Bagaimana seandainya Anda diberi tiket ajaib yang dapat
membuat Anda menjalani hidup dari awal lagi?
Apakah Anda akan mengulangnya kembali?
Terimalah undangan ini untuk menemukan sendiri
hadiah yang paling berharga—tiket emas kehidupan.
Dari:
Untuk:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tcntang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundangan-undangan yang bcrlaku.
Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
SEBUAH NOVEL PENUH ILHAM
LIFE'S
GOLDEN
TICKET
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2008
BRENDON BURCHARD
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt
LIFE'S GOLDEN TICKET
by Brendon Burchard
Copyright © 2007 by Brendon Burchard
All rights reserved
TIKET EMAS KEHIDUPAN
Alih bahasa: Lanny Murtihardjana
Desain dan ilustrasi sampul: Eduard Iwan Mangopang
GM 402 08.039
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37
Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, Juni 2008
320 hlm; 20 cm
ISBN-10: 979 - 22 - 3853 - 0
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 3853 - 2
Dicetak oleh Percetakan Ikrar Mandiriabadi, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Dipersembahkan kepada kedua orangtuaku,
Mel dan Christiane Burchard,
serta saudara-saudaraku,
David, Bryan, dan Helen,
karena melingkupiku dengan
keindahan iman, kasih sayang, dan persahabatan.
Aku sangat berterima kasih,
dan menyayangi kalian semua.
Juga kepada Denise. Terima kasih, Sunshine,
atas dukungan, kesabaran, dan keyakinanmu padaku.
Aku mencintaimu.
a
PROLOG
Maut menyentil telingaku. "Hiduplab," katanya, "aku datang."
V I R G I L
ketika mengunjungi sebuah negara berkembang, aku mengalami
kecelakaan mobil dramatis. Sampai sekarang pun aku
masih ingat betul bagaimana aku beringsut keluar dari rongsokan
mobil yang hancur itu—karena itulah detik-detik saat
aku keluar dari depresi emosional yang belum lama berselang
menghancurkan hidupku.
Kecelakaan itu seperti metafora sempurna yang menggambarkan
kehidupanku ketika itu: perjalanan melintasi jalan gelap,
tikungan tajam, dan kehilangan kendali. Beberapa bulan
sebelumnya aku mengalami pukulan berat, suatu bencana ber-
7
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
EPULUH tahun yang S lalu,
kepanjangan karena putus hubungan dengan wanita pertama
yang kucintai. Masa yang diawali dengan pembawaanku yang
ceria, percaya diri, dan ramah, kemudian berubah menjadi
seperti pertapa tak percaya diri dan tertekan yang menjauhi
semua orang karena takut kalau-kalau ia terluka lagi. Sepertinya,
aku kehilangan kendali atas hidupku. Pikiranku terkontaminasi
dengan sikap membenci diri, dan sesekali dengan keinginan
untuk bunuh diri.
Dalam banyak hal, tampaknya hidupku memang sudah
berantakan, jauh sebelum malam ketika mobil kami menikung
tajam dengan kecepatan seratus tiga puluh lima kilometer per
jam.
Mendadak segalanya berubah. Jalanan lenyap dari pandangan,
digantikan dengan kekosongan gelap gulita saat mobil
miring dan meluncur keluar dari jalan raya. Musik radio pun
lenyap dan angin tidak lagi berdesing masuk lewat jendela.
Untuk sesaat kesunyian mencekam sementara mobil melambung
menembus udara dan aku merasa seperti terbang tanpa
bobot. Aku membatin, Kumohon, Tuban, aku belum siap....
Saat tersadar kembali, aku tak melihat apa-apa selain sorot
lampu mobil yang menerangi kebun tebu, dari celah sempit
di depanku—celah yang tadinya adalah kaca depan. Dasbor
dan pintu-pintu mobil melesak ke dalam, mengurung pengemudi
dan aku di dalam ruangan sempit yang terbentuk dari
sejumlah lempengan logam ringsek bercampur pecahan kaca
dan plastik. Rasanya berjam-jam kami berjuang keras untuk
bisa keluar dari kurungan mirip peti mati itu.
