tentang penjelasan kompromi ini.
"Artinya : Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam" [At-Takwir : 28-29]
Akan tetapi kapan Allah berkehendak untuk menunjuki manusia atau menyesatkannya ? Inilah yang
dimaksud oleh firmannya.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.
Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan
yang sukar" [Al-Lail : 5-10]
Dan baca firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling, Allah palingkan hati mereka dan Allah tidak
menunjuki kaum yang fasik" [Ash-Shaf : 5]
Anda mendapati bahwa sebab sesatnya seorang hamba adalah karena dirinya sendiri. Dan Allah Ta'ala
ketika itu menciptakan kehendak pada dirinya untuk berbuat buruk karena ia menghendaki keburukan.
Adapun orang yang menghendaki kebaikan lalu berusaha dan berkeinginan kuat memperolehnya, maka
Allah akan memudahkannya kepada kebaikan. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita
kepada sahabat-sahabatnya bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di
neraka, para sahabat bertanya : Apakah tidak sebaiknya kami menyerah kapada ketetapan itu dan kami
tidak beramal ? Nabi menjawab : Jangan. Beramallah kalian, karena tiap-tiap orang dimudahkan sesuai
penciptaannya. Nabipun lalu membaca ayat ini : "Dan adapun orang yang memberi dan bertakwa ..dst".
Ketahuilah wahai saudaraku, tidak mungkin terdapat pertentangan dalam kalamullah atau dalam hadits
shahih selamanya. Maka apabila anda mendapati dua nash yang dhahirnya tampak bertentangan,
perhatikanlah kembali. Niscaya perkaranya mejadi jelas bagi anda. Jika anda tidak mengetahuinya, anda
wajib bertawaquf dan menyerahkan perkara itu kepada ahlinya. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu.
(sebelum)
Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar
edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin'
terbitan Pustaka At-Tibyan, penterjemah Abu Idris
Dicopy dari milis assunnah@yahoogroups.com
10 http://media.isnet.org/islam/Etc/takdir2.html
posting oleh Yayat Ruhiyat
dikirim via japri oleh Al Akh Naufal
di posting di milis is-lam@isnet.org oleh Mohammad Sigit
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team

Tidak ada komentar:

Posting Komentar