8
Masih kuingat bagaimana aku merangkak keluar dari celah
kaca depan tadi, berdiri di atas atap mobil yang sudah ringsek,
menatap badanku yang berlepotan darah, lalu menengadah
ke langit. Saat itulah segala sesuatu berubah. Tiba-tiba
aku merasa seakan terangkat dari rongsokan emosional hidupku.
Semua kepedihan, amarah, kekesalan, dan kekecewaan
yang bercampur aduk dalam diriku selama bulan-bulan sebelumnya,
telah lenyap. Ironisnya, kecelakaan itu bukannya
menimbulkan penderitaan, tapi justru melepaskanku darinya.
Gelombang sukacita penuh kedamaian dan rasa syukur melingkupiku.
Aku merasa bebas, seolah-olah pintu gerbang kemungkinan
baru pertama kalinya terbuka lebar untukku.
Rasanya seolah menerima undangan untuk mengalami segala
sesuatu di dunia melalui mata dan indra baru—dunia yang
lebih berlimpah, cemerlang, dan memesona daripada yang pernah
kubayangkan. Rasanya saat itu aku menerima "tiket
emas"—kesempatan kedua untuk hidup. Setelah menatap langit
dengan penuh syukur untuk entah berapa lama, aku
menghela napas dalam-dalam dan merasakan kehidupan mengalir
kembali dalam diriku. Untuk pertama kalinya sejak berbulan-
bulan sebelumnya, jiwaku bernyanyi.
Inilah ujian untuk menentukan bahwa misi Anda
di Bumi sudah berakhir: Bila Anda masih hidup,
berarti tugas Anda belum selesai.
—Richard Bach
9
Ajaibnya, kami berdua mampu berjalan meninggalkan tempat
musibah itu nyaris tanpa luka berarti. Namun, pelajaran yang
kutarik dari dalam rongsokan itu takkan pernah kulupakan:
Kau beruntung masih hidup. Kau bisa mulai lagi dari awal.
Kau lolos dari maut untuk suatu tujuan. Sekarang cepatlah
bekerja—waktu berjalan terus.
Setahun setelah menerima tiket emasku, aku berhasil memutar
balik kehidupanku. Aku menemukan kembali rasa
percaya diriku. Aku berusaha menjalin hubungan yang lebih
sehat dan indah. Aku membiarkan perasaan bebas dan penuh
iman menuntunku, dan aku mulai lebih mencari makna ketimbang
kesuksesan. Tepat satu tahun sesudah kecelakaan itu,
aku merasa telah menjalani kehidupan yang benar-benar milikku
sendiri—kehidupan yang diarahkan sesuai pilihan, bukan
kesempatan.
Sejak itu aku berjuang keras menepati janji yang kubuat
pada saat menerima tiket emasku. Sambil berdiri di atas atap
mobil yang penyok-penyok, aku mengucapkan di dalam hati
kata-kata yang takkan pernah kulupakan: Oh, Tuhan, terima
kasih—terima kasih atas kesempatan kedua ini. Aku berjanji
takkan menyia-nyiakannya,
Untuk memperoleh kesempatan kedua dalam hidupku, sejak
dulu hati kecilku sudah tahu bahwa aku harus mengambil
tiket emasku lalu berbagi dengan orang lain. Jadi dekade terakhir
ini kujalani dengan berusaha menolong orang lain tiba
pada saat yang kucapai bertahun-tahun yang lalu itu: saat ketika
mereka benar-benar merasa hidup dan bebas. Saat indah
10
ketika mereka merasa seakan bisa mengulang kehidupan dari
awal kembali dan menciptakan kehidupan seperti yang mereka
dambakan sejak dulu. Inilah saatnya aku mengundang Anda
untuk mengalaminya dengan membaca buku ini. Aku percaya
inilah saatnya aku menggambarkan bahwa perubahan dan
pertumbuhan hidup Anda akan timbul.
Akan tiba saatnya ketika Anda percaya
semuanya sudah berakhir.
Justru itulah permulaannya.
Louis L'Amour
Selesai membaca kisah ini, aku mengajak Anda membuka
amplop di bagian belakang buku ini. Aku minta Anda baru
membukanya setelah membaca kisahnya sampai selesai. Jika
Anda membukanya sebelum itu, Anda takkan tahu harus berbuat
apa dengan pemberian yang ada di dalamnya.
Apa yang terdapat di dalamnya? Apa sebenarnya tiket emas
kehidupan, dan kehidupan seperti apakah yang ditawarkannya
kepada kita? Sekali lagi, aku mengajak Anda membaca kisah
ini, kemudian baru membuka amplop di akhir buku ini untuk
menemukan jawabannya.
11
BAGIAN I
a
KU sedang berdiri bercukur
di kamar mandi ketika mendengar berita dari televisi: "Kami
menyela program ini untuk menyampaikan berita menyangkut
hilangnya Mary Higgins."
Aku langsung menjatuhkan pisau cukurku di wastafel, menyarungkan
handuk di pinggang, dan menghambur ke ruang
tamu. Gambar Mary memenuhi separuh layar kaca. Dengan
datar penyiar berita malam berkata, "Miss Higgins yang menghilang
dengan misterius empat puluh hari yang lalu, telah ditemukan....
Ya Tuhan. Aku menunggu bagian yang terburuk.
"... Seorang petugas Clark County Highway Patrol mengatakan
bahwa Higgins dibawa..."
Telepon berdering dan aku tergopoh-gopoh meraihnya sambil
terus menatap layar TV.
15
A
AMPLOP
a
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
MR. Collection's
"... rumah sakit seperempat jam yang lalu, tempat ia...."
Aku menyambar pesawat telepon yang terus berdering. Ternyata
dari Linda, ibu Mary, yang bicara begitu cepat hingga
aku hanya mampu menangkap setengahnya.
"Linda, tenang sedikit," kataku. "Apa yang terjadi?"
"... Kami di sini bersamanya... cepatlah kemari... mereka
menemukannya.... Mereka menemukan Mary?
Aku menoleh ke gambar Mary di layar TV. "Ya Tuhan,
Linda," bisikku. "Beritanya sedang disiarkan. Dia baik-baik
saja?"
"Kami di rumah sakit. Cepat kemari... sekarang!" katanya.
"Linda, apa Mary baik-baik saja?"
"Pokoknya kemari secepatnya. Kamar empat-sepuluh. Aku
harus pergi. Cepat!"
Hubungan terputus.
16
Aku menghambur masuk lobi rumah sakit dan diserbu kilatan
lampu kamera. Para wartawan mengerumuniku sambil
menyodorkan kamera dan mikrofon mereka ke wajahku,
memberondongku dengan pertanyaan.
"Bagaimana kondisi Mary?"... "Tahukah Anda apa yang terjadi?...
"Anda sudah bicara dengan orangtuanya?"
Seumur-umur belum pernah aku merasa selega itu berjumpa
dengan perawat. Seorang wanita tegap berpakaian putih
menyeruak di antara kerumunan wartawan, lalu menyambar
lenganku. "Jangan ganggu dia!" hardiknya. "Kau—cepat
minggir." la menarikku maju sambil menyibakkan nyamuknyamuk
pers itu dengan tegas. la menuntunku sampai lift,
mendorongku masuk, lalu menghalangi para reporter di belakangnya.
"Lantai empat," bisiknya.
Aku menekan tombol empat dan merinding membaca katakata
yang tertera di sampingnya: PERAWATAN INTENSIF.
Pintu lift tertutup membungkam pertanyaan-pertanyaan
yang diteriakkan para wartawan. Aku menghirup udara steril
rumah sakit yang berbau bahan pemutih dan eter sambil berpikir
betapa bencinya aku pada tempat-tempat seperti ini.
Bayangan kakek dan ibuku berkelebat di benakku. Kumohon,
jangan sampai seperti itu, aku membatin.
Pintu lift terbuka. Seorang perawat duduk di depan meja.
"Maaf, aku mencari kamar empat-sepuluh. Aku adalah...."
"Aku tahu," sahutnya. "Lewati lorong, belok kanan di tikungan
pertama. Pintu kelima sebelah kiri."
Begitu ia selesai menjelaskan, aku sudah mencapai separuh
lorong.
Saat berbelok, aku melihat Linda, ibu Mary, yang sedang
menangis dalam pelukan Jim, suaminya. Seorang dokter sedang
bicara dengan lembut kepada mereka. Tak jauh dari situ,
Detektif Kershaw, petugas yang mengepalai unit orang-orang
hilang, berdiri sambil menatap lantai.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan
debar jantungku. Sementara melangkah mendekati mereka,
aku berkata kepada diri sendiri agar menguatkan hati.
17
Jim terlebih dulu melihatku, lalu berbisik di telinga Linda.
Wanita itu menyeka air matanya, melepaskan diri dari pelukan
suaminya, lalu menatapku dengan kuyu.
Oh, tidak, aku membatin. Kumohon jangan....
Wajahku terasa kebas saat aku mencapai mereka.
"Linda, dia masih hidup?"
18
Kershaw duduk di depanku sambil mengutak-atik notesnya
dan sebentar-sebentar melirik ke lukisan pemandangan
pantai yang sepertinya sudah jadi dekorasi wajib di dinding
ruang tunggu rumah sakit. Dia mungkin tahu bahwa kalau
sampai dia berani menatap mataku, aku akan meninjunya.
Dengan nada menyesal, ia berkata, "Begini, aku salah menilaimu—
aku mengakuinya. Saat menemukan Mary seperti itu,
terbukti bahwa kau tak ada sangkut pautnya dengan kehilangannya."
"Sudah saatnya kau menyadari itu, dasar...."
"Sudah, sudah," sela Kershaw sambil bersandar dan mengangkat
tangan tinggi-tinggi. "Aku tahu kau kesal. Tapi seperti
yang sudah kukatakan, aku hanya melakukan tugasku. Kau
tidak bisa menyalahkan aku karena menyangka kau ada sangkut
pautnya dengan hal itu...."
Darahku masih mendidih, tapi aku diam aja.
"Oke," ujarnya. "Begini—aku tidak menyalahkanmu. Mari
kita mulai lagi dari awal. Mari kita bicara seperti dua orang
yang ingin tahu bagaimana Mary sampai bisa berada di jalan
raya itu. Aku tahu kita sudah ribuan kali membicarakan ini,
tapi tolong ceritakan sekali lagi mengenai saat-saat terakhir
kau melihatnya. Bisakah kauceritakan lagi apa yang persisnya
dikatakan Mary? Setelah kita sekarang tahu di mana ia akhirnya
ditemukan, mungkin terdapat petunjuk dalam percakapan
terakhir kalian."
"Percakapan" terakhir kami sayangnya berupa pertengkaran
hebat. Rasa malu dan menyesal memenuhi hatiku saat mengingatnya.
Kami saling berteriak di dapur. Mary lagi-lagi merepet soal
mengubah hidup. Pertengkaran yang itu-itu saja—yang sepertinya
terjadi tiap malam sesudah makan malam, selama enam
bulan terakhir. Dia bosan melihatku duduk di depan TV sepulang
dari kerja, bosan dengan sikap "menjauh"-ku, bosan
pada sikap sinisku, bosan merasa lemah dan letih karena menjalani
standar kehidupan yang menurut pendapatnya terlampau
rendah bagi kami. Dia bilang, bosan merasa bosan.
"Kita seperti tenggelam di sini," katanya. "Tenggelam dalam
keputusasaan, dalam kolam pesimisme kita." Itu tadi kalimat
favoritnya saat bertengkar: "kolam pesimisme."
"Kau tak tahu betapa beruntungnya kita punya kolam itu"
balasku. "Orangtuaku pasti tak segan-segan membunuh untuk
mendapatkan kolam."
Kalimat seperti ini biasanya meredam amarahnya sedikit—
aku selalu berhasil membuatnya tertawa dan mengalihkan
pokok pembicaraan. Tapi kali ini aku gagal. Wajahnya malah
19
semakin murung dan ia pun mulai menangis. Setelah terisakisak
beberapa saat, ia mendongak lalu berkata, "Rasanya aku
perlu pergi berakhir pekan.... Tadinya aku ingin mengajakmu,
tapi sepertinya kau belum siap."
Ia belum pernah bicara dengan nada seserius itu.
"Kau mau ke mana?" aku bertanya. "Aku belum siap untuk
apa?"
Mary diam sesaat. "Berubah—kau belum siap untuk berubah."
Mulai lagi, aku membatin. Aku siap-siap mendengar sederet
perintah yang telah disusunnya selama dua bulan terakhir itu:
Bangkitlah dari sofa. Letakkan kaleng bir-mu. Jangan muram
terus. Bukalah dirimu. Ceritakan apa yang terjadi. Seperti
itulah Mary, selalu berusaha mengendalikan hidupku, menyuruhku
mengikuti aturannya tentang cara menjalani hidup,
mengubahku jadi seseorang yang bukan diriku—si Dungu
yang berbinar-binar, ceria, dan peka.
"Kapan kau mau berhenti mengontrolku terus-menerus?
Aku tidak butuh ibu, dan kau tak perlu mengatakan kepadaku
sejauh apa aku harus berubah. Biarkan aku menjalani hidupku
sendiri."
"Tapi kau bukan menjalani hidupmu," tangisnya. "Kau
justru bersembunyi darinya. Tiap malam kau cuma duduk di
depan televisi, berusaha melupakan fakta bahwa hidupmu
menjemukan."
Itu dia—Mary sudah mengucapkannya. Aku menatapnya
dengan kaget.
20
Mary menatap lantai. Bulu matanya yang panjang hampir
menyentuh pipinya. la lalu menghela napas dalam-dalam. "Seperti
yang kubilang tadi, kau belum siap untuk berubah. Tapi
aku sudah siap, dan aku akan pergi. Seorang teman mengajakku
ke suatu tempat yang kata orang bisa mengubah hidupku.
Dia bilang tempat itu penuh keajaiban yang mampu memberikan
ilham kepadaku, tempat impianku bisa jadi kenyataan."
"Wow, Honey, keren amat. Apa kau mau ke Disneyland?"
"Aku serius. Aku mau pergi."
Aku menertawakannya karena tak percaya dia akan benarbenar
pergi. "Sampaikan salamku kepada Mickey," ejekku.
Matanya terbelalak, dan ia pun melemparkan cangkir kopinya
ke dalam bak cuci piring hingga pecah berkeping-keping.
Ia menyambar kunci mobilnya dari meja dan melangkah ke
pintu sambil berkata, "Aku dengar di tempat ini bisa terjadi
keajaiban. Demi akal sehatku dan hubungan kita, lebih baik
kau berharap ini memang benar."
Mary membanting pintu di belakangnya. Aku nyaris berkata,
"Jangan sampai pintunya menimpamu." Tapi untung saja
tidak jadi.
Itu terjadi empat puluh hari yang lalu.
Aku tidak menceritakan seluruh detail pertengkaran itu
kepada Kershaw—dia tidak perlu tahu. Lagi pula, rasa percayaku
terhadap hamba hukum kira-kira sama dengan terhadap
wiraniaga mobil bekas. Aku tahu dia bakal melabrakku
kalau sampai tahu kami sedang bertengkar saat Mary pergi.
"Kau benar," kataku kepada Kershaw sambil bangkit ber-
21
diri. "Kita memang sudah ribuan kali membicarakan hal ini,
dan tidak ada lagi yang bisa kusampaikan kepadamu." Aku
berbalik dan menghampiri Jim, ayah Mary, yang sedang berdiri
di depan mesin kopi di lorong rumah sakit.
"Oke," sahut Kershaw. "Aku yakin kita akan tahu apa yang
terjadi pada Mary waktu ia... seandainya ia bangun."
22
Jim membawakan secangkir kopi instan dari mesin untukku.
"Silakan," ujarnya lirih. Laki-laki ini bukan termasuk tipe
yang gampang menangis, tapi kedua matanya tampak kemerahan.
Aku menatapnya, tahu bahwa aku patut dipersalahkan atas
kejadian ini—atas semuanya.
"Jim... aku sangat menyesal...."
Jim mengangkat tangan, menghentikan kata-kataku.
"Jangan," sahutnya lembut. "Ini bukan salahmu. Lupakan
Kershaw dan semua omong kosong media selama beberapa
minggu terakhir ini. Tak ada yang bisa kaulakukan. Yakinkan
dirimu tentang hal ini. Linda dan aku memercayai hal ini.
Sungguh. Tak peduli apa pun yang telah terjadi di antara kau
dan Mary, kami tahu bukan salahmu kalau dia menghilang.
Juga bukan salahmu ia akhirnya berada di sini."
Suara Jim gemetar dan ia pun menoleh ke arah kamar
Mary.
"Aku baru berdoa dan berharap supaya Mary bisa membuka
matanya dan menceritakan kepada kita apa saja yang
telah terjadi selama empat puluh hari terakhir ini. Betapa aku
berharap dia bisa... mengatakan bahwa dia baik-baik saja."
Air mata mengalir membasahi wajahnya yang lebar dan
tegar itu.
23
Aku merasa pundakku disentuh, dan membuka mata, Dokter
yang menangani Mary sedang berlutut di depanku.
"Aku pasti telah tertidur" kataku grogi.
"Tidak apa-apa," ujarnya. "Tapi Mary sudah sadar, dan aku
tidak tahu berapa lama ia akan tetap sadar. Dia masih sangat
lemah, dan kami tidak tahu apakah dia akan...." Ia menggeleng.
"Dia menanyakanmu."
Aku mencoba melompat berdiri, tapi lupa bahwa tadi aku
berbaring di atas empat kursi ruang tunggu. Aku pun terjatuh
ke lantai dan mendarat di tulang ekorku.
Dokter itu membantuku bangkit berdiri dan berkata,
"Hati-hati. Kami lebih suka kau datang sebagai pengunjung
bukan pasien."
Aku mengenyahkan rasa kantukku, lalu berlari melintasi
lorong menuju kamar 410, tepat ketika Linda keluar dari situ.
Dengan perlahan ia menutup pintunya.
"Dia sudah sadar?" tanyaku tersengal-sengal.
" Ya," jawab Linda. "Dia bisa bicara, tapi masih sangat lemah
dan sulit dimengerti. Dia terus bergumam soal keajaiban, dan
menanyakanmu." Wajah Linda tampak pucat, dan kerut-kerut
halus di wajahnya tampak semakin jelas. "Bicaralah kepadanya....
Katakan kau mencintainya. Mungkin ini terakhir...."
Linda berdiri di ambang pintu sambil tersenyum sedih. "Katakan
saja kau mencintainya."
Kamar itu gelap dan hanya diterangi lampu kecil di atas kepala
Mary. Beberapa jam belakangan aku sudah memasuki
kamar itu berkali-kali, tapi masih harus berjuang keras membendung
air mataku ketika melihatnya tergolek di situ. Kepalanya
dibalut perban, kedua pipinya tampak gembung karena
terdorong penyangga leher. Kaki kanannya terbungkus gips
tebal dan digantung. Setengah lusin mesin berdesir dan berdecit
di sekelilingnya, membentuk paduan suara tanpa nada
yang menegakkan bulu roma. Napas Mary tersendat-sendat.
Nyaris setiap bagian kulitnya memar dan bengkak.
Aku benar-benar tidak mengerti. Dia sedang berdiri di jalan,
tinggi di atas gunung, pada saat truk itu menabraknya.
Apa yang dilakukannya di sana?
"Honey" bisikku sambil bersandar di pagar ranjangnya.
"Honey, ini aku...."
Tak ada reaksi.
Aku membelai pipinya. "Honey, please,.." Aku membendung
tangis. "Aku menyesal sekali."
24
Mary membuka mata.
"Hey, kau," bisiknya dengan bibir pecah-pecah. "Tidak apaapa."
Suaranya begitu lirih hingga aku nyaris tak bisa mendengarnya.
Aku tak mampu membendung kata-kataku lagi. "Mary,
maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku menyesal sekali.
Maafkan aku, Sayang."
Bibirnya tersenyum miring. Tatapan matanya yang jernih
membuatku terheran-heran.
"Semuanya akan baik-baik saja," katanya lembut. Seolaholah
akulah yang terbaring di ranjang, mendekati ajal.
"Mary, kau baru mendapat kecelakaan. Kau sedang di
rum...."
"Aku tahu. Tidak apa-apa."
Aku menatapnya dengan takjub.
la bicara dengan lirih dan perlahan. "Ada yang ingin kukatakan
kepadamu.... Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Apa pun," sahutku sambil berusaha mati-matian menahan
air mata. "Apa saja."
Mary menarik napas dalam-dalam. "Bowman's Park. Aku
mau kau ke sana untukku. Untukmu."
Aku menggeleng-geleng. Bowman's Park?
la menatapku dengan tajam. "Ya, Bowman's. Kau harus ke
sana."
Aku memutar otak. Bowman's adalah taman hiburan tua
di daerah pegunungan. Orang telah menutup tempat itu sejak
25
dua puluh tahun yang lalu, sesudah seorang bocah kecil—
saudara laki-laki Mary yang baru berusia delapan tahun—terjatuh
dari kincir ria hingga tewas.
Beberapa tahun setelah taman itu ditutup, beredar kabar
burung bahwa tempat itu angker. Kabar-kabar itu timbul tenggelam
tiap beberapa tahun sekali, seiring dengan tahun ajaran
baru di sekolah-sekolah lanjutan atas setempat. Namun, satu
setengah tahun yang lalu, pernyataan tanpa bukti itu mengalami
perubahan yang aneh, dan tiba-tiba saja tempat yang
tadinya dianggap angker itu berubah menjadi tempat yang
keramat. Sekelompok orang sinting mengatakan bahwa di atas
sana telah terjadi berbagai keajaiban. Stasiun-stasiun berita
setempat berlomba-lomba ke sana untuk meneliti kebenarannya,
tapi tentu saja, tanpa hasil. Tak seorang pun yang menyatakan
telah melihat sendiri semua keajaiban itu, bersedia
membicarakannya.
"Mary," kataku lembut, masih sambil menggeleng, "kau bukan
berada di Bowman's Park. Aku tahu di sanalah saudaramu
meninggal, tapi tempat itu sudah ditutup, ingat? Kau
berada cukup jauh dari situ, bahkan di balik gunung itu."
"Aku tahu.... Dengarkan aku," ujarnya semakin lemah. "Aku
benar-benar ke situ. Sekarang kaulah yang harus ke sana, atau
kau takkan mengerti. Ambil jaketku. Di sakunya ada amplop.
Jangan membukanya. Bawa amplop itu ke pintu gerbang taman.
Berikan amplop itu kepada saudaraku."
Air mataku nyaris tumpah. Mary jelas-jelas sedang mengigau.
Dia bahkan mengira saudaranya masih hidup. Bagaimana
26
mungkin percakapan terakhir kami di bumi bisa melantur
seperti ini? Dokter memang telah memperingatkanku bahwa
Mary diberi obat penenang yang cukup keras, dan besar kemungkinan
pikirannya akan melayang-layang di antara realitas
dan mimpi, tapi ini benar-benar gila. Aku membuang muka
supaya ia tidak perlu melihatku menangis.
"Tunggu," katanya dengan susah payah. "Pandang aku."
Aku menoleh dengan air mata bercucuran.
Ia menghela napas dalam-dalam sekali lagi. "Kau masih
ingat kabar angin itu? Tentang keajaiban yang terjadi di taman?"
"Ya."
"Itulah sebabnya aku ke sana—kita membutuhkan keajaiban...."
Bagaimana mungkin aku telah membiarkan hubungan kami
memburuk sedemikian rupa hingga ia mengandalkan upaya
yang sia-sia seperti ini?
Kedua matanya melebar. "Kabar-kabar angin itu ternyata
benar."
Ia terhenti sesaat. Wajahnya menegang dan matanya mengerjap-
ngerjap. Aku khawatir ia akan kehilangan kesadaran
kembali. "Keajaiban...." ulangnya. "Ambil amplop... pergilah...
cari tahu apa yang terjadi padaku... alami sendiri.... Pergi...."
Jari-jarinya yang lentik itu mencengkeram lenganku sekuat
tenaga, tapi nyaris tak terasa. "Berjanjilah padaku kau akan ke
sana... sekarang juga."
"Mary," tangisku dengan air mata bercucuran membasahi
27
wajah. Dadaku seakan mau pecah. "Honey, aku takkan meninggalkanmu."
Mary tersengal, seakan-akan hatinya tertusuk. Tangannya
terkulai jatuh ke kasur. "Kalau kau tidak pergi sekarang... kau
takkan pernah tahu apa yang terjadi...."
Ia terdiam dan memejamkan mata dengan rapat. "Berjanjilah
padaku kau akan pergi—begitu kau keluar dari kamar
ini.
Aku tetap menggeleng. "Aku takkan meninggalkanmu."
Tubuhnya menegang. Napasnya tersengal-sengal. "Pergilah...
sekarang?'
Aku tetap berdiri dengan diam sambil membelai tangannya,
karena tidak tahu lagi harus bicara apa. Air mataku menetes
di seprai rumah sakit. Setetes air mata jatuh di tangannya,
dan ia mengerutkan alis. Ia lalu menarik napas panjang dan
mengembuskannya kembali sambil mengerang lirih: "Berjanjilah,"
bisiknya dengan bibir gemetar.
Hanya itu. Aku tak punya pilihan—ini adalah permintaan
terakhirnya. Aku memejamkan mata dan mencari-cari katakata
yang paling tepat sebelum ia pergi untuk selamanya.
"Aku berjanji," kataku lirih. Masih memegang tangannya,
aku membungkuk dan mencium dahinya. Suaraku bergetar.
"Aku akan mencintaimu selamanya."
Bibirnya membentuk senyuman lemah saat berbisik, "Aku
mencintaimu."
Kemudian matanya terpejam dan ketegangan itu meninggalkan
wajahnya.
28
Apa maksudmu, kau mau pergi?" tanya Linda sambil menatapku
tak percaya. "Sekarang juga?"
"Ya," jawabku tersipu. Aku tidak tahu bagaimana harus
menjelaskan apa yang telah dikatakan Mary—atau apa yang
telah kujanjikan kepadanya.
Seorang perawat telah memberikan jaket Mary kepadaku—
jaket yang berlepotan darah kering. Linda dan Jim menatap
benda itu dengan ngeri sementara aku memegangnya dengan
gugup, tidak tahu harus berkata apa.
"Apa kau yakin harus pergi sekarang juga?" tanya Jim sambil
menatapku dengan prihatin.
"Aku, anu... sudah berjanji kepada Mary. Aku harus melakukan
sesuatu untuknya sekarang juga. Aku akan kembali beberapa
jam lagi. Aku tahu ini kedengaran gila, tapi aku sudah
berjanji kepadanya. Aku harus pergi." Aku tak bisa mengatakan
kepada mereka ke mana aku akan pergi. Bagaimana
mungkin aku menyampaikan kepada mereka bahwa aku akan
pergi ke Bowman's Park, tempat anak sulung mereka tewas?
Bibir Linda terbuka seolah hendak bicara, tapi keduanya
tidak berkata apa-apa. Aku terus meremas-remas jaket Mary
dengan gelisah.
Setelah detik-detik yang menegangkan, Jim akhirnya ber-
29
Deretan mesin itu pun berdecit dan berdesir dengan riuh
rendah.
kata, "Oke, Nak. Kalau Mary ingin kau melakukan sesuatu,
lakukan saja."
Linda tampak kaget. la menatap Jim, lalu mengalihkan pandangan
kepadaku kembali. Sambil menggeleng, ia berkata,
"Aku tidak paham. Maksudku, sekarang juga? Aku tidak mengerti...."
Jim langsung berbalik dan memeluknya. Ia menoleh padaku.
"Lakukan apa yang harus kaulakukan," katanya. "Kami
akan mengurus semua di sini. Apa kita akan berjumpa lagi di
rumah nanti?"
Aku mengangguk, lalu memeluk keduanya.
Saat membuka pintu keluar menuju tangga, aku mendengar
Linda menangis dan bertanya kepada Tuhan mengapa semua
ini harus terjadi.
Aku ingin kembali dan menjelaskan. Tapi tetap saja, aku
pun tidak mengerti.
Aku menyelinap keluar menuju bagian belakang rumah sakit
untuk menghindari kamera para wartawan.
30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar