Samsara Suatu Kelahiran Kembali
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt
�
(Bagian I)�������������
�
Bagaimana mungkin perkawinan inses dijadikan solusi di zaman sekarang, sekadar mencegah ada predikat perawan tua di dalam keluarga?�������������
�
Denpasar, 2004
�
Dering weker yang nyaring membuatnya -terpaksa- bangun. Masih dengan mata setengah tertutup, tangan Laksmi meraba-raba meja nakas di samping tempat tidurnya, pukul 05.30. Belum puas rasanya dia bergelung di bawah selimut hangat, saat udara malam masih menyisakan dingin. Tapi, pagi ini dia harus meliput pelebon (upacara pembakaran jenazah) almarhum bangsawan dari kerajaan Gianyar untuk artikel majalah Bali Frangipani, tempatnya bekerja. Tidak seorang wartawan pun akan melewatkan peristiwa besar itu. Laksmi melompat dari tempat tidur, menyambar handuk dan melangkah ringan menuju kamar mandi sambil bersenandung lagu Putri Cening Ayu, lagu yang dikenalnya semenjak kecil dan masih saja melekat dalam ingatannya.
�
Putri cening Ayu, ngijeng cening jumah
Meme luas malu, ka peken mabelanja
Apang ada daaran jumah.
(Putri yang ayu, diamlah di rumah
Ibu pergi dulu, ke pasar berbelanja
Supaya nanti ada yang kita makan)
�
Sederhana, tapi menjadi suatu kebiasaan untuk menyanyikannya tiap kali dia berangkat mandi. Waktu masih kanak-kanak, Biyang (Ibu) biasa meninabobokan dia dengan lagu itu. Suara lembut dan dekapan Biyang selalu terasa hangat dan damai, bahkan pada usianya yang hampir 28, Laksmi tidak pernah merasa malu untuk bermanja pada Biyang. Dia seolah bisa mencium wangi daun pandan dari minyak rambut yang biasa dipakai Biyang sehabis mandi. Aji (ayah) dan Biyang telah menetap di geriya (rumah) di Serongga, Gianyar - asal ayahnya - sejak pensiun dari pekerjaannya di pemerintahan.
�
Dua puluh menit kemudian -Laksmi selalu takjub pada gadis yang bisa menghabiskan satu jam lebih di depan cermin- dia turun ke dapur. Mengisi teko listrik dengan air keran dan menyiapkan sarapan. Tentu nikmat memulai calon hari yang melelahkan dengan sepotong croissant cokelat garing dan kopi susu. Menunggu air mendidih, Laksmi membuka seluruh jendela rumahnya, membiarkan udara segarkota Denpasar di pagi hari memenuhi paru-parunya. Dia lalu melangkah ke luar rumah, mengambil koran yang biasa tergeletak di halaman berumput. Tukang koran langganan Laksmi 'memberikan' koran dengan cara menggulung dan melempar koran ke halaman rumah pelanggannya. Tidak mau tahu malamnya hujan atau cerah. Pokoknya, sudah masuk wilayah rumah, titik. Karena malam tadi cerah, Laksmi tidak usah menambah dosa dengan mengumpati koran basah dan kotor yang tergenang kubangan sisa hujan.
�
Peluit teko terdengar nyaring, dia cepat-cepat masuk ke rumah, menuang kemasan kopi instan plus gula dan krim ke dalam cangkir, lalu mengambil piring croissant dari microwave. Dia melirik jam tangannya, pukul 07.15. Segera dilahapnya sarapan, hampir-hampir tidak merasakan makanannya. Hidupnya sudah terprogram. Pukul sekian kamu harus selesai mengerjakan ini, berikutnya kamu sudah harus tiba di situ. Tidak ada waktu untuk menikmati pagi yang, kata banyak orang, adalah saat paling tepat untuk mensyukuri karunia Tuhan. Matahari yang bersinar, pucuk daun yang menggayut diberati embun pagi. Ya, ya, ya, besok-besok saja. Kalau ada waktu. Laksmi mereguk sisa kopi di cangkir dan memeriksa peralatan dalam ransel kerjanya. Buku catatan, pulpen, tape recorder kecil, baterai cadangan, dan yang tidak boleh dilupakan� cokelat! Gula-gula berwarna pekat itu mampu mengembalikan energinya yang hilang, setelah hampir seharian keliling mencari berita. Saat melewati ruang tengah, dia masih sempat mengambil kacamata minus yang tadi malam dipakainya membaca novel John Grisam untuk menjemput kantuk.
�
obil mungil Laksmi terjebak macet di daerah Batuan. Padahal, Puri atau Istana Gianyar tujuannya, terletak di pusatkota Gianyar, kurang lebih sepuluh kilometer lagi dari sini. Jalan raya yang tidak bisa dibilang lebar penuh kendaraan. Baik roda empat maupun sepeda motor yang meliuk-liuk mencoba mencari celah untuk lolos. Makin menambah ruwet jalan dan memusingkan polisi yang bertugas. Klakson orang-orang yang tidak sabar menambah gerah udara dalam mobil Laksmi. Pendingin udara mobilnya mati, tapi tape masih berfungsi dengan baik dan sedang mengalunkan salah satu lagu Dewa, Sayap-sayap Patah.
�
Di depan tampak mobil yang penuh penumpang berpakaian adat. Cepaka emas yang dipakai para wanitanya tampak berkilauan terpantul sinar matahari. Perhiasan untuk rambut itu terbuat dari emas atau dari bahan metal yang disepuh warna emas, bentuknya diilhami dari bunga cempaka. Ditusukkan pada sanggul sebagai perhiasan. Penumpang prianya mengenakan destar, semacam penutup kepala terbuat dari kain songket hitam yang melambangkan warna berkabung dan dihiasi tenunan benang emas.
�
Laksmi melirik tas plastik di jok belakang. Tas itu berisi kamen (kain) dan slempot (selendang). Karena harus berlarian meliput berita dan mengejar momen bagus untuk dokumentasi, dia tidak bisa mengenakan kebaya, apalagi kain songket. Akan dikenakannya kamen, menutupi blue jeans-nya, nanti. Tidak usah ketat-ketat, asal sopan saja. Maafkan anakmu ini Ibu, pikirnya, geli sendiri. Teringat pada Ibu yang selalu mengajarnya berkebaya dengan rapi. Tapi, bagaimana? Ini tuntutan pekerjaan.
�
Akhirnya, sampai juga Laksmi dikota Gianyar. Dia memarkir mobilnya - mau tidak mau - hampir 400-an meter dari setra (kuburan) Gianyar yang menjadi lokasi upacara, karena sepanjang tepi jalan telah dipenuhi kendaraan. Cepat-cepat dikenakannya kamen dan slempot. Lalu membawa tas ransel di punggungnya dan kamera di tangan kanan. Thanks to Yan De, pikirnya kecut. Gara-gara fotografer redaksinya itu berhalangan hadir - istrinya melahirkan kemarin - dia harus menyediakan tenaga ekstra untuk memotret prosesi upacara sendirian. Nasib, tidak ada sharing partner, katanya dalam hati, sambil menyeberangi jalan yang hiruk pikuk oleh klakson, derum mobil, dan suara manusia. Mereka datang dari berbagai kalangan, pejabat tinggi pemerintahan, duta besar negara sahabat, keluarga puri, dan juga masyarakat sekitar, baik yang diundang maupun yang tidak diundang.
�
Melihat pecalang (penjaga keamanan tradisionalBali ) dengan pakaian yang berwarna gelap dan saput (kain penutup yang dililitkan di atas kamen) bercorak papan catur hitam-merahnya, mondar-mandir menjaga keamanan, Laksmi bersyukur telah membawa undangan yang memang dikirim untuk redaksinya. Tidak jarang, para pecalang itu mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan, bila mereka terlalu dekat dengan lokasi upacara. Seorang pecalang menoleh kepadanya. Laksmi tersenyum, menunjuk identity card yang dia kalungkan di lehernya. Dia sudah terbiasa menghadapi pandangan curiga dan gusar seperti itu. Pria berwajah sangar itu mengangguk, membiarkannya lewat.
�
Laksmi harus rela berdesak-desakan dengan kerumunan orang-orang yang memenuhi tempat upacara sebelum dia bisa menahan napas kagum melihat pemandangan itu. Mahakarya seniman dari Singapadu. Naga Banda (tempat jenazah) itu berdiri dengan gagah, megah, namun juga anggun, di tempat upacara, sebelah barat puri. Naga yang konon adalah binatang alam dewa yang juga merupakan kendaraan bagi roh sang raja menuju surga itu dibuat dari kayu, berlapis kain beludru dan bahkan sutra berwarna hijau, merah, dan dihiasi dengan ukiran-ukiran karya tangan dingin para senimanBali . Sisik-sisik naga, mahkota, ujung ekornya yang melengkung, serta banyak ukiran lainnya diprada dengan bubuk emas. Matanya begitu hidup, Laksmi seolah bisa merasakan panasnya lidah api yang menjulur dari mulutnya.
�
Menurut seseorang yang tinggal di sekitar wilayah puri, hampir seratus orang diperlukan untuk mengusung Naga Banda ke tempat upacara. Gamelan mulai ditabuh, tanda prosesi segera dimulai. Mata Laksmi berkeliaran, sebentar lagi tempat ini akan penuh oleh orang-orang. Dia harus mencari tempat strategis untuk memotret objek. Pohon nangka yang tumbuh di pinggir lingkungan upacara tertangkap matanya, cukup tinggi dengan dahan kokoh yang memungkinkan untuk dipijak. Tanpa pikir panjang, dia segera menyingsingkan kamen sehingga warna biru celana jeans-nya terlihat jelas. Beberapa orang yang kebetulan melihat adegan langka itu mulai berbisik-bisik, tapi perjuangan harus jalan terus. Laksmi tidak peduli, sebentar saja dia sudah ada di atas pohon nangka. Posisinya tidak bisa dibilang enak, sebelah tangannya memeluk batang pohon, sedangkan tangan kanannya menggenggam kamera digital. Kakinya yang dibalut sepatu kets harus hati-hati berpijak, kalau tidak mau terpeleset oleh kulit pohon yang licin.
�
Dia mulai memotret dan hanya bisa mengambil objek dari satu sudut. Tapi, daripada tidak satu pun dokumentasi yang bisa dicetak majalahnya untuk terbitan minggu depan. Pedanda, pendeta yang memimpin upacara, telah duduk di atas pemiosan (semacam tempat khusus untuk pendeta yang akan memimpin upacara) dengan mengenakan pakaian sucinya yang berwarna putih, lengkap dengan genitri (tasbih) yang terbuat kayu cendana, ketu (mahkota), dan bajra (sarana berbentuk lonceng). Keluarga puri dan masyarakat sekitar bersiap-siap muspa, berdoa kepada Ida Hyang Widhi memohon diberikan jalan bagi roh yang meninggal. Wangi asap dupa cendana, menyaput lingkungan setra. Denting bajra yang dibunyikan oleh Pedanda seolah menambah suasana magis yang tercipta.
�
Denting itu menembus telinga Laksmi, merasuk begitu damai ke dalam sanubarinya. Sesaji yang terbuat dari janur yang dibentuk sedemikian indah dan dihiasi berbagai macam bunga ditata pada beberapa buah meja panjang beralas tikar pandan. Sesaji bukanlah terbatas maknanya pada janur dan bunga, melainkan suatu persembahan nyata akan pengabdian masyarakatBali pada kebudayaan dan tradisinya. Sebelum hari H upacara pelebon ini, masyarakat biasanya berbondong-bondong ngayah (bergotong-royong) ke puri. Biasanya, yang wanita membantu membuat banten (sesaji) dan yang pria mengambil pekerjaan berat, seperti membuat bade (tempat untuk mengusung jenazah) atau memasang taring (atap yang terbuat dari anyaman janur).
�
Usai muspa, beberapa orang sepuh yang mengenakan pakaian dan kain putih memercikkan tirta (air suci), setelah itu bija (beras yang telah direndam dengan air cendana) dibagikan. Laksmi memotret upacara itu kurang lebih sepuluh foto. Dia menunggu upacara puncak, pelebonan atau pembakaran jenazah Sang Raja yang telah diletakkan ke dalam tubuh Naga Banda.
�
Seorang pedanda mendekat ke arah Naga Banda dengan langkahnya yang tenang, tapi jelas tampak berwibawa. Sorot matanya teduh, jenggotnya yang panjang putih menggantung sampai di dada. Sang Pedanda menggenggam busur dan sebuah anak panah yang akan dipakai memanah Naga Banda. Beliau tiba di hadapan Naga Banda dan mulai merentangkan tali busurnya. Secara simbolis, beliau memanah terlebih dahulu keempat penjuru mata angin: utara, selatan, timur, dan barat.
�
Laksmi menahan napas saat panah itu meluncur dan menusuk ular besar yang dipercaya oleh masyarakatBali hanya ada di dunia para dewa. Menurut legenda, pada masa silam, Raja Klungkung, Dewa Made Agung, telah ditolong oleh seorang pedanda dari belitan ular besar yang hendak membunuh raja itu. Sang Pedanda Agung kemudian memanah ular besar itu dengan panah saktinya. Maka, untuk menghormati kejadian tersebut, setiap kali seorang raja yang wafat dikremasi, selalu pula seorang pedanda diminta kesediaannya untuk melakukan upacara memanah Naga Banda. Tambahan materi untuk tulisan yang tidak boleh dilupakan, Laksmi mencatat dalam hati.
�
Kedua tangannya masih sibuk, nanti saja dia mencatat dalam buku kecilnya, kalau sudah turun dari pohon yangmalang ini. Menjelang sore hari, ketika salah satu upacara manusa yadnya (upacara untuk manusia) itu baru usai. Sisa-sisa asap pembakaran masih membubung di udara dan serpihan-serpihan hangus melayang ke sana-kemari tertiup angin. Orang-orang mulai bubar, seperti semut yang terusir saat merubung gula yang tercecer.
�
Laksmi duduk menggelosor di bawah kerindangan pohon nangka yang tadi dipanjatnya. Dia merasa kakinya bukan main pegal, apalagi tangannya. Thomas harus mentraktirnya tiramisu di Waroeng Batavia - rumah makan di Kerobokan itu - bila tulisannya sudah dimuat. Pimpinan redaksi majalah berbahasa Inggris tempatnya bekerja itu baik, tapi sangat tegas. Dia bisa berteriak-teriak seperti orang gila di pasar apabila para penulisnya pura-pura lupa pada tenggat. Tapi, berbalik semanis domba bila penjualan majalah dengan segmen pelancong mancanegara itu meningkat.
�
Tangan Laksmi merogoh tas ranselnya, mencari cokelat batang yang hendak dipakainya untuk mengganjal perut. Mau makan siang yang telah tertunda tiga jam, sepertinya tidak sempat. Upacara akan dilanjutkan dengan membuang abu jenazah ke Pantai Lebih, pantai terdekat dari Puri Gianyar.
�
Sambil mulut sibuk mengunyah-ngunyah, Laksmi mencatat hal-hal penting yang nanti, setibanya di Denpasar, akan dituangkan ke dalam artikelnya. Dia tidak menyadari pandangan heran orang-orang yang kebetulan melihatnya. Seharusnya, gadis semanis itu bekerja menjadi pegawai bank atau sekretaris saja, daripada harus didera panas dan debu seperti siang ini. Kalau saja Laksmi mendengar kata batin mereka, pasti dia menjawab yakin, "Saya mencintai pekerjaan ini, dan itu membuat saya senang." Kesenangannya traveling dan bakatnya menulis memang cocok. Bakat dari kakeknya yang semasa muda adalah sastrawan, menurun pada Laksmi.
�
�
atahari hampir beristirahat di peraduannya, saat Laksmi tiba dengan terseok-seok di kantornya.
"Salut, Ami. �a va?" (Halo, Ami. Apa kabar?)
�
Thomas muncul dari balik pintu kerjanya. Kacamatanya melorot, bertengger di ujung hidung mancungnya. Mata birunya - yang mengingatkan Laksmi pada seseorang - menatap iba pada sosok Laksmi yang kelelahan. Tapi, Laksmi menerjemahkan pertanyaan pria dengan rambut yang sudah beruban seluruhnya itu sebagai, "Bagaimana liputanmu?"
�
"Dari awal sampai akhir. Asal Anda tahu saja, saya mengikuti prosesi upacara sampai di laut."
�
"�a alors! � pied?" (Masa! Jalan kaki?)
�
Mata tua Thomas menyelidik. Dia sudah menganggap Laksmi sebagai anaknya sendiri. Kasihan juga kalau gadis selangsing ini harus jalan kaki jauh-jauh.
�
"Tidak juga. Saya ikut rombongan orang-orang naik truk."
�
Gadis berusia 28 tahun itu menjawab sambil menaikkan tali ranselnya yang melorot. Asyik juga di atas truk tadi, berdiri dengan satu tangan mencengkeram pinggiran truk. Rambutnya yang ikal dipermainkan angin.Ada kesenangan tersendiri di hati Laksmi. Dia merasa gagah berangkat meliput ke pantai dengan iringan gamelan yang terus dimainkan orang-orang yang naik truk lain di belakang mereka. Perasaan itu tergambar jelas di wajah Laksmi. Dia jelas lelah, tapi matanya berbinar.
�
Thomas tersenyum dan mengundang Laksmi makan malam di rumahnya besok. Hidangannya? Sup ikan pedas ala Ibu Putu alias Nyonya Thomas. Laksmi mengangguk cepat. Itu lebih lezat dari tiramisu! Laksmi melirik jam tangannya, pukul 19.30, dia harus singgah ke pasar swalayan sebelum pulang nanti. Isi kulkasnya hanya tersisa sebotol jus apel dan beberapa butir telur.
�
"Adieu, Thomas. A demain, l'heure tourne." (Selamat tinggal, Thomas. Sampai jumpa besok)
�
"Adieu, Ami. Faire attention." (Selamat tinggal, Ami. Hati-hati)
�
Thomas berbalik menuju kursi kerja kesayangannya. Dia sudah tiga puluh tahun menetap di Bali, mencintaiBali dengan sepenuh hatinya - seperti dia mencintai istrinya, Putu Sasih - dan tidak pernah berniat untuk meninggalkannya. Dia menganggap dirinya adalah bagian dari pulau surga ini dan lebih Bali daripada orangBali sendiri. Merasa sedih, menyadari tunas-tunas muda masyarakatBali mulai enggan melestarikan kebudayaannya. Saat dia baru tiba diBali , dia selalu melihat para wanita bersembahyang ke merajan dengan memakai kamen dan kebaya. Sekarang, dengan sedih dia harus menyaksikan para gadis muda masuk tempat beribadahnya itu dengan kaus dan celana pendek! Thomas menggelengkan kepala, ingatannya melayang pada No�l, putranya.
�
Setelah menamatkan pendidikan arsitekturnya diLondon , No�l memutuskan untuk bekerja dan menetap di Melbourne. Anak semata wayangnya itu tampak aneh - menurut Thomas - dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tumbuh hingga ke bahu dan selalu dikucir. Tapi, bila orang menatap mata birunya yang teduh, mereka akan segera tahu No�l adalah pribadi yang hangat. Sebelum No�l keLondon , mereka bertiga biasa bersantap dan berbincang di ruang makan. Thomas, Putu Sasih, dan 'Si Londo' - begitu tetangga mereka menjuluki No�l - sangat menikmati saat-saat itu. Dan, menjadi semacam kehilangan bagi Thomas bila saat makan tanpa sengaja dia menoleh ke kursi No�l yang kosong. Di usianya yang ke-43, sudah lewat kepala empat, No�l masih betah melajang. Belum ada yang cocok, begitu kilahnya selalu, bila ditanya ibunya.
�
"Mungkin ini terdengar weird (aneh). Tapi, kalau bisa saya ingin menikah sekali seumur hidup, Bu." Thomas sendiri pura-pura tidak peduli pada urusan pribadi No�l, walau dia sering bertanya diam-diam kepada istrinya. Pria itu menggeleng prihatin. Kalau saja No�l mau merapikan penampilannya yang sedikit urakan itu, mungkin akan bertambah satu kursi lagi di ruang makan bagi menantu mereka.
�
Mata Laksmi terus melihat ke spion samping, dengan hati-hati memarkir mobilnya. Tempat parkir pasar swalayan yang disinggahinya hampir penuh. Laksmi beruntung, saat dia tiba, sebuah mobil sedan beranjak pergi. Dia tidak akan berbelanja di tempat seramai ini kalau tidak terpaksa. Persediaan sabun dan pasta giginya sudah menipis. Seraya mendorong kereta belanjanya, Laksmi mengambil barang-barang kebutuhannya, roti tawar, selai kacang, sampo mobil, dan� perangkap tikus. Dia harus menyingkirkan sendiri tikus-tikus yang sering melenggang kangkung di rumahnya. Tidak ada seorang pahlawan yang bisa mendengar rengekannya, "Adatikus di rumahku. Tolong urus dia!"
�
Kasir yang duduk di belakang mesin itu menghitung belanjaan Laksmi dengan cermat, secermat alis yang dilukisnya dengan lengkungan sempurna. Wus, dia sudah membelanjakan hampir separuh gajinya. Kalau terus-terusan seperti ini, bisa-bisa seminggu terakhir sebelum gajian dia cuma makan mi instan. Setelah lulus dari fakultas komunikasi dua tahun lalu, Laksmi memutuskan untuk mandiri. Walau rumah yang ditempatinya dikota Denpasar ini adalah milik ayahnya, semua tagihan seperti listrik dan air, dia yang mengurus. Dia bangga karena sudah mampu menghidupi dirinya sendiri. Setelah menerima kembalian berupa permen -Laksmi terkadang berpikir, apakah pasar swalayan ini mau menerima pembayaran dengan permen?- dia membawa belanjaannya ke mobil. Pandangan matanya tertumbuk pada sepasang kekasih yang sibuk memasukkan belanjaan mereka ke dalam bagasi mobil. Mereka tampak begitu serasi dan� bahagia.
�
Bayangan para pria yang pernah mengisi relung hatinya, berkelebat. Berkali-kali Laksmi mencoba menjalin hubungan serius. Berkali-kali pula kandas. Tidak cocok. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal, karena dia tidak ingin dikatakan terlalu pemilih. Selalu saja Laksmi menemukan hal yang menimbulkan keraguannya dalam meneruskan setiap hubungan.
�
Mantan pacar yang ternyata kehilangan arah, yang tidak mempunyai tujuan jelas untuk masa depannya. Atau, si pencuriga yang melarangnya bergaul dengan teman-teman sekantornya. Lebih parah lagi, ibunya pernah menyarankan Laksmi untuk menjalin hubungan dengan Gus Bim, sepupunya sendiri. Anak dari adik ayah Laksmi. Gila dan menjengkelkan. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin di zaman menjelang milenium ketiga ini, perkawinan inses masih tebersit sebagai suatu solusi untuk mencegah predikat bajang tua atau perawan tua.
�
Dia memang membutuhkan pasangan hidup, sesuai kodrat alam hubungan pria dan wanita. Dan juga, karena Tuhan telah menciptakan Hawa dari rusuk Adam. Mungkin juga Laksmi tercipta dari rusuk seseorang. Tapi, masalahnya, dia belum juga bertemu pria pemilik rusuk itu. Minggu lalu, Artini - sahabat Laksmi - mengutarakan 'harapannya tentang pria' di sebuah kafe saat mereka bertemu untuk ngobrol.
�
�
�
Cerita lalu:
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian I)
�
�
ku ingin pria yang bertanggung jawab."
Tentu. Semua wanita ingin pria bertanggung jawab. Tapi, sesederhana itukah? Bertanggung jawab pada apa?
�
"Diri sendiri. Itu penting. Bagaimana dia bertanggung jawab pada istri dan anaknya, jika tak bisa mengurus diri sendiri?"
�
Sesulit itu. Pantas, hingga kini, Artini belum pernah menjalin hubungan serius dengan seseorang. Ia melajang karena terlalu sibuk mengelola galeri seni Tidak berbeda dariku, pikir Laksmi.
�
Jauh di dalam lubuk hatinya, dia merindukan seseorang. Saat-saat sedang tidak mengejar berita hangat atau diteriaki oleh Thomas soal tenggat, sosok seorang pria tergambar dalam benaknya.
�
No�l. Pria itu selalu meletupkan gairah tertahan di hati Laksmi. Setiap kali pulang kampung keBali , putra tunggal pimpinannya di kantor itu tidak pernah absen memintanya menemani jalan-jalan. Ke museumkota , pasar seni Sukawati, atau mencari mebel yang bagus tapi murah di Tegalalang dekat Ubud. Sebagai arsitek, No�l sering diminta mengisi interior rumah rancangannya oleh para klien.
�
Ah, No�l. Orang tuanya akan berceramah panjang-lebar tentang kasta dan martabat keluarga, bila dia menjalin hubungan serius dengan pria berdarah campuran itu. Brahmana seharusnya menikah dengan Brahmana. Ida Bagus dengan Ida Ayu. Begitu. Sehingga, sampai akhir hayatmu kau tetap berhak mencantumkan Ida Ayu di depan namamu, sebagai lambang keturunan Brahmana, kasta tertinggi diBali . Tapi, kalau kau menikah dengan bukan Brahmana, apa boleh buat, hanyutlah Ida Ayu-mu. Cukup Laksmi Prawesti. Belum lagi keluarga besar di Geriya Serongga yang pasti akan menentang mati-matian, bila salah satu klan-nya melenceng, melawan arus. Terlalu banyak tekanan yang harus dihadapi. Laksmi merasa belum siap menentang aturan keluarga besar di Geriya Gede (rumah asal leluhur). Belum.
�
"Lagi ngapain?"
�
Suara Artini terdengar di seberang telepon. Laksmi baru menghabiskan sepiring nasi hangat, gulai pakis, dan ikan balado pedas.
�
Apa yang diharapkan sahabatnya ini? Dia sedang mencoba gaun sutra untuk menyambut sang pangeran impian?
�
"Nonton, yuk?"
�
Uh, dia paling malas ke bioskop, apalagi malam Minggu . Yang ada hanya ABG. Jadi tambah minder saja. "Film apa?"
�
"The Lord of the Rings."
�
Sekuel ketiganya baru saja diputar. Penonton pasti membeludak. Tapi, bosan juga di rumah.
�
"Boleh. Jam berapa kamu akan menjemput?"
�
"Jemput? Kita menonton DVD-nya saja. Malam Minggu bioskop ramai, Non. Tunggu, ya. Satu jam lagi aku sampai."
�
Kurang dari satu jam, Artini tiba di halaman rumah Laksmi. Dia membawa pempekPalembang dan DVD yang dia janjikan. Sebagai tuan rumah yang baik, Laksmi membuat satu teko besar sirop jeruk ditambah potongan es batu. Mereka menonton film hingga setengah cerita karena sambil asyik membicarakan hal lain.
�
"Pernah nggak kamu ingin mengakhiri kesendirianmu?"
�
Mata Artini tertuju pada layar televisi.
�
"Sering," Laksmi menjawab jujur. Dia tidak balik bertanya karena tahu Artini merasakan hal yang sama.
�
"Apakah kita terlalu menuntut, Ami?"
�
"Enggak juga."
�
Laksmi mengganti posisi tidur-tidurannya. Ditariknya sebuah bantal besar berbentuk kura-kura dan menumpukan sikunya di situ. Kepalanya bersandar pada telapak tangan kanannya, menunggu 'serangan' dari Artini.
�
"Semua teman kita sudah menimang bayi. Malah, ada yang anaknya sudah masuk play group. Kita? Jangankan menikah, kencan saja gagal terus."
�
"Adayang belum. Dharma." Tapi, sepertinya bukan dia yang dimaksud Artini sebagai 'teman-teman kita'.
�
"Ah, diakan pria�."
�
Betul, 'kan. Sejak semula dia mengerti arah pembicaraan ini.
�
"Maksudmu, pria bisa membujang selama mereka suka dan kenapa kita tidak?"
�
"Akhirnya, otakmu terbuka juga. Kalau perempuan masih sendiri sampai usia 27 tahun, ada saja komentar dari orang-orang. Tidak laku, terlalu pemilih, atau pernah patah hati."
�
"Kamu tahu sebabnya, Ar? Karena, kita wanita."
�
"Diskriminasi gender. Tidak ada jawaban yang lebih menyenangkan?"
�
Walau kaum pria metroseksual mulai berani menampakkan batang hidungnya di Denpasar, sepertinya sulit juga mengganti predikat: wanita sulit jodoh menjadi wanita mandiri.
�
"Orang-orang itu mencemaskan sistem reproduksi kita."
�
Gila gadis ini. Jawabannya sangat to the point, tapi terdengar menyebalkan di telinga Laksmi.
�
"Pernah dengar, wanita di usia 30 tahun ke atas adalah usia yang rawan untuk kehamilan?"
�
Itu inti semuanya. Semua berpulang pada kelebihan-kelebihan yang telah dikaruniakan Tuhan pada kaum wanita. Mereka dikodratkan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tapi, saat ini Laksmi dan Artini merasa kelebihan-kelebihan itu berbalik menjadi beban yang harus dihadapi. Mereka terdiam, asyik dengan pikiran masing-masing.
�
Laksmi bangkit menuju rak stereo-nya dan mengambil satu VCD kompilasi lagu-lagu. Dancing Queen dari ABBA mulai mengentak, menyusul irama ceria Celebration. Saat lagu Can't Take My Eyes off You mengalun, Artini tidak dapat menahan lidahnya.
�
"VCD-mu keren."
�
Kalimat pancingan. Laksmi tahu, Artini bersorak dalam hati.
�
"Itu pemberian. Hadiah 'everyday is a celebration' dari No�l."
�
Wow. No�l memang selalu memberikan sesuatu kapan pun dia ingin untuk menunjukkan perhatiannya pada Laksmi. Dari lagu-lagu yang terdengar, sepertinya No�l memahami betul jenis musik yang disukai Laksmi. Artini terkesan.
�
"No�l merekamnya sendiri untukku, di sela-sela kesibukannya bekerja." Artini makin terkesan.
�
"Pria itu jelas-jelas menaruh hati padamu, Ami. Tentu kau tidak sebodoh itu jika tidak menyadarinya."
�
Tentu saja tidak. Bahkan, walau hanya lewat tatapan mata, aku telah menyadarinya. Tapi, beranikah aku menentukan pilihanku. Hidupku masih sangat terikat oleh aturan adat istiadat yang kuat. Laksmi termangu.
�
"Well, Ami. I hate to say this: terkadang, kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan."
�
Suara Artini menggema dalam gendang telinga Laksmi.
�
Pohon cempaka yang ditanam almarhum Kakiyang (kakek) di depan geriya - rumah asal mereka di Serongga - sedang berbunga. Menebarkan keharuman yang lembut. Berkali-kali Artini mengenduskan hidung bangirnya ke udara. Dikota , mana mungkin dia mendapatkan udara sesegar dan sewangi ini?
�
Laksmi mematikan tape dan memutar kunci mobilnya. Dia menatap kori (gerbang) Geriya Gede yang menjulang gagah, berukir khas Gianyar. Rumit. Lumut dan tumbuhan pakis tumbuh di sana-sini. Namun, tidak mengurangi karisma yang terpancar, sekaligus juga keangkuhannya. Geriya Gede yang didirikan leluhurnya ini berusia ratusan tahun. Di dalamnya terdapat beberapa rumah orang-orang yang masih memiliki pertalian darah.
�
Ibu menyambut putri bungsunya, menanyakan ini-itu dan mencoba menenangkan diri kalau Laksmi belum juga membawa pria istimewa ke rumah ini. Alasan terakhir yang diberikannya sewaktu ibunya menuntut dibawakan seorang calon menantu, "Saya belum menemukan pria yang mau berbagi pekerjaan rumah tangga." Ibu tercengang ketika itu.
�
Wanita berwajah anggun itu menginginkan putrinya mempertahankan darah Brahmana yang mengalir dalam tubuhnya. Ibunya sangat berharap Laksmi kelak menikah dengan pria Brahmana. Sistem patrilineal di Bali mengharuskan wanita mengikuti kasta suaminya setelah menikah. Sang ibu mencermati pengaruh hidupkota besar yang menurutnya terlalu kanggo keneh (sesuka hati).
�
Putrinya tumbuh menjadi wanita dewasa. Mandiri.Hidup dengan cara dan gayanya sendiri.
�
Saat ibunya menyarankan agar Laksmi tidak terlalu cerewet memilih pasangan hidup, ia berkilah, "Kalau saya bisa mengganti ban mobil, kenapa pria tidak sudi melepas egonya dan memasak makan malam? Dia boleh menonton bola, sambil minum bir bersama temannya, mengapa saya tidak boleh ke kafe melepas jenuh bersama teman-teman saya?" Ibunya hanya mengurut dada. Sejak itu percakapan tentang 'suami' tidak pernah lagi mereka singgung.
�
Setelah menunjukkan kamar untuk Artini, Laksmi menemui ayahnya yang sedang membaca lontar (daun lontar bertuliskan huruf-hurufBali ) di gedong dangin, tempat menyimpan benda-benda suci warisan keluarga. Enam bulan terakhir ini beliau mengabdikan diri mempelajari hal-hal keagamaan. Karena kakeknya dulu adalah seorang pedanda, sebagai anak tertua, ayahnya wajib menggantikan posisi beliau. Rambut beruban Ayah dibiarkan memanjang. Karena, kelak bila menjadi pedanda, rambut itu akan dikerucut di atas kepala. Ayah mengangkat kepalanya dari tulisanBali kuno yang tengah diresapinya, mendapati wajah Laksmi yang dihiasi senyum. Berapa umur anak bungsunya kini? Laksmi selalu terlihat sebagai gadis cilik berusia 10 tahun di mata ajinya.
�
"Pidan teka, Ning?" (Kapan datang, Nak?)
�
"Wawu. Tiyang sareng timpal. Aji punapi, kenak kemanten?" (Baru saja. Saya bersama teman. Ayah bagaimana kabarnya, baik-baik saja?)
�
Sikap keduanya tampak canggung. Hubungan ayah-anak di antara mereka memang tidak pernah erat. Dia dan kedua kakak laki-lakinya lebih dekat dengan biyang mereka. Ibu yang penuh kasih-sayang, lembut, dan tak pernah menunjukkan sikap melawan pada sikap Ayah yang otoriter. Biyang selalu membenarkan pendapat Aji. Salah sekalipun. Melakukan semua yang diinginkan ayahnya. Untuk Aji. Menurut Aji. Kata-kata itu acap didengarnya, juga oleh Bligus (abang) Mayun dan Bligus Oka.
�
Sikap otoriter Aji mulai terasa mengekang saat mereka memiliki prinsip dan pendirian. Karena itu, kakak-kakaknya memutuskan bekerja dan menetap di luarBali . Menghindari nyala-nyala api yang mudah tersulut bila berdekatan dengan Aji. Biyang tetap menjadi boneka manis Aji. Laksmi berpikir, ia tidak akan pernah bisa menjadi wanita sesabar dan setabah ibunya. Ayahnya tidak memedulikan urusan keluarga dan anak-anak. Kewajiban kepala keluarga adalah mencari nafkah. That's all.
�
Laksmi selalu merindukan kasih sayang seorang ayah. Andai saja Laksmi tahu, jauh dalam lubuk hatinya, ayah Laksmi pun merasakan hal yang sama.
�
Anak-anaknya selalu diselimuti rasa segan, bila berdekatan dengannya. Bahkan, hanya untuk mengobrol sekalipun. Itu membuat kebanggaan sebagai mantan pejabat penting yang sukses berubah menjadi seorang ayah yang gagal. Seperti ada tirai pembatas. Dia merindukan kasih-sayang anak-anaknya. Sayang, mereka menganggapnya sebagai ayah yang tak tersentuh dan tak pernah bisa dimengerti. Kesendirian itu makin terasa akhir-akhir ini. Saat orang-orang, yang mengaku teman dan saudara sewaktu ia masih menjadi pejabat penting di pemerintahan, mulai menjauh.
�
Lewat tengah hari Laksmi dan Artini duduk menghadap meja makan yang sarat makanan khas 'kampungBali '. Perut mereka keroncongan karena berangkat tanpa sarapan. Seperti biasa, Biyang selalu menyediakan lauk dan sayur dalam piring tersendiri untuk Aji. Tidak pernah sekali pun Biyang menghidangkan carikan (sisa) untuk Aji. Selalu yang sukla (baru). Itu menandakan, di Bali seorang ayah mempunyai kedudukan tertinggi sebagai kepala keluarga. Wajib diutamakan dan dihormati.
�
"Pulangnya, kita singgah di Peliatan, ya?" ajak Artini, sambil menusukkan biting pada potongan janurnya. Usai makan siang, mereka membantu membuat canang sari (sesajen berisi bunga yang harum) untuk banten setiap hari. "Sebentar saja. Aku harus mengecek beberapa barang untuk dijual di galeri.
�
Nanti aku traktir calamari di Lotus, deh." Artini terus merayu.
�
Laksmi mencibir. Masih lebih enak masakan buatan Biyang. Diangkatnya canang sari yang sudah dihiasi bunga warna-warni itu: kenanga, teratai, kemboja, dan irisan tipis daun pandan.
�
"Tidak usah mentraktir. Kuantarkan."
�
Artini tersenyum lega.
�
"Belikan bensin saja mobilku," sambung Laksmi. Senyum Artini menghilang. Pikirnya, hanya dia yang suka perhitungan.
�
Menjelang sore mereka tiba di rumah Pak Agung, salah satu penyedia barang-barang kerajinan. Rumahnya berarsitekturBali dan dilengkapi taman asri. Laksmi langsung jatuh cinta pada mangga madu yang tumbuh di samping kolam teratai. Buahnya lebat sampai dahannya tertunduk-tunduk. Beda betul dari pohon mangga di rumahnya yang malu-malu kucing.
�
"Wah, Ibu Artini rupanya," Pak Agung menyapa ramah.
�
Saat matanya menangkap sosok Laksmi, dia tercekat, namun cepat mengulas senyum ramah. Setelah berbasa-basi sebentar, Artini segera memilih barang-barang kerajinan yang hendak dipajangnya di galeri. Tampaknya, dia tertarik pada lukisan Kamasan yang menceritakan saat Kala Rahu mencaplok Dewi Ratih, sang dewi bulan, patung wanita bertubuh meliuk yang hanya ditutupi sehelai selendang.
�
Pak Agung menyuruh anaknya mengepak barang-barang yang sudah dipilih. Mereka menunggu di teras, sambil menikmati kopiBali yang baru saja ditumbuk dan sepiring pisang goreng hangat. Laksmi memilih menyingkir ke ruangan tempat Artini memilih barang-barang kerajinan tadi. Anak Pak Agung menoleh. Dia tersenyum. Ramah. Tidak sesuai dengan lengannya yang dipenuhi tato seorang wanita berbadan ular naga.
�
"Mau lihat-lihat?"
�
"Ya. Sambil menunggu."
�
Dalam sebuah lemari kaca dipajang songket-songket dari sulaman benang emas yang sangat artistik. Laksmi menduga, itu adalah songket antik ratusan tahun silam.
�
"Ini dijual juga?" tanyanya.
�
"Ya, kalau harganya cocok."
�
Laksmi mengangkat bahu, menjawab dalam hati. Inikan warisan kebudayaanBali . Masa akan dijual sembarangan dan jadi koleksi orang-orang asing. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Begitukan seharusnya? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya. Tapi, kalau dipikir-pikir, kebudayaanBali juga sudah dihargai. Dihargai dengan uang.
�
Di sebuah meja kayu bundar, dia melihat semacam kotak perhiasan berwarna cokelat kehitaman, terbuat dari kayu jati. "Ini apa?" tanyanya penasaran.
�
"Cepaka emas kuno. Tusuk sanggul berbentuk cempaka."
�
"Dijual?"
�
"Beberapa kali. Tapi, selalu kembali lagi ke sini."
�
"Kenapa?"
�
Dibukanya kotak itu. Perhiasan itu seolah menggeliat bangun dari tidur panjangnya. Kelopak-kelopak yang terbuat dari lempengan emas memantulkan sinar keemasan. Begitu indah dan anggun. Laksmi terpesona. Aura yang menyelimuti cepaka emas itu seolah menyedot perhatian pancaindranya.
�
"Mereka diganggu suara-suara aneh tiap malam. Seperti suara gamelan. Katanya, sejak mereka membeli perhiasan itu. Saya pikir, bunga itu mengandung kekuatan supranatural."
�
"Jadi, dikembalikan lagi? Oleh orang-orang yang berbeda?"
�
Kelopak bunga cepaka emas itu bagaikan magnet yang menarik jari-jemari Laksmi. Dia mengulurkan tangannya, mengusap lembut. Hatinya bergetar. Dia seolah pernah menyentuh cepaka emas itu sebelumnya. Merasa sangat dekat dengan benda itu.
Suara anak Pak Agung melepas jeratan pesona cepaka emas itu pada Laksmi. Gugup, Laksmi menutup kotak kayu itu, cepat beranjak ke teras.
�
Laksmi termangu di depan mobilnya, yang disesaki benda-benda seni pesanan Artini. Sesuatu memberati langkahnya.
�
"Hei! Kenapa bengong begitu?" tanya Artini, tidak mengerti pada Laksmi. Jangan tanya, kata Laksmi dalam hati.
�
Adaapa ini? Laksmi bertanya dalam hati, heran dan jengkel. Hiasan rambut yang dilihatnya kemarin sore terus membayanginya. Helai-helai bunga yang bergoyang saat disentuh. Pendaran sinar keemasan. Gemersik saat tangannya menyentuh kelopak emas bunga itu. Dia sudah memiliki cepaka emas hadiah kakaknya, Gus Mayun, sewaktu dia potong gigi empat tahun lalu. Masih bagus. Nyaris seperti baru karena jarang dipakai.
�
Ingin mengalihkan pikirannya, Laksmi duduk di depan komputer, melanjutkan artikel tentang lomba bunga anggrek yang diadakan di sebuah hotel berbintang. Dia mencoba merangkai kalimat dalam otaknya. Tapi, bayang-bayang cepaka emas itu seperti menutup layar pikirannya. Helai-helai anggun keemasan itu menari-nari dalam benaknya. Menggoda. Laksmi meninggalkan ruang kerjanya. Mudah-mudahan udara sore di luar rumah bisa membantu energi kerjanya pulih kembali.
Di teras, dia kecewa.Taman yang tidak terawat. Daun-daun berguguran memenuhi halaman. Daun kecokelatan dan pucuk-pucuk bunga mawar yang digerogoti serangga makin mengacaukan kabel-kabel otaknya. Mungkin, lebih baik dia berkebun. Tapi, di mana, ya, garu dan sekop yang baru dibelinya?
�
Suara gamelan menyentak tiap senti otot dan pembuluh darahnya. Dalam balutan pakaian seorang penari Legong yang serba keemasan, Laksmi mulai menari dengan segenap tubuh, pikiran, dan jiwanya. Gamelan dan gemulai tarian melebur dalam aura magis tarianBali yang anggun itu. Dari tempatnya menari, Laksmi dapat melihat kerumunan orang berdesakan di bawah panggung, hanya diterangi bias redup lampu minyak biji jarak. Tapi, setiap gerakan Laksmi seolah menjadi sinar bagi tariannya.
�
Dia terhanyut, membiarkan orang-orang mengaguminya. Kecantikannya, kemolekan tubuhnya, dan kemahirannya menari, yang bagaikan dititis oleh dewi Saraswati dari kahyangan. Tiba-tiba seorang pria menyeruak membelah penonton. Pakaiannya mewah, seperti pakaian kebesaran rajaBali . Tatapan matanya seolah menyihir, membuat Laksmi mematung.Para penabuh terus mengalunkan gamelan Semara Pegulingan. Laksmi tak bisa menggerakkan kakinya satu inci pun. Sosok berwibawa dan gagah itu naik ke panggung dengan satu lompatan. Tapi, penonton seolah tidak peduli. Mereka seperti terhipnotis, diam tak bereaksi.
�
Pria itu mendekati dirinya yang berusaha menghindar. Ke mana? Gamelan makin menggemuruh. Apalagi, ketika pria itu mendapatkannya. Mendekap tubuhnya, menatap wajahnya dengan matanya yang tajam. Laksmi bagai tersedot ke dalam pusaran bola hitam mata pria asing itu. Dia merasakan cinta kasih yang begitu kuat. Tidak, dia tidak mengenalnya. Tunggu, dia mengenalnya, bahkan sangat dekat. Tapi, siapa?
�
Sebelum Laksmi menemukan jawaban itu, sebilah keris menghunus. Mata tajam itu berubah menjadi kebencian. Keris itu berkilat, makin dekat hendak menghujam dadanya. Dia berteriak minta tolong, tapi suaranya tertelan. Tidak seorang pun peduli. Mereka seperti menunggu kejadian selanjutnya, seolah menganggap apa yang terjadi adalah bagian dari pertunjukan. Darah mulai membasahi lamak-nya. Lembaran kain memanjang bersulam benang emas yang terpasang menutupi dadanya itu kini berwarna merah. Laksmi memegang dadanya dan mendapati keris itu tertusuk disana . Dia menjerit.
�
Laksmi terduduk di ranjang dalam kegelapan malam. Tangan kanannya sedang mencengkeram dadanya. Keris itu! Gugup, Laksmi meraba-raba seprai tempat tidurnya yang kusut masai. Tidak ada keris. Matanya nanar mencari-cari pria yang telah menikamnya.
�
Itu mimpi. Mimpi. Perlahan, dia mulai mengembalikan akal sehatnya. Keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya memburu. Mimpi buruk. Laksmi menyingkap selimutnya, melompat turun dari ranjang, dan menyalakan lampu. Dia berjalan mondar-mandir. Mimpi itu begitu jelas tergambar. Apa yang telah dilakukannya sebelum tidur? Menonton film horor? Dia tidak pernah sebodoh itu. Membaca novel misterius? Laksmi menggeleng. Setelah lelah berkebun, dia tidak merencanakan satu kegiatan pun. Laksmi ingin minum. Tenggorokannya terasa terbakar. Tapi, bagaimana kalau pria dalam mimpinya itu ternyata ada di dapur dan sedang menunggunya dengan keris terhunus? Laksmi menggigil.
�
�
�
�
Cerita lalu:
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian I)
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian II)
�
�
ow, what a dream," kata Yan De berdecak kagum. Siang itu dia dan Laksmi sedang makan siang di warung pinggir jalan sesudah meliput pameran lukisan di Art Centre. Laksmi asyik menusuk-nusuk bistik ayam pesanannya.
�
"Mimpi paling seram yang pernah kualami," tutur Laksmi. Matanya memerah setelah semalam dia terbangun dan mendengar jeritan histeris dari mulutnya sendiri. Dia tergolek di ranjang tanpa sanggup memejamkan mata hingga pagi menjelang.
�
"Ya. Lagi pula, aneh. Kamukan tidak bisa menariBali . Gadis Bali, tapi tidak bisa menariBali . Memang memalukan, tapi�."
�
"Bukan itu maksudku. Kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu?"
�
"Mungkin, kamu terobsesi ingin mahir menariBali ."
�
Kakiyang-nya, Ida Bagus Putu, seorang sastrawan yang juga pemain drama terkenal. Tidak hanya di sekitar Gianyar, tapi sampai ke Denpasar. Bersama sekeha (kelompok) dramanya, ia kerap diminta tampil di puri-puri milik para bangsawan Denpasar. Sayang, bakat seni Kakiyang tidak menurun pada satu pun cucunya.
�
"Tidak usah terlalu dipusingkan. Setiap orang pasti punya obsesi," kata Yan De, sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. "Aku juga sering membayangkan wajah Louis sewaktu mencumbu Santi, istriku."
�
Dia membuat pengakuan. Laksmi memandang pria tampan berkulit halus itu dengan jengah. Yan De memang gay. Waktu dia menikah, atas paksaan orang tua, orang yang paling bersedih adalah Louis, pacar Yan De, desainer grafis di kantor mereka.
�
"Tapi, ini bukan seperti itu�."
�
"Aku bukan balian (paranormal) yang bisa 'melihat' apa yang tengah kau alami. Pikir sederhana saja. Mimpi hanya bunga tidur. Titik," ujar Yan De.
�
Reaksi Thomas sedikit lebih baik. Paling tidak, dia memberi nasihat.
�
"Tu vas chez le psychi�tre. C'est possible parce que tu est fatigu�e." (Pergilah ke psikiater. Mungkin, ini terjadi karena kamu terlalu lelah).
�
Wah, dia pikir Laksmi gila karena tekanan kehidupan.
�
"C'est impossible (Tidak mungkin)," tangkisnya, sedikit tersinggung.
�
"Je pense cette mauvais r�ve a une vis�e d�termin�e (Saya pikir mimpi itu memiliki maksud tertentu)."
"C'est comme ca. Tu doit la trouver. Alors, elle va t'apaiser (Begitu. Kamu harus menemukan maknanya. Mungkin, itu akan membuatmu tenang)."
�
"Je veux l'essayer, Thomas. Merci sur son sermons (Saya akan mencobanya, Thomas. Terima kasih atas nasihatmu)."
�
Dia mengambil artikel yang sudah disetujui Thomas dan membawanya pada Louis. Tangan-tangan lentik itu tengah menyusun foto yang akan menyertai suatu artikel dalam komputernya. Yan De berdiri di sampingnya. Kadang-kadang, tangan Yan De bermain di depan monitor, memberi ide pada Lou. Laksmi meletakkan artikel di atas CPU. Melihat sekilas ke monitor. Itu adalah liputannya tentang pelebon raja Gianyar untuk Culture in Pages terbitan minggu depan.
�
"Lou, ini artikel baru. Mudah-mudahan, gambarnya sudah di-upload ke komputer oleh Yan De."
�
"Beres, sudah kuproses," kata Yan De, sebelum Laksmi terus berkicau. Padahal, gambar-gambar itu masih tersimpan di kamera digitalnya.
�
Laksmi kembali ke meja kerjanya, mengempaskan tubuh ke kursi. Dia menatap screensaver daun-daun jatuh di monitor komputer. Tidak ingat apa yang terakhir kali dikerjakannya. Laksmi mematikan komputer. Dia sedang tidak bisa berpikir.
�
Laksmi meraba dadanya. Di tengah-tengah dadanya ada semacam bekas luka, garis melintang berwarna putih. Berkali-kali dia bertanya pada Biyang, dari mana dia mendapatkannya. Biyang-nya selalu mengatakan, itu adalah tanda lahir. Mungkin, tanda lahir itu berhubungan dengan mimpinya semalam. Hulu keris berkilat. Pria yang menghunuskannya. Suara tabuhan gamelan. Pria itu seolah sangat dekat dengannya. Potongan gambar-gambar bagai mozaik silih berganti muncul dan memenuhi rongga-rongga kepalanya. Dia melihat ke dinding,lima belas menit lagi jam pulang kantor. Ditekannya nomor telepon Galeri Seni Kriya milik Artini.
�
"Bisa menemaniku malam ini?" Tiba-tiba dia merasa seperti anak kecil yang merengek ketakutan hanya karena mimpi. "Aku ingin mencoba restoranThailand baru di ujung Jalan Sudirman."
�
Dia berbohong. Lebih baik begitu, daripada terkesan mencemaskan sesuatu yang belum jelas.
�
"Tapi, Ami, I have a date."
�
Kencan? Dengan siapa?
�
�
"Dengan Dharma." Sebelum pertanyaannya tercetus, Laksmi sudah menerima jawaban.
�
"Dharma kita?"
�
'Kita' dalam arti: teman sekelas di kampus, yang sedingin es dan membiarkan gadis-gadis cantik berlalu begitu saja di depan hidungnya.
�
"Ya. Aku bertemu dia di hotel tempatnya bekerja sewaktu mengantar relasi," jawab Artini, sedikit merasa bersalah karena baru memberi tahu sekarang.
�
"Well, congratulations, then."
�
Laksmi tidak tahu harus berkata apa. Dia menutup telepon. Menegur dirinya sendiri, saat menyadari dia cemburu pada Artini. Hari-harinya pasti berwarna merah muda. Sementara, dia masih di sini, dikelilingi tumpukan kertas dan disket yang membosankan. Tapi, sebenarnya, apa atau siapa yang membosankan? Selama sepuluh jam sehari dia berkutat dengan pekerjaan. Pulang ke rumah. Besoknya ke kantor lagi. Berlomba dengan deadline, menapaki tangga kariernya. Tidak ada waktu untuk berjalan-jalan di pelosok-pelosok desa, seperti sewaktu masih kuliah. Di hari libur, dia memilih tidur seharian. Menebus kelelahan yang membebani tubuhnya.
�
Laksmi mencangklong tas ranselnya di bahu. Pintu ruang kerja Thomas tertutup. Mungkin, penghuninya sedang sibuk mengedit naskah atau memilih foto. Laksmi mengintip jendela kaca bagian iklan dan marketing di sebelahnya. Kosong. Komputer Lou sudah mati. Kantor sepertikota mati. Suara-suara dinamis berganti dengan kesunyian. Laksmi bergegas menuruni tangga.
�
�
Mug biru langit bertuliskan Be Happy itu penuh susu. Laksmi berharap, cairan putih itu bisa membuatnya terlelap. Dia meletakkan mug susu di meja kecil dan mengambil majalah wanita. Dia membanting tubuhnya ke tempat tidur, berharap mimpi buruk itu tidak singgah lagi. Legong. Mengapa dia memimpikan tariBali klasik itu? Dia hanya bisa menari satu tarianBali , Manuk Rawa. Tarian tentang burung-burung yang bermain di rawa-rawa. Terakhir kali dia menonton pertunjukan Legong dua bulan yang lalu di Pesta KesenianBali .
�
Setelah membaca majalah sesaat, Laksmi mengalihkan pandangannya. Dia teringat mimpinya semalam. Apakah sebaiknya dia pergi ke psikiater? Rutinitas yang menjebak mungkin memicu mimpi buruk itu. Dia menghela napas. Cepaka emas. Belum lagi pikirannya lepas dari cepaka emas itu, mimpi buruk itu muncul lagi. Laksmi menggelengkan kepalanya, mengusir potongan adegan mimpinya yang mulai membayang.
�
Gemercik air dari pancuran di tengah taman terdengar menyejukkan, seperti denting bajra seorang pendeta. Laksmi duduk dengan kepala tertunduk. Dia tidak pernah berani menatap wajah pria di hadapannya. Junjungannya, kekasih hatinya yang agung. Seseorang yang dimuliakan seluruh rakyat wilayah kekuasaannya. Mereka duduk bersebelahan di taman puri. Wangi bunga sandat (kenanga) begitu menggoda. Tangan pria itu membelai rambut panjangnya yang disanggul dalam bentuk tagelan (sanggul khasBali ) dan menusukkan tangkai perhiasan pemberiannya pada sanggul Laksmi. Lembut, namun menggetarkan.
�
"Kau tampak makin cantik. Cepaka emas ini memang seolah diciptakan untukmu."
�
Laksmi tersentak. Di mana dia? Ya, Tuhan.Taman . Kolam pancuran. Dia pasti bermimpi lagi! Tangan itu meraih dagu Laksmi. Lembut. Lalu, mengangkat wajah gadis itu. Mereka berpandangan. Begitu dekat, hingga Laksmi bisa merasakan hangat napasnya menyentuh kulit wajah. Darah Laksmi membeku. Pria itu! Pria yang telah menusuk dadanya dengan sebilah keris. Laksmi meronta. Dia ingin terbangun. Kembali ke tempat tidurnya yang hangat. Pria itu mendekap tubuhnya. Erat. Tidak ingin melepasnya. Bayangan lain melintas. Tubuh dan wajah seorang wanita. Melihat dari kilau perhiasan dan pakaian mewah yang dipakainya, dia dari kalangan bangsawan. Wanita itu tersenyum, tapi lebih seperti seringai serigala yang hendak menerkam. Matanya bersinar penuh kebencian. Kebencian yang tersulut rasa cemburu karena miliknya yang paling berharga terenggut dari sisinya.
�
"Wanita jalang! Kamu memikat setiap pria dengan lenggok tubuhmu!"
�
Wanita itu menjerit, memecah keheningan taman. Laksmi meronta. Takut dan tidak mengerti. Pria itu menatap wajahnya dan wajah wanita itu bergantian. Tiba-tiba pria itu melepaskan dekapannya dengan kasar. Laksmi jatuh bersimpuh di tanah berdebu.
�
"Kamu mengkhianatiku�," pria itu berbisik. Terdengar getir. Kecewa dan terluka. Tangan pria itu menggenggam sebilah keris. Keris itu! Tubuh Laksmi bergetar. Bayangan wanita itu tertawa culas. Tawa penuh kemenangan.
�
"Mati kau wanita jalang!"
�
Laksmi terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.
�
Laksmi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju Peliatan. Dia harus melakukan sesuatu. Langkah pertama: mendapatkan cepaka emas itu.
�
Pukul 07.15. Bukan waktu yang tepat untuk bertamu. Tapi, rumah Pak Agung sudah ramai. Seorang wanita membawa banten (sesaji) yang diatur menyerupai stupa kecil menuju merajan (kuil) keluarga. Di depan gerbang tertancap sepasang penjor (sebatang bambu melengkung yang dihiasi janur) sebagai tanda suatu piodalan (upacara) besar tengah diadakan. Pak Agung menemui Laksmi dengan pakaian adatBali , kamen (kain), saput (kain yang dililitkan di atas kamen), dan destar (penutup kepala) putih. Tanpa sadar Laksmi merapikan gaun terusan birunya, yang terbuat dari sutra shantung.
�
"Maaf, seharusnya saya menelepon dulu.�"
�
Dia begitu tergesa sewaktu berangkat ke Peliatan. Tidak bisa bertahan lagi. Pikirannya dikuasai bayang-bayang cepaka emas kuno itu. Seperti serangga malam yang terpesona sinar lampu taman.
�
"Tidak apa. Saya mengerti."
�
Pak Agung justru bingung, mengapa gadis ini baru muncul setelah berhari-hari. Pria berusia separuh abad itu menatap Laksmi lekat-lekat. Bibir mungil. Hidung tidak terlalu mancung. Mata seperti sepasang berlian. Bercahaya. Persis seperti gambaran yang didapatnya, saat dia bermeditasi dan mengadakan hubungan supranatural dengan cepaka emas itu. Setelah berkali-kali dikembalikan pembelinya, Pak Agung yakin, cepaka emas itu menunggu 'pemiliknya'. Sebelum Laksmi menjelaskan maksud kedatangannya, Pak Agung sudah mengetahuinya.
�
"Dia sudah lama menunggu pemiliknya," ujar Pak Agung, sambil menyerahkan sebuah kotak hitam. Laksmi menerima dengan tangan bergetar. Dibukanya tutup kotak itu hati-hati. Cepaka emas itu 'terbaring' anggun di peraduannya yang berlapis beledu merah. Laksmi tersenyum senang.
�
"Berapa saya harus membayar?" tanyanya, hati-hati. Dikeluarkannya sejumlah lembaran uang dari dalam dompetnya.
�
"Ibu boleh mengambilnya. Ini memang milik Ibu."
�
Miliknya! Pak Agung menolak uang itu dengan halus, lalu menanyakan apakah Laksmi mengalami hal-hal tidak masuk akal. Laksmi mengangguk. Pertemuannya dengan cepaka emas itu seperti telah diatur. Dia mengantar Artini ke rumah Pak Agung tempo hari, tanpa ada perasaan apa-apa. Tapi, seolah ada semacam perasaan 'dekat' yang sulit dijelaskan sewaktu melihat perhiasan itu untuk pertama kalinya.
�
"Mungkin, Ibu tidak menyadari, tubuh Ibu membawa 'suatu tanda' dari masa silam."
�
"Ya, di sini." Laksmi menunjuk tengah-tengah dadanya. Pak Agung tersenyum. Cepaka emas itu telah 'memanggil' Laksmi melalui mimpi-mimpinya.
�
"Cepaka emas ini akan memberi tahu Ibu."
�
Pak Agung tersenyum arif. Anak zaman sekarang, selalu tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bergerak di luar nalar manusia.
�
Wangi lemon di dalam tehnya membuat Laksmi sedikit lebih relaks. Dia mengeluarkan cepaka emas itu dari kotak hitam dan meletakkan di meja makan. Sepanjang jam kantor dia tidak bisa berkonsentrasi, ingin segera menikmati 'waktu berdua' dengan perhiasan ini. Apa, sih, menariknya? Laksmi mengambil tangkai cepaka emas, mengamatinya di bawah sinar lampu meja. Helai lempengan emasnya mengilap. Padahal, kata Pak Agung, cepaka emas ini dibuat sekitar 100 tahun silam. Mungkin lebih! Pak Agung bercerita, seseorang menjual cepaka emas itu kepadanya setelah kalah di sebuah cekian (judi kartu).
�
Laksmi menuju komputer, lalu mengetikkan password. Dia sedang membaca e-mail dari Karen, ketika terdengar suara, "Pasanglah cepaka itu."
�
Tubuh Laksmi mengejang. Suara itu halus sekali, lebih menyerupai bisikan. Tapi, dia mendengarnya sejelas desir angin malam di luar. Dia menatap cepaka emas itu. Diam. Hening. Dia berharap, sesuatu akan menjelaskan mimpi buruknya. Tidak. Dia hanya berkhayal. Laksmi berusaha mengembalikan akal sehatnya. "Pasanglah cepaka emas itu!" Suara itu terdengar lagi. Memaksa. Kali ini Laksmi betul-betul yakin itu bukan khayalan. Dia bisa saja lari keluar rumah. Tapi, untuk apa? Sebelum mengetahui yang sebenarnya terjadi, dia tidak akan bisa menjalani hari-harinya dengan tenang. Dimatikannya komputer. Disambarnya cepaka emas dan dibawanya ke kamar tidur. Laksmi mencari kotak sanggulnya di dalam lemari pakaian, seperti kesetanan. Dia menemukannya di atas tumpukan kebaya, kamen (kain), selendang, dan segala macam perlengkapan mekamen (berkebaya).
�
Gemetar, Laksmi duduk di depan meja rias dan menyisir rambutnya yang melebihi bahu. Biasanya, setiap kali menyanggul, dia pergi ke salon. Tapi, malam ini, seperti ada yang membantunya. Memasang sanggul, jepit rambut, dan merapikan anak-anak rambut di keningnya dengan sisir sasak. Begitu mudah. Laksmi mengambil cepaka emas dan menusukkannya pada sanggul. Dia menatap bayangannya di cermin tanpa berkedip. Cantik dan anggun. Helai-helai emas perhiasan itu bergoyang setiap kali kepalanya bergerak. Menimbulkan suara gemerisik yang bening. Laksmi ingin berlama-lama mengagumi kecantikan dirinya. Wajah di cermin tersenyum. Cantik. Laksmi tercekat. Dia tidak sedang tersenyum.
�
Kerongkongan Laksmi panas. Sosok di cermin bukanlah pantulan dirinya.
�
"Ayu Manik. Ini aku, Agung Bulan."
�
Bayangan itu berbicara. Laksmi mengenalinya. Wanita itu sempat datang dalam mimpinya dan memaki-maki tanpa alasan sewaktu dia duduk berdua bersama seorang pria di taman. Laksmi tidak akan lupa pada sinar matanya yang penuh kebencian. Tapi, kini kesedihan memancar dari matanya. Dia mengenakan pakaian bangsawanBali zaman dahulu. Kain songketnya gemerlap, sarat perhiasan emas bertatahkan permata. Namun, semua itu tidak bisa menyembunyikan beban yang membelenggunya.
�
"Aku Agung Bulan. Permaisuri Raja Anak Agung Ngurah Agung."
�
"Saya bukan� Ayu Manik." Laksmi menjawab terbata-bata. Dia merasa takut sekaligus konyol. Jangan-jangan dia memang agak gila, seperti yang dikhawatirkan Thomas. Senyum itu mengembang menjadi sebuah tawa. Kering.
�
"Kamu adalah Ayu Manik. Dahulu. Sebelum kamu samsara (lahir kembali) menjadi dirimu sekarang."
�
Laksmi adalah titisan seseorang. Ayu Manik telah lahir kembali ke dunia ini dan rohnya menitis di dalam tubuhnya.
�
"Ayu Manik�."
�
Wanita itu menatap Laksmi dengan sinar mata yang seolah menembus jantungnya. Laksmi mengakui, Agung Bulan memiliki karisma seorang bangsawan. Laksmi mengangkat dagunya, membalas tatapan Agung Bulan. Rasa takut Laksmi perlahan terkikis. Entah mengapa, dia merasa sosok itu - hantu atau bukan - tidak bermaksud jahat.
�
"Aku yang membuatmu terbunuh dengan segala kelicikanku. Kau mati karena beban fitnah."
�
Laksmi tidak dapat berkata-kata. Dia dipaksa mencerna sesuatu di luar nalar. Mungkin, dia sedang berbicara dengan roh, hantu, atau peri.
�
"Kini, aku termakan oleh dosa-dosaku. Tidak bisa menitis kembali ke dunia. Dosaku padamu selalu menghalangi. Aku menunggu hampir seratus tahun. Menunggu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku agar bisa menitis kembali ke dunia."
�
Laksmi membatu. Terpaku oleh kalimat-kalimat Agung Bulan. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang akan mengalami samsara untuk memperbaiki kesalahannya pada kehidupan terdahulu. Karena Agung Bulan tidak bisa menitis ke dunia, dia tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki dosa-dosanya. Dia terjebak di alam kegelapan.
�
"Bagaimana aku bisa membantumu?"
�
Agung Bulan mungkin telah membunuh Ayu Manik di masa lalu. Tapi, Laksmi tidak mempunyai dendam atau perasaan apa pun terhadap wanita itu.
�
"Aku akan membawamu pada kehidupanmu, kehidupan kita di masa lalu."
�
Tangan wanita itu ditangkupkan di depan dada. Dia menyatukan pikirannya dengan pikiran Laksmi yang tak kuasa menolak. Agung Bulan telah menguasai alam pikiran Laksmi. Mata Laksmi berkunang-kunang. Dunia di sekitarnya tampak berkabut. Tempat tidur, meja rias, lemari pakaian bagaikan melayang dalam penglihatan Laksmi. Dia mengeluh, lalu jatuh dari kursinya dan tertidur di karpet yang lembut.
�
Sanur, masa 1900-an
Gemerincing lonceng-lonceng kecil yang diikatkan pada ujung bungbungan (bagian alat tenun yang terbuat dari bambu) sangat disukainya. Tiap kali dia mengencangkan tenunan benang pada kain tenunannya, bunyi itu berdenting riang. Ayu Manik sanggup menenun sampai sore, saat panyeroan-nya (pembantu perempuan) selesai menyapu daun-daun kering di halaman Gedong (gedung) Batan Saba, bangunan khusus untuknya.
�
Sejak menjadi permaisuri kedua Raja Anak Agung Ngurah Agung, dia berhak menempati bangunan yang masih dalam wilayah puri Sanur ini. Jemari lentik Ayu Manik memasukkan tunda (kumparan benang) ke dalam anyaman benang dan menarik sirat (alat untuk merapatkan benang tenunan) ke arahnya. Tangannya seolah menari, membunyikan lonceng-lonceng kecilnya.
�
Permaisuri pertama, Agung Bulan, yang bergelar Ratu Agung Prami adalah seorang putri raja di wilayah Gerenceng. Dia memiliki hak menempati Gedong Mas, di sebelah Gedong Agung atau gedong utama yang dikhususkan bagi Sang Raja. Ayu Manik tidak pernah bermimpi menjadi permaisuri. Usianya 14 tahun saat raja melihatnya menari Legong di natah (halaman) Puri Belaluan. Ketika itu bangsawan Puri Belaluan mengadakan karya agung (upacara besar) dan mengundang Raja Puri Sanur. Ayu Manik sebagai penari Legong terkenal diminta tampil di puncak upacara.
�
Tidak sia-sia ayahnya, Ida Bagus Made, mengajarnya menari. Bila belum menguasai suatu gerakan tari, jangan harap dia boleh ke dapur mengisi perut. Sejak berumur tujuh tahun, dia sudah gemulai meliukkan tubuhnya. Tarianmu adalah jiwamu. Ayahnya selalu mengingatkan kalimat itu. Setelah bertahun-tahun, Ayu Manik baru mengerti maknanya. Dia harus memahami arti tarian dan juga menjiwainya. Melebur dalam gamelan dan gerakan tariannya.
�
Setelah masuk dalam lingkungan puri, Ayu Manik mendapat gelar Ratu Ayu Saba karena berasal dari Desa Saba di Gianyar. Ayu Manik menghela napas. Gamelan Semara Pegulingan, yang biasa mengiringi tariannya, tidak akan terdengar lagi. Setelah bersuami, apalagi menjadi permaisuri, dia tidak mungkin menari lagi. Dia telah memberikan perangkat pakaian tarinya, lamak, gelungan, badong, dan semua perhiasan menarinya, kepada Ayu Sekar, sepupunya. Kehidupannya sebagai penari Legong telah usai pada detik Raja meminta Ayu Manik pada ayahnya.
�
Langkah-langkah prajurit yang menginjak tanah berdebu terdengar makin dekat ke Gedong Batan Saba. Ayu Manik meletakkan tunda dan melepaskan epor (pegangan yang diletakkan di pinggang) dari pinggangnya yang ramping. Dia menatap Dadong (nenek) Renting, panyeroan-nya yang setia. Wanita itu memburu ke halaman. Dia kembali dengan senyum merebak.
�
"Ratu Agung datang mengunjungi Ratu."
�
Ayu Manik berseru tertahan. Bahagia. Ini hari ketiga setelah bulan purnama. Tapi, suaminya telah datang mengunjunginya. Seharusnya, masih dua hari lagi. Dia masuk kamar, menyisir rambutnya yang hitam ikal dan membubuhkan minyak wangi cendana.
�
"Ratu�."
�
Dia bersimpuh di samping Anak Agung Ngurah Agung, yang duduk bersila di tikar daun pandan. Sang Raja menatap wajah lembut di sampingnya. Ingin rasanya dia merengkuh tubuh molek ini ke dalam pelukannya. Wajah tertunduk yang seolah tak ingin memamerkan kecantikannya itu membuat jantungnya berdegup. Bersama Ayu Manik, bebannya sebagai seorang raja bisa ditanggalkan. Dia bebas menjadi dirinya sendiri. Ayu Manik tidak pernah menuntut. Dia cukup bahagia dengan kehadiran Raja.
�
"Aku baru datang dari Puri Satria."
�
Ayu Manik telah mendengar, tadi pagi Raja dan patihnya berangkat ke Puri Satria di Denpasar, bertemu raja-raja lain dari wilayah Badung dan membicarakan masalah tentara Belanda yang semakin mencampuri urusan kerajaan.
�
"Belanda ingin menghapuskan sistem masatya (bila seorang raja meninggal dan jenazahnya dibakar, sang ratu wajib menceburkan diri ke dalam api) yang sering dilakukan di puri-puri," kata Raja.
�
Raja mengalihkan pandangan ke halaman. Amarah dan kebencian pada Belanda jelas terpantul dari rahangnya yang mengeras. Sejak Sri Koemala, kapal milik seorang pedagang Cina, terdampar di Pantai Sanur. Belanda mendapat celah untuk memainkan politik kotornya. Kwee Tek Tjiang, si pemilik kapal, mengadu pada residen Belanda bahwa penduduk di sekitar Pantai Sanur telah mencuri uang kepengnya sebesar 3.000 ringgit. Akibatnya, Belanda melimpahkan ganti rugi dengan jumlah yang sama pada Raja Badung, Gusti Gde Ngurah Denpasar yang menolaknya dengan berang.
�
Perseteruan meruncing. Sebenarnya, itu hanyalah alasan Belanda untuk menyerang pemerintahan Gusti Gde Ngurah Denpasar, raja paling berpengaruh di Badung. Semua raja wilayah Badung saat pesangkepan agung (rapat akbar) di Puri Satria, sepakat menolak penghapusan sistem masatya yang telah dilakukan para bangsawan selama ratusan tahun. Mereka tidak sudi menjadi raja boneka yang didalangi penjajah.
�
Sang Raja tiba-tiba merengkuh tubuh istrinya.
�
"Bila aku mati nanti, datangkah kau padaku?"
�
Pada detik dia memberikan perangkat pakaian tari Legong itu pada Ayu Sekar, Ayu Manik tahu akan kehilangan hidupnya. Sebagai Ayu Manik, seorang penari. Lembar baru telah menjelangnya. Permaisuri kedua Raja Sanur. Jiwa, raga, dan hidupnya telah dia pasrahkan hanya kepada Sang Raja.
�
"Tentu, Ratu� saya akan selalu melayani Ratu."
�
Matahari telah beristirahat di peraduannya. Api lampu minyak yang digantung di sudut-sudut bangunan meliuk-liuk tertiup angin malam, memberikan warna jingga keemasan di sekitarnya. Raja bangkit dan membimbing istrinya masuk. Dia ingin menikmati malam bersama wanita yang kemolekannya sanggup membuat cemburu bintang-bintang di langit. Gerakan tubuh Ayu Manik saat menari di natah Puri Belaluan seolah menyihirnya. Begitu hidup. Matanya berbinar, melirik laksana kilat. Tubuh langsingnya dibebat kain hijau berhias lamak keemasan. Dia bagai bidadari yang menjelma ke bumi.
�
Tujuh hari kemudian Raja mengirim penasihatnya ke Geriya Saba dan mereka membawa gadis itu untuknya. Upacara pawiwahan (pernikahan) selama sebulan diadakan untuk meresmikan pernikahan Raja dan permaisuri barunya. Raja memberi seperangkat perhiasan emas bertaburkan intan-permata sebagai payas pupur (seserahan). Tapi, dari semua perhiasan itu, Ayu Manik sangat menyukai cepaka emas, perhiasan rambut berbentuk bunga-bunga cempaka dari emas terbaik, ditempa pandai emas terkenal dari Desa Celuk. Setiap kali Ayu Manik memakainya, Raja selalu menatapnya penuh kekaguman.
�
"Kau tampak makin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu."
�
�
�
Cerita lalu:
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian I)
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian II)
Samsara Suatu Kelahiran Kembali (Bagian III)
�
�
edong Mas
Agung Bulan berdiri dengan gusar di depan jendela. Membiarkan angin malam menerpa wajah dan rambutnya. Malam ini raja tidak datang. Ke mana beliau? Mengunjungi selirnya yang lain? Atau, sedang beristirahat di Gedong Agung? Dia telah menyuruh Parta, parekan-nya (pembantu laki-laki) untuk menyelidiki hal itu. Perasaannya mengatakan raja ada di�.
�
"Betul, Ratu. Beliau ada di Gedong Batan Saba."
�
Parta membenarkan kecurigaan Agung Bulan. Pemuda berkulit legam itu segera menyingkir dengan terbungkuk-bungkuk, ketakutan melihat sinar mata ratunya. Wanita jalang itu! Ilmu hitam apa yang dia gunakan untuk menjerat Raja. Aku adalah permaisuri pertama Raja. Seharusnya, Raja lebih memperhatikan aku daripada Ayu Manik. Ketika Raja akan mengangkat Ayu Manik sebagai permaisuri kedua, Agung Bulan seperti dipaksa menelan sebotol racun ular. Ayu Manik begitu belia dan cantik. Sedangkan, dia berusia sepuluh tahun lebih tua daripada Raja. Mereka dinikahkan untuk mempererat hubungan puri Gerenceng dan puri Sanur.
�
Raja semakin jarang mengunjunginya. Agung Bulan seperti terlupakan. Dia semakin terpuruk, mengingat belum memberikan seorang putra mahkota bagi raja. Balian kerajaan terus mencekokinya dengan loloh (jamu) pahit dan bermacam mantra. Tapi, buah hati yang diharapkan tidak kunjung datang. Kini, ada seorang wanita di Gedong Batan Saba yang membuatnya terkucil dari suaminya sendiri. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lebih lama lagi. Tidak akan.
�
Gedong Batan Saba
"Dong, bau apakah ini?"
Ayu Manik mendongakkan hidungnya, mengendus-endus aroma yang terbawa semilir angin. Dadong Renting yang tengah menyiapkan boreh (ramuan penghangat badan) untuk majikannya, menoleh heran.
�
"Itu bau kerak nasi dari dapur, Ratu."
�
Biasanya, Ratu Ayu Saba tidak menyukai bau sangit seperti ini. Tapi, pagi ini dia sepertinya sangat menikmati aroma itu.
�
"Dong, suruh Punggil membawa kerak nasi yang ditaburi parutan kelapa dan gula merah untukku. Sekarang."
�
Tenggorokan majikannya bergerak. Ratu Ayu Saba menelan air liur, ingin segera mencicipi makanan sederhana yang biasa jadi rebutan para pembantunya. Dadong Renting mengerti apa yang tengah dialami majikannya. Dia bergegas memanggil balian istana yang biasa mengobati Ratu Ayu Saba. Ayu Manik terheran-heran saat Dadong Renting datang bersama Ki Seger, bukan membawa sepiring kerak nasi seperti perintahnya.
�
"Apa-apaan ini? Aku tidak sakit apa-apa. Kenapa�."
�
"Maaf, Ratu. Silakan duduk sebentar. Mari, saya periksa."
�
Ayu Manik membiarkan tangannya dibimbing ke teras gedong, sambil bertanya-tanya dalam hati. Dia menghormati orang tua yang berusia hampir 90 tahun itu. Jamunya manjur dan tidak terlalu pahit. Balian itu memeriksa denyut nadi Ayu Manik. Bibir keriput itu mengulas senyum. Dadong Renting seketika memeluk kaki majikannya, sambil mengucap syukur.
�
"Ratu mengandung."
�
Ayu Manik terpana. Kaget dan bahagia. Dia memang mengharapkannya. Berdoa setiap malam di pamerajan (kuil) Agung agar segera dikaruniai anak. Ki Seger memohon diri dan berjanji akan kembali setelah selesai membuatkan ramuan agar calon putra mahkota dalam kandungan Ayu Manik tumbuh sehat.
�
Raja mendengar berita itu langsung dari Ayu Manik yang langsung mendatangi gedong Agung. Ia tampak semakin cantik. Rambutnya disanggul. Ia mengenakan kebaya hijau, warna kesenangannya. Sinar matahari yang menerpa rambutnya terpantul oleh perhiasan cepaka emas yang diberikannya saat upacara pawiwahan mereka.
�
Raja begitu berbahagia. Kabar itu bagai sebuah gending (tembang) yang paling ingin didengarnya. Kekecewaan yang bergumpal karena Ratu Agung Prami tidak mampu memberikan keturunan perlahan meleleh.
�
"Ratu Ayu Saba, terima kasih karena telah membuatku menjadi orang yang paling berbahagia."
�
Tidak. Sayalah yang paling berbahagia saat ini karena mampu membuat Ratu berbahagia.
�
Kata-kata itu hanya terucap dalam hati Ayu Manik karena Raja telah meraih tubuhnya dengan lembut. Ayu Manik memejamkan mata. Bibirnya membuka, menanti. Suaminya menunduk, menciumi bibir lembut permaisurinya, merasakan tubuh yang bergetar dalam pelukannya. Raja membopong tubuh Ayu Manik ke atas peraduan. Ciumannya semakin menuntut, menelusuri tiap lekuk tubuh indah istrinya. Mereka pun larut menjadi satu.
�
Gedong Mas
Dunia Agung Bulan runtuh. Berita bahagia itu bagai palu godam yang menghantam jantungnya. Dia terhuyung saat salah satu pembantunya menyampaikan berita itu. Dengan getir Agung Bulan mencengkeram pinggir tilam bersulam benang emas di peraduannya. Hari kiamatnya telah tiba. Betapa menyakitkan. Dia akan dilupakan oleh suami dan bangsawan-bangsawan lain. Orang-orang aristokrat itu akan memandangnya sebelah mata dan diam-diam menggunjingkannya sebagai ratu mandul.
�
Wajah Ayu Manik membayang di pelupuk mata Agung Bulan. Belia dan cantik. Kerlingannya menggoda. Darah muda wanita itu menjerat suaminya. Seperti ular yang membelit mangsanya. Tidak berkutik. Agung Bulan gemetar, mendidih karena cemburu yang memuncak. Dia membuka lemari pakaiannya dan mencampakkan gelungan (mahkota) emasnya.
�
"Kau sama sekali tidak berguna!" jeritnya pada benda yang terguling dan membentur sudut kaki peraduan. Melewati jendela, mata Agung Bulan menangkap sosok Parta yang sedang menyabit rumput-rumput liar. Pemuda dari kasta sudra (kasta paling rendah) itu cukup tampan. Badannya tegap. Kesenangannya matajen (judi adu ayam) bukan sekadar main-main lagi. Agung Bulan mendengar dia sering mencuri barang-barang ibunya dan menjualnya di pasar Merta Sari. Bibir Agung Bulan mengulas senyum licik. Cairan panas kecemburuan dan amarah menggenangi relung-relung hati dan pikirannya. Dia mengambil kotak perhiasan berukir dari dalam laci meja. Membukanya dan memandang isi kotak yang pasti akan menyilaukan mata dan membutakan hati seseorang seperti Parta.
�
"Aku akan memberimu pelajaran. Kau akan merasa sakit, seperti yang kurasakan saat ini."
�
Pamerajan Agung (kuil persembahyangan)
Ratu Ayu Saba berdoa memohon perlindungan Hyang Widhi untuk suaminya. Sebelum serangga malam berhenti mengerik, Raja berangkat berburu ke Jembrana. Ki Seger menganjurkan agar Ayu Manik menyantap daging rusa liar yang dipercaya mampu menghangatkan badan dan sangat baik untuk wanita yang mengandung. Walaupun puri Sanur banyak memiliki pemburu-pemburu andal, Raja ingin mendapatkan daging rusa liar itu sendiri. Perburuan itu akan memakan waktu berhari-hari.
�
Agung Bulan duduk dengan tenang di Gedong Piasan, menunggu Ratu Ayu Saba usai muspa (sembahyang). Ratu Agung Prami datang diiringi Taluh, yang membawa perlengkapan muspa, berupa bokor (wadah) perak berisi berbagai macam bunga yang dijunjung di atas kepala.
�
Ayu Manik bangkit dan berjalan dengan anggun menaiki Gedong Piasan untuk mengambil tirta (air suci) dan bija (beras yang diberi air cendana). Ayu Manik semakin mendekat sehingga perutnya yang mulai membesar terlihat jelas. Menimbulkan rasa pahit di mulut Agung Bulan.
�
"Permisi Ratu Mbok, titiang (saya) hendak mengambil tirta." Ayu Manik menyapa permaisuri pertama dengan hormat, walau dia tahu Agung Bulan tidak menyukainya. Tidak akan pernah. Bibir wanita keturunan bangsawan itu mengulas senyum tipis.
"Tentu saja. Ratu Adi (adik) harus banyak berdoa untuk keselamatan bayi ini." Agung Bulan berdiri, membiarkan Ayu Manik lewat. Tiba-tiba dia berseru kaget.
�
"Ah, bodohnya titiang ini. Lupa membawa slempot (selendang). Padahal, untuk kembali lagi ke Gedong Mas cukup jauh."
�
Ayu Manik menghentikan langkah dan berbalik mendekati Agung Bulan. Lilitan selendang di pinggang adalah simbol kesungguhan hati menghadapkan diri pada Hyang Widhi Wasa.
�
"Ratu Mbok bisa meminjam slempot titiang."
�
"Tidak, terima kasih. Titiang bisa menyuruh Taluh mengambilnya," ujarnya. Kemudian, dia bergumam, "Tapi, titiang tidak suka orang lain membongkar lemari pakaian titiang."
�
"Tidak apa, Ratu Mbok. Pakai saja. Titiang sudah selesai muspa."
�
Tanpa menyimpan kecurigaan setitik pun, Ayu Manik melepas slempot tenun ikat yang melilit pinggangnya dan memberikan pada Agung Bulan.
�
"Baiklah. Titiang hanya akan meminjamnya. Ratu Adi bisa kembali ke Gedong Batan Saba sekarang. Taluh akan menghaturkan slempot ini pada Ratu Adi nanti."
�
Ratu Ayu Saba yang naif. Tidak menyadari tempat seperti apa yang telah dia masuki. Lingkungan puri penuh intrik dan tipu muslihat untuk menjegal siapa pun yang jadi penghalang. Orang-orang selalu menanti celah untuk bisa menyusup dan mengambil keuntungan dari kelengahan orang lain.
�
Batan Gedong Saba
Prajurit-prajurit itu datang memasuki Gedong Batan Saba, menerbangkan debu kering di setiap langkah mereka. Mimpi buruk Dadong Renting semalam tiba-tiba melintas, dia menyaksikan Ratu Ayu Saba dililit ular sangat besar, tanpa seorang pun dapat menolongnya. Dadong Renting meletakkan pisau yang digunakannya untuk membuat sesajen dan menghampiri pemuda-pemuda berbadan kekar itu.
�
"Kami hendak menjemput Ratu Ayu Saba," ucap Patih Lanang.
�
Ini bukan pamendakan (upacara penjemputan) seperti yang biasa dilakukan dengan penuh hormat dan santun. Sesuatu yang buruk akan menimpa Ratu Ayu Saba.
�
Di depan cermin, Ratu Ayu Saba menggelung rambutnya. Suaminya telah datang dari Jembrana tadi sore. Langkah berderap-derap itu tentu menandakan kedatangan raja dan pengawal-pengawalnya. Tanpa firasat buruk, Ayu Manik memasangkan cepaka emas pada sanggulnya.
�
Pintu kamar tidurnya tiba-tiba terbuka. Patih Lanang menyeruak masuk, diikuti Dadong Renting yang tampak sangat ketakutan.
�
"Patih! Berani-beraninya Patih masuk ke peraduan seorang permaisuri raja!" bentak Ayu Manik. Dadong Renting menyembah, memeluk kaki Patih, dan menghiba agar tidak membawa Ratu Ayu Saba. Sia-sia. Mereka tetap membawa Ayu Manik dalam kegelapan, diselimuti jeritan memilukan serangga malam.
�
Gedong Agung
Raja dan Ratu Agung Prami duduk di singgasana Gedong Agung yang diterangi beberapa lampu minyak. Wajah mereka tampak tegang. Sesepuh puri dan para kerabat bangsawan yang dituakan dan dihormati datang atas undangan Raja karena hendak membicarakan sesuatu yang sangat penting.
�
Patih Lanang menyeret Ayu Manik. Harga dirinya terinjak-injak. Tidak sepatutnya dia menerima perlakuan ini. Di hadapan suami dan sesepuh puri, Patih Lanang mencampakkan tubuhnya. Perasaan terhina berubah jadi kemarahan. Ayu Manik mengangkat kepala dan memandang wajah suaminya. Darah Ayu Manik tersirap saat mendapati tatapan dingin dan juga... jijik? Padanya?
�
"Kamu mengkhianatiku!" Bibir raja bergetar. Raja bangkit dan berjalan mendekati Ayu Manik. Anak Agung Ngurah Agung menjatuhkan sesuatu di pangkuan Ayu Manik. Secarik kain berwarna coklat bergaris-garis emas. Slempot tenun ikat miliknya yang dipinjam Ratu Agung Prami tempo hari. Tapi, apa hubungannya dengan semua kejadian ini?
�
"Ini milikmu?"
�
"Inggih (iya), Ratu."
�
"Bagaimana slempot ini bisa ada di kandang kuda?"
�
"Sejujurnya, titiang tidak tahu."
�
"Pembohong!" Ratu Agung Prami berseru. "Kamu bersama dengan Parta saat Ratu Agung ke Jembrana. Kalau tidak, bagaimana mungkin slempot-mu bisa tertinggal di kandang kuda?"
�
Kepala Ayu Manik mendongak. Dia bersimpuh di tempat rendah, menatap wajah perempuan berlidah ular yang angkuh itu.
�
"Ratu Mbok, katakan pada mereka bahwa Ratu Mbok meminjamnya dari titiang saat kita bertemu di Pamerajan Agung."
�
Ratu Agung Prami tertawa sinis. Ayu Manik seolah mendengar gagak-gagak hitam tengah bernyanyi mengitari mayatnya.
�
"Titiang? Meminjam slempot-mu? Jangan bermain kata-kata dengan kami! Titiang memiliki banyak slempot yang tak akan habis titiang gunakan. Untuk apa titiang meminjam milikmu?"
�
Seorang sepuh membuka mulut, "Panggil Parta."
�
Tak lama, Parta datang dikawal dua prajurit. Dia berteriak-teriak memohon ampun pada Raja saat dicampakkan di sebelah Ayu Manik, yang beringsut perlahan, menjauhkan diri dari tubuh botoh tajen (penjudi) itu.
�
"Diam kamu!"
�
Patih Lanang menendang punggung Parta.
�
"Kamu bersama Ratu Ayu Saba di kandang kuda pada malam-malam kepergian raja?"
�
Para sepuh mulai menanyai Parta yang menjawab dengan ketakutan. Sandiwara yang tengah dilakoninya ini sama sekali tidak diketahui orang-orang yang hadir di sana, kecuali Ratu Agung Prami. Pundi-pundi berisi uang emas yang diberikan Agung Bulan telah ditanamnya di lantai tanah dapur gubuknya. Dia akan melarikan diri ke Karangasem, suatu tempat nun jauh di timur Bali setelah persidangan ini. Tentu, Ratu Agung Prami telah mengatur semuanya.
�
"Inggih, Ratu."
�
Ayu Manik menoleh gusar pada pemuda itu.
�
"Jangan mapisuna (memfitnah) Parta. Aku tidak pernah membiarkan tubuhku disentuh laki-laki lain, selain suamiku."
�
"Benar begitu, Parta?"
�
"Titiang tidak bohong."
�
Raja tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Dia mencabut keris dan mengacungkannya ke leher Parta. Ratu Agung Prami tergesa turun dari kursi, mencegah tindakan suaminya.
�
"Ratu Agung, lebih baik kita membicarakan dulu cuntaka (aib) ini dengan kepala dingin."
�
Tubuh Ayu Manik menggigil. Cuntaka. Dia telah difitnah oleh Ratu Agung Prami. Para bangsawan itu kini melihatnya sebagai perempuan pembuat aib.
�
"Benar, Ratu. Bagaimana pun, Ratu Ayu Saba adalah permaisuri Ratu. Kita harus memikirkan hukuman yang setimpal untuknya," kata Ratu Anak Agung Oka, sesepuh yang paling tua.
�
"Tidak. Mulai detik ini, titiang hanya memiliki satu permaisuri."
�
Gunung Agung seperti memuntahkan lahar panas ke tubuh Ayu Manik. Kata-kata yang merupakan sabda. Dia tidak diakui lagi sebagai seorang permaisuri. Dianggap tidak berharga sedikit pun.
�
"Buang mereka ke Jembrana."
�
Suara Ratu Anak Agung Oka terdengar lagi. Menembus gendang telinga Ayu Manik. Jembrana biasa dijadikan tempat untuk menghukum sepasang manusia yang melakukan aib perzinahan. Dibuang dari keluarga karena dianggap mencemarkan lingkungan di sekitarnya.
�
"Tidak. Ini tidak benar. Titiang adalah korban fitnah Ratu Agung Prami. Ratu Mbok, tegakah Ratu pada anak dalam kandungan titiang?"
�
Ratu Agung Prami menatap Ayu Manik. Dingin. Justru itu. Karena kau tengah mengandung bayi keturunan raja, kau harus segera disingkirkan. Raja adalah satu-satunya harapan dan tumpuanku untuk turut dihormati dan dijunjung oleh rakyat Sanur.
Raja bimbang. Ayu Manik belum pernah mengecewakannya. Tapi, pengaduan Agung Bulan menyulut rasa cemburunya. Harga dirinya terkoyak. Ia dibodohi penyabit rumput. Tatapan orang-orang yang menunggu keputusannya seolah menghakimi kewibawaannya.
�
"Baik. Buang mereka ke Jembrana."
�
Raja mengeluarkan perintahnya dengan getir. Jemari kokohnya menggenggam keris yang belum disarungkan.
�
"Tidak!"
�
Ayu Manik berdiri. Dia tidak akan membiarkan harga dirinya dicabik-cabik.
�
"Bunuh titiang, Ratu."
�
Raja terhenyak mendengar permohonan permaisuri yang sangat dikasihinya itu. Kemarahan yang bergolak di dadanya tidak bisa menghapus perasaannya pada Ayu Manik.
�
"Titiang lebih rela mati di tangan Ratu Agung daripada hidup sebagai orang buangan di Jembrana karena fitnah seseorang."
�
Keris di tangan Raja seolah memberontak.
�
"Titiang bersumpah, Ratu Agung. Bila memang bersalah, titiang rela menitis kembali ke dunia sebagai seekor buron (binatang). Tapi, bila semua ini hanyalah fitnah, akan ada seseorang yang mendapatkan karmanya. Ratu Agung, cinta kita akan bersatu kembali suatu masa nanti."
�
Saat Ayu Manik mengucap sumpah, mendadak langit terbungkus awan kelam dan petir menyambar. Tangan raja terangkat, ujung keris tampak mengilap. Ayu Manik menatap suaminya untuk terakhir kali. Dia tersenyum lembut. Tiba-tiba Ayu Manik meraih genggaman raja dan sekuat tenaga menghujamkan keris ke dadanya sendiri. Darah menyembur, membasahi malam penuh kelicikan itu. Dewa-dewi di kahyangan mulai menangis, mengirim hujan pada bumi pertiwi yang berduka. Raja memeluk tubuh istrinya, membaringkan tubuh lunglai itu di pangkuannya.
�
"Ratu Agung�."
�
Sinar mata Ayu Manik meredup. Meregang nyawa. Tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Cepaka emas yang tertusuk di sanggulnya bergemerisik gelisah. Lalu, sinarnya seolah padam. Episode sebuah sandiwara telah dibayar dengan sangat mahal. Udara malam yang dingin menyambut kematian Ratu Ayu Saba yang telah mempertahankan harga dirinya sebagai seorang wanita terhormat.
�
Denpasar, 2004
Laksmi mengerang. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Laksmi menggunakan tangannya untuk bertumpu, memaksa tubuh dan pikirannya bangun. Apakah yang dialami tadi? Halusinasi atau mimpi buruk lagi? Samar-samar sebuah suara berbisik lembut, Agung Bulan.
�
"Ayu Manik, Ratu Agung telah menitis ke dunia lima belas tahun sebelum kamu. Sumpah yang kau ucapkan di malam kematianmu telah membawanya kembali padamu. Waktuku telah tiba. Selamat tinggal, Ayu Manik."
�
Laksmi mengaduh. Dunia terasa berputar.
�
�l. Tiga kali berturut-turut pria itu meninggalkan pesan. Pertama dan kedua menyuruhnya agar segera menelepon balik, yang ketiga menanyakan apakah Laksmi baik-baik saja.
�
Sejauh ini dia baik-baik saja, hanya sedikit merasa cemas akan ceramah Thomas jika dia ke kantor nanti. Ketika Laksmi baru akan melepas rambut palsunya, terdengar ketukan bertubi-tubi. Laksmi melirik jam yang menunjukkan pukul 6.15. Laksmi merapikan rambut sekenanya. Setengah berlari dia menuruni tangga. Apa yang dia inginkan? Merobohkan pintuku? Laksmi berpikir kesal. Teguran yang siap dilontarkannya tertelan begitu saja ketika melihat orang di balik pintu.
�
"No�l!"
�
"Oui, c'est moi (Ya, ini saya). Kamu baik-baik saja?"
�
No�l memandangnya cemas. Matanya menelusuri tubuh Laksmi. Sejak tiba dari Melbourne tiga hari yang lalu, dia mencoba menghubungi Laksmi. Setelah mendapati wanita yang disayanginya baik-baik saja, dia merasa lega.
�
"Masuk, No�l. Mau kubuatkan secangkir cokelat hangat?"
�
No�l tidak menolak. Dia duduk di sofa. Ia baru menyadari, suara-suara gemerisik yang didengarnya sejak tadi berasal dari kepala Laksmi.
�
"Mengapa sepagi ini kau sudah berdandan lengkap?"
�
Helai-helai cepaka emas itu bergemerisik setiap kali kepala Laksmi bergerak. Mau tak mau, No�l memperhatikannya. Pikirannya seperti disengat listrik. Mimpi itu. Mungkinkah Laksmi juga mengalaminya?
�
"Nanti kuceritakan. Kau pasti tidak percaya."
�
"Coba saja."
�
"Ya, nanti saja. Aku akan membuat air panas dulu."
�
"Tunggu."
�
No�l menarik tubuh Laksmi ke arahnya. Darah Laksmi berdesir. Gerakan yang sama saat Ratu Agung menarik tubuh Ayu Manik.
�
"Aku hanya ingin bilang, aku merindukanmu."
�
"Jangan seperti anak remaja, No�l. Kamu tahu, aku tidak suka memulai sesuatu bila harus mengakhirinya."
�
Mulai lagi. Percakapan mereka selalu terjebak pada hubungan yang tak pernah jelas arahnya.
�
"Bagaimana kau harus mengakhirinya?"
�
Laksmi menatap No�l. Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Hubungan mereka memang bukan sekadar makan malam bersama atau menikmati kebersamaan karena tidak ada pilihan lain. Lebih dari itu. Mereka tidak bisa menyingkirkan pikiran bahwa mereka saling membutuhkan. Tapi, terlalu lama mereka menunggu. Berharap seseorang akan memulai agar ruang kosong dalam kehidupan mereka dipenuhi kehangatan cinta.
�
"Jangan katakan aku gombal, tapi kau tampak semakin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu."
�
Tubuh Laksmi mengejang. Dia menatap mata Noel lurus-lurus, seolah baru melihat pria itu untuk pertama kali.
�
"Apa?"
�
"Kau tampak semakin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu."
�
Laksmi mundur. Terpana. Semula dia pikir tidak akan pernah mendengar kalimat itu dari orang lain, selain Ratu Agung.
�
"Ya, ampun. No�l, berapa umurmu?"
�
Dia tahu itu terdengar aneh. Tapi, menurut Agung Bulan, roh Ratu Agung menitis ke dunia lima belas tahun mendahuluinya.
�
"43. Apa maksudmu? Terlalu tua untuk seorang Laksmi?" tanya No�l setengah menggerutu.
�
Hmm� dua kebetulan yang berkaitan.
�
"No�l, apa yang membawamu ke sini?"
�
�l pulang ke Bali semendadak ini. Minimal, seminggu sebelumnya dia mengabari Laksmi lewat email atau telepon. Itu pun pada hari-hari menjelang liburan musim dingin, Natal, dan Tahun Baru.
�
"Kau."
�
Laksmi tersenyum senang. Dia merentangkan tangan dan membiarkan No�l mendekapnya hangat. Dia telah bertemu Ratu Agung. No�lnya.
�
"No�l, aku bahagia kau ada di sini."
�
"Aku juga, Ami. Kau pasti telah mengalami mimpi-mimpi itu. Penggalan-penggalan kisah masa lalu yang sempat membawa kekaburan logika pada pikiranku. Seperti sebuah pertanda, kaulah bulan malamku, Ami ma jolie.
�
�
Tamat
Penulis: Ida Ayu Indah Yustikarini
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
�
�
�
Gelang Giok (Bagian I)������
�
�
Aku tahu, menghidangkan teh adalah tes yang umum diberikan oleh para makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis.���
�
�
�
1935
A Sui
Aku melesat keluar dari sekolahku, bergegas pergi karena ingin cepat sampai di rumah. Biasanya, aku sengaja memperlambat perjalanan pulang ke desaku, Khai Ching, semenjak ibuku menyembelih dan memasak Si Hitam, ayam jago kesayanganku.
�
Tapi, hari ini aku ingin menyaksikan peristiwa penting. Ada makcomblang yang ingin melihat dua kakak perempuanku, A Cen dan A Pei. Kakiku lincah melangkah karena aku memakai sepatu boots kulit, hadiah dari Tek Eng, kakak lelaki angkatku yang merantau ke San Francisco, Amerika. Memakai sepatu model begini benar-benar sebuah kemewahan, jika dibandingkan dengan kawan-kawanku, yang bahkan terlalu miskin untuk bisa membeli alas kaki.
�
Sampai di depan rumah, aku mendengar suara-suara lantang orang berbicara. Itu memang sudah menjadi ciri khas suku kami. Aku hendak menuju pintu belakang untuk bersembunyi di balik tirai, seperti niatku semula, ketika kudengar ibuku memanggil.
"A Sui, kemari sebentar. Beri salam pada Bibi Mah. Tunjukkan bahwa tidak percuma aku menyekolahkanmu."
�
"Salam hormat Bibi Mah," kataku, sambil mengatupkan kedua belah tanganku di depan dada dan sedikit membungkuk. Aku begitu lega melihat ibuku mengibaskan tangannya, tanda aku boleh pergi ke belakang.
�
"Jangan pergi dulu, Moy. Biar kulihat dulu dirimu," suara Bibi Mah terdengar serak. Matanya yang kecil berkilat seolah menembus kulitku.
�
"Kakak Mah, A Sui masih kecil dan masih bersekolah. Pikirannya masih kanak-kanak. Ia belum siap menikah." Ibuku tampak salah tingkah. Jelas sekali bahwa dia tidak ingin aku mendapat perhatian lebih dibandingkan kedua kakakku.
�
"Tahun apa dia lahir?" tanya Bibi Mah. Sekarang dia sudah berdiri di sampingku dan mengangkat kedua lenganku.
�
"Tahun monyet. Karena itu, ia sok tahu dan selalu ingin tahu urusan orang lain, membuat kesal orang-orang di sekelilingnya," sahut ibuku. Dengan gerakan yang tak terlalu jelas, ibuku melirik kedua kakakku agar lebih mendekat pada Bibi Mah.
�
Kakiku dan kedua kakakku gemetaran. Karena, di tangan wanita ini nasib kami akan ditentukan, apakah akan menikah dengan suami penyayang atau dengan penyiksa yang suka berjudi. Para gadis memandang Bibi Mah lebih tinggi daripada dewa. Karena suatu pernikahan lebih mirip seperti perpindahan keluarga, tidak ada yang lebih menakutkan daripada memiliki mertua perempuan yang sadis. Cerita mengenai mertua yang sadis sering membuat para gadis bunuh diri sebelum hari pernikahan mereka.
�
"Tahun monyet, ya?" Sambil duduk, Bibi Mah membuka buku perbintangan bersampul kulit. "Tuangkan aku teh, Nak."
�
Aku tahu, ini adalah salah satu jenis tes paling umum dari makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis. Pertama-tama, aku harus meraba perut dari poci teh dengan punggung tanganku untuk memeriksa apakah suhu teh tersebut masih layak dihidangkan. Lalu, tangan kananku mengangkat poci, sementara lengan kiriku menahan sedikit pipa lengan baju sebelah kanan yang menjuntai. Dengan hati-hati aku menuang teh ke mangkuk agar tidak ada daun teh yang ikut tertuang. Aku harus tahu ukuran yang pas. Tidak terlalu penuh, tapi juga tidak terlalu sedikit. Terakhir, aku mengangkat mangkuk dengan ujung jari-jari kedua tanganku hingga sejajar dengan keningku dan badan merunduk. "Semoga teh ini menambah kesehatan Bibi Mah."
�
"Terima kasih." Bibi Mah mengambil mangkuk tersebut dengan kedua tangannya, tanda ia berkenan.
�
"Kakak Mah, A Cen dan A Pei sudah berumur lebih dari delapan belas tahun. Sebentar lagi tahun baru. Sanak keluargaku akan berkunjung dari Hong Kong. Di mana harus kutaruh mukaku jika mereka bertanya, kenapa A Cen dan A Pei belum menikah. Jika A Sui melangkahi kakaknya, bisa-bisa nanti mereka jadi perawan tua."
�
Tapi, Bibi Mah tampaknya tidak memedulikan ocehan ibuku. "Adik Cui, adik tentunya tahu mengenai keluarga Coy, keluarga terpandang yang memiliki tanah berhektar-hektar. Dua orang putranya merantau ke Nanyang (Asia Tenggara). Entah apa yang mereka cari di sana, padahal mereka hidup lebih dari berkecukupan di sini. Putra sulungnya sedang ada di sini untuk beberapa bulan. Nyonya Coy adalah janda yang baik hati. Dia mendesak putranya itu untuk menikah sehingga ia memiliki menantu yang bisa mengurusnya di hari tua. Dan, mereka meminta bantuanku."
�
Mendengar ini, ibuku benar-benar terdiam, tidak ingin membuyarkan prospek berbesan dengan keluarga kaya. Tiba-tiba, seperti tersadar sesuatu, ia bertanya, "Lalu, istrinya akan dibawa ke Nanyang?"
�
"Tidak, si istri akan ditinggal di sini untuk mengurus mertuanya. Saya lihat, putri bungsumu ini memiliki tahun lahir yang cocok dengan putra Nyonya Coy. Sama-sama monyet. Binatang yang sama dalam satu kandang akan mendatangkan hoki besar. Kita harapkan, putrimu ini akan melahirkan anak lelaki pada tahun monyet nanti sehingga peruntungan mereka berlipat-lipat ganda. Selain itu, perjodohan antara anak sulung dan anak bungsu adalah yang paling tepat. Aku dengar kau juga mempunyai putra yang merantau ke Amerika?"
�
"Ya, benar," jawab ibuku, kikuk. Walau orang tuaku adalah penduduk asli daerah ini, baru beberapa tahun terakhir ini kami kembali ke sini setelah sekian lama merantau. Akibatnya, tidak ada yang tahu bahwa kakak lelakiku adalah anak angkat yang sengaja diselipkan menjadi anak nomor tiga, menggeser kedudukanku hingga jadi anak nomor empat. Konon, akan sial nasib seorang anak perempuan yang dilahirkan dalam urutan ketiga. Berhadapan dengan Bibi Mah yang akan menjodohkanku dengan keluarga kaya, tentu saja ibuku tidak akan berterus terang.
�
"Baiklah. Nyonya Coy pasti gembira mempunyai menantu anak dari Adik Cui, yang kecantikannya sudah tersohor."
�
Ibuku tersipu-sipu. "Ah, wajah jelek dengan mata lebar seperti mata sapi sama sekali tidak cantik." Ibuku menyangkal kecantikannya sendiri. Benar, ibuku memang sangat cantik. "Aduh, di mana tata kramaku? Bibi Mah, silakan cicipi hidangan kami yang sangat sederhana ini." Ibuku mulai membuka beragam mangkuk yang ada di meja.
�
Aku benar-benar tercengang. Segera kukatupkan mulutku yang menganga. Hidangan yang tersedia benar-benar luar biasa. Tidak pernah kami memasak sebanyak dan sehebat itu.
�
Ketika malam tiba, aku tidak bisa memejamkan mata. Begitu cepatnya nasibku berubah. Sesaat, pada waktu pulang sekolah tadi, aku pikir aku akan mengetahui calon suami kakakku. Ternyata, justru aku yang akan menikah dalam waktu dekat. Dua minggu lagi, begitu kata Bibi Mah, jika Nyonya Coy setuju akan perjodohan ini dan hitungan tanggalnya cocok.
�
Seperti apakah putra sulung Nyonya Coy? Layaknya gadis remaja yang gemar membaca roman percintaan, aku membayangkan calon suamiku adalah pemuda terpelajar yang mengenakan setelan Eropa. Mungkin juga berkacamata seperti guru, tinggi, dan tampan. Tapi, tidak banyak yang kutahu tentangnya, kecuali bahwa usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Umurnya 28 tahun dan ia tengah merantau ke Batavia, daerah koloni Belanda. Namanya Kian Li, yang artinya lelaki emas. Itu saja. Puf! Lampu minyak di kamarku padam, meninggalkanku menerawang dalam kegelapan.
�
A Lin
Byuuurrr! Kusiram lagi sudut kandang babi yang merangkap kamar tidurku, walaupun tahu bahwa perbuatanku sia-sia belaka. Bau kandang yang menyengat, yang datang dari kotoran babi dan sisa makanan, tetap akan ada, meski aku sudah menyiramnya siang dan malam. Punggungku seolah akan rontok karena terlalu sering menimba air sumur.
�
Sudah enam tahun aku berada di sini, menempati balai-balai di kandang babi sebagai kamar tidurku. Kupandangi telapak tanganku yang kasar dan pecah-pecah karena mengurusi ternak babi yang jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor. Pakaianku hanya sepasang, yang kupakai setiap hari. Jika kucuci, pakaian itu harus kupakai lagi dalam keadaan basah.
�
Nyonya Mong, tempatku mengabdi, baru akan memberikan gantinya jika sudah benar-benar tidak bisa dibetulkan lagi. Kakiku juga sangat menyeramkan. Aku hanya memiliki sepasang bakiak yang jarang kupakai karena takut rusak. Akibatnya, berbagai macam kutu dan penyakit kulit menyerangku. Untuk pertama kalinya, selama enam tahun mengabdi, aku menangis.
Aku tidak menangisi keadaanku yang memprihatinkan. Aku hanya sangat merindukan ibuku. Mama, bagaimana keadaanmu di Cina sana? Tahukah kau bahwa anakmu ada di Batavia? Mereka memperlakukanku dengan sangat buruk di sini. Bahkan, babi saja mendapat makanan yang lebih baik agar cepat gemuk.
�
Setitik ingatan menyadarkanku. Ibuku, seperti juga diriku, tidak pernah bersekolah dan buta huruf. Tentu saja, dia tidak tahu letak kota Batavia. Yang ia tahu, aku dikirim ke arah selatan, ke negeri yang subur dengan cuaca yang bersahabat. Tidak seperti Cina, yang tanahnya sudah kelelahan karena menghidupi penduduk yang terlalu banyak. Belum lagi bahaya banjir yang selalu mengintip dari ujung langit, ingin menghanyutkan jerih payah para petani selama berbulan-bulan.
�
Mama, apakah Tai Tai masih menguras habis tenagamu? Tai Tai adalah ibu dari ayahku. Tai Tai berarti wanita yang paling dituakan dalam keluarga. Sebagai menantu perempuan yang berada dalam kekuasaannya, ibuku sangat menderita. Kami adalah petani miskin dari suku Hakka, hanya memiliki sebidang tanah kecil yang tidak selalu menghasilkan panen yang berlimpah.
�
Ketika hari masih gelap ibuku sudah harus bersiap-siap ke sawah dan membawa bekalnya sendiri, berupa dua bongkah ubi rebus. Di punggungnya, ia menggendong adikku yang belum bisa berjalan. Sepanjang hari adikku berada di punggung ibuku yang sibuk mencangkul tanah. Adikku akan tidur atau menangis karena bosan dan kepanasan. Ibuku tidak mau mengambil risiko membiarkannya main di tanah dan disantap ular atau binatang buas lain. Aku harus menjaga empat adikku yang lain di rumah. Ibuku baru akan memberikan adikku padaku jika dia sedang mengandung bayi lain di perutnya.
�
Ayahku jarang ada di rumah karena menjadi buruh tani di desa sebelah. Pada malam hari, ketika ayahku tidak ada di rumah, ibuku harus memijiti kaki Tai Tai. Dan, itu tidak hanya untuk sementara waktu. Ibuku harus memijitnya sampai pagi!
�
"Tak apa-apa," katanya padaku, suatu kali. "Tai Tai-ku juga pernah menderita di bawah kuasa Tai Tai sebelumnya. Suatu hari nanti, aku juga bisa menjadi Tai Tai dan dimanja menantu perempuanku," tambahnya, dengan nada kepahitan.
�
Aku masih ingat, saat aku berumur sembilan tahun, adikku yang masih bayi meninggal, entah karena penyakit apa. Panen gagal. Keluarga kami yang terlalu banyak pasti terancam bahaya kelaparan. Pagi-pagi sekali ibuku membangunkanku.
�
"A Lin, bangun. Ssst, pelan-pelan, jangan sampai adikmu yang lain bangun."
�
Kepalaku masih berat karena kantuk. Tapi, ibuku sudah memakaikanku jaket jahitannya yang disumpal dengan kertas sehingga tebal dan hangat. Di depan pintu ibuku menyuruhku naik ke punggungnya. Aku terkesiap. Aku sudah berumur sembilan tahun, sudah terlalu berat untuk digendong.
�
"Cepat naik, kita tidak boleh terlambat."
�
"Mama, bukankah lebih cepat jika aku berjalan saja?"
�
Ibuku tak mengacuhkan. "Jangan banyak tanya, cepat naik."
�
Aku menurutinya. Ibuku melangkah dengan perlahan. Ia bercerita, aku akan dikirim ke negeri yang indah. Aku tidak perlu bekerja terlalu berat karena tanah di negeri itu sangat subur. Perjalanannya melalui sungai dan disambung dengan kapal laut. Aku akan mengabdi pada keluarga Cina yang merantau. Ibuku berulang kali mengingatkanku, dengan menjadi anak baik, tidak mustahil aku akan dijadikan menantunya.
�
Aku tidak berkata apa pun. Tidak bertanya apa pun. Hatiku begitu pedih karena harus berpisah dari ibu dan adik-adikku. Dari suara ibuku yang bergetar karena isak tangis, aku tahu dia juga sangat merana melepas kepergianku. Aku mempererat pelukan pada leher ibuku yang berkeringat. Perjalanan kaki itu sangat panjang. Hari sudah siang ketika kami sampai di tepi sungai. Ibuku terlihat lega karena sampan yang akan membawaku belum datang.
�
"A Lin, jangan membuatku malu dengan tangisan seperti itu. Aku menginginkan kehidupan yang lebih baik untukmu. Jika kau di sini, Tai Tai akan mengirimmu ke rumah pelacuran. Kamu akan mati sebelum umur dua puluh karena diracun germo atau penyakit kelamin. Lihat, aku sudah membuatkanmu bekal perjalanan." Ibuku menunjukkan dua kepal nasi putih yang dibungkus daun bambu lebar.
�
Aku menggeleng. "Mama, makanlah nasi itu. Setiap hari Mama hanya makan ubi. Kita mungkin tidak akan berjumpa lagi dan aku tidak bisa membalas budi baik Mama. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu� dan� dan� tidak akan cengeng seperti ini," kataku terisak, tak bisa menahan tangis.
�
Ibuku langsung memeluk dan menciumiku, membiarkan nasi itu jatuh ke tanah. Dia tidak melepaskanku dari pelukannya sampai sampan tersebut datang. Sampan itu sudah berisi selusin gadis lain yang sama-sama miskin. Mereka memandang dengan tatapan kosong. Ketika sampan itu mulai bergerak, aku masih tidak melepaskan pandanganku dari ibuku yang berdiri di tepi sungai.
�
A Sui
Duduk dalam kamar pengantin, aku bisa mendengar jantungku sendiri berdegub kencang. Upacara pernikahanku sangat meriah. Ibuku sangat senang. Ia mendapat banyak uang susu dari mertuaku sebagai balas jasa karena telah membesarkanku. Dengan tandu yang diangkat empat pemuda berbadan tegap, aku dibawa ke rumah mempelai pria tempat berlangsungnya upacara. Ketika upacara dan resepsi selesai, aku masih belum mengetahui rupa suamiku karena wajahku ditutupi kain merah besar.
�
Di luar kamar pengantin, suasananya terdengar sangat riuh. Ada anak-anak kecil yang penasaran, pemuda-pemuda jail, yang sepertinya lupa usia. Mereka semua ingin menyaksikan acara terakhir hari itu, yaitu ketika pengantin pria memasuki kamar pengantin dan membuka kain penutup wajahku.
�
Tiba-tiba aku bisa merasakan ada orang lain di dalam kamar. Teriakan di luar kamar makin iseng dan kurang ajar. Dia ada di sini! Kian Li, suamiku, sedang duduk di ranjang di sebelahku. Aku tahu, aku harus membuka sepatu dan kaus kakinya. Kakinya begitu halus untuk ukuran seorang pria. Telunjuk kakinya lebih panjang daripada ibu jari. Itu merupakan tanda bahwa ia memiliki jiwa kepemimpinan dan keberuntungan.
�
Ketika aku sudah duduk lagi di sampingnya, kulihat ujung jari tangannya yang panjang mulai membuka kerudungku. Sorakan penonton makin liar dan tidak terkendali. Aku masih belum memandang wajahnya. Tidak berani!
�
Dia memberiku telur rebus yang sudah dikupas. "Aku bawakan kau sesuatu. Makanlah."
�
Ini masih bagian dari ritual. Aku mulai makan perlahan.
�
"Apakah masih mentah?" tanyanya.
�
Aku harus menjawab, "Ya, masih mentah." Tapi, sebenarnya telur itu sudah matang sempurna. Perutku protes kelaparan, karena hanya makan telur goreng buatan ibuku tadi pagi. Pengantin wanita hanya boleh makan telur di hari pernikahannya. Semua kerabatku memarahi ibuku. Karena ibuku bukan 'wanita sempurna'. Dia seorang janda. Janda dan wanita bersuami yang belum memiliki anak dilarang keras menyentuhku pada hari pernikahan. Mereka bisa membawa sial bagi rumah tanggaku nanti. Tapi, ibuku tetap bersikeras.
�
"Ini terakhir kalinya aku memasak untukmu, Anakku."
�
Diiringi protes dari penonton, suamiku menutup kelambu kang (ranjang besar) untuk melindungi kami berdua dari tatapan orang banyak.
�
"A Sui, jangan ketakutan seperti itu. Tidakkah engkau bahagia dengan pernikahanmu?" Suaranya empuk dan menenangkan.
�
Oh, Dewa, aku masih belum berani mengangkat wajahku. Untuk pertama kalinya aku sadar, dia pasti sama penasarannya denganku. Apakah dia sedang kecewa setelah melihat wajahku?
�
Kian Li mulai berbicara sambil tiduran. "Ketika aku masih belasan tahun, aku dan teman-teman suka membicarakan wanita tercantik di desa ini. Beberapa nama gadis disebut. Tapi, hanya aku yang menyebutkan nama janda muda Cui, ibumu. Mereka meledekku habis-habisan. Mereka pikir, aku ingin menikahi janda Cui. Tidak, jawabku. Aku tidak menginginkan janda Cui. Tapi, suatu hari nanti aku pasti akan menikahi salah satu anak gadisnya."
�
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus bersikap. Apa maksud dari perkataannya? Pujian atau hinaan? Kian Li juga terdiam. Kuberanikan diri meliriknya dengan ujung mataku. Dia tertidur! Suamiku tertidur di malam pertamanya! Apakah aku begitu jelek dan membosankan sehingga dia tertidur?
�
Aku mengamati wajahnya. Ah, dia begitu tampan. Alisnya begitu lebat. Hidungnya lurus dan tinggi. Rahangnya halus. Bibirnya manis, seakan selalu menyunggingkan senyum. Rambutnya lebat dan hitam, dicukur rapi layaknya semua pria setelah nasionalisme Cina. Aku harus mengakui, aku belum pernah menemukan pria setampan dia, kecuali dalam imajinasiku. Dia adalah surga.
�
�
Cerita lalu:
Gelang Giok (Bagian I)
�
A Lin
Seminggu yang lalu aku mendapat haidku yang pertama. Aku begitu panik melihat darah keluar dari tubuhku. Nyonya Mong sampai menempelengku karena mendengar teriakanku.
�
"Anak bodoh, kamu cuma la ye'. Teriakanmu lebih keras daripada babi yang disembelih. Cepat cuci celanamu. Jangan pernah berteriak seperti itu lagi. Setiap bulan kamu akan berdarah seperti itu."
�
Hari ini, untuk pertama kalinya, Nyonya Mong tiba-tiba memandikanku. Digosoknya badanku dengan sabun batang berwarna hijau dan serabut labu yang kasar hingga kulitku memerah kesakitan. Rambutku juga tidak lepas dari serangannya. Setelah dicuci, entah dengan cairan apa, kulit kepalaku terasa panas.
�
Selesai mandi, aku melihat seorang wanita yang penampilannya sangat aneh tengah menungguku. Aneh, menurutku, karena badannya langsing dan jangkung luar biasa, seperti wanita Barat, tapi kulitnya kuning dan matanya hitam sipit seperti orang Cina. Rambutnya yang kemerahan dikonde. Dia memakai kebaya encim yang sangat indah.
�
Setelah mengendus badanku dengan hidungnya yang mancung, disuruhnya aku mandi lagi. Aku harus mandi dua kali lagi sesudah itu. Lalu, ia membantuku memakai seperangkat pakaian yang sudah disiapkannya. Pakaian tersebut terdiri dari kain batik berwarna cerah, kebaya brokat kuning, yang sama indahnya dengan kebaya wanita itu, kutang putih dari katun, dan tiga peniti emas, yang dihubungkan satu sama lainnya dengan rantai tipis.
�
Aku belum pernah berpakaian model seperti ini. Seumur hidupku, aku juga belum pernah menyentuhkan jari-jariku pada keindahannya. Rambutku juga diberi minyak hingga hitam berkilat dan digelung ketat di atas tengkukku. Terakhir, dia memanaskan sebuah jarum di atas lilin. Aku sedang sibuk berpikir, untuk apa kira-kira jarum tersebut, ketika tiba-tiba dia menusukkannya dengan cepat ke kedua telingaku. Aku terlalu kaget untuk berteriak kesakitan. Dia terlihat sangat puas setelah memakaikan giwang emas di telingaku yang memerah.
�
"Kakak Mong, lihatlah ini. Kamu yakin, tidak ingin menjadikannya menantumu?" gumamnya, kepada Nyonya Mong.
�
Nyonya Mong tidak menjawab. Dia menyuruh kami cepat-cepat naik ke atas delman yang sudah menanti.
�
"Ke Pecah Kulit," katanya pada sais, dalam bahasa Melayu. Belakangan, aku baru tahu, nama Pecah Kulit sangat mengerikan. Karena, daerah itu adalah tempat Belanda menghukum para pemberontak. Kulitnya pecah karena kedua kaki dan tangan si terhukum diikatkan pada empat ekor kuda yang dientak untuk berlari ke arah yang berbeda. Lalu, kepala tanpa anggota badan itu dipenggal dan ditancapkan pada sebilah kayu hingga membusuk, sebagai peringatan bagi siapa pun yang menentang Belanda.
�
Ketika sampai di tujuan, tidak diragukan lagi, kami mengunjungi seorang Belanda. Rumah itu terlihat sangat bersih. Aku sudah hendak mencopot selopku, takut mengotori lantainya yang bening mengilap, ketika Nyonya Ulrike berkata, "Jangan pernah mencopot alas kakimu di rumah Belanda, kecuali jika kamu ingin dianggap babu."
�
Seorang pria Belanda keluar dan mulai bercakap-cakap riang dengan Nyonya Ulrike dalam bahasa Belanda. Penampilan pria itu tidak bisa dikatakan tampan, walaupun badannya tegap dan tinggi besar. Rambutnya pirang ikal. Matanya yang berwarna abu-abu sesekali melirik ke arahku.
�
Kesepakatan tercapai. Nyonya Ulrike membawaku ke sebuah kamar. Di situ terdapat ranjang tinggi berkelambu lebar untuk menghalangi nyamuk.
�
"A Lin, dengarkan aku," Nyonya Ulrike memegang bahuku dan menatapku lekat-lekat. Dia begitu jangkung sehingga di hadapannya aku seperti bocah lima tahun yang sedang diberi nasihat. "Mulai sekarang engkau akan tidur di sini. Pria tadi adalah tuanmu. Dari Kakak Mong, aku tahu bahwa kau anak yang baik dan tidak pernah mengeluh. Maka, berlakulah dengan baik dan pria itu akan menyayangimu dan memberimu barang-barang yang indah. Tak ada gadisku yang pernah mengecewakanku. Kau harus menjaga reputasi itu. Walaupun kau tidur dengannya, dia bukanlah suamimu. Jadi, jangan pernah bertanya ke mana ia pergi pada malam hari ataupun menanyakan perihal istrinya di negeri Belanda. Kau tidak perlu bekerja berat. Ada babu yang akan membantumu. Pria itu bernama Cornell van de Creek. Bisakah kau menyebut Cornell?
�
"Kolnel," kataku, cadel.
�
"Tak apa. Lama-kelamaan kau akan bisa menyebutnya. Kau juga harus belajar bahasa Belanda. Mulai besok aku datang setiap hari untuk mengajarimu berbahasa Belanda dan mengajarimu memasak hidangan Belanda. Tapi, yang paling penting adalah mengajarimu menjadi seorang nyonya, seorang nyai. Kamu sekarang adalah nyai. Bisakah kau menyebut 'nyai'?"
�
"Nyai," kataku, pelan.
�
1937
A Sui
Sudah diputuskan, aku akan menyusul Kian Li ke Batavia. Semua barangku sudah disiapkan dalam sebuah koper biru telur asin. Jepang mulai menyerang Cina. Tidak ada yang tahu kapan tentara mereka memasuki desa dan melakukan hal biadab.
�
Sudah dua tahun aku menjadi istri Kian Li. tapi kebersamaan kami dulu hanya berlangsung selama sebulan, sebelum dia kembali ke Batavia. Aku di sini tinggal bersama ibu mertua dan keluarga besarnya.
�
Tidak banyak yang kulakukan di rumah ini. Ibu mertua mengajariku menyulam serapi mungkin sehingga sulit membedakan bagian depan dan belakangnya. Aku juga diizinkan kembali bersekolah. Aku akan mengepang rambutku sebelum berangkat dan menggelungnya kembali setibanya di rumah. Beberapa kawanku tahu bahwa aku sudah menikah. Tapi, aku terlalu malu untuk menunjukkannya secara terang-terangan.
�
Aku sedang bermain dengan keponakanku ketika seorang pembantu memberi tahu bahwa aku ditunggu ibu mertua di ruang tamu. Ternyata, ibuku juga ada di sana.
�
"Mama," kataku perlahan, sambil mendekat.
�
"Aduh� betul-betul tak tahu aturan! Ibu mertuamu adalah ibumu sekarang. Kakak Coy, maafkan saya. Saya pikir, saya sudah cukup mengajarinya. Saya malu jika dia sangat menyusahkan Kakak."
�
"Tidak, A Sui gadis yang baik," jawab ibu mertuaku.
�
"Saya baru diberi kabar oleh orang suruhan Kakak bahwa A Sui akan berangkat ke Nanyang besok. Saya langsung gelisah. Di negeri yang jauh itu, siapa yang akan mengajarinya tata krama dan melayani suami dengan baik. Karena itu, saya datang dan ingin menasihatinya untuk terakhir kali, sehingga saya tidak disalahkan nenek moyang saya di akhirat nanti. Kakak Coy tentu mengerti maksud saya."
�
Mertuaku menangkap isyarat bahwa ibuku hanya ingin bicara berdua saja denganku. Dengan alasan hendak mengurus sesuatu di belakang, ia meninggalkan kami berdua.
�
"A Sui," kata ibuku. Raut wajahnya berubah drastis. Nada suaranya tidak lagi berpura-pura riang. "Kamu terlihat sangat sehat. Mereka memperlakukanmu dengan baik di sini?"
�
Pertanyaan yang tidak usah dijawab karena keluarga Coy terkenal akan kebaikannya. "Mama juga terlihat sangat sehat," kataku, berbasa-basi.
�
"Kamu akan pergi sangat jauh, persis tetangga kita Bin Lau yang pergi ke Ipoh. Aku akan menyuratinya agar dia bisa menjagamu jika kau mendapat kesulitan." Tangis ibuku hampir pecah.
�
"Batavia lain dengan Ipoh, Ma. Lain kota, lain pulau, lain koloni. Ipoh di bawah koloni Inggris dan Batavia di bawah koloni Belanda," kataku. Sebenarnya, aku tidak boleh mengonfrontasi orang tua dan memamerkan pengetahuanku.
�
"Sama-sama jauh," katanya, tak menyadari kekurangajaranku. "Pohon baik akan berbuah baik. Aku tahu, putra Coy itu juga sama baik dengan kedua orang tuanya. Dia tidak akan menyia-nyiakanmu. Aku ingin memberimu sesuatu. Benda ini dimiliki keluarga kita selama puluhan tahun, Entah sudah berapa generasi dilewatinya. Konon, nenek moyangmu adalah seorang selir Kaisar Mancu. Meski nenekmu sangat cantik, Kaisar adalah seorang pembosan. Zaman itu masih belum ada pembatasan bahwa seorang kaisar hanya boleh memiliki seratus selir. Jadi, dia memiliki lebih dari 300 selir. Bisa kau bayangkan, ketika Kaisar tidak pernah mengunjunginya lagi, nenek moyangmu merasa sangat bosan dan merencanakan pelarian. Dia berhasil menyuap penjaga untuk menyelundupkannya ke luar istana dan lari ke daerah selatan. Kemudian dia menikah dengan lelaki setempat dan beranak pinak. Dengan demikian, si selir merasa tenang karena ada anak yang akan mendoakannya jika dia meninggal."
�
Ibuku berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Dalam pelariannya, si selir juga membawa berbagai perhiasan yang dihadiahkan Kaisar ketika dia masih menjadi favoritnya. Gelang ini�." Ibuku mengeluarkan sepasang gelang giok dari balik kutangnya, "satu-satunya yang masih tersisa. Diturunkan dari generasi ke generasi dan selalu diberikan pada anak perempuan mereka. Sungguh berlawanan dengan adat kita yang selalu mengagungkan anak lelaki. Karena itu, aku ingin memberikannya padamu. Jagalah baik-baik." Ibuku memasangkan gelang itu pada kedua lenganku.
�
"Mama, bagaimana dengan A Cen dan A Pei?" tanyaku, mengingat dua kakakku yang juga perempuan.
�
"Tak apa, mereka memiliki aku di sini. Gelang itu akan melindungimu di negeri jauh. Kamu tahu, giok bisa menangkal bahaya."
�
Memang, aku pernah melihat ibuku memakai gelang ini pada kesempatan istimewa. Tapi, aku belum pernah mendengar sejarahnya. Sebelum aku sempat mengamati lilitan emasnya, ibuku memberikan kedua belah giwang yang sedang dipakainya.
�
"Giwang giok ini juga kuberikan padamu. Ini tidak memiliki sejarah apa pun. Ibuku yang memberikannya. Sekarang, copot gelang itu dan simpan semua dalam kutangmu. Aku tidak ingin ibu mertuamu tersinggung karena aku memberimu perhiasan."
�
Tak lama kemudian ibu mertuaku datang dan mengundang ibuku makan malam bersama. Ibuku yang suaranya sudah kembali bernada riang sangat mahir memainkan perannya sebagai tamu yang sopan.
�
"Wah, benar-benar berkah dari langit diundang makan di rumah ini. Saya tidak yakin, apakah saya cukup layak menerimanya. Karena, hari hampir malam dan saya harus pulang."
�
"Justru karena hampir malam, Adik harus makan di sini."
�
Setelah tarik ulur yang sepertinya tidak akan selesai, ibu mertuaku setengah menyeret ibuku masuk ruang makan. Makan malam tersebut sebenarnya sangat istimewa, jika benakku tidak dipenuhi bayang-bayang kemungkinan bahwa ini adalah makan malamku terakhir di negeri Cina. Aku memasang muka pura-pura tertarik mendengar penjelasan ipar lelakiku mengenai taktik Perang Jepang.
�
Tibalah saatnya aku mengantar ibuku ke depan pintu. Seorang pembantu laki-laki sudah menunggu untuk mengantarnya pulang.
�
"A Sui�," katanya pelan, sambil tersenyum.
�
"Ma�," aku tercekat. Mataku panas.
�
"Sudahlah." Dia berbalik, meraih lentera yang disodorkan pembantu.
�
Aku masih bisa melihat bayangan tubuhnya berhenti sebentar ketika akan menaiki bukit yang agak terjal di belokan. Ingin rasanya aku berlari mengejar dan memeluk ibuku, persis seperti waktu aku kecil dulu, bila aku jatuh. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Aku yakin dia tidak bicara lebih banyak, karena tidak ingin membuatku menangis dan mempermalukan diriku di hadapan keluarga suamiku. Kudekap dadaku dan merasakan dingin giok menyentuh kulitku.
�
A Lin
"Jangan terbawa mimpi, Lince, kalau kau tak mau jatuh dan merasakan sakitnya." Nyonya Ulrike berkata dalam bahasa Belanda. Aku sudah mahir berbahasa Belanda sekarang dan pandai berhitung, walaupun masih tetap buta huruf.
�
"Apa?" tanyaku, pura-pura melipat kain batik yang dijual Nyonya Ulrike. Jelas sekali dia membaca air muka wajahku yang sedang jatuh cinta.
�
"Cornell bukan suamimu. Suatu saat dia akan pulang ke Holland dan meninggalkanmu."
�
"Mungkin juga dia tidak akan pulang," sanggahku. "Pabrik kertasnya maju karena sekarang banyak orang yang membuka usaha penerbitan."
�
"Ada istrinya di Belanda," tukas Nyonya Ulrike.
�
"Istri yang tidak bisa memberikan anak," kataku, sambil membelai perutku yang buncit karena hamil.
�
"Lince," suara Nyonya Ulrike benar-benar serius, "aku sudah sering menyaksikan pemandangan seperti ini. Seorang wanita begitu bodoh membohongi dirinya sendiri bahwa dia tidak pernah akan ditinggalkan. Aku harap, kamu tidak mengulangi pola yang sama. Seorang nyai akan bahagia selama ia berperan sebagai nyai dan tidak pernah berharap lebih dari itu. Jika ia mengharapkan lebih dari itu, dia tidak ada ubahnya seperti pelacur yang mengemis, minta dijadikan istri. Jadi, jangan pernah mengharapkan lebih dari apa yang layak kamu dapatkan. Suka tidak suka, kamu harus mempersiapkan hatimu bahwa Cornell akan pergi, suatu saat nanti."
�
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, untuk menyenangkan hati Nyonya Ulrike yang sedang menatapku tajam. Sedetik kemudian benakku sudah dipenuhi rayuan Cornell tadi malam, tentang betapa ia sangat mencintaiku dan tak mungkin hidup tanpa diriku.
�
Terlebih lagi setelah aku melahirkan dua anak kembar perempuan yang cantik. Aku diberi hadiah intan permata dan kemanjaan, seolah aku adalah istri kesayangan, sekaligus putri raja.
�
Kedua putri kembarku, Noni dan Nona, dibaptis oleh seorang pendeta berjubah hitam serta diberi nama Gertrude dan Geraldine. Rambut mereka ikal keemasan. Matanya abu-abu, persis Cornell. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ibu mereka seorang Cina, kecuali pantat mereka yang biru kehijauan, seperti baru ditendang Dewa Langit.
�
Kebahagiaan. Apakah yang kutahu, selain hidup enak tanpa harus bekerja keras? Pria. Apakah yang kuketahui tentang mereka? Hanya Cornell pria yang kukenal. Kupikir, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup ini akan berlangsung selamanya. Tapi, sepertinya tidak.
�
"Aku harus pulang ke Holland, Lince. Istriku memberi kabar, kedua orang tuaku sakit. Mungkin, aku tidak akan kembali lagi ke sini. Sudah ada orang yang ingin membeli pabrik kertasku. Rumah ini juga sudah masuk dalam daftar pelelangan. Besok Ulrike akan datang dan ia akan mencarikan pelindung yang baru," kata Cornell, agak gugup.
�
Otakku membeku. Hatiku yang tiba-tiba mengeras menyuruhku untuk berteriak sekuat-kuatnya, untuk menyumpah, memaki sepuasnya di depan pria yang sangat kucintai ini. Ingin rasanya aku mengingatkan segala janji yang pernah diucapkannya pada malam-malam kebersamaan kami.
�
Setengah jam berlalu, jam besar di sudut menggoyangkan bandulnya ke kiri dan ke kanan, menghinaku. Aku masih tidak bereaksi. Kupandangi Cornell yang terbenam dalam keasyikannya membaca neraca laba perusahaan. Kesadaran lain menyergap. Ada naluri lain yang menyuruhku mengiba di depan Cornell, merayu, dan memohon agar dia tidak meninggalkan aku. Atau, paling tidak dia bisa membawaku ikut ke Belanda.
�
Aku berdiri. Aku bisa memilih untuk menjadi pengemis atau mengumpulkan sisa-sisa harga diriku yang berserakan. Kupandangi Cornell lagi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melakukan perbuatan sia-sia. Cornell tidak pernah benar-benar mencintaiku. Baginya, aku hanyalah babu elite di siang hari dan guling hangat di malam hari. Bukankah Nyonya Ulrike sudah pernah mengingatkannya padaku?
�
"Lince, orang Belanda itu berbeda dari orang Inggris yang terlalu pelit untuk memelihara nyai. Mereka menciptakan bantal guling untuk mereka peluk malam hari. Padahal, jika kau ke Inggris, tidak akan kau temui bantal guling."
�
Itulah aku, bantal guling Belanda.
�
Kulangkahkan kaki ke luar kamar. Entah mengapa, kakiku melangkah ke arah dapur dan membaringkan tubuhku di sana. Dingin. Lihatlah Mama, aku tidak menangis.
�
Keesokan harinya Nyonya Ulrike datang. Cornell juga ada, sedang membaca selembar kertas. Tidak seperti biasa, Nyonya Ulrike tampak sangat gugup. Dia bercakap-cakap dengan Cornell tentang kandidat yang akan memeliharaku nanti. Sakit hatiku melihat mereka membicarakan masa depanku, tanpa melibatkan diriku sama sekali.
�
"Aku tidak mau menjadi nyai lagi," kataku, tiba-tiba.
�
Mereka berdua berpaling, memandangku bingung.
�
"Tapi, Lince�," gumam Nyonya Ulrike.
�
"Aku tidak mau menjadi nyai lagi. Carikan aku pria yang mau menjadikan aku istri," kataku, tegas.
�
Hening.
�
"Bisa saja diatur. Cornell, aku minta foto Lince yang sedang berfoto bersama si kembar. Nanti aku kirim ke Tanah Abang. Di sana ada bursa pria Cina yang mencari istri." Nyonya Ulrike tampak agak lega.
�
Cornell mengeluarkan fotoku dari pigura di meja sudut. Setelah menyerahkannya pada Nyonya Ulrike, dia menghampiriku dan meletakkan lembaran kertas yang ada di tangannya.
�
"Lince, aku minta kau mencap jarimu pada dokumen ini," katanya.
�
"Apa ini?" tanyaku, saat melihat foto si kembar ada di sana dan deretan aksara yang tidak bisa kubaca. Aku memandang Cornell dan Nyonya Ulrike bergantian.
�
"Lince, kupikir, ada baiknya jika aku membawa si kembar bersamaku ke Belanda. Ada istriku yang akan menjaga mereka di sana."
�
"Tapi, dia bukan ibu mereka. Dia pasti akan membenci si kembar. Mereka baru saja bisa berjalan, masih bayi. Mereka masih menyusu padaku." Suaraku benar-benar memelas sekarang.
�
"Greta, istriku, sudah mengetahui keberadaanmu di sini. Awalnya, dia marah. Tapi, setelah dijelaskan bahwa sangat lumrah memiliki nyai di Hindia, dia bisa mengerti. Dia juga bersedia menerima si kembar, mengingat kami tidak memiliki anak. Gertrude dan Geraldine sudah cukup besar untuk bepergian. Kamu tidak usah khawatir. Di kapal laut ada wanita yang menyewakan payudaranya dan akan merawat si kembar bila mereka rewel," ucap Cornell, tenang, meski jelas sekali dia menghindari tatapan mataku.
�
Kupandangi kertas di hadapanku, bertanya dalam hati, apa yang akan terjadi jika aku menolak. Aku baru mengetahui bahwa si kembar hanya memiliki hubungan hukum denganku sebagai ibu yang melahirkannya karena Cornell tidak pernah secara sah menikahiku. Dengan memberikan cap jari, berarti aku setuju anakku diadopsi oleh Cornell. Biadab. Aku yang masih buta huruf dibodohi seperti itu.
�
Tapi, saat itu aku tidak berdaya. Jika aku menolak, sekeras apa pun, Cornell pasti akan menang. Dengan pasrah kubiarkan Cornell menekan-nekan ibu jariku di dokumen tersebut.
�
Payudaraku mengencang karena emosi yang menggeliat di dalam dadaku. Naluri seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Lunglai aku mencari si kembar. Kupeluk mereka erat-erat.
�
Mama, beginikah rasanya ketika kau dulu terpaksa melepaskanku? Pedih dan ngilu, bagai pedang panjang menembus tubuhmu. Setiap embusan napas makin membuatnya menghujam lebih kejam, mencabik, dan meninggalkan luka yang menganga. Jika waktu akan menyembuhkannya, luka parut yang tersisa akan selalu mengingatkan bagaimana luka itu ada, mengingatkan akan setiap irisan yang pernah kau alami. Mengerikan!
�
Noni dan Nona mulai menarik-narik ujung kebayaku. Mereka bisa mencium bau susu dengan penciuman mereka yang tajam. Kubiarkan mereka menyusu secara bersamaan. Kubiarkan tanggul mataku roboh. Aku menangis dan mulai menghitung detik-detik sebelum perpisahan.
�
�
Bersambung ke bagian III
�
Cerita lalu:
Gelang Giok (Bagian I)
Gelang Giok (Bagian II)
�
A Sui
Tanjung Priok. Aku bahkan tidak bisa melafalkannya dengan benar. Lidahku sangat cadel, tidak terbiasa mengucapkan bahasa asing. Setelah perjalanan laut yang panjang, aku akhirnya sampai di pelabuhan ini. Dua kawan wanitaku sekampung, Wu Lai dan Syu Lan, yang satu perjalanan denganku sudah dijemput suami dan kerabat mereka masing-masing.
�
Seorang petugas imigrasi berdarah Cina memberitahuku bahwa sebenarnya suamiku sudah menjemput di luar. Tapi, dia lupa membawa surat bukti nikah. Jadi, terpaksa aku menginap di sini sampai suamiku bisa memberikan bukti otentik karena kantor imigrasi sudah tutup.
�
"Adik," katanya, dengan tatapan mata kurang ajar, "banyak wanita cantik diselundupkan dari Cina karena Belanda melarang perkawinan campur dengan pribumi. Wanita yang datang punya cerita yang sama, yaitu menyusul suami mereka. Padahal, kenyataannya, mereka dijual dari Cina. Di sini, jika beruntung, mereka akan dijadikan istri atau tinggal di tempat pelacuran."
�
Ingin rasanya aku menampar mukanya kalau tidak ingat bahwa aku harus menahan diri dan tidak ingin mereka memperlakukanku lebih buruk. Mereka memasukkanku dalam sebuah sel. Sel yang sudah dipenuhi sekitar dua puluh lima wanita seusiaku.
�
Mungkin, memang banyak wanita diselundupkan dari Cina. Aku tersenyum lemah pada wanita di sebelahku dan mencoba berbincang dengannya. Tapi, aku sadar, dia menggunakan dialek yang tidak kumengerti. Mungkin Hokian.
�
Seorang pria kulit putih menilik kami satu per satu pada malam hari. Aku berusaha duduk setenang mungkin dan tidak menutup wajahku. Dia justru menyentuh wanita yang menutup wajahnya dan memaksa mereka memperlihatkan wajah mereka. Ibuku pasti langsung pingsan jika melihatnya. Kulitnya sangat putih. Rambut pirangnya ada di sekujur tubuh dan wajahnya. Yang paling mengerikan adalah matanya. Begitu pucat, seperti mata setan.
�
Tapi, orang itu tidak melakukan apa pun. Ketika penjaga menutup pintu sel, aku mendengar embusan lega dari kawan-kawanku. Beberapa orang malah mulai terisak-isak karena ngeri.
�
Hari sudah agak siang ketika mereka melepaskanku. Kian Li tampak sangat pucat, meski terlihat sangat tampan memakai setelan Eropa berwarna putih. Dia meremas-remas topi di tangannya untuk menutupi rasa gugup.
�
"Mereka tidak percaya aku suamimu," katanya, singkat. "Belum apa-apa, kau sudah membuatku susah," omelnya. Ia meraih koperku dan menyuruhku naik ke atas delman.
�
Aku merengut. Enak saja dia mengomel atas hal yang sama sekali bukan kesalahanku. Kian Li bahkan tidak bertanya, apakah aku sudah makan atau belum. Padahal, aku sudah sangat kelaparan. Hatiku benar-benar kesal. Dalam kesempatan lain aku akan terpesona oleh pemandangan kota yang dihiasi gedung megah.
�
Tiba-tiba Kian Li meraih tanganku dan meremasnya.
�
"Aku sangat khawatir," katanya, lirih, sambil memandang jalanan di hadapan kami. "Mereka tidak memperlakukanmu dengan buruk, 'kan?" Dia menatapku.
�
Aku menggeleng lemah. Hatiku lumer oleh sikapnya yang lembut.
�
"Kamu pasti sangat lapar. Di sini banyak restoran Kanton yang enak. Sebelah rumah kita nanti juga restoran. Aku dan adik laki-lakiku menyewa rumah yang akan kita tinggali bersama di daerah Pintu Besar. Salah satu kawasan Glodok yang merupakan daerah Pecinan di Batavia. Kolonial Belanda membatasi kaum Cina agar tinggal di daerah Pecinan saja. Jadi, kau akan lihat tempat yang kamu tinggali tidak ubahnya sebuah kampung Cina yang besar, walau mereka datang dari suku Cina yang berbeda." Nada suaranya riang. Dengan kikuk ia melepaskan genggaman tangannya.
�
Badan kami berdua bergoyang-goyang, seirama dengan langkah kaki kuda. Kusadari, sebelumnya aku tak pernah melihat kuda. Ketika sedang asyik memandangi mahluk cantik itu, tiba-tiba aku merasa Kian Li sedang menatapku. Tapi, dia langsung berpaling ketika tahu aku meyadari tatapannya. Wajah kami berdua pun memerah karena malu.
�
Aku juga sangat merindukanmu, bisikku dalam hati. Itulah suamiku yang memesona. Seperti sebuah ungkapan Cina, dia jenis pria yang dapat membuat air naik ke langit dan bunga-bunga jatuh ke bumi.
�
Kami sampai di depan rumah yang dimaksud. Rumah-rumah di sini berdempetan. Namun, atapnya sangat familiar, melengkung ke atas, menampung segala berkah dari langit. Orang-orang berseliweran, seolah mereka semua punya hal penting untuk diselesaikan.
�
Kian Jin, adik iparku, sudah menungu di depan pintu.
�
"Kakak ipar, akhirnya kita bertemu. Kian Li nyaris menggigiti sepatunya sendiri tadi malam karena menghawatirkanmu," katanya, sambil tersenyum nakal, menggoda kakaknya.
�
Aku terdiam, walaupun sangat senang. Kian Li berusaha mengatur wajahnya agar yang dikatakan adiknya seolah bohong belaka.
�
Kian Jin lebih muda dua tahun daripada Kian Li. Mereka berdua merantau ke Batavia sepuluh tahun lalu dan membuka usaha pembuatan mebel bersama-sama. Usaha mereka sangat maju karena mebel buatan mereka sangat halus dan kokoh, sesuai selera Belanda.
�
Kian Li dan Kian Jin sangat tampan. Gadis-gadis anak pemilik restoran sebelah secara terang-terangan menggoda mereka setiap kali lewat. Senyum-senyum, memamerkan gigi mereka. Hatiku langsung terbakar api cemburu. Tidak masalah jika mereka menggoda Kian Jin. Kian Li sudah memiliki istri. Dia milikku! Aku uring-uringan memikirkan apa yang dilakukan Kian Li sebelum aku datang menyusulnya.
�
Tapi, sebagai wanita Cina bermartabat, aku tidak boleh menunjukkan perasaan cemburuku pada siapa pun. Sangat lumrah bagi pria Cina jika ia memiliki beberapa istri atau mengunjungi rumah pelacuran sekalipun. Sepintar-pintarnya aku memendam perasaan, Kian Jin bisa melihat perubahan sikapku.
�
"Kian Li, tidakkah kau lihat istrimu ini merengut setiap kali kita melewati restoran sebelah? Seperti anak kecil yang dilarang membeli gula-gula," katanya, sambil melihat wajahku yang memerah. Aku tidak heran jika dia bisa melihat asap keluar dari telingaku.
�
Kian Li menatapku khawatir. "A Sui, kamu sakit? Cuaca di sini memang lebih panas dari Tiongkok sana."
�
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat.
�
"Kian Li, kamu memang bebal. Istrimu ini cemburu pada gadis-gadis sebelah," kata Kian Jin, tidak memedulikan wajahku yang berwarna ungu.
�
Kian Li, mendengus, sekilas aku bisa melihatnya tersenyum. "Kian Jin, mungkin besok aku pergi ke Pasar Baru, menemani kakak iparmu membeli kacamata. Mungkin, aku juga akan membeli cermin baru. Tampaknya, A Sui tidak pernah melihat wajahnya sendiri di cermin," kata suamiku, datar.
�
Ini adalah pujian. Orang Cina tidak biasa memberikan pujian langsung kepada istrinya. Aku tersenyum senang. Kian Li menganggapku lebih cantik dari gadis-gadis sebelah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Tapi, Kian Li berkomentar seenaknya, "Dasar wanita sinting," katanya, sekenanya.
�
1939
A Lin
"Gue pengen pinjem duit elu senilai satu kilogram emas. Gue kembaliin lima tahun lagi, ditambah bunga lima puluh gram emas," kataku pada Loi Kun, suamiku. Anak perempuan kami, Lin Ai, merangkak-rangkak di lantai, mencari bolanya yang terbuat dari kulit kambing.
�
"Ape?" Suamiku tidak memercayai pendengarannya. Kami berdua berkomunikasi dalam bahasa Melayu dengan logat Betawi. Walaupun keturunan Cina Ke' (Hakka) seperti aku, Loi Kun adalah Cina peranakan. Artinya, puluhan tahun lalu nenek moyangnya sudah datang ke Indonesia, bercampur dengan darah pribumi.
�
"Gue mau pinjem duit buat buka warung kelontong."
�
"Emangnye, duit yang gue kasih tiap bulan nggak cukup?" tanyanya.
�
"Gue pengen punya duit sendiri," sahutku, memberi alasan, meski sebenarnya aku mengkhawatirkan masa depan kami. Loi Kun bekerja di perusahaan tekstil milik Belanda. Gajinya setiap bulan lebih dari cukup untuk membiayai kami semua. Beberapa minggu lalu dia baru saja mendapat banyak warisan dari ibunya. Hal inilah yang mendrongku untuk memberanikan diri meminjam uang darinya. Karena, aku tahu pasti, perusahaan milik Belanda itu tidak akan berlangsung selamanya. Persis seperti Cornell-ku yang sudah pergi. Aku tidak ingin warisan yang kami miliki terkikis sedikit demi sedikit.
�
"Buka usaha kelontong di sini mana laku?" tukasnya, ragu. Di sekitar rumah tinggal kami yang berada di Pecenongan memang banyak saingan.
�
"Mangkenye gue pengen pindah ke daerah pinggir. Misalnya, Pasar Minggu atau Manggarai," jawabku lagi.
�
"Elo atur aje, deh," katanya, ringan. Dia tersenyum. Dia mencintaiku. Terlalu mencintaiku. Aku tidak layak baginya, karena aku tidak mencintainya. Aku tidak bisa dan tidak mau. Bagaimana jika suatu saat dia berhenti mencintaiku, pergi meninggalkanku, mempunyai wanita simpanan, atau dijemput maut? Tidak. Aku tidak mau merasakan sakit hati lagi.
Sejak pertama Nyonya Ulrike memperkenalkan kami, dia begitu terpesona pada penampilanku yang anggun sebagai nyai. Aku langsung jatuh iba padanya.
�
"Betul kan, si A Lin cakep. Kagak rugi, deh, kalo aye yang jadi calo." Nyonya Ulrike memperkenalkanku pada Loi Kun, anak saudagar emas dari Pecenongan. Ibunya yang berbadan bungkuk juga ikut mengangguk-angguk puas.
�
"Emang bener, Cim, mendingan si Loi Kun kawin sama A Lin yang sudah jadi nyai begini. Pinter ngurus rumah, kagak macem-macem. Daripada dia kawin sama anak perawan, tapi gede ambeknye. Kerjaannye cuma cembetut tiap hari kalo kemauannye kagak diturutin. Belon lagi keluargenye pada pengeretan. Bisa-bisa si Loi Kun kurus kering karena makan ati," kata Nyonya Ulrike, berusaha menambah nilai jualku.
�
Sekilas, pandangan mataku dan Loi Kun bertemu. Entah mengapa, dia langsung menunduk malu. Dia baru berumur dua puluh dua. Masih begitu muda. Aku tujuh belas, tapi aku merasa sudah berumur seratus tahun. Maafkan aku, Loi Kun. Aku akan merawatmu dengan baik, melahirkan anak-anak yang lucu bagimu, tapi aku tidak bisa memberikan hatiku padamu. Si Belanda berengsek itu telah mengambilnya terlebih dahulu.
�
A Sui
Untuk pertama kalinya aku menyaksikan Kian Li dan Kian Jin bertengkar. Aku dan Kian Li sudah memiliki seorang anak perempuan berumur satu tahun. Badannya montok dan sangat lucu. Kian Li berencana membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dia memesan sepuluh meja di restoran sebelah yang akan menghidangkan sembilan macam hidangan. Hal ini mengesalkan Kian Jin. Menurutnya, itu pemborosan. Terlebih lagi, anak kami perempuan, bukan laki-laki yang bisa dibanggakan.
�
Dua tahun sudah aku mengenal Kian Jin. Mengenalnya seperti aku mengenal suamiku. Dengan sikapnya yang riang dan terkadang urakan, aku tidak pernah menyangka dia memiliki pemikiran kolot mirip kakek-kakek. Sementara itu, Kian Li beranggapan, Kian Jin sama sekali tidak punya hak untuk protes. Karena, uang yang kami pakai adalah uang kami sendiri, mengingat setiap keuntungan hasil usaha selalu dibagi dua sama rata.
�
Di hari perayaan itu, Kian Jin sengaja tidak pulang. Tamu yang datang tidak kurang dari seratus orang, membawa hadiah bagi si bayi. Temanku sekampung, Syu Lan, dan suaminya juga datang. Mereka bilang baru saja membuka usaha mi di daerah Gajah Mada.
�
Hidangan disantap rame-rame. Para tamu tersenyum puas kekenyangan dan tampak gembira. Tibalah acara puncak. Sebuah nampan bundar, hampir sebesar meja, diletakkan di depan sang bayi. Nampan itu diisi berbagai pernak-pernik dan makanan kesukaan bayi. Diharapkan, sang bayi akan memilih satu benda dari nampan tersebut. Benda yang dipilihnya dipercaya merupakan gambaran masa depan si bayi.
�
Sui Lai tampak bingung melihat benda-benda di hadapannya diatur sedemikian rupa hingga tampak semarak. Sejenak aku berpikir dia akan mengambil makanan kesukaannya, buah plum kering yang dibungkus kertas. Tapi, aku pernah mendengar, biasanya si bayi akan memilih benda selain makanan kesukaannya. Makanan tersebut diletakkan hanya untuk membingungkan si bayi.
�
Seorang pria berbadan sangat gemuk bergurau. Dia meletakkan botol arak dan kartu judi di dalam nampan. "Siapa tahu dia jadi pemabuk dan penjudi," katanya. Semua tamu terbahak-bahak.
�
Tangan Sui Lai yang gemuk mengibas ke dalam nampan sehingga isinya berantakan. Kemudian ia meraih sebuah gelang. Lengannya yang lain meraih lagi, mengambil pasangannya. Gelang giok pemberian ibuku.
�
"Aaahh�." Para tamu serempak bersuara dan mengangguk-angguk, berusaha menafsirkan arti pengambilan gelang tersebut.
"Dia akan menjadi ahli permata," kata seorang pria kurus.
�
"Tidak, dia akan menjadi ibu dan istri yang pengertian, seperti giok yang dingin," sanggah seorang wanita berkebaya.
"Dia akan kuat dan penuh kuasa seperti naga," cetus seorang kakek tua, sambil memperhatikan naga emas yang melilit gelang.
�
"Sui Lai akan menjadi nyonya besar yang memiliki banyak harta," kata Kian Li tiba-tiba. Semua orang menoleh dan mulai mengangguk-angguk, menyetujui tafsiran tersebut.
�
�
Hari yang meriah, sekaligus melelahkan. Tengah malam Kian Jin pulang. Penampilannya awut-awutan. Aku bisa mencium bau arak yang menguar. Dia mabuk.
�
"Aku mau pergi," katanya, singkat.
�
"Mau ke mana," tanya Kian Li, datar.
�
"Makassar."
�
Seminggu kemudian dia pergi, menaklukkan daerah yang baru. Mungkin juga untuk memuaskan ambisinya. Batavia sudah terlalu sumpek, begitu katanya dulu.
�
Tidak berapa lama sejak kepergiannya, kami sekeluarga juga dipaksa pindah. Kolonial Belanda ingin merapikan tata kota, terutama daerah Pecinan yang makin semrawut. Kami pindah ke Jatinegara, daerah Mester, yang konon diambil dari nama seorang Mister Belanda terkenal yang pernah tinggal di sana. Letaknya tidak jauh dari pasar. Di sini juga ada keluarga Betawi. Hal ini sangat menyulitkan karena aku tidak bisa berbahasa Melayu.
�
Rumah kami kecil, menyewa dari seorang Betawi, Pak Yahya. Yahya pernah bekerja pada seorang Belanda yang memiliki sebidang tanah luas. Ketika orang Belanda itu pergi, Yahya mengambil alih tanah tersebut dan menyewakannya kepada orang Cina yang banyak pindah dari Kota.
"Aku akan beli rumah yang besar nanti. Untuk sementara, kita tinggal di sini. Yang lain penuh," kata Kian Li, menghibur.
Ah, Kian Li� tidakkah kau cukup mengenal diriku? Bagiku, materi tidaklah penting. Aku tersenyum menenangkannya, mengelus perutku yang menggembung karena mengandung anak kedua.
�
1954
A Lin
Nyonya Lin. Begitu kini panggilanku. Tidak ada satu orang pun di daerah Bukit Duri yang tidak mengetahui namaku. Bahkan, ketenaranku mencapai Manggarai, Kampung Melayu, Jatinegara, dan Menteng Pulo. Aku sangat kaya.
�
Keuntungan usaha toko kelontong yang kubuka lima belas tahun lalu, kugunakan untuk membeli banyak tanah dan rumah yang kemudian kusewakan. Banyaknya orang dari kampung ke Jakarta mengadu nasib makin memenuhi brankas uangku dan menghias diriku dengan banyak berlian.
�
Benar dugaanku. Jika aku tidak memutar otak dan memakai kemahiran yang diajarkan Nyonya Ulrike, aku dan Loi Kun mungkin sudah jadi gembel sekarang. Karena, perusahan tekstil tempatnya bekerja sudah tutup.
�
Aku juga menjadi rentenir. Lintah darat, kata mereka yang sinis. Apa peduli mereka? Aku tidak pernah memaksa mereka untuk kawin lagi, menghamburkan uang untuk pesta pora perkawinan. Akibatnya, mereka kemudian mengemis padaku dan meminjam uang, sekadar untuk makan.
�
Penghasilanku sebagai rentenir tidak seberapa, karena aku tidak menarik bunga tinggi. Tidak seperti I Nam, tetanggaku. Bahkan, terkadang aku terpaksa melepaskan utang mereka jika kuanggap mereka dalam keadaan memprihatinkan.
�
Di hadapanku kini ada seorang janda yang sedang hamil. Tidak ada satu perhiasan pun dipakainya. Namun, dia terlihat sangat cantik. Dia masih terlalu muda untuk menjadi janda. Itu berbahaya. Karena, seorang janda dengan keadaan ekonomi seperti itu sangat rentan menjadi penggoda suami orang. Berbeda dari gadis muda yang tidak mau dimadu. Seorang janda bersedia dijadikan simpanan, terutama di masa sulit seperti sekarang.
�
Aku bersyukur, Loi Kun sedang tidur siang, sehingga tidak melihat wanita ini. Tidak, aku sama sekali tidak cemburu atau merasa tersaing oleh wanita ini. Meski aku tahu dari tetangga, Loi Kun pernah masuk rumah pelacuran. Tapi, aku pasti akan membunuh Loi Kun, jika dia berani mengambil istri simpanan.
�
"Ada perlu ape?" tanyaku, agak arogan. Dilihat dari pakaiannya, dia pasti berdarah Cina seratus persen.
�
"Mau gadai," katanya, singkat. Logatnya sangat aneh, seperti tidak pernah berbicara dalam bahasa Melayu dengan benar. Dia mengeluarkan sepasang gelang giok dari lipatan saputangan.
�
Gelang tersebut terlihat sangat cemerlang. Warnanya hijau tua. Ada lilitan emas berbentuk naga di sebagian sisi. Ukirannya yang tidak begitu halus justru makin menegaskan betapa kuno umur dari gelang tersebut.
�
"Mau gadai berape?"
�
"Dua latus pelak. Nanti wo ambil lagi kalau wo sudah ada duit," ucapnya, masih cadel.
�
Jelas sekali dia tidak mengetahui harga permata. Karena, harga aslinya pasti berlipat-lipat ganda.
�
"Gue kagak demen ama batu giok. Gue demennye ama berlian. Elu punya berlian kagak?" Mata janda itu nyalang karena tersinggung. "Lagian, dari mane gue tau kalo ni gelang kagak cacat?"
�
"Putel aje. Naganye bisa diputel," katanya. Memang, naga yang melilit itu bisa diputar sehingga bisa dilihat, tidak ada cacat sedikit pun di gelang tersebut.
�
"Gue cuma bisa kasih seratus. Kalo kagak ditebus dalam tempo dua bulan, gelang ini jadi punya gue."
�
Dia tidak berkata sepatah kata pun, hanya mengangguk lemah.
�
Aku langsung menyimpan gelang tersebut, ketika dia pergi. Aku sadar, tadi aku bertindak sangat sok. Aku bertanya-tanya, kenapa aku sangat tidak menyukai wanita itu. Ciong, kata orang. Bintang kelahiran kami tidak cocok sehingga aku membencinya tanpa alasan. Aku juga merasa wanita tersebut terlalu sombong, padahal dia membutuhkan bantuan. Dia sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat padaku.
�
Aku melihat Loi Kun terlelap di kamarnya. Sejak kuketahui dia mengunjungi pelacur, kami pisah kamar. Delapan anak kulahirkan untuknya, dua di antaranya kembar. Begini cara dia berterima kasih? Aku yang membuatnya keliling Jakarta dengan mobil, menghamburkan uang bagai tuan besar. Mungkin dia kesal karena akhirnya dia merasa bahwa sebenarnya aku tidak pernah mencintainya.
�
Rasa ibaku karena tidak bisa mencintainya berubah menjadi rasa syukur. Tidak ada yang bisa menyakiti A Lin lagi.
�
"Kenape emaknya Sui Lai dateng?" tanya, Lin Ai, anak sulungku.
�
"Emaknya siape?"
�
"Emaknya Sui Lai, bekas teman sekolah aye dulu. Tapi, sekarang die udah berhenti, karena harus ngebiayain adik-adik-nye. Kasihan mereka miskin. Sui Lai ngebantuin emaknya jahit baju ama nyulam. Tapi, kita masih sering ketemu. Rumahnya dekat sekolah."
�
Aku terkesiap. "Lin Ai, denger kate emak, ye. Jangan maen ama Sui Lai lagi," kataku, mengancam.
�
"Emangnye kenape? Dia dulu paling pintar di sekolah," katanya, mencoba membangkang.
�
"Pokoknye kagak boleh, orang miskin cuma bawa susah," kataku, mengakhiri.
�
A Sui
Seratus perak, hanya itu yang kudapat. Betapa sombongnya wanita itu. Memandang rendah padaku, mengharap aku mengemis. Tak akan.
�
Mama, maafkan aku. Aku terpaksa menggadaikan gelang itu. Pak Yahya berkata akan mengusirku karena aku sudah terlalu sering menunggak sewa rumah. Padahal, dia sudah memindahkan kami hingga ke sudut,rumah terkecil di gang buntu. Beberapa hari yang lalu dia bahkan menarik Sui Lai, putriku yang sudah gadis, dari kamar mandi dan meludahinya karena aku tidak memiliki uang pembayaran.
�
Kusandarkan tubuhku di pepohonan rindang di taman Bukit Duri Tanjakan. Masih setengah lagi perjalananku ke Jatinegara. Bayi di dalam perutku bergerak mengganti posisi tidurnya. Kian Li, suamiku, kau bahkan tidak sempat melihat anakmu yang kedelapan. Dia perempuan, aku bisa merasakannya.
�
Aku menitikkan air mata. Kian Li meninggal sebulan lalu. Dia tertekan. Usaha pertukangan kami bangkrut. Sejak Jepang datang dan banyak keluarga Belanda yang pulang, tidak ada lagi yang memesan perabotan. Sejak itu berbagai pekerjaan dilakukannya, mulai dari penjual sayur keliling hingga tukang bangunan.
�
Sementara itu, aku sibuk melahirkan anak-anaknya. Setelah Sui Lai, aku melahirkan enam anak laki-laki lagi. Ketika melahirkan anak ketujuh, kami dalam keadaan sangat miskin. Syu Lan, temanku yang membuka usaha mi di Gajah Mada, datang menjenguk.
�
"A Sui, anakmu yang terakhir ini sebaiknya kau berikan pada temanku untuk diadopsi. Mereka hidup berkecukupan dan tinggal di Bandung. Mereka sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun tidak memiliki anak. Dia pasti akan menyayanginya dan memberikan yang terbaik untuk anakmu ini."
�
Aku dan Kian Li menyetujuinya, meski hati kami hancur berkeping-keping. Semalaman aku tidak tidur. Kusulam selimut yang indah untuk bayiku, bergambar seekor harimau betina dan seekor anak, sesuai dengan shio lahirnya. Sulaman itu begitu hidup dengan belang-belang hitam di atas kulitnya yang keemasan. Jika dewasa nanti, mungkinkah dia akan mencari ibu kandungnya?
�
Tekad kami cuma satu, dia lebih baik dibesarkan di keluarga berkecukupan. Sejak itu kondisi Kian Li menurun. Dia makin kurus dan sering termenung. Dia pun pergi untuk selamanya.
�
Orang tua yang mengadopsi bayiku memberi sebuah mesin jahit yang sangat bagus. Dengan demikian, aku bisa menerima jahitan dan pesanan sulaman tangan. Tak ada seorang pun anakku yang boleh kelaparan. Mereka juga harus bersekolah, meski hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan berhitung.
�
Seorang pria berpeci menghentikan sepedanya di depanku.
�
"Cim, baik-baik aja? Perlu ke bidan?" tanyanya, khawatir. Dia bingung melihat keadaanku yang hamil dan menangis sendirian.
�
"Baik. Nggak usah lepot-lepot."
�
Aku berdiri dan melanjutkan perjalananku. Aku harus kuat. Ada bayi dalam perutku dan enam orang lagi perlu diberi makan.
.
�
�
Cerita lalu:
Gelang Giok (Bagian I)
Gelang Giok (Bagian II)
Gelang Giok (Bagian III)
�
�
Sui
Memalukan. Benar-benar memalukan. Putri bungsuku, Sui Giok, mengatakan bahwa ia hamil. Hamil oleh Bun Kun, putra bungsu A Lin, si Nyonya Besar yang sombong itu. Selama ini aku tidak mengetahui bahwa mereka berpacaran. Aku memang mengetahui, anak sulungku, Sui Lai, dan anak sulung nyonya itu, Lin Ai, berkawan akrab sejak kecil. Dan, sekarang mereka tinggal dan membuat usaha pembuatan tas bersama-sama di daerah Glodok, di depan pertokoan Gloria.
�
Usaha mereka cukup maju. Mereka memiliki toko di Pasar Mester dan baru membeli sebuah mobil. Hebatnya lagi, mereka bisa mengendarainya! Kala itu tidak banyak wanita yang bisa mengendarai mobil. Benar ramalan Kian Li dulu. Sui Lai akan menjadi nyonya besar yang memiliki banyak harta.
�
Sui Lai tidak pernah menikah. Sewaktu remaja, tenaganya dipakai untuk membantuku dan menghidupi adik-adiknya. Seorang pria menyakiti hatinya. Akibatnya, hingga sekarang dia tidak lagi ingin memiliki keluarga.
�
Lin Ai sudah menjadi janda pada usia yang sangat muda. Ibunyalah yang memaksanya untuk bercerai. Si Nyonya Besar itu, ibu macam apa dia? Memaksa putrinya sendiri bercerai karena menantunya dianggap terlalu malas dan tidak akan bisa menghidupi putrinya dengan baik. Padahal, alasan sebenarnya adalah si menantu ternyata tidak mendapat warisan apa-apa ketika orang tuanya meninggal.
�
Sui Giok memang kusuruh membantu usaha kakaknya di Glodok dan menjaga toko di Pasar Mester pada siang hari. Mungkin, di situ Sui Giok dan Bun Kun sering bertemu.
�
Aku akan bunuh diri. Begitu kata Sui Giok, ketika kukatakan, aku tidak akan mau mengemis di hadapan nyonya itu.
�
Bunuh diri. Apa yang Sui Giok tahu tentang bunuh diri? Bunuh diri demi kehormatan dilakukan untuk menjaga nama baik dan harga diri, bukan dijadikan senjata ancaman seperti itu. Di Cina pada zamanku dulu, seorang gadis yang sudah tidak perawan sebelum menikah akan diberi emas oleh ibunya. Bukan untuk dipakai. Tapi, untuk ditelan dan bunuh diri secara terhormat sehingga nama baik keluarga tidak tercemar.
�
Apakah dia juga lupa akan keimanan Kristianinya? Kukatakan padanya, jika Bun Kun mencintaimu, dia harus datang melamarmu. Tapi, aku tidak mau menjual harga diriku.
�
A Lin
Bun Kun memintaku melamar Sui Giok, anak janda cantik itu. Mengapa? Mengapa Bun Kun, putra bungsuku yang paling kusayang, memilih anak janda miskin yang tinggal di gang buntu, yang ukuran rumahnya lebih kecil dari kamar mandiku?
�
Dulu aku memang pernah miskin sampai serendah titik nol. Tapi, sekarang, setiap kali aku melangkahkan kaki, setiap orang akan menunduk hormat padaku. Kusarankan pada Bun Kun untuk memberi uang kepada Sui Giok agar dia menggugurkan kandungannya. Apa katanya? Dia ingin menikahi wanita itu. Dia tidak percaya bahwa Sui Giok wanita mata duitan. Dia bilang, Sui Giok tidak mau mengaborsi kandungannya.
�
Tapi, rupanya dia cukup bodoh hingga bisa hamil. Akibatnya, sekarang aku terpaksa duduk di mobil menuju Jatinegara.
�
Apakah si janda itu masih secantik dulu? Dia tidak pernah datang lagi untuk menebus gelang gioknya. Baguslah. Aku menyukai gelang itu. Gelang itu seolah memiliki daya tarik magis. Indah dipandang dan cantik dipakai, walaupun naga yang melilitinya terlalu keras bila dijadikan simbol untuk perhiasan wanita. Gelang itu milikku sekarang. Kusimpan di tempat tersembunyi
�
Jatinegara, daerah Pecinan tengah kota. Di jalan yang lebar, berderet-deret rumah besar berukuran cukup besar, sedangkan di gang-gang yang kecil, mungkin hanya gembel yang mau tinggal di sana.
�
Gang itu becek sekali. Lebarnya tidak sampai satu meter. Rumah-rumah kecil saling berhadapan. Akhirnya, aku dan suamiku sampai di rumah terujung. Rumah ini jelas baru direnovasi. Kudengar, anaknya banyak yang menjadi pedagang sukses.
�
Janda itu berdiri di depan pintu, tidak mempersilakan aku masuk. Berapa umurnya sekarang? Rambutnya masih begitu hitam mengilat. Tampak anggun karena digelung ke belakang. Matanya yang cokelat berkilat-kilat penuh emosi.
�
Aku juga bersikeras tidak membuka suara terlebih dahulu. Loi Kun, suamiku yang sudah amat mengenal sifatku, berdiri gelisah. Takut salah dalam bertindak. Si janda sudah tahu akan kedatanganku. Aku sudah mengirim kurir sehari sebelumnya.
�
Tiba-tiba seorang wanita keturunan Arab muncul, memecahkan kebisuan yang menegangkan di antara kami.
�
"Ah, Nyonya Lin udah dateng. Mari masuk," katanya, tergopoh.
�
Kami semua masuk. Loi Kun agak membungkukkan badannya karena langit-langit rumah itu sangat rendah.
�
"Saya Ummi. Tetangga di sini. Saya dan A Sui udah kayak sau-dara. Ada perlu ape, ye, Nyonya kemari?" wanita Arab itu berkata lagi, sambil membetulkan letak kerudungnya.
�
"Begini, aye dateng karena anak aye, si Bun Kun, bilang, anak Encim ini dihamilin ama die." Aku sudah siap melihat wajah janda itu mencibir penuh kemenangan. Di luar dugaanku, wajahnya justru terlihat sangat sedih, seakan-akan ingin menangis.
�
"Emang, masalah ini agak ruwet, ye. Kalo emang udah kejadian, selalu perempuan yang rugi," si Ummi angkat bicara lagi.
�
"Tapi, aye masih sangsi, ape betul anak aye yang perlu tanggung jawab," mulutku yang sudah terbiasa nyinyir, nyerocos begitu saja.
�
Si janda berdiri dari duduknya. Air muka Ummi berubah garang. "Nyonya, setahu aye, A Sui kagak pernah minta tanggung jawab ama siape-siape. Die malah ngelarang anak laki-lakinye supaya kagak ngegebukin si Bun Kun. Jadi, kalo Nyonya kagak ada urusan lagi, silakan angkat kaki dari sini," kata Ummi, sangat ketus.
�
Aku salah langkah. Kuubah nada bicaraku. "Maap, kalo aye salah-salah kate. Aye� aye� dateng mau ngelamar Sui Giok," kataku.
�
Begitulah. Sebuah rencana pernikahan sudah dipersiapkan. Si janda tidak menginginkan pesta, juga tidak mengharapkan Bun Kun menikahi anaknya di gereja. Hanya di Catatan Sipil. Aku juga harus mempersiapkan Bun Kun untuk memiliki penghasilan sendiri. Maklumlah, selama ini Bun Kun adalah anak kesayangan, yang hanya tahu hidup enak. Dia pengangguran.
�
Anehnya, selama pembicaraan tadi, si janda tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya mengangguk atau menggeleng. Ummilah yang bertindak sebagai negosiator dan juru bicara.
�
Aku mengira akan beradu mulut dengan si janda. Tapi, kini aku bagaikan jenderal yang kalah perang. Baru saja mendapati bahwa benteng yang dituju sama sekali tidak bisa ditembus. Aku sudah lama lupa akan kekuatan dari sikap diam.
�
1976
A Sui
Bayi itu lahir di tahun naga. Perempuan. Aku harap dia tidak sulit menemukan jodohnya. Wanita naga terkenal perfeksionis. Umumnya, mereka memilih tidak menikah daripada hidup dengan pria yang tidak memenuhi standar.
�
Rambutnya lebat hitam, kasar, dan kaku. Pertanda kepribadian yang kuat, namun keras kepala. Dia tidak memiliki wajah secantik ibunya. Bentuknya bulat seperti bulan. Bukan berbentuk buah persik yang elegan. Katanya, wajah bulat seperti itu membawa hoki bagi pasangannya. Matanya sangat sipit, hitam seperti kuaci.
�
Cucuku itu bukan cucu yang pertama. Dia cucu dari anak perempuanku. Berarti, aku tidak berhak menyebutnya cucuku. Dia cucu luar. Namun, aku sangat mencintainya.
�
Aku membujuk Sui Giok meminum ramuan Cina yang kugodok sendiri. Dia masih lelah sesudah melahirkan sehari sebelumnya, di Rumah Bersalin Leony. Bun Kun menimang-nimang sang bayi dengan penuh kebanggaan.
�
"Mama, ntar dulu, deh. Tanya dokter, boleh nggak minum obat Cina." Sui Giok menolak meminumnya.
�
"Elu mao baek nggak? Sehat ampe tua. Badan elu juga bakal balik lagi kayak pelawan. Lual-dalem. Elu kagak mao suami lu kabul ama pelempuan laen, 'kan?" Aku masih mendesaknya. "Kalo gitu, elu makan, nih, ayam alak. Masih panas." Aku menyodorkan ayam arak yang dipercaya memulihkan kesehatan ibu yang baru melahirkan dan memperbanyak ASI. Seekor ayam dara yang belum pernah bertelur, dimasak dalam sebotol arak merah dan irisan jahe. Selama empat puluh hari penuh dia harus memakannya setiap hari. Aku tidak seberuntung ini ketika melahirkan anak-anakku.
�
"Entar aje, Ma. Ngantuk, nih." Sui Giok membaringkan badan.
�
Pintu kamar terbuka. Nyonya besar itu datang membawa rantang besar, bersama suaminya yang bengong-bengong seperti orang bego. Sui Giok langsung duduk tegak di atas ranjangnya.
�
"Sui Giok, ini gue bawain ayam arak. Dimakan, ye. Gue tadi potong ayam jago gue. Liat aje nih ayam gemuk banget. Banyak minyaknye. Ini ayam khusus, ayam kebiri."
�
Sui Giok menurut. Ia meraih rantang dan mulai memakannya. Hatiku panas. Putriku lebih menurut pada mertuanya. Lagi pula, untuk apa memotong ayam kebiri? Sui Giok harus memakan ayam dara, bukan ayam kebiri untuk pria impoten.
�
"Mane cucu gue?" Nyonya itu sengaja menekankan kata cucu gue. Bun Kun memberikan bayi dalam gendongannya. Si Nyonya meraih bayi, sambil menyingsingkan gelang ronce di lengannya. Mana gelang giok itu? Apa dia tidak pernah memakainya? Dulu, aku tidak bisa menebusnya.
�
Putraku, Kian Kim, pasti akan memberikan uang lebih jika aku menceritakan perihal gelang itu. Dia sudah menjadi pengusaha yang sukses di Solo, pemilik toko perhiasan imitasi, yang menjadi sponsor acara lomba kecantikan setiap tahun.
�
"Loi Kun, mane giwang berlian yang tadi gue bawa?"
�
Suami si Nyonya memberikan sepasang giwang berlian yang berkilat-kilat pada istrinya.
�
Aku melarangnya menukar anting emas yang dipakai si bayi dengan giwang berlian itu, karena si bayi berteriak kesakitan. Giwang itu terlalu besar untuk lubang kupingnya yang kecil.
�
Tapi, si Nyonya bersikeras, cucunya harus memakai berlian.
�
"Mao dinamain siape die?" Loi Kun angkat suara.
�
Kami semua memandang Bun Kun dan Sui Giok bergantian.
�
"Kita nggak mau kasih nama Cina. Bisa-bisa nanti susah masuk sekolah, susah cari kerja kalo udeh gede," kata Bun Kun. "Kita kasih nama Swanlin. Gabungan dari A Sui dan A Lin."
�
Aku dan si Nyonya bertukar pandang.
�
1986
Swanlin
Hari sabtu adalah hari yang paling kutunggu selama seminggu. Karena, aku bisa menginap di rumah nenekku di Gang Batis, diambil dari nama seorang Belanda bernama Batiste, yang pernah tinggal di situ. Papaku akan mengantar dengan motor trail-nya yang tinggi bagai pembalap ke Jatinegara Barat II. Rambut papaku gondrong ala penyanyi rock '70-an. Entah mengapa, ini membuatku sangat malu. Aku hanya ingin mempunyai papa yang normal, berambut cepak dan mengendarai Vespa.
�
Popo Sui, begitu aku memanggil nenekku dari pihak ibu. Rumahnya sangat kecil. Terletak di gang buntu paling ujung. Dia sangat cadel. Kosa katanya terbatas. Terkadang, dia berbicara dalam bahasa Kong Hu dengan beberapa empek dan encim tua yang tinggal dekat situ. Berbeda dari Popo Lin, nenekku dari pihak ayah, yang fasih berbahasa Melayu dengan logat Betawi, karena dia tidak tinggal di Pecinan. Aku sama sekali tidak pernah mendengar Popo Lin berbicara dalam bahasa Cina apa pun.
�
Di Gang Batis ini bisa kutemui berbagai penjaja makanan keliling yang hanya bisa ditemui di daerah Pecinan, seperti tukang sekba, lumpia goreng, bakpia, tekwan, dan susu kacang. Selain itu, ada juga makanan biasa lainnya, seperti siomai, bakso, dan soto mi, yang rasanya sangat enak. Seorang penjual kue pancung selalu salah memanggilku dengan nama ibuku. Atau, Bang Maman, si tukang nasi goreng, selalu memasukkan cai sim karena dia pikir aku adalah ibuku, yang sangat suka sayuran.
�
Saat paling membahagiakan adalah ketika perayaan Imlek, walaupun kami tidak terang-terangan menunjukkannya. Mamaku akan membuatkan surat keterangan agar aku tidak masuk sekolah. Ada urusan keluarga. Begitu katanya. Seminggu sebelum Imlek, Popo Sui akan mengirimkan kue keranjang kepada para kenalan yang tidak merayakan Imlek, terutama keluarga almarhumah Ummi, yang tinggal di Gang Awab (asal kata Arab).
�
Satu hari menjelang Imlek, Popo akan meletakkan meja, yang disulap menjadi meja altar, di depan pintu masuk untuk kakekku, Kian Li. Di meja itu terdapat dua lilin merah yang akan dinyalakan, mangkuk beras tempat meletakkan hio, berbagai macam hidangan kesukaan Kakek, serta arak merah dan arah putih.
�
"Po, kenapa nasinya ada dua mangkuk? Terus, kenapa rokoknya musti yang warna cokelat?" tanyaku.
�
Nenekku menjawab, mungkin Akung (kakek) mengundang temannya untuk makan bersama. Dan, mungkin, temannya itu merokok. Kita harus menyediakan rokok terbaik agar kakekku tidak malu. Menggelikan, pikirku. Untuk apa Popo menyediakan meja ini? Dia bahkan tidak membakar hio untuk suaminya. Pendeta melarang keras Popo Sui berdoa menurut tradisi Cina.
�
Jika aku menginap di rumah Popo Sui, sebelum tidur dia akan membacakan Alkitab berhuruf kanji Cina. Popo Sui adalah kutu buku. Di pagi hari dia akan membaca koran Indonesia berhuruf Cina, novel, atau majalah. Dia bahkan membacakan kertas keterangan di dalam obat Po Chai Pills atau Hai Fung San.
�
Jika sudah lelah membaca, Popo akan bercerita untukku. Cerita-cerita klasik Cina tentang pejuang-pejuang wanita yang gagah berani, berperang bersimbah darah demi keluarga, suami, negara, kehormatan, kemerdekaan, dan ketidakadilan. Beberapa adalah pelacur, selir, hantu, jiwa yang gentayangan, pribadi yang dibenci, sekaligus ditakuti. Namun, dia juga bercerita mengenai wanita-wanita tak berdaya yang harus mengurus mertuanya, sementara sang suami sibuk mencari ketenaran dan wanita muda. Atau, cerita tentang wanita yang terpaksa memotong dagingnya sendiri untuk memberi makan orang tuanya yang kelaparan. Anak yang berbakti dan istri yang setia. Menurut kacamata orang Cina, mereka bisa disamakan dengan pejuang.
�
Cerita favoritku adalah mengenai selir raja yang bunuh diri. Seseorang berkepribadian bebas, yang tidak takut untuk mencinta atau membenci. Di saat-saat lain nenekku juga bercerita mengenai roman. Namun, ceritanya terlalu membosankan. Akhir dari cerita selalu mengenai sepasang kekasih yang bersatu dan memiliki anak laki-laki, tanda tercapainya kebahagiaan di dunia.
�
"Swan, udeh dengel celita San Pek Eng Tai?" tanya nenekku.
�
"Udah seratus kali, Po!" seruku. Aku tak mau mendengar cerita itu lagi. Kenapa mereka harus jadi kupu-kupu untuk bersatu?
�
"Elu musti kayak Eng Tai, nyalu jadi laki-laki bial bisa sekolah. Elu musti pintel. Hai kuo ping yu yue, tian gao ren niao fei."
�
"Apa artinya, Po?" tanyaku, bingung, sambil berusaha mengusir nyamuk yang mulai berpesta. Aku tidak pernah belajar dialek Mandarin ataupun Kong Hu. Ibuku juga tidak pernah berbicara dalam bahasa Mandarin. Sejak pemerintah menutup sekolah Cina tahun 1965 dan melarang perayaan-perayaan Cina, kaum Tiong Hoa takut menggunakan bahasa itu lagi.
�
"Laut selebal ikan bisa belenang, langit setinggi bulung bisa telbang," jawab Popo Sui. Benarkah? Makin kupikirkan, rasanya kata-kata itu makin masuk akal. Laut selebar ikan bisa berenang, langit setinggi burung bisa terbang. Jika aku diharuskan mempunyai pedoman hidup, falsafah itu akan kupegang selalu.
�
Ketika hari masih gelap, Popo Sui sudah bangun, mencuci muka, dan membuat kopi. Kemudian, dia akan membuka gelung rambutnya. Rambutnya mencapai pinggang dan hitam berkilat. Ajaib, sepertinya dia tidak pernah memiliki uban. Setahuku, Popo sama sekali tidak pernah menyemir rambutnya. Hanya memakai sampo warna hitam. Itu saja. Setelah disisir rapi, dia akan mengepang dua rambutnya di kiri dan kanan. Dua kepangan itu kemudian disatukan lagi menjadi sanggul di tengkuknya.
�
Dia akan memulai harinya dengan berdoa. Dia mendoakan anaknya satu per satu, hingga ke anak-cucu.
�
Kemudian, dia akan berkata, "Swan, ayo ke pasal." Kami pun berangkat dengan membawa dua kantong plastik besar ke pasar dekat terminal Kampung Melayu. Dia selalu memasak pada hari Minggu karena pada hari itu hampir semua cucunya datang berkunjung. Dimasaknya bakso goreng, sesau, tahu kuning dengan lobak asin, mun tahu, atau jamur hitam yang sangat mahal.
�
Ketika hidangan sudah siap dan cucu sudah berdatangan, Popo Sui bersiap-siap ke gereja. Popo Sui menjahit semua bajunya. Tidak seperti Popo Lin yang memakai kain dan kebaya. Popo Sui memakai celana panjang dan kemeja berkerah shanghai.
Mata Popo Sui yang lebar dan berwarna cokelat diwariskan pada semua sepupuku yang rata-rata perempuan. Hal ini membuatku sangat iri, karena mataku sangat sipit. Belum lagi aku harus memakai kacamata sangat tebal sejak berumur enam tahun. Kacamata itu membuatku sangat minder dalam pelajaran olahraga di kelas atau permainan lompat tali dan adu benteng.
�
Aku cucu kesayangan Popo Sui. Dia akan menelepon ibuku, jika aku tidak datang pada hari Sabtu dan liburan sekolah. Dia selalu memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan untuk sepupuku yang lain, walaupun Popo Sui mati-matian menyangkalnya dan ratusan kali menyebutku dengan sebutan cucu luar.
�
Dalam pemahaman kanak-kanakku, aku sebenarnya sangat sedih karena aku ingin menjadi cucu dalam dan setaraf dengan sepupu-sepupuku yang cantik. Sepertinya, menjadi cucu luar akan mengurangi kasih sayang Popo Sui padaku. Aku tidak pernah akrab dengan sepupuku dari pihak ayahku karena mereka sangat sombong dan sering mencelaku.
�
Hari Minggu sore adalah hari yang paling kubenci karena aku harus pulang bersama mamaku ke Bukit Duri Puteran. Aku tidak suka pulang. Bukan karena harus sekolah keesokan harinya, tapi karena aku harus mengunjungi Popo Lin dan membawakan rebusan ayam obat buatan mamaku.
�
Rumah Popo Lin terletak di Pasar Bukit Duri Puteran. Rumah sekaligus toko itu sangat besar, walaupun tidak tampak dari depan. Begitu besarnya rumah itu sehingga beberapa anaknya yang sudah berkeluarga masih tinggal di situ.
�
Popo Lin tidak pernah sayang padaku. Dia akan selalu membanding-bandingkan aku dengan Lina, anak dari Apak (kakak lelaki ayah) Tang Kun, yang juga tinggal di situ. Menurut Popo Lin, Lina sangat pintar di sekolah dan sangat cantik. Padahal, aku tahu pasti, ini tidak benar. Dari para pembantu di situ, kudengar Lina sering membolos dan malas membuat PR. Dia juga tidak cantik. Sepupuku, Yenny, dari pihak Popo Sui, jauh lebih cantik.
�
Secara terang-terangan Popo Lin akan memberikan hadiah untuk Lina di hadapanku. Berusaha menunjukkan, Lina adalah kesayangannya. Tak masalah, karena aku memiliki Popo Sui.
�
"Mama, ngapain, sih, tiap Minggu Swanlin musti pergi ke rumah Popo Lin? Biarpun Mama selalu kasih Popo Lin ayam obat, dia selalu menyela Mama. Katanya, Mama bawa sial. Sejak Papa kawin dengan Mama, usaha Popo Lin bangkrut."
�
"Jangan bandel, Swanlin, Popo Lin musti makan ini, biar rematiknye kagak kambuh. Cepet pegi sono, entar keburu malem," kata Mama, tidak sabar. Dalam pemahamannya, Popo Lin sangat sayang padaku. Namun, bagiku cara menunjukkannya sangat aneh.
�
Begitulah. Sekali lagi aku terpaksa melangkahkan kaki menuju rumah Popo Lin yang terletak tiga gang dari rumahku di Jalan Perkutut. Popo Lin pasti sedang menonton televisi sekarang.
�
Pada masanya dulu, kudengar Popo Lin sangat kaya dan dihormati banyak orang, terutama warga Betawi yang sekarang sudah berumur lanjut. Sehingga, aku tidak heran ketika Pak Haji Navis, pembuat jamu, tiba-tiba memanggilku.
�
"Cucu Nyonya Lin, ke sini. Mau ke rumah Nenek, ye?"
�
"Iya, Kong, mau antar obat," kataku, takut-takut. Setiap anak di daerah sini takut pada Haji Navis yang galak.
�
"Nih, bawa, nih, jambu buat nenek lu sekantong. Sekantong lagi buat emak lu. Bilang dari Napis. Gue tau nenek lu demen ama jambu aer ijo, soalnya kagak asem. Kalo die mau lagi, bilang aje. Pohon gue lagi bebuah banyak."
�
"Makasih, Kong." Aku merasa sedikit senang karena ada untungnya juga punya nenek seperti Popo Lin. Tapi, kegembiraanku tidak berlangsung lama. Seorang anak laki-laki sebaya denganku tiba-tiba muncul. Kepalanya botak dan bentuknya sangat aneh. Dia mulai menyeringai di hadapanku.
�
Bersambung ke bagian V
�
Penulis: Leny Helena
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
Cerita lalu:
Gelang Giok (Bagian I)
Gelang Giok (Bagian II)
Gelang Giok (Bagian III)
Gelang Giok (Bagian IV)
�
�
A Lin
Ke mana si Swanlin? Harusnya, dia sudah datang membawa obatku. Kunyalakan televisi di kamarku yang luas. Hartaku tak sebanyak dulu. Musibah demi musibah kualami.
�
Suamiku sakit parah. Banyak biaya tersedot untuk pengobatan sebelum ia meninggal. Tak ada air mata istri yang menyertai kepergiannya. Suamiku yang malang. Beberapa putraku terlibat kriminalitas. Aku menyuap sejumlah pejabat untuk membebaskan mereka. Aku juga kehilangan kepiawaianku dalam berdagang. Beberapa kali aku tertipu.
�
Aku harus mengakui, hanya Lin Ai dan Bun Kun yang tidak pernah mengecewakanku. Swanlin juga sangat pintar. Tapi, aku tak mau terang-terangan menunjukkan rasa sayang padanya. Sebaliknya, aku malah berusaha membuatnya iri dengan memberikan pujian pada cucuku yang lain. Swanlin bisa membuatku terkejut dengan pengetahuannya. Suatu kali aku memberi Lina kalung liontin berlian 18 karat di depan Swanlin. Kukatakan pada Lina, berlian itu akan jadi miliknya jika dia dewasa. Tiba-tiba Swanlin berkata, "Tahukah Popo, berlian terbesar di dunia dimiliki Ratu Elisabeth di Inggris, diambil dari seorang raja India?"
�
Hah! Apa peduliku pada Ratu Elisabeth? Aku juga memiliki kalung mirip kalung seorang ratu. Bertingkat tiga dan bertabur permata. Swanlin malah lebih tertarik melihat kain batikku yang disimpan dalam botol kaca. Dia menyimak kata-kataku bahwa di dalam botol kaca kain itu menjadi awet, tidak dimakan ngengat.
�
"Yang ini, kok, gambarnya aneh?" tanyanya, menunjuk kain batik biru bergambar anak perempuan Belanda berambut keriting.
�
Aku terdiam. Batik itu asli Pekalongan, yang kupesan khusus. Aku masih sering mengingat anak perempuan kembarku yang dibawa Cornell ke Belanda. Di mana mereka sekarang? Tahukah mereka bahwa aku adalah ibu aslinya dan tinggal di Jakarta?
Suara tangis memecahkan memori menyakitkan dalam hidupku. Si Swanlin datang dengan kaki berdarah dan terisak-isak.
�
"Kenape?" hardikku. Pembantu datang dan mengobati kakinya. "Ngapain bawa gembolan banyak kayak mau pindah rumah?" kataku lagi, menunjuk bungkusan yang dibawanya.
�
"Ini� jambu dari Haji Navis, buat Popo. Swanlin sedang jalan, eh� ada anak dorong Swanlin sampe jatoh. Dia hina Swanlin. Katenye�." Belum selesai bercerita, Swanlin kembali menangis.
�
Darahku naik. "Yang mane anaknye? Di mane rumahnye? Tunjukin!"
�
Entah setan apa yang mendorongku, aku menuju kamar dan membuka lemari besiku, salah satu peninggalan Cornell. Setinggi hampir dua meter dengan ukir-ukiran di atasnya. Terbuat dari besi solid dengan penutup lubang kunci berbentuk kepala singa.
�
Kupakai semua perhiasan terbaikku dan mengganti kebayaku dengan bordiran emas asli. Untuk pertama kalinya, kuambil gelang giok si Janda dan memakainya. Sekilas kulihat Swanlin tiba-tiba berhenti menangis dan melihat gelang giok di lenganku. Apakah si Janda pernah menceritakan gelang ini kepadanya?
�
Kupaksa Swanlin, yang gemetaran seperti anak kucing, menunjukkan rumah bocah kurang ajar itu. Langkahku tegap, walaupun ditopang sebatang tongkat berkepala elang dari perak. Beberapa pria tua bersarung yang hendak salat magrib berhenti dan menyapa hormat padaku. Letak rumah bocah itu ternyata tidak jauh, di Gang Cerucuk. Tunggu dulu. Ini rumah Maemunah, istri Pendi yang tidak pernah bayar utang padaku!
�
"Nyonya Lin, ade ape, ye, kok, tiba-tiba dateng?" Maemunah sangat kaget melihatku dan langsung mempersilakanku masuk.
�
Tidak mengherankan, dia tidak bisa membayar utang. Anak dan cucunya begitu banyak, sehingga ruang tamu juga disulap menjadi ruang tidur. Seorang anaknya masuk, menyuguhkan teh.
�
"Maemunah, elu liat kaki cucu gue, nih. Ampe berdarah gini dijorokin ama cucu lu. Mane die? Panggil sini. Gue mau liat!"
�
Maemunah shock mendengarnya. "Ya, Allah, yang bener, Moy?" tanyanya pada Swanlin. "Maapin, deh, Nyonye. Maklum, anak kampung begaul ama anak kampung. Lagaknye juga pasti kampung. Kalo Nasir tau si Amoy cucunye Nyonye, die pasti kagak berani. Pasti aye gebukin die kalo ampe kurang ajar ama keluarga Nyonye."
�
"Bukan masalah keluarga gue ape bukan!" Aku mengentakkan tongkatku ke tanah karena emosi. Seorang bayi menangis histeris mendengar suaraku yang menggelegar.
�
Semua menatapku ketakutan. Aku sadar, aku telah bertindak keterlaluan. Apa maksudku datang ke sini? Memamerkan harta dan menyalahgunakan kekuasaanku? Dewa, maafkan aku. Ibuku memang menginginkan aku memiliki penghidupan yang baik. Tapi, dia pasti tidak akan pernah bangga akan perbuatanku yang satu ini, mirip para tuan tanah Tionghoa yang kejam.
�
"Ye, udeh, gue pulang dulu. Bilangin ama cucu lu, jangan suka iseng ama Swanlin. Nih, duit dikit, buat cucu lu yang nangis. Pengen minum susu kali die." Aku mengeluarkan uang dari selipan kainku.
�
Maemunah bingung menerima lembaran uang dariku. Kami sudah sampai ujung gang ketika salah satu anak perempuan Maemunah menghampiri dan memaksa mengantar pulang.
�
"Kalo emang elu mau, anterin aje gue, biar Swanlin bisa pulang sekarang." Kemudian aku menyuruh cucuku pulang. Sekali lagi aku melihat matanya melirik gelang giokku. Hmm, si Janda itu pasti memberi tahu dia tentang gelang giok ini.
�
A Sui
"Nanti, elu coba cali asuk (paman, adik laki-laki dari ayah) lu, Kian Jin, di Ujung Pandang," kataku, pada Kian Yam, putraku. Dia akan berangkat bersama kawannya ke Ujung Pandang.
�
"Ma, Ujung Pandang itu kota besar. Lagian, Mama bilang Asuk udah pindah ke kota lain, waktu Asuk kirim foto kawinnya dulu. Habis itu, Asuk kagak pernah kirim surat lagi kan habis Mama pindah ke Jatinegara? Mama sendiri nggak tahu alamat pastinya," kata Kian Yam, tanpa bermaksud mengecilkan keinginanku.
�
"Sebenarnya, Kiu-Kiu (kakak laki-laki ibu) kagak usah nyari ke kota-kota kecil. Kalo emang Sukung (adik lelaki kakek) pindah ke kota laen, die pasti kagak tinggal di kota yang lebih kecil. Sejak zaman Belanda, orang Cina dilarang tinggal di kampung. Terus ada peraturan pemerintah yang ngelarang keturunan Tionghoa tinggal di desa," kata Swanlin. Sejak kapan ia ada di situ dan mendengar pembicaraan kami? Kenapa kakinya lecet begitu?
�
"Dari mane elu tau peraturan kayak gitu?" tanya Kian Yam, ragu.
�
"Dari buku. Waktu Imlek kemaren, Kiu-Kiu Kian Gok ninggalin bukunya di lemari Popo Sui." Swanlin beranjak menuju lemari, lalu menunjukkan buku itu.
�
Kian Yam tampak tergugah. Dia berjanji akan mencari Kian Jin, walau hanya berbekal foto pernikahan Kian Jin dengan istrinya.
�
"Popo, Swanlin liat gelang giok dipake ama Popo Lin." Swanlin nyerocos, sebelum sempat aku menanyakan kakinya yang lecet.
�
Aku pernah menanyakan, apakah ia melihat si Nyonya Besar memakai gelang giok. Namun, aku melarangnya bertanya langsung. Dan, aku tidak menceritakan bahwa gelang itu milikku.
�
"Yang benel?" Aku seperti tidak memercayai pendengaranku. Tiga puluh tahun lebih aku melepaskan gelas itu. Dalam hati aku merasa lega karena sebelumnya aku khawatir si Nyonya menjual gelang itu, karena usahanya bermasalah. Gelang itu masih ada.
�
1998
A Lin
Mereka bilang, aku pikun. Semua berkonspirasi melawanku, dari dokter hingga anak cucu. Aku masih sehat. Otakku masih setajam dulu. Aku ingat siapa saja yang berutang padaku. Aku tahu di mana kuletakkan berlian dan permataku.
�
Mereka tidak percaya ucapanku. Mereka bilang, hartaku sudah banyak yang dijual sejak bertahun-tahun lalu. Bah, mereka pasti mencurinya. Menjadi pencuri di rumah sendiri. Memalukan!
�
Di luar sana sedang terjadi kerusuhan. Beberapa pemuda Kebon Sayur berjaga-jaga di depan rumah, berusaha melindungiku dari penjarah. Pasti, orang tua mereka yang merasa berutang budi padaku, yang menyuruh mereka melakukannya.
�
Aku sama sekali tidak takut. Sejak dulu, aku sudah tahu cara menghadapi para perampok yang sering menyatroni keluarga Cina. Harta paling berharga tidak kusimpan dalam lemari besi, karena akan jadi tempat pertama yang mereka tuju. Perhiasan kusimpan dalam stoples bumbu di dapur. Uang dan surat berharga kumasukkan dalam kapuk di kasur. Kusisakan sedikit uang dalam lemari besi untuk menyenangkan hati perampok.
�
Kurebahkan tubuhku. Aku siap jika penjarah itu datang.
�
Brak! Pintu terbuka. Swanlin masuk dengan wajah khawatir.
�
"Popo, kenapa masih di sini? Kata Lina, Popo nggak mau ngungsi ke hotel. Keadaan udah gawat, Po. Mereka menjarah di mana-mana. Rumah ini nggak aman karena ada toko di depan. Kalo Popo nggak mau ke hotel, Popo ke rumah Swanlin aje, ye? Di sana kan rumah biasa, bukan toko."
�
Aku melirik telepon genggam Swanlin. Dunia sudah sangat maju . Tapi, kejadian seperti ini selalu saja berulang. Swanlin terlihat sangat letih. Kenapa dia pakai jaket warna kuning? Dan, kenapa dia memakai pita warna hitam di lengannya?
�
Seperti bisa membaca pikiranku, Swanlin menjawab, "Swanlin tadi lagi demonstrasi di Salemba. Kemaren, ada mahasiswa ditembak di Grogol. Ini temen Swanlin, Parul. Satu kampus. Dia yang temenin Swanlin kemari." Aku menoleh, tidak menyadari sedari tadi ada pemuda berambut gondrong yang menyertai Swanlin.
�
"Udeh, pegi aje sono. Gue baek-baek aje. Elu kagak liat, tuh, di depan ada pengawal?" Hatiku trenyuh akan kekhawatiran Swanlin. Aku yang selalu mencela dan membentaknya. Cucuku.
Swanlin
Tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Popo Lin bersikeras tidak mau meninggalkan kamarnya. Nasir, pemuda yang pernah mengataiku, berjanji akan terus menjaga Popo Lin bersama teman-temannya. Aku berangkat lagi menuju Salemba.
�
Tuhan, begitu aibkah menjadi keturunan Cina? Aku tidak kuat menahan air mataku, sedangkan otakku berputar keras. Mereka kelaparan dan muak dengan kemiskinan yang selalu mengimpit. Cara pelampiasan yang paling cepat adalah mencari pihak untuk disalahkan. Cina yang dianggap kelompok elitis, meski sebenarnya ada juga yang miskin, menjadi sasaran tepat. Cina adalah pendatang yang mencuri rezeki kaum pribumi. Ya, kami dianggap pencuri, yang kini jadi pelampiasan dendam menahun.
�
Jalanan begitu lengang. Kupeluk erat pinggang Parul, kekasihku. Motor bebeknya menderu menembus jalan.
�
Aku langsung teringat cerita Popo Sui mengenai pemilik kuda. Suatu hari dia kehilangan kuda satu-satunya. Seisi desa mengatakan betapa sial nasibnya. Tapi, si pemilik kuda tidak bersedih. "Siapa tahu kejadian ini merupakan keberuntungan yang terselubung," katanya. Keesokan harinya si kuda yang hilang pulang dengan membawa sepuluh kuda lainnya. Seisi desa mengatakan betapa beruntungnya dia. Tapi, si pemilik kuda berkata, "Siapa tahu ini adalah kesialan yang terselubunMalam hari perampok datang dan mengambil semua harta dan kudanya. Sekali lagi, seisi desa mengatakan betapa sial nasibnya dan si pemilik kuda berkata, "Ini adalah keberuntungan terselubung."
�
Swanlin, ini bukan kehancuran. Jangan menyerah sekarang. Ini permulaan. Semua dimulai dengan langkah pertama.
A Sui
Aku baru mengunjungi rumah Syu Lan, kawan sekampungku. Aku ingin mencari anakku yang diadopsi ketika masih bayi. Hanya dia yang mengetahui alamat orang tua bayiku di Bandung.
�
Kian Yam berhasil menemukan keluarga Kian Jin di Bulukumba. Kian Jin sudah meninggal, tapi dia sangat berhasil di sana. Kian Yam berkata, mereka orang terkaya di kota itu. Mereka gembira ketika mengetahui memiliki sepupu di Jakarta. Beberapa sudah datang mengunjungiku.
�
Sayang, Syu Lan sudah meninggal. Jadi, bagaimana aku mencari anakku itu? Anak-anak Syu Lan, yang meneruskan usaha restoran mi Gajah Mada, sangat simpatik berkata, akan berusaha mencari tahu ke semua kenalan mereka yang ada di Bandung.
�
"Po, ayamnya enak, ya?" Swanlin membuyarkan lamunanku.
�
"Swanlin, jangan pegang sumpit di ujung gitu. Nanti jodoh lu olang jauh," aku menegur Swanlin yang selalu memegang sumpitnya di ujung atas. Konon, ini menandakan jodohnya seseorang yang tinggal sangat jauh secara geografis.
�
Kupandangi anak cucuku yang mengelilingi meja bundar. Semua keluarga Cina pasti mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya acara makan. Menikmatinya sebagai berkah di hari ini, mengingat bahaya kelaparan di hari esok.
�
Selama makan, setiap orang sibuk menjumput makanan. Tidak untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang dikasihi. Aku mendapat kulit bebek dari Sui Giok. Aku memberi Swanlin jamur hitam. Swanlin menaruh daging rusa pada mangkuk bibinya. Begitu seterusnya.
�
"Swanlin baca buku ape?" aku bertanya pada Swanlin, yang mengikuti jejakku menjadi kutu buku.
�
"Buku kedokteran. Popo Lin kena penyakit dementia." Semua mata memandangnya. "Biasa disebut penyakit pikun orang tua. Popo Lin sering ngawur. Katanya, emasnya banyak yang hilang. Padahal, emang Popo Lin yang teledor naruh. Emas batangnya ada di dalam kaleng kue yang diisi beras. Waktu berasnya banyak kutu, Popo sendiri yang buang ke tempat sampah. Berlian ditaruh dalam pipa ranjang besi. Waktu ranjangnya patah, ternyata berliannya nggak ada lagi di situ."
�
Aku terkesiap. Bagaimana dengan gelang giok? Apakah juga hilang? Gelang itu harus ada di tanganku sebelum aku mati.
�
2001
A Sui, A Lin, dan Swanlin
Tahun naga. Tahun yang sangat kritis bagi Swanlin yang bershio sama. Tahun ini akan membentuknya atau menghancurkannya. Tapi, dia malah memutuskan untuk menikah.
�
Kedua neneknya sudah memperingatkan untuk menunggu hingga pergantian tahun. Apa yang harus disalahkan jika Swanlin tidak percaya bahwa pergerakan bintang-bintang memengaruhi nasibnya. Swanlin hidup di zaman yang berbeda. Swanlin juga tidak mau memakai pita merah di sekeliling pinggangnya, yang harus dipakai untuk menolak bala bagi orang yang memasuki tahun yang sama dengan shionya.
�
Satu hari menjelang pernikahan. Dua keluarga duduk di kursi yang mengelilingi ruang tamu Popo Lin. Pihak keluarga Parul, sang calon suami yang datang dari Medan, tampak menerka-nerka, apa yang harus dilakukan saat acara teh pai.
�
Parul tampak tegang. Pemuda yang malang. Dia mengalami masa sulit saat meminta persetujuan kedua nenek Swanlin.
�
Popo Lin tidak henti-hentinya merendahkan bahwa Parul tidak akan menjadi orang kaya selama masih bekerja kantoran. Kualifikasi masa depan yang gemilang adalah syarat mutlak untuk menjadi suami Swanlin.
�
Popo Sui juga tidak serius menganggapnya sebagai kekasih cucunya. Dia hanya boleh jadi teman, tidak lebih. Fankui (pribumi), kata Popo Sui, tidak boleh menikah dengan orang Cina.
�
Aku dan Parul harus bersabar, pikir Swanlin. Suatu saat nanti kedua neneknya pasti akan bisa melihat kesungguhan dan kebaikan yang dimiliki kekasihnya. Keluarga Parul yang bersuku Batak baru menyetujui hubungan mereka ketika Swanlin berjanji akan mengikuti upacara adat pernikahan Batak dan mendapat marga ibu Parul menjelang pernikahan.
�
Begitulah. Akhirnya, kedua nenek setuju, walau sambil mengomel. Mungkin, pemuda itu yang terbaik bagi Swanlin.
�
Upacara minum teh dimulai, diawali dengan memberikan cangkir pada keluarga pihak pria. Parul memegang nampan yang berisi cangkir teh dan Swanlin memberikan pada calon mertua lelakinya, lalu yang perempuan. Swanlin dan Parul membungkukkan badan, mengatupkan tangan tanda hormat. Calon mertua Swanlin memberi angpao merah, sambil terkikik geli karena mengikuti upacara adat Cina.
�
Sedetik kemudian Swanlin mulai tegang. Setelah ini dia harus menyuguhkan teh pada kedua neneknya.
�
Tidak ada alasan untuk tegang. Mereka sudah memberikan persetujuan, pikir Swanlin. Swanlin mendekati Popo Lin terlebih dulu karena ia ibu dari ayahnya. Popo Lin memberikan amplop merah besar. "Swanlin, ini isinya surat tanah di Depok. Gue sengaja simpen buat lu. Gue dulu beli waktu elu bilang sekolah di Depok. Tapi, gue lupa ngasih ke elu. Sekarang elu udah kawin, elu bisa bangun rumah di sono. Emang, sih, jauh di udik. Tapi, zaman sekarang, di mana lagi bisa beli tanah?"
�
Swanlin dan Parul membungkuk dan mengucapkan terima kasih, kemudian beralih ke Popo Sui.
�
Popo Sui memberikan sepasang giwang giok. "Swanlin, Popo cuma bisa kasih ini. Ini peninggalan buyut lu. Udah berulang kali digadein. Waktu kita susah, semua halta benda boleh ilang, boleh digadai, tapi jangan ampe ilang halga dili." Popo Sui memberi nasihat, sambil memakaikan giwang itu ke telinga Swanlin yang berlulut di depannya.
�
"A Sui," tiba-tiba Popo Lin berkata, "ada satu lagi yang elu lupa kasih ama Swanlin." Popo Lin mengeluarkan sepasang gelang giok dari lipatan kain di pinggangnya.
�
Popo Sui memandang tak percaya. "A Lin, elu masih simpen gelang itu?"
�
Popo Lin mengangguk, "Ini bukan gelang biasa, gue bisa tau. Elu setuju kan kalo gelang ini dikasih ke Swanlin?"
�
Popo Sui mengiyakan, lalu bersama Popo Lin memasang gelang tersebut pada masing-masing lengan Swanlin. Swanlin yang masih berlulut, menengadahkan kepalanya dengan pipi berlinang air mata bahagia. Di hadapannya, untuk pertama kali, ia melihat kedua neneknya tersenyum, bersamaan.
�
Tamat
�
Penulis: Leny Helena
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
�
�
�
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian I)���������������
�
�
Memang, aku mencintainya. Tapi, aku tak mau diganggu masalah anak. Walaupun itu tuntutan dari keluarga besarnya, aku tetap akan bertahan pada prinsipku.�
�
�
�
onkey Forest, Juni
Kau tarik tubuhku yang terbalut kebaya kuning cerah. Kau peluk hingga aku kehilangan napas. Kau berbisik di telingaku, "Kau cantik. Kau pantas jadi gadis dusunku. Kau pantas jadi istriku." Aku menggeliat dan mendesah karena elusan tanganmu. Lalu, kau tarik selendang yang menjerat kamen (kain sarung) milikku. "Aku ingin kau jadi seperti mereka."
�
Tapi, aku terlalu lelah menjalani semua upacara yang digelar sehari penuh. Tanganku terlalu kaku karena berhari-hari membantu membentuk beras ketan menjadi kue-kue dan disusun di dalam banten (wadah sesajen). Telingaku kesal dan terlalu bosan mendengarkan gamelan dan tingklik (alat musik tradisional dari bambu), sejak fajar muncul hingga senja. Aku lelah.
�
Hotel ini terlalu dingin. Atau, apakah hatiku yang kini membeku? Meski bersamamu di Bali, aku selalu merasa dingin. Aku mendesah. Aku tak mau pulang lagi ke desamu, kataku dalam hati. Aku bukan gadis dusunmu. Aku gadis kota. Aku bukan gadis desa.
�
Tapi, kau tak pernah mendengar. Kau selalu ingin aku jadi gadismu. Istri yang mengabdi. Istri yang menghamba pada suami. Istri yang tinggal di desa. Aku bukan wanita seperti itu.
�
Jakarta, Oktober
Aku memang tak pernah menyandang nama Ida Ayu. Tak pernah menyandang nama Ni Made, Ni Gusti, Kadek, Tjokorde Ayu, atau nama apa pun yang seolah mengatakan, "Saya gadis Bali, yang bersuamikan orang Bali, dan saya akan mengabdi padanya sampai mati."
�
Aku tak pernah jadi gadis seperti itu. Meski aku jatuh cinta padamu. Aku tergila-gila padamu sejak detik pertama mataku memandang dalam matamu yang luas dan jernih. Sejak titik air mata pertama yang jatuh setiap kau pergi. Kau segalanya bagiku. Tapi, aku tak ingin melahirkan anak-anakmu. Aku hanya ingin memilikimu.
�
"Aku berangkat, ya." Aku mengalihkan mata dari lembaran koran yang sedang ramai bercerita tentang orang-orang yang berebut negara. Melihatmu, suamiku. Suami yang kucinta.
�
Aku bangkit dan memelukmu. Kucium bibirmu, yang selalu membuatku rindu. Cintaku. Mengapa aku tak bisa jadi gadis desamu?
�
"Minggu depan aku akan cuti." Kau longgarkan dua lenganku yang erat melingkari pinggangmu. "Aku mau pulang ke Ubud. Ibu memperbarui merajan (pura kecil di dalam puri) kami. Kami akan mengadakan odalan (upacara perayaan hari jadi pura yang diadakan setiap 210 hari). Aku harus datang. Sudah sepuluh tahun lebih kami tak mengadakan odalan sebesar sekarang."
�
Aku membanting tubuhku ke sofa. Tapi, kini kau diam saja. Kau berjalan menuju pintu, berhenti sebentar, lalu berkata, "Kau tak perlu ikut kalau tak ingin." Lalu, kau pergi. Tanpa melihat padaku.
�
Monkey Forest, Oktober
Aku heran, mengapa aku sampai sebodoh ini membiarkan diriku datang lagi ke hotel ini.
�
Kudengar air bergemercik di kamar mandi. Ah, kau sedang mandi. Membiarkan air hangat mengalir di atas kulitmu yang cokelat terbakar matahari pantai, sisa-sisa masa remajamu. Saat itu tak ada hal lain yang kuinginkan, selain berlari ke pelukanmu dan berkata, "Aku istrimu. Aku akan mengabdi padamu. Aku akan tinggal di desamu."
�
Tapi, aku tak bisa. Aku tak mau membiarkan 25 tahun usiaku bergelut dengan kertas dan pensil hingga kebanggaan saat dua kali toga membalut tubuhku hilang begitu saja. Atau, membiarkan kebanggaan menulis tesis dalam usia semuda diriku lenyap dalam lima kata. Aku akan tinggal di desamu. Tak bisa. Tak bisa begitu. Kau pun tak mungkin meninggalkan pekerjaanmu, bukan?
�
Hanya untuk tinggal di desa, untuk hidup bersama orang tuamu di rumah besar yang kau sebut puri (tempat tinggal keturunan bangsawan Bali). Meski pada hari pernikahan kita mereka berduyun-du-yun memasak dan berlomba-lomba membuat lawar (masakan tradisional Bali yang terbuat dari daging, nangka, dan darah babi), orang-orang itu bukan apa-apa bagiku. Karierku tetap segalanya.
�
Ubud, beberapa hari setelahnya
"Kapan kalian berencana punya anak?" Ibumu tersenyum padaku sambil menyodorkan sepiring laklak (sejenis serabi), yang seperti biasa, kutolak dengan halus. Aku alergi terhadap pertanyaan ini! Ke mana kau ini? Biasanya, kau bisa menyelamatkan aku dari ibumu, kakak-kakak perempuanmu, saudara-saudaramu, dan tetangga-tetanggamu yang tampaknya selalu tahu apa pun tentang keluargamu.
�
Tapi, sekarang kau tak ada. Mungkin, kau sedang di bale banjar (bangunan tempat berkumpulnya warga), bercengkerama dengan penduduk desa. Mungkin kau masih sibuk membereskan bale gede (bangunan dalam kompleks rumah keluarga yang digunakan untuk upacara) yang masih berantakan sejak para undangan pulang tadi sore. Atau, mungkin juga kau sudah tertidur di depan puri karena sejak semalam kau lelah memeriksa semua yang harus dibawa untuk upacara di pantai tadi pagi. Karena kaulah yang selalu bertanggung jawab atas segala-galanya di sini. Entah mengapa.
�
Kau lupa akan janjimu untuk membawaku ke hotel sore ini. Karena aku tak pernah suka tinggal di sini. Di purimu, di tengah dusun, dan di antara orang-orang yang tak kukenal. Aku lebih suka di hotel, yang selalu kita tinggali jika pulang ke Ubud, sejak hari pertama kita menikah. Hotel yang sama tempat kau pertama kali mencumbuku. Tapi, entah mengapa, aku selalu merasa dingin di situ. Mungkin, karena Bali bukan rumahku. Bali rumahmu. Aku tak pernah pulang. Kau pulang, aku hanya mengikutimu. Karena aku mencintaimu.
�
Ibumu tetap menatapku dengan pertanyaan yang sama di kedua matanya. Aku menggeser posisi dudukku, mencari posisi yang aman supaya ia tak melihat mataku. Aku tak mau terpengaruh. Ia benar-benar ingin cucu darimu, anaknya yang terkecil. Tapi, untuk apa? Kelima kakakmu telah memberinya sebelas cucu. Apakah ia benar-benar membutuhkan cucu kedua belas? Apakah ia yakin aku akan merawat cucunya dengan baik? Meski aku jatuh cinta padamu, bukan berarti aku mau memberikan cucu pada ibumu!
�
"Suamimu anak laki-laki Ibu satu-satunya. Apa tidak wajar jika Ibu ingin cucu laki-laki dari anak laki-laki?"
�
Hah, cucu laki-laki. Dia pikir, untuk apa ketujuh cucu laki-lakinya yang lahir dari anak-anak perempuannya?
�
"Sewaktu kalian menikah, Ibu tahu ini pasti terjadi. Entah lama, entah singkat, entah kapan. Rasanya, hampir seluruh tetua di banjar ini menasihati suamimu. Tapi, dia keras kepala. Karena, dia mencintaimu. Dia tak mau mendengarkan Ibu."
�
"Saya tahu. Saya tak pernah memaksanya menikahi saya. Saya mencintai anak laki-laki Ibu. Saya juga tak meminta apa pun yang tak mungkin bisa dipenuhinya."
�
"Ibu tahu. Tapi, semua orang harus menyesuaikan diri. Kamu menikah dengan orang Bali. Dengan anak laki-laki Ibu satu-satunya. Dengan anak laki-laki dari keluarga terhormat. Keluarga kami tak pernah memiliki menantu yang bukan orang Bali. Kami juga tak pernah memiliki menantu yang tak mau memberi kami penerus keluarga! Bukannya Ibu tak mau menerima kamu. Tapi, Ibu hanya ingin kamu tidak mempermalukan keluarga Ibu."
�
"Saya tahu."
�
Garis-garis halus di wajah wanita tua ini mengeras. Di balik kerutan-kerutan itu terlukis wajah yang dulunya pasti indah, seindah lukisan gadis Bali yang terpajang di dinding rumah-rumah di Jakarta.
�
"Ibu tidak mengerti. Kamu ini perempuan. Memiliki anak dari laki-laki yang kamu cintai adalah keajaiban."
�
"Saya tidak pernah berpikir begitu."
�
Bagiku, keajaiban adalah jika aku dan suamiku bisa melayang ke angkasa saat ini juga. Berdua saja. Tak pernah turun ke bumi untuk menapakkan kaki di Bali. Hanya aku dan dia. Hanya kami berdua.
�
Hari berikutnya
"Kamu tak mungkin tak keluar kamar."
�
"Saya lelah ditanyakan hal-hal yang tidak ingin saya dengar."
�
"Hal-hal apa maksudmu? Ibu tak pernah bertanya apa-apa padaku."
�
"Karena kamu tak pernah mendengar."
�
"Sudahlah. Lagi pula, hal apa yang begitu tak ingin kamu dengar sehingga kamu tak mau keluar kamar?"
�
"Anak."
�
Satu menit berlalu tanpa suara. Kau terdiam, memandang langit-langit kamar. Tapi, dengan pandangan kosong.
�
"Aku tahu kamu tidak bisa mengalah pada Ibu. Tapi, keadaan akan makin buruk jika kamu tak keluar. Sebentar lagi tamu-tamu akan datang. Aku harus keluar."
�
"Kamu saja yang keluar. Saya tidak perlu."
�
"Kamu harus keluar. Jangan membuatku malu. Aku sudah bilang, kalau kamu tak ingin ikut, kamu tak perlu datang kemari. Lebih baik aku bilang pada Ibu bahwa kamu sedang sakit dan tak bisa datang, daripada kamu bertingkah seperti sekarang."
�
"Kamu tak mengerti."
�
"Aku sudah cukup mengerti. Kamu juga harus mengerti."
�
"Saya akan mengerti jika saya ingin mengerti! Saya menikahi kamu, tapi saya tak pernah meminta semua ini. Mengapa kamu menikahi saya kalau kau tahu ini pasti terjadi?"
�
"Aku mencintai kamu."
�
"Kalau kamu mencintai saya, kamu harus mengerti."
�
"Tapi, aku ingin kamu berpikir."
�
"Saya sudah cukup berpikir! Apa kamu tak tahu malam-malam yang saya habiskan dalam kegelisahan, setiap kita selesai bercinta? Setiap saya memejamkan mata dan membayangkan mungkin ada bayimu di perut saya? Setiap saya memandang matamu dan melihat masa depan kita di sana?"
�
"Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?"
�
"Saya tak menginginkan apa-apa! Saya hanya ingin kehidupan saya. Saya tak mau ada yang menghalangi jalan kita. Jalan yang sudah saya lewati dengan air mata dan doa sejak Ayah dan Bunda pergi meninggalkan saya. Saya berjanji akan berdiri di puncak dunia."
�
"Tapi, kamu tetap menikahi aku."
�
"Saya menikahi kamu karena saya mencintai kamu!"
�
Tahukah kamu, aku tergila-gila padamu? Pada setiap jengkal tubuhmu? Pada suaramu yang berat dan dalam? Pada tatapanmu yang menggairahkan? Pada pelukanmu yang membenamkanku dalam impian untuk memilikimu?
�
�
"Aku juga begitu. Tapi, kita harus berusaha saling mengerti."
"Baik. Kita akan berusaha saling mengerti. Kalau saya keluar sekarang, jangan minta saya mengerti lebih banyak lagi."
�
Saat itu yang aku pikirkan hanyalah cintaku padamu. Jika tidak, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di situ.
�
Tiga hari sesudahnya
Matahari Bali adalah mataharimu. Yang menemani langkah-langkahmu ke mana pun kau pergi. Yang memberimu napas di mana pun kau berpijak. Di pasir pantai ini kau menghamparkan tubuh dan bercerita pada matahari tentang cinta kita. Tapi, ia tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Bahkan aku, kekasihmu, tak juga memilikinya. Apa yang salah dari diriku? Apakah cintaku padamu?
�
Sebab, memandangimu tak akan pernah menghabiskan cintaku. Dari kejauhan aku berlari, membenamkan tubuhku dalam dadamu dan menyandarkan kepalaku di bahumu. Senja menjatuhkan mataharimu dalam dekapan cakrawala.
�
"Aku mencintaimu."
�
Kata-kata itu tak pernah berhenti kau ucapkan sejak petama kali kita berjanji akan saling mencintai dan memiliki.
�
"Tapi, aku tidak sanggup lagi."
�
Kalimat itu tentu saja baru pertama kali kudengar, hingga mampu membuatku tersentak dan memandangimu takjub. Kata-kata yang tak pernah kuduga akan keluar dari bibir yang tiap malam kucium dan kucumbu. Bibir milik seorang pria yang kucintai. Bibir yang selalu melantunkan nada cinta untukku.
�
"Saya tak mengerti maksudmu."
�
Sebenarnya, aku mengerti. Aku tahu, cepat atau lambat kau pasti mengatakannya. Aku hanya tak ingin memahaminya.
�
"Aku tak mau kamu bertengkar lagi dengan Ibu. Seluruh keluargaku juga mencurigai, mengapa kita belum memiliki keturunan. Ibu selalu mengatakan kepada mereka bahwa Sang Hyang Widi mungkin belum memercayakan seorang anak pada kita. Tapi, mereka mulai bertanya-tanya. Kamu tahu, di keluargaku, jika seorang istri tidak bisa melahirkan anak karena mandul, ia harus diceraikan. Mereka mengira kau begitu. Tapi, aku selalu mengelak. Aku selalu membelamu selama lima tahun ini. Tapi, aku tak bisa lagi. Aku tak mampu lagi berusaha membujukmu dan berpura-pura suatu saat nanti kau akan berubah."
�
"Saya tak mengerti. Saya pikir kamu mencintai saya."
�
"Aku juga berpikir begitu tentang kamu. Aku pikir kamu mau melahirkan anak-anakku karena kamu mencintai aku."
�
"Ternyata, segalanya tak semudah itu."
�
"Ya. Tak semudah itu."
�
Kau mengecup keningku.
�
"Saya benci mencintai kamu."
�
"Aku tak pernah menyesal. Aku akan tetap mencintaimu."
�
�
"Saya tetap benci mencintaimu."
�
Aku bangkit dan berlalu. Ombak menari-nari di balik punggungku dan melambaikan salam perpisahan.
�
Pesawat terakhir malam itu akan membawaku berpisah darimu, meninggalkan separuh jiwaku bersamamu. Pulau dan lautan akan memisahkan cinta kita. Hanya Tuhan yang tahu mengapa.
�
Jakarta, November
Hidupku separuh mati. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu, menggenapkan bulan tatkala kau tak pulang. Aku tak berusaha menghubungimu, karena kau pun tak juga menghubungiku. Meski batinku menjeritkan kerinduan akan kehadiranmu, aku tak peduli.
�
Aku tak tahu kau tinggal di mana, meskipun aku tahu apartemen mungil yang kutempati ini adalah milikmu. Tiap malam aku tidur di atas kasur yang kita beli berdua dan membunuh waktu di atas sofamu. Waktu sepiku kuhabiskan memandangi baju-baju yang tergantung dalam lemari, membayangkan betapa mereka dulu membalut penuh tubuhmu.
�
Satu hari berlalu
Aku membereskan kertas-kertas pekerjaanku. Waktunya pulang. Sudah terlalu larut. Waktu kau masih ada, aku tak pernah pulang selarut ini. Sekarang aku bisa pulang semalam yang kumau.
�
Saat aku mendekati mobil yang diparkir di pelataran luar, aku menyadari ada sesosok tubuh bersandar di pintu depan. Kaukah?
�
Dengan jantung berdetak keras, aku memberanikan diri untuk mendekat. Ah, bukan kau. Fahri. Sahabat kita semasa kuliah magister di Inggris atas beasiswa pemerintah.
�
"Working late hours?" tanya pria berbadan tinggi itu.
�
"Ya. Saya harus menyelesaikan beberapa tugas."
�
"Sudah makan?"
�
Aku ingin berbohong, meski perutku tak bisa diajak kompromi.
�
"Tergantung."
�
"Tergantung apa?"
�
"Tergantung pada siapa yang mengirimmu ke sini."
�
"Yang jelas bukan suamimu."
�
"Jadi, siapa?"
�
"Semua teman di kantor ini."
�
"Kenapa?"
�
"Kami semua prihatin. Suamimu seperti orang gila. Sorry. Dia bahkan sudah berpikir untuk berhenti kerja. Di tengah-tengah kariernya yang tengah menanjak? Rasanya, itu bukan keputusan yang tepat."
�
"Itu bukan urusan saya."
�
"Mentari, itu urusanmu. Dia masih suamimu. Kamu masih mencintai dia. Katakan padaku bahwa kau tidak mencintainya! Jangan bohongi dirimu."
�
"Rasanya, saya memilih tak ikut makan malam."
�
Aku membuka pintu mobil dan bergegas memasukinya. Dengan kedua tangannya Fahri berusaha mencegahku menutup pintu. Aku memandangnya tajam, tapi ia tak gentar.
�
"Dia masih mencintaimu, Mentari. Masa kau tidak sadar?" serunya setengah berteriak.
�
"Dia lebih mencintai keluarga dan kerabatnya."
�
"Dia hanya bingung! Dia tidak menyangka reaksi ibunya akan sekeras itu. Kau tahu akibat apa yang bisa terjadi padanya, Mentari? Dia bisa saja dikucilkan dari desanya seumur hidup."
�
"Tapi, ketika menikah denganku, seharusnya dia sudah tahu itu!"
�
"Okay, kita bicarakan masalah ini sambil makan malam. Kalau begini, orang-orang akan menyangka aku menyakitimu."
�
"Kamu memang menyakiti saya. Dan, sudah saya bilang, saya tidak mau makan malam."
�
"Bantu aku, Mentari. Sekali ini saja."
�
"Bantu? Saya lebih memerlukan bantuan dalam bentuk apa pun dibanding kamu." Aku berteriak tak sabar. Aku melihat beberapa orang yang akan pulang dari kerja lemburnya menoleh ke arah mobilku. Mereka menggeleng-gelengkan kepala dan masuk ke dalam mobil masing-masing.
�
"Aku butuh bantuanmu untuk mempersatukan kalian kembali, Mentari! Kau tahu apa yang dia lakukan selama ini? Dia sering menginap di apartemenku. Tidak berbuat apa-apa, hanya merokok dan tak henti-hentinya bicara tentang kamu. Bukannya aku tak mau dia menumpang di apartemenku, Mentari. Kalian adalah sahabat terbaikku di dunia ini. Tapi, apakah kamu pikir tingkah lakumu ini tidak kelewatan? Kalian bertingkah seperti anak-anak!"
�
"Ya, mungkin di situlah poinnya. Kami memang masih anak-anak. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa merawat anak?"
�
"Aku tahu kamu tak seburuk itu, Mentari. Cobalah berpikir, apa yang salah dari pernikahan tanpa keturunan? Segalanya!"
�
Huh, andai saja Fahri mau bercermin! Aku tahu, hingga kini Fahri belum menikah karena takut terburu-buru punya anak. Konsep pernikahan membuatnya sangat takut. Begitu juga yang terjadi padaku.
�
"Fahri, saya butuh istirahat. Kita bicara lagi besok."
�
"Aku belum selesai bicara," katanya tajam.
�
"Cukup, Fahri. Saya akan ke Yogya lusa. Katakan pada Dewa, saya menitipkan kunci apartemen pada Laila jika ia ingin mengambil barang-barangnya. Saya kembali minggu depan. Jadi, dia boleh tinggal di sana selama seminggu ini atau, sampai kapan pun ia mau. Toh, itu masih apartemennya. Saya bisa mencari tempat lain."
�
Yogyakarta, pertengahan November
"Bude kira, mertuamu itu ada benarnya, Nduk."
�
"Saya kan nggak bilang bahwa dia itu salah, Bude. Saya hanya bilang, apa yang dia pikir itu tidak sesuai buat saya. Saya sudah punya gelar yang diperoleh dengan susah payah, merintis karier dari bawah, dan saya nggak mau diganggu oleh kehadiran seorang anak."
�
"Nduk, semua wanita di dunia ini boleh saja menjadi orang terdidik, terhormat, atau terkaya. Tapi, kamu mesti ingat, kodrat wanita itu melahirkan. Garwa itu artinya sigaraning nyawa. Istri itu separuh dari hidup suami. Begitu juga sebaliknya. Kamu ini mau cari apa lagi, tho? Ibumu dulu itu juga wong pinter, Nduk. Disekolahkan Eyang Kakung sampai ke negeri Belanda. Tapi, setelah dinikahi Bapak dan kamu lahir, ya ibumu nunut kepatut (nurut saja) sama bapakmu. Diajak ke mana-mana ikut, pindah ke sana ikut, ke sini ikut. Kalau nuruti keinginan ibumu, sih, mungkin kamu nggak akan lahir."
�
"Justru saya nggak mau jadi seperti Ibu."
�
Bude Hardjo menggeleng-gelengkan kepala. Kulit di dahinya berkerut-kerut heran. Wanita hebat ini telah mengurusku sejak ayah dan ibuku tiada karena kecelakaan mobil ketika aku SD. Bude selalu mengerti dan mengasihi aku. Tapi, tidak kali ini. Rupanya, ia tak mengerti juga apa maksudku.
�
Bagaimana ia bisa mengerti? Sehebat-hebatnya ia menjadi wanita, seumur hidupnya ia hanya akan menjadi seorang istri. Seorang wanita di belakang layar. Yang mengaron beras sewaktu ayam-ayam masih terlelap, mengerek timba sewaktu matahari di atas kepala, dan menyikat lantai sewaktu gelap menggenangi malam. Menjadi pelayan di pawon dan di ranjang. Dan, hidup berbahagia untuk itu!
�
"Kulo badhe nyuwun pamit rumiyin, Ndoro Putri (saya pamit dulu, Tuan)," kata Yu Sih, salah seorang abdi dalem di rumah Bude Hardjo. Yu Sih tertunduk menghadap Bude Hardjo, sang nyonya rumah.
�
"Lho, ono opo, tho, Yu? Isih awan ngene, kok, wis pamit?" (Lho, kenapa, sih, Mbok? Masih siang begini, kok, sudah mau pamit?)
�
"Anu, Ndoro, nuwun sewu sanget (maaf sekali). Anak saya yang kecil kena musibah. Sepeda motornya nyemplung ke sungai. Mungkin, kakinya sedikit keseleo. Saya mau memanggil tukang urut, Ndoro."
�
"Oalah, Yu� piye, tho? Ono-ono wae. Ini Mbak Mentari baru saja datang, lha, kok, mau pulang? Sapa sing arep olah-olah? Yu Min ojo oleh mulih dhisik, yo. Kandanono aku arep masak kanggo Mbak Tari." (Ya, ampun, Mbok, bagaimana, sih? Ada-ada saja. Mbak Mentari baru saja datang, kok, Yu Sih malah mau pulang. Siapa yang akan memasak? Yu Min jangan boleh pulang dulu, ya. Katakan padanya, aku akan memasak untuk Mbak Tari.)
�
"Nggih, Ndoro, matur suwun sanget, mangke kulo terasken dateng Yu Min." (Baik, Tuan. Terima kasih banyak. Nanti akan saya sampaikan pada Yu Min.)
�
Wanita tua itu beranjak keluar kamar. Pintu kamar berderik lagi, tapi aku tak mendengarkan. Aku tertawa dalam hati. Bahkan, pekerjaan sesepele Yu Sih masih bisa terganggu oleh tingkah anak. Aku sebenarnya ingin mengatakan itu pada Bude Hardjo, tapi kilatan bola matanya mengurungkan niatku berdebat lagi.
�
"Bude masak opor ayam, Nduk? Kamu nanti siang makan di rumah, tho?"
�
"Aduh Bude, saya rapat dari jam sepuluh sampai jam lima. Saya nggak tahu, bisa pulang ke sini untuk makan siang atau enggak. Kantornya kan jauh, Bude."
�
"Oalah, mbok diusahakan pulang, tho, Nduk. Sejauh-jauhnya, kalau masih di Yogya kan nggak sampai setengah jam."
"Saya usahakan, Bude."
�
�
�
�
�
Cerita lalu:
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian I)
�
�
Yogyakarta, lima hari setelahnya
Aku berjalan sendirian di Malioboro di antara hiruk pikuk manusia, suara gitar dan kecapi, rumah makan lesehan, baju batik, sandal kulit, mobil-mobilan kayu. Ia ingin membeli oleh-oleh. Tapi, untuk siapa? Kamu pasti tak akan ada di apartemen sewaktu aku pulang nanti. Fahri? Aku lebih baik menghindari bicara dengan pria itu. Laila? Mungkin selembar daster atau kain batik. Itu saja.
�
"Dasternya berapa, Pak?" tanyaku kepada kakek tua yang sedang membereskan barang dagangannya.
�
"Silakan, Jeng. Yang lengan pendek lima belas ribu, yang lengan panjang dua puluh. Bahannya halus, lho Jeng. Beda dari yang di pasar. Saya ambil dari Solo, langsung dari pembatiknya. Murah!" katanya.
�
Aku tersenyum dalam hati. Betapa bersemangatnya orang tua ini. Aneh sekali. Orang-orang seusiaku saja terkadang tidak memiliki semangat sepertinya. Apalagi aku! Hidupku separuh mati.
�
"Warnanya berapa macam, Pak?"
�
"Lengkap, kok, Jeng Merah, biru, hijau... eh, sebentar, saya ambilkan dulu di gudang. Tadi ada ibu yang beli sepuluh potong. Katanya, untuk oleh-oleh. Tapi, masih ada, kok, Jeng. Tunggu sebentar." Ia berlalu.
�
Aku menjatuhkan tubuhku di kursi plastik di ujung ruangan. Satu menit pun berlalu. Seorang wanita seusiaku memasuki toko itu. Ia meraih sebuah mobil-mobilan kayu yang terpajang di rak dan bergumam, "Lucu sekali. Ditto pasti senang!" Lalu, ia menoleh ke arahku.
�
"Ini berapa?" tanyanya, menyangka aku pelayan toko.
�
"Saya juga pembeli. Penjualnya sedang ke gudang."
�
"Oh, maaf! Aduh, maaf, lho, Mbak."
�
Aku menggeleng dan tersenyum. Matanya ramah.
�
"Dari Jakarta?" tanyaku, berbasa-basi.
�
"Ya, sedang mengunjungi mertua yang sakit. Saya mau cari oleh-oleh untuk anak saya. Dia tidak bisa ikut karena sedang ulangan. Dia suka sekali mobil-mobilan. Saya mau beli beberapa model untuk dikoleksi. Ini ada yang berbentuk mobil kodok, sedan,... eh, ini becak, 'kan? Ditto pasti senang!"
�
Aku tersenyum masam. Kalau punya anak, mungkin aku juga akan memborong mobil-mobilan lucu itu. Kalau!
�
"Mbak dari Jakarta juga?"
�
"Ya. Saya sedang dinas. Anda sendirian?"
�
"Suami saya sedang menunggui ibunya. Ah, mendingan saya cari oleh-oleh untuk anak saya. Anak satu-satunya, sih, Mbak. Jadi, saya agak memanjakannya. Kata orang memang tidak baik, tapi biar saja. Soalnya, saya sudah tidak bisa punya anak lagi." Tiba-tiba wajahnya berubah sedih. Jemarinya memainkan roda mobil-mobilan kayu di genggamannya.
�
"Saya sedih sekali sewaktu dokter bilang begitu. Tapi, mau bagaimana lagi? Ditto anak yang baik dan pintar. Saya bahagia memilikinya. Tadinya, saya membayangkan punya tiga anak laki-laki. Bayangkan, Mbak, pasti seru! Walau mungkin nakal, mereka pasti jadi anak-anak termanis di dunia! Tapi, sekarang tidak mungkin. Saya cukup bahagia menjadi ibu Ditto saja," ia melanjutkan dengan wajah sendu.
�
"Ngomong-ngomong, putra Mbak ada berapa? Sudah beli oleh-oleh untuk mereka?"
�
"Saya tidak punya anak."
�
"Wah, wanita karier sejati! Tidak kesepian berdua dengan suami saja? Mbak sudah bersuami, 'kan?"
�
Aku terenyak bingung. Aku memang bersuami. Tapi, aku tidak memilikinya.
�
"Kadang-kadang sepi. Tapi, saya banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Jadi, saya tak terlalu memikirkannya," aku berbohong. Dewa selalu mengatakan apartemen kami terlalu besar untuk dihuni berdua. Terlalu sepi.
�
"Oh, begitu. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa Ditto."
�
Lalu, suasana menjadi sepi, hingga sang kakek muncul membawa setumpuk daster yang masih terbungkus rapi dalam kantong plastik.
�
"Aduh, maaf, ya. Ini warnanya ada semua."
�
Jakarta, dua hari setelahnya
Aku menginjakkan kaki di apartemenmu. Rumah kita berdua selama lima tahun, tempat kita merajut cinta dan menganyam duka. Sebelumnya, aku mengetuk pintu apartemen Laila berkali-kali, hingga pembantunya muncul dan mengatakan bahwa majikannya sudah menantiku di apartemen ini.
�
Pintu apartemenku tidak terkunci. Sedang apa Laila? Sebenarnya, aku berharap itu bukan Laila, melainkan kau. Aku berharap kau yang ada di balik pintu itu, membentangkan kedua lenganmu dan merengkuhku.
�
Aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Aku tersentak mendengar suara bayi. Di apartemenku yang selalu sunyi, yang tidak pernah diinjak kaki-kaki kecil, dan tidak pernah dihiasi celotehan manja, dan tak pernah terjamah tangan-tangan mungil, ada suara bayi!
�
"Laila? Kamu di sini?" seruku, panik dan heran.
�
"Hai, lihat siapa yang datang. Mama barumu. Ayo beri salam pada mama barumu!" Suara Laila timbul tenggelam di antara celotehan bayi itu. Laila muncul menggendong bayi cantik. Manusia mungil berpipi merah muda yang mengenakan baju terusan merah muda. Rambutnya yang pendek dan berombak terikat pita mungil berwarna senada. Kucirnya bergoyang-goyang lucu setiap kali ia merengek.
�
"Kenapa anakmu ada di sini?" tanyaku, tanpa basa-basi.
�
"Karena kamu. Sayang, kamu akan jadi mama barunya selama dua minggu," jawab Laila, penuh semangat.
�
"Hah? Apa maksudmu?"
�
"Please�. Tari, aku benar-benar harus pergi. Tapi, aku tak mau pembantuku yang mengasuh anakku. Kamu mau kan menjaganya? Dua minggu saja!"
�
"Laila, aku baru pulang dari Yogya. Sekarang kamu ingin aku menjaga anakmu selama dua minggu? Aku tidak pernah memegang bayi sekali pun dalam hidupku, apalagi mengasuhnya! Lagi pula, kamu mau ke mana, sih?"
�
"Aku harus menemani Francois pulang ke Bordeaux. Mamanya divonis dokter kanker paru-paru. Hidupnya tak akan lebih dari satu tahun lagi. Ini mungkin akan jadi Natal terakhirnya."
�
Aku tak bersuara.
�
"Bordeaux itu ada di belahan dunia lain, Tar! Di sana sedang musim dingin. Aku tidak tega membawa Shannon."
�
Kembali kupandangi makhluk mungil yang kini bergulat di pangkuan Laila. Putri semata wayangnya, yang baru lahir enam bulan lalu. Aku tidak pernah memerhatikan bayi itu. Selama ini aku hanya menganggap Shannon sebagai 'aksesori' untuk melengkapi apartemen Laila dan Francois. Aku tak pernah menganggapnya hidup. Kini aku harus mengasuhnya selama dua minggu?
�
"Aku tak yakin bisa mendapat cuti. Pekerjaanku menumpuk. Aku juga harus melaporkan kegiatanku di Yogya. Belum lagi janji-janji dengan kllien lamaku...."
�
"Tidak, kamu tidak perlu cuti sama sekali. Kalau kamu tidak keberatan, Ning akan kupindahkan ke sini untuk jaga Shannon selama kamu di kantor. Tugasmu hanya mengawasi Ning mengasuh selama kamu di rumah. Sebenarnya, Ning sudah bisa mengasuh Shannon. Tapi, aku tidak mau melepasnya begitu saja. Kupikir, kalau Shannon di sini, kau bisa mengawasinya sesekali."
�
Meski tak keberatan, aku cukup terpana akan tanggung jawab yang akan dilimpahkan Laila padaku. Seorang anak! Bukan! Bayi enam bulan!
�
"Aku benar-benar tidak tahu cara mengasuh anak, Laila. Kau kan tahu, aku tak begitu suka anak-anak. Bagaimana jika terjadi sesuatu?"
�
"Ayolah, kamu pasti tidak seburuk itu."
�
Pikirnya, kenapa aku dan Dewa berpisah?
�
"Tar, aku tidak punya siapa-siapa lagi di Jakarta. Kalau ibuku masih hidup, pasti Shannon akan kutitipkan padanya. Kamu satu-satunya orang yang aku percaya. Please...., please!" Laila memohon.
�
Aku menyerah.
�
Kuraih tubuh mungil yang kini menatapku dengan pandangan heran. Kupeluk dia dalam dekapanku. Kuhirup wangi minyak bayi yang melekat di bajunya. Kucium keningnya yang tertutup poni bergelombang halus. Shannon menggeiat, menatapku lagi, dan matanya seolah-olah bertanya, "Kamu, siapa?" Tapi, kemudian ia tak peduli siapa aku karena bibir mungilnya tersenyum, lalu tertawa.
�
Laila mendesah lega.
�
"Sepertinya, ia menyukaimu."
�
"Mudah-mudahan. Jika ia akan jadi anakku selama dua minggu, paling tidak ia harus menyukai aku karena aku belum pernah menyukai anak-anak sebelumnya."
�
Laila tertawa. Ia mengambil Shannon dari tanganku.
�
"Maaf, lho Tar. Aku tadi sudah langsung memasukkan beberapa perlengkapan Shannon ke dapur. Aku rasa kamar tidur tamumu kosong, 'kan? Boleh Shannon dan Ning tidur di situ? Aku akan memanggil Ning supaya ia bisa mengambil baju-baju Shannon."
�
"Silakan. Kapan kamu berangkat?"
�
"Lusa. Tapi, kupikir, sebaiknya kamu membiasakan diri dengan mereka, paling tidak satu hari sebelum aku pergi, sekalian aku mengajarimu. Bolehkah mereka mulai tidur di sini besok malam?"
�
Aku mengangguk.
�
"Baiklah. Terima kasih banyak, Mentari. Aku tidak akan pernah melupakan utangku yang satu ini."
�
"Dua utang, Laila," kataku, sambil membuka tas kecilku.
�
"Daster Yogya. Diimpor langsung dari Malioboro," aku memberikan kantong plastik berisi daster biru muda.
�
"Aduh, terima kasih, Sayang," katanya, sambil tertawa dan melangkah keluar.
�
Aku melemparkan tubuhku ke sofa. Begitu banyak hal yang harus kuhadapi akhir-akhir ini. Setelah ditinggalkan suamiku tercinta, kini aku harus menjadi ibu dari anak yang bukan anakku. Tiba-tiba aku teringat padamu.
�
Apakah kau sempat datang ketika aku di Yogya? Menengok sarang cinta kita? Membawa pergi pakaian dan barang-barangmu? Memandangi foto kita berdua dalam pakaian pengantin?
�
Aku bergegas beranjak ke kamar tidur dan membuka lemari pakaian. Separuh isinya telah lenyap. Yang tersisa di gantungan hanya pakaianku. Sebelum aku berangkat ke Yogya, aku masih dapat mencium wangi tubuhmu yang melekat di kemeja kerjamu, aroma aftershave yang menempel di dasimu. Botol minyak wangimu di sudut lemari masih melayangkan ingatanku pada kencan-kencan pertama kita.
�
Tapi, itu semua kini telah tiada. Kau telah tiada. Tidak ada sedikit pun hal yang bisa mengingatkan hatiku akan cinta kita. Separuh hidupku yang lain juga hampir mati. Sepi menusuk hingga tulang-tulangku.
�
Tiba-tiba aku teringat gelak tawa makhluk mungil Shannon. Mungkin, mengasuhnya bisa menjadi pengalaman yang baru. Mungkin, Shannon bisa membantuku melupakanmu. Walau untuk sementara.
�
Denpasar, awal Desember
Dewa mengisap rokoknya dalam-dalam.
�
Kosong.
�
Hanya kekosongan yang menyentuh hidupnya selama dua bulan belakangan ini. Dua bulan yang paling menyiksa.
�
Bulan-bulan biasanya diisi tawa, tangis, senyum, celoteh, hingga teriakan wanita yang dicintainya, kini hilang. Hari-hari yang selama ini diisinya dengan impian, cita-cita, dan obsesi bersama wanita itu telah lenyap.
�
Kosong.
�
Dewa menatap langit-langit putih bersih di atas kamar tidur kosnya. Di matanya terbayang kejadian lima tahun lalu.
�
"Kamu yakin akan pilihanmu? Ini sebuah keputusan besar, Dewa. Menikah adalah hal terbesar dalam hidup manusia. Kamu memang berhak menentukan pilihanmu sendiri. Tapi, kamu harus ingat siapa dirimu! Kamu adalah ahli waris adat. Kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu orang Bali! Jangan pernah melupakan adat! Jangan melupakan kulitmu hanya karena wanita itu!"
�
Bayang-bayang ayahnya semasa masih hidup tampak nyata di hadapan Dewa. Kemarahan ayahnya saat itu adalah yang terakhir, sebelum ia meninggal dunia setahun setelah pernikahan mereka.
�
"Pak, wanita itu punya nama. Mentari. Dia tidak seburuk yang Bapak pikir. Saya yakin, ia mau mematuhi segala permintaan saya. Dia sanggup mengikuti segala kewajibannya. Dia tidak keberatan meninggalkan kehidupannya untuk memulai hidup baru bersama saya. Hal itu membuat saya yakin, saya tidak salah pilih."
�
"Kamu bisa berharap demikian, Dewa. Wanita itu mungkin mencintaimu. Tapi, dia tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dilaluinya bersamamu."
�
Dewa membuka matanya lebar-lebar. Butiran air mata jatuh. Mungkin, ini pertama kalinya ia menangis sejak 25 tahun terakhir. Ayahnya benar. Mentari memang mencintainya, tapi ia tidak tahu kehidupan apa yang akan dimasukinya saat menikahi Dewa. Ia menikahi adat. Ia menikahi keluarga besar yang terikat tradisi turun-temurun selama berabad-abad. Tradisi yang tak pernah dikenalnya seumur hidup.
�
Dewa memaklumi sentakan dalam jiwa Mentari. Kegalauan mendalam yang tercipta karena sebuah doktrin yang terpaksa harus ditanamkan dalam kepalanya, hanya karena ia memutuskan menikahi pria yang dicintainya.
"Apakah wanita itu tahu bahwa kamu harus kembali ke desa ini jika telah mapan nanti?"
"Seharusnya, ia tahu, Pak. Saya telah menceritakan setiap detail impian dan tujuan hidup saya padanya."
"Dan dia bersedia mengabdi pada keluarga dan adat hingga pada hari ia mati, seperti layaknya seorang wanita Bali?"
"Saya yakin ia mau, Pak."
Dewa tahu Mentari mencintainya lebih dari kehidupan yang dimilikinya saat itu. Cinta yang cukup besar untuk memasuki kehidupan yang sama sekali baru.
Sekarang Dewa malah meragukannya. Bahkan, Dewa ragu, apakah cinta Mentari lima tahun lalu memang sebesar yang ia duga.
Bandara Soekarno Hatta, dua hari setelahnya
Pelajaran Laila pada hari pertama Shannon tinggal di apartemenku berjalan cukup baik, walau ada gangguan-gangguan kecil. Pada jam pertama Shannon 'pindah rumah' ia sudah memuntahkan separuh bubur susu di karpet Turki-ku. Laila berjanji akan membawanya ke laundry segera setelah ia kembali dari Bordeaux.
�
Selama dua jam berikutnya Shannon sudah mengompol tiga kali di kasurku, hingga akhirnya Laila memberi izin memakaikan diaper pada Shannon selama ia tinggal di apartemenku. Pada jam makan siang sofaku yang berwarna off white terkena tumpahan jus pisang dan pepaya. Taplak meja makanku yang berwarna biru tua digenangi susu bayi. Rupanya, Ning lupa mengencangkan tutup botol hingga jatuh saat tersenggol.
�
Okay, mungkin aku akan baik-baik saja. Toh, selama ini belum pernah ada satu noda pun yang tidak bisa diatasi oleh penatu langgananku. Lagi pula, hari ini Shannon tidak menangis, tidak mengoceh terlalu banyak, dan tidak merengek sepanjang malam. Hari ini dia manis sekali. Sepertinya, aku bisa mulai menyukainya.
�
Keluarga baruku, Shannon dan Ning, mengantar Laila dan Francois ke bandara. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku. Berkali-kali pula mereka menciumi Shannon hingga ia bersin-bersin. Laila juga berkali-kali meneteskan air mata hingga aku tak yakin ia akan benar-benar tega meninggalkan Shannon.
�
Setelah pesawat mereka lepas landas, aku menggendong Shannon sambil berjalan di bawah sinar matahari Jakarta. Cukup menyiksa. Tapi, aku harus bisa menjadi ibu yang baik untuk Shannon, demi Laila, sahabatku satu-satunya.
�
Ketika aku sedang sibuk mencari kunci mobil di dalam tas dengan tangan kiriku sambil menggendong Shannon, aku ditabrak seseorang. Ia tampak terburu-buru.
�
"Mentari!"
�
Aku tercengang. Sembilan minggu. Sembilan minggu lalu adalah saat terakhir kali aku mendengar suaranya. Darah mengalir ke seluruh permukaan kulitku dan seakan membeku di sana. Kalau saja aku tidak ingat sedang menggendong Shannon, aku mungkin akan menjatuhkannya.
�
"Dewa...."
�
"Aku minta maaf. Aku masuk ke apartemenmu dan mengambil semua pakaianku. Aku telah mengambil keputusan. Aku akan kembali ke Bali. Untuk selamanya. Aku telah mengajukan pengunduran diri ke kantor. Untungnya, mereka memahami alasanku. Hari ini mereka memanggilku kembali dan menyampaikan kabar bahwa mereka merekomendasikan aku ke salah satu anak perusahaan mereka di Denpasar. Kamu... aku sudah... maksudku...."
�
"Saya mengerti."
�
"Tidak. Aku ingin minta maaf padamu. Aku masih mencintaimu, Tar. Lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi, ini sudah menjadi garis hidupku. Aku tidak bisa meninggalkan tradisi yang sudah kujalani sejak aku dilahirkan."
�
"Saya bilang, saya mengerti."
�
Tiba-tiba Shannon merengek. Mata Dewa membelalak. Dia baru menyadari aku sedang menggendong seorang bayi.
�
"Ini... lho, bukannya ini anak Laila?"
�
"Ya. Saya baru saja mengantarkan Laila. Shannon akan tinggal bersama saya sampai Laila pulang."
�
"Tapi, kamu...."
�
"Saya belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Ya, saya tahu itu. Tapi, ada Ning yang membantu saya. Saya tak perlu khawatir. Saya bisa belajar, Dewa."
�
"Tapi�."
�
Kami berdua tidak bisa berkata-kata lagi. Dewa pasti ingin bertanya, mengapa aku mau mengasuh anak orang dan tidak mau memikirkan untuk memiliki anak sendiri.
�
"I miss you a lot, Tar."
�
"Yah... tapi... tapi kamu punya kehidupan lain yang memang harus dijalani."
�
"Saya pikir, kamu dulu mengerti bahwa inilah konsekuensi hidup bersama saya."
�
Mukaku terasa panas. Aku merasa air mata akan berjatuhan. Shannon sudah lebih dulu menjerit dan menangis. Sedikit panik aku menepuk-nepuk pantat bayi itu dan membuainya. Tapi, tak sedikit pun usahaku berhasil meredakan tangisannya.
�
"Cup� cup... sayang�. Haus, ya? Ning, cepat ambilkan botol susunya!"
�
"Mungkin, dia kepanasan, Tar. Masuklah ke mobil. Pesawatku sebentar lagi boarding. Aku harus segera pergi."
�
Aku tak menjawab, pura-pura mengalihkan perhatian pada Shannon. Walau sebenarnya, yang kupikirkan saat itu hanyalah lari ke pelukanmu dan melarangmu pergi. Meskipun tak mungkin kau kabulkan keinginan itu.
�
"Ya. Silakan. Aku tak akan mencegahmu." Entah mengapa, yang terucap dari bibirku justru sebaliknya.
�
Kau membalikkan badanmu, bergegas pergi dan berlalu. Dingin kembali menyusupi hatiku, setelah sempat kau hangatkan beberapa saat.
�
"Dewa.�" Namamu tiba-tiba meluncur dari bibirku perlahan. Kamu menghentikan langkah. Tidak menoleh padaku. Hanya menundukkan kepala dalam-dalam.
�
"Aku harus pergi. Aku tidak bisa berdebat sekarang." Lalu, kau melanjutkan langkahmu.
�
Diiringi tangisan Shannon, air mataku meluncur deras. Ning hanya membisu, sambil mengelus-elus anak asuhnya dan memberinya susu.
�
Apartemen Mentari, sepuluh hari setelahnya
Telepon berdering keras. Aku terlonjak dari tempat tidur, teringat pada Shannon yang seharusnya telah bangun sejak berjam-jam yang lalu. Pukul sepuluh! Tadi malam aku menghadiri acara perpisahan rekan kerjaku yang akan ditugaskan ke Australia. Kami berpesta hingga larut. Pesta yang tepat untuk membunuh malam Sabtu yang sepi tanpa dirimu. Aku mulai waswas, apakah Ning sudah memberikan sarapan pagi Shannon.
�
Aku meregangkan tangan dan meraih gagang telepon yang masih menjerit-jerit.
�
"Halo�."
�
"Tari? This is Francois. Here, Laila wants to speak to you."
�
"Yah, put her on."
�
"Tar? Hai� apa kabar Shannon?"
�
Aku heran. Baru kemarin pagi Laila meneleponku. Tapi, nada suaranya terkesan bahwa kami tak berbicara sejak setahun yang lalu.
�
"Santai saja, Laila. Dia baik-baik saja. Rekening telepon mertuamu pasti melonjak setelah kalian pulang nanti. Saya bisa, kok, menjaga Shannon."
�
"Bukan itu, Tar. Mungkin, kami pulang agak lambat. Tadi malam ibu Francois masuk rumah sakit," lalu Laila merendahkan suaranya dan berbisik, "Ia muntah darah. Tidak ada yang tahu berapa lama ia mampu bertahan."
�
Ya, Tuhan. Aku tak tahu pada siapa lagi aku harus merasa kasihan, pada diriku sendiri atau Laila. Aku mengerti, mungkin ini adalah saat-saat terakhir Francois bersama ibunya. Tapi, aku juga punya kehidupan sendiri yang harus kujalani.
�
"Oh, ya? Sampaikan simpatiku pada Francois. Mudah-mudahan ibunya segera pulih. Tapi, jika tidak, katakan padanya supaya bersabar. Mungkin ini takdir Tuhan."
�
"Ya, sepertinya ia sudah memahami hal ini. Kami semua hanya bisa berdoa. Tapi, aku cuma mengkhawatirkan Shannon. Benarkah dia baik-baik saja?"
�
"Ya, selama kau masih percaya padaku!"
�
"Okay, aku akan telepon kamu lagi setelah ada perkembangan, ya, Tar. Terima kasih banyak, ya�."
�
"Sama-sama."
�
Aku menutup gagang telepon perlahan, walaupun sesungguhnya ingin kubanting. Lalu, aku mendengar suara Shannon menjerit. Aku melonjak bangun dari kasur dan segera berlari ke arah dapur, tempat suara itu berasal. Hatiku benar-benar lega melihat Shannon sedang duduk manis di kursi makannya dan Ning sedang ngomel-ngomel di depannya.
�
"Shannon menyiram saya dengan susu serealnya, Bu Tari. Lihat, nih, semua lantai jadi basah, baju saya juga."
�
Aku tersenyum. Mata Shannon berkilat-kilat bundar, se-akan-akan puas melihat kejailannya berhasil membuat Ning kelimpungan. Senyumnya tersungging di bibirnya yang belepotan sereal cokelat. Sesekali ia tergelak.
�
"Sudahlah. Ganti pakaianmu, Ning. Biar saya yang membersihkan Shannon. Nanti kamu pel lantainya. Biar saya suapi Shannon di depan televisi saja."
�
Kuangkat bayi perempuan yang kini mulai centil itu dan kuambil mangkuk serealnya yang setengah penuh.
�
"Ayo, kita sarapan dulu. Kalau tidak sarapan, jangan harap dapat permen kelinci."
�
Shannon menggeliat protes. Kutekan tombol remote control, mencari saluran yang menayangkan serial kartun anak-anak. Sebuah acara televisi yang menampilkan boneka-boneka tangan berambut aneh menarik perhatian Shannon. Ia terlihat senang memerhatikan tingkah polah boneka konyol itu hingga tak menyadari sendok-sendok penuh sereal yang kujejalkan ke mulut mungilnya.
�
Tak sampai lima belas menit, acara sarapan pun beres. Tinggal memandikan Shannon. Setelah itu aku akan mandi dan kami semua akan pergi ke supermarket untuk belanja mingguan. Bena-benar rutinitas wanita berkeluarga. Tapi, membosankan atau tidak, aku mulai menyukainya.
�
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian III)�������������
�
�
Ah, Shannon harus kembali ke pelukan orang tuanya. Pasti aku akan merindukannya. Jangan-jangan aku mulai menyukai anak-anak�.���������������
�
�
�
Cerita lalu:
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian I)
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian II)
�
antor Mentari, malam berikutnya Sial. Akhir-akhir ini, setiap kali aku berharap bisa pulang lebih awal agar bisa beristirahat dan memutar CD Dave Koz keras-keras, pasti saja ada klien yang tiba-tiba meminta presentasi draft proposal. Dan, siapa yang selalu diminta bosku untuk lembur mengerjakan format presentasi? Aku.
�
Sejak Dewa tak pulang, aku selalu membenamkan diri dalam tugas-tugas, yang mestinya bisa kulakukan keesokan harinya. Aku hanya ingin menghabiskan dua atau tiga jam ekstra di kantor. Dengan begitu, aku akan pulang dalam keadaan lelah dan bisa langsung menjatuhkan tubuh di tempat tidur. Supaya aku tak perlu gelisah memandangi sudut-sudut kamar, memimpikan kehadiranmu, membayangkan pelukanmu, sebelum akhirnya menangis, dan jatuh tertidur.
�
Tapi, itu terjadi sebelum ada Shannon! Sejak gadis kecil itu hadir di apartemenku, sepertinya hidupku lebih berguna. Tidak ada lagi malam-malam sunyi memandangi langit-langit, menatap televisi dengan pandangan kosong, atau menyendok es krim pelan-pelan di depan kulkas hingga tanpa sadar telah habis satu liter.
�
Setiap pulang kantor jadwalku kini adalah menggoda Shannon, menggantikan popok dan piamanya, serta menepuk-nepuk pantatnya hingga tertidur di kasur kamar tamuku. Sesudah itu, aku menjaga Shannon sampai Ning selesai makan malam dan membereskan mainan serta semua perlengkapan Shannon yang berserakan. Jika Ning sudah siap beristirahat di sisi bayi mungil asuhannya, barulah aku berpindah tidur ke kamarku.
�
Malam ini aku benar-benar merindukan ritual itu! Rasanya, saat ini aku hanya ingin segera menyelesaikan tugas-tugas agar bisa pulang sebelum Shannon tertidur. Supaya aku sempat memandangi sorot cahaya mata bulatnya yang mulai meredup saat aku menyanyikan nina bobo.
�
Dering telepon genggam membuyarkan konsentrasiku.
�
"Bu, badan Shannon panas�."
�
Suara Ning di ujung sana membuat darahku berdesir keras, berpacu dengan detak jantungku yang seakan dapat kudengar jelas.
�
"Kok, bisa? Tadi kamu beri makanan apa?" aku memberondong Ning dengan panik.
�
"Nggak tahu, Bu. Tidak saya beri yang aneh-aneh, kok�."
�
Nada suara Ning yang lemas dan merasa bersalah membuatku memutuskan untuk pulang. Masa bodoh dengan deadline ataupun presentasi. Bergegas aku membereskan meja dan meraih tasku, lalu keluar setengah berlari.
�
Di ruangan dokter
"Tidak apa-apa, Bu. Ini hanya demam biasa. Kemungkinan, putri Ibu akan tumbuh gigi. Mari, lihat, rasakan gusinya. Ini� di sebelah sini�. Benar, 'kan? Si cantik ini akan segera punya gigi pertama!"
�
Dokter wanita di ruang gawat darurat itu tersenyum lebar menatapku, seolah-olah menertawakan kepanikanku, sekaligus mengecapku sebagai ibu muda yang bodoh. Sebenarnya, aku ingin mengatakan bahwa Shannon bukan putriku dan aku tak peduli apakah giginya akan tumbuh atau tidak. Tapi, aku tidak melakukannya. Kupeluk erat-erat bayi mungil yang sedang tertidur lelap itu.
�
"Mungkin, dalam beberapa hari ini ia akan rewel karena gusinya gatal. Beri saja mainan yang bisa digigit-gigit. Tapi, jangan lupa, harus yang bersih. Saya akan berikan resep obat penurun panas. Tapi, berikan hanya bila si kecil panas, ya, Bu."
�
"Apa kira-kira dia akan panas lagi, Dokter? Begini, saya kan bekerja. Jadi, dia saya tinggal di rumah bersama pengasuhnya."
�
"Oh, Ibu bekerja, ya? Saya kira, jika malam ini panasnya tidak muncul lagi, berarti tidak ada yang serius, Bu. Semestinya, besok ia sudah kembali sehat dan ceria."
�
"Baiklah, Dok. Terima kasih banyak."
�
Selama perjalanan pulang, Shannon tertidur lelap di pangkuan Ning. Lewat kaca spion aku berulang kali mengintip mereka yang duduk di bangku belakang, berharap malam ini tak terjadi apa-apa.
�
Sekilas, tumpukan berkas pekerjaan yang kutinggalkan begitu saja di meja kerjaku di kantor, terlintas di otakku. Tinggal sedikit yang belum kuselesaikan. Kalau aku bisa tiba di kantor tepat pukul tujuh besok pagi, semua pekerjaan akan selesai sebelum presentasi pukul sepuluh. Aku melirik jam di dashboard mobil. Pukul sebelas lewat empat puluh tiga menit.
�
Berulang kali kuingatkan diriku, hal seperti inilah yang membuatku tidak menginginkan anak. Kupaksa akal sehatku untuk memakluminya. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak menyesal telah berpisah dari kekasih dan suamiku.
�
Benarkah?
�
Keesokan paginya
Aku tiba di kantor tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Aku nyaris tidak tidur semalaman. Rasanya, kakiku tak menapak di lantai. Shannon memang tidak terlalu rewel. Tapi, aku tak tega membiarkannya tidur hanya berdua dengan Ning. Jadi, aku ikut tidur di sisi Shannon di kamar tidur tamu.
�
Beberapa kali ia terbangun. Ketika popoknya basah, ketika haus, dan juga ketika akan buang air besar, beberapa menit sebelum pukul lima. Kata Ning, Shannon biasa melakukan hal itu setiap pagi. Jadwal yang aneh, pikirku. Dan, lebih aneh lagi, setelah beberapa minggu ia tinggal di apartemenku, aku baru mengetahuinya.
�
Setelah itu aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Jadi, aku masuk kamar mandi dan berendam di bath tub berisi air hangat, lalu sarapan. Sebelum berangkat ke kantor, aku membekali Ning berjuta pesan agar ia tidak lupa takaran dan jadwal minum obat Shannon.
�
Bahan presentasiku bisa diselesaikan sebelum pukul sembilan. Aku beranjak keluar dari ruang kerjaku dan membuat kopi di pantry. Beberapa karyawan berdatangan.
�
"Hai! Pagi-pagi begini sudah datang, Tar?" Sinta, salah seorang junior manager dan teman terdekatku di kantor, menepuk punggungku pelan.
�
"Ceritanya panjang," jawabku tak acuh, sambil menuang air panas ke dalam cangkir besar.
�
"Proposal PT Pundi Indo Sejati, ya? Yang jadwal presentasinya tiba-tiba dimajukan itu, 'kan?"
�
"Yah, aku memang mengerjakan proposal itu, sih. Tapi, seharusnya bisa selesai tadi malam."
�
Sinta menggelengkan kepalanya. Tak semua orang di kantor ini tahu tentang perpisahanku dan Dewa.
�
"Kamu memikirkan Dewa lagi?"
�
"Enggak. Sama sekali tidak. Tidak akan pernah," gelengku, pasti.
�
"Lalu?"
�
"Kamu mengenal Laila, 'kan? Tetangga lantai bawah di gedung apartemenku? Sewaktu aku merayakan ulang tahun di Caf� Bonjour tahun kemarin, ia datang bersama suaminya, yang orang Prancis."
�
"Ya, masih ingat sedikit. Kenapa?"
�
"Dia pulang kampung ke Bordeaux. Bayinya yang baru berumur enam bulan dititipkan di apartemenku. Sudah dua minggu lebih."
�
"Lalu?"
�
"Tadi malam ia mendadak panas."
�
"Ya, ampun.�"
�
"Jadi, aku harus mengantarnya ke dokter dan meninggalkan pekerjaanku. Pagi ini aku harus cepat-cepat datang agar bisa menyelesaikan bahan presentasi."
�
Sinta tersenyum, sambil menggeleng. "Kupikir, kamu bukan tipe orang yang bisa meninggalkan pekerjaan di masa-masa deadline seperti itu."
�
"Ini kan masalah nyawa, Sin."
�
"Dia kan cuma panas, Tar. Bayi, sih, biasa demam seperti itu. Coba kutebak, pasti tumbuh gigi, 'kan? Atau, mau flu? Kasih saja obat penurun panas."
�
"Nah, masalah itu yang aku tak pernah tahu."
�
Sinta tertawa ringan. "Tari, Tari� ternyata, kamu memang tak separah yang kuduga," cetusnya.
�
"Maksudmu, parah bagaimana?"
�
"Kupikir, kamu memutuskan berpisah dari Dewa karena kamu benar-benar alergi terhadap anak-anak. Tapi, ternyata, kamu juga bisa jadi ibu, 'kan?"
�
Leherku tercekat. Aku tak mengerti perasaanku saat itu. Meski aku tahu Sinta tak bermaksud jahat ketika mengatakan hal itu, separuh diriku mulai mempertanyakan lagi keputusan yang telah kubuat selama ini. Benarkah aku tak menyesal berpisah dari Dewa? Benarkah aku harus mengakhiri pernikahan kami? Benarkah aku membenci anak-anak? Benarkah aku tak ingin menjadi seorang ibu?
�
London, Januari 1996
Salju tipis melekat dan mengkristal di kolam air mancur di tengah Trafalgar Square. Aku merapatkan jaket dan menarik topi wool hingga menutupi telinga. Aku tahu, satu-satunya cara melawan dingin adalah bergerak secepat mungkin. Tapi, rasanya sulit sekali berjalan saat mengenakan kostum setebal ini. Kutarik lengan Dewa dan merapatkan tubuhku di sisinya.
�
"Ini musim dingin terakhir kita di Inggris, Tar," katanya dingin, sedingin cuaca di sekitarku. Ia menerawangkan pandangan ke langit yang biasanya biru. Namun, entah mengapa, langitnya kini berwarna abu-abu. Biasanya, banyak burung dara yang beterbangan rendah di taman ini. Tapi, kini tak seekor pun menunjukkan kepaknya. Mungkin, mereka hanya ingin menghabiskan musim dingin dalam kehangatan sarang.
�
"Yah, sebagai mahasiswa, mungkin begitu. Tapi, setelah itu kita kan masih bisa datang lagi ke sini," kataku, berusaha mencairkan suasana.
�
"Tar� maksudku, mungkin ini musim dingin terakhir kita berdua. Terakhir kali kita melihat salju berdua�."
�
Aku menatap mata bulat yang dibingkai alis tebal dan hitam itu.
�
"Maksudmu apa?"
�
"Tar, aku sudah berkali-kali berusaha meyakinkan diriku bahwa kita saling mencintai. Tapi, aku khawatir, kita mungkin tak bisa punya masa depan jika masih terus bersama."
�
Topik ini harus diangkat lagi. Berulang kali Dewa ketakutan akan keputusan kami untuk menikah setelah kembali ke Indonesia.
�
"Hari sudah mulai gelap. Ayo, lekas." Ia menarik lenganku dan menuntunku berjalan di trotoar yang basah oleh lelehan salju.
�
Bergegas kami memasuki sebuah kedai mungil yang menjual bagel. Kami duduk di salah satu pojok yang hangat. Meja kami dilengkapi taplak meja tartan ala Irlandia. Tanpa lama menunggu, dua cangkir teh Earl Grey terhidang di hadapan kami, di sisi roti bulat yang bertabur wijen.
�
"Kamu tahu, Tar, kehidupan macam apa yang menantiku di Indonesia?" Kau memandangku dalam-dalam, sambil membuka sarung tangan. Kusentuh tanganmu. Dingin. Sedingin es. Tapi, anehnya, mampu menghangatkan hati dan jiwaku.
�
"Ya. Saya tahu. Saya paham, dan saya mencoba untuk mengerti."
�
"Kau siap menjadi wanita biasa? Siap tinggal di desa? Setelah semua ini kamu tempuh? Setelah kita mengecap segalanya di negeri lain?"
�
"Kamu mencintai saya, Dewa?"
�
"Masih perlukah pertanyaan itu kujawab, Tar?"
�
Aku menunduk.
�
"Berarti, saya akan menjadi istrimu. Saya mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini. Dan, aku tak ingin jadi apa pun, selain jadi istrimu. "
�
"Menikahiku berarti menikah dengan adatku, Tar. Ingatkah kau akan hal itu?"
�
"Ingat."
�
"Meskipun itu berarti hidupmu akan banyak berubah?"
�
"Ya."
�
Kamar tidur Mentari, pukul 00.21, enam tahun sesudahnya
Ya. Janji itu memang pernah kuucapkan. Mengapa aku selalu mengingkarinya? Ya, Tuhan, apakah aku tak mencintainya lagi?
�
Mengapa aku dulu begitu yakin akan keputusanku untuk menikahinya, padahal aku tahu akan berada di puncak dunia? Apakah saat itu aku hanya dibutakan oleh cinta semata?
�
Aku membalikkan kepalaku berulang kali. Sayup kudengar rengekan Shannon. Sudah satu bulan lebih Shannon tinggal di apartemenku. Aku benar-benar sudah terbiasa bangun malam hari karena mendengarnya merengek minta susu. Tapi, baru kali ini aku merasa sedih. Telah berjam-jam aku berusaha melupakan sosokmu hingga akhirnya jatuh terlelap. Setiap kali terjaga, aku membutuhkan waktu lebih panjang untuk kembali tidur.
�
Ah, Shannon. Rasanya, aku sudah mulai menyukai makhluk cantik yang luar biasa itu. Sayang sekali Laila harus melewatkan tumbuhnya gigi Shannon. Putri kecilnya itu makin centil memamerkan gigi susu mungilnya.
�
Pertengahan Januari
Ibunda Francois memang hanya memiliki satu kesempatan terakhir untuk merayakan malam Natal. Ia bahkan tak tahu, cucu tercintanya kini telah makin besar dan cantik. Dua minggu setelah Laila mengabarkan kesehatannya yang memburuk, beliau meninggal dunia. Akhir minggu ini Laila akan kembali ke Indonesia dan mengambil kembali putrinya.
�
Kupandangi Shannon yang tertidur pulas sambil memeluk boneka beruangnya. Betapa damainya bocah mungil ini.� Aku akan merindukan celotehnya di apartemen ini. Rindu akan segala kenakalannya yang selalu membuat Ning kelabakan serta membuatku terus-menerus mengkhawatirkan, benda apa lagi yang akan segera kularikan ke penatu. Rindu akan saat ia membutuhkan perhatianku. Rindu akan saat kami berdua saja di dalam kamar ketika Ning sedang makan malam. Rindu mengelus rambutnya dan menepuk pantatnya sampai ia terlelap. Rindu akan sinar matanya saat ia menatapku.
�
Tapi, ia bukan anakku. Laila pasti lebih merindukannya.
�
Ubud, pagi berikutnya
Ia memang indah. Itu harus kuakui. Seindah lukisan dan patung yang diukir sewaktu senja mulai turun. Seakan Tuhan menghabiskan lebih banyak waktu saat menciptakannya daripada saat menciptakan wanita lain. Karena, setiap detail wajahnya benar-benar sempurna. Tapi, mengapa aku tak ingin jatuh cinta padanya?
�
Dewa menatap gadis yang hanya berjarak sepuluh meter di hadapannya. Hiruk-pikuk warga yang sedang berkumpul di bale banjar terdengar hingga ke kediaman keluarganya. Tangis anak-anak kampung yang tak dihiraukan sang ibu bercampur dengan keramaian itu.
�
Bandara Soekarno Hatta, dua hari kemudian
Kami menjemput Laila dan Francois yang terlambat empat puluh lima menit. Untungnya, Shannon tidak rewel. Padahal, terminal kedatangan internasional saat itu cukup ramai dan ingar-bingar. Shannon hanya menendang-nendangkan kakinya ke dadaku, sesekali meronta, dan meminta perhatianku.
�
"My baby!" Teriakan Laila menggema dari jarak kurang lebih enam meter, bahkan sebelum ia sempat keluar dari pagar yang membatasi penumpang dan penjemput. Di belakangnya Francois tampak tergopoh-gopoh mendorong trolley koper, mengikuti langkah Laila yang setengah berlari.
�
"Oh, kamu sudah besar, ya, sekarang!" Direbutnya Shannon begitu ia sampai di depanku.
�
Percaya atau tidak, Shannon berontak dan mulai menangis. Ia tidak mengenali Laila, ibu kandungnya sendiri.
�
"Laila, pelan-pelan�. Sepertinya, ia lupa padamu�," aku berkata sepelan mungkin agar Laila tidak tersinggung. Tapi, terlambat. Selama beberapa detik air muka Laila dipenuhi kekecewaan. Lalu ia tersenyum dan memelukku.
�
"Terima kasih banyak, ya, Tar�. Apa kabar?"
�
"Seperti yang kamu lihat. Kami semua baik-baik saja. Turut berduka cita atas kepergian mertuamu," kataku, sambil membalas pelukannya, lalu menyalami Francois.
�
"Bagaimana perjalanannya?" tanyaku, jelas hanya berbasa-basi agar Laila tak larut dalam kekecewaan.
�
"Baik. Senangnya bisa mendapatkan kehangatan sinar matahari lagi," jawab Francois, juga berbasa-basi.
�
"Ayo, kalian pasti lelah." Aku mengajak mereka segera pulang. Shannon tetap berada dalam pelukanku. Raut wajah Laila tampak sedih karena Shannon melupakan ibunya, yang telah pergi sebulan lebih.
Di apartemen Mentari, keesokan harinya
Shannon memperpanjang waktu menginapnya di apartemenku satu malam. Laila khawatir Shannon akan rewel jika tiba-tiba harus berpindah tempat tidur. Lagi pula, ia dan Francois masih perlu istirahat karena jet lag. Aku, sih, senang-senang saja. Aku justru khawatir, apa yang akan terjadi jika Shannon segera pulang.
�
Sebenarnya, aku belum mulai menyuruh Ning untuk membereskan barang-barang Shannon. Aku tak ingin melihatnya segera pergi dan meninggalkanku sendiri. Ya, mungkin aku egois. Aku tak tahu, aku takut berpisah dari Shannon atau takut kesepian. Tapi, yang pasti, aku lebih senang Shannon ada di apartemenku.
�
Jadi, pagi itu, saat Laila menjemput Shannon untuk pulang secara resmi, aku dan Ning sedikit repot membereskan barang-barang.
�
"Aduh, Tar, maaf banget, ya�. Kamu jadi benar-benar repot�," kata Laila, sambil berkali-kali membujuk Shannon agar mau digendong.
�
"Tak masalah. Kerepotan yang diakibatkan oleh Shannon cukup menyenangkan buatku," kataku, sambil melipat celemek makan yang lalu kumasukkan ke dalam tas bayi.
�
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Dewa?" tanya Laila, seakan tanpa beban. Pertanyaan itu bagaikan setrum di telingaku.
�
"Hmm� baik."
�
"Maksudnya baik?"
�
"Ya� katanya, ia mengundurkan diri dari kantornya. Lalu, ia ditawari pekerjaan di Denpasar. Jadi, sekarang ia berada di Bali. Itu baik, 'kan?"
�
"Katanya? Kata siapa?"
�
"Kata Dewa sendiri."
�
"Kamu bertemu dengan Dewa? Dia menghubungi kamu?" Laila mengangkat pandangannya dari Shannon dan memelototiku.
"Tidak. Kami bertemu di bandara, sewaktu mengantar kalian pergi."
�
"Jadi� kalian berdua tidak akan bersatu lagi?"
�
"Sepertinya begitu. Keadaannya sulit, Laila."
�
"Tar, aku tak tahu harus bilang apa. Tapi, jika sekarang ini aku berada di posisimu, aku tak akan ada di sini."
�
"Maksudnya?"
�
"Ya� posisiku mirip dengan kamu saat aku akan menikahi Francois. Sekarang ini, cepat atau lambat, aku harus siap mengikutinya pulang ke Prancis jika kontrak kerjanya di sini berakhir. Tapi, tidak apa-apa. Kami saling mencintai. Aku akan mengorbankan seluruh kehidupanku, akan menjual salon-salonku, dan meninggalkan teman-temanku. Aku lebih suka memulai hidup baru bersamanya daripada harus kehilangan dia."
�
"Masalahnya tak semudah itu. Toh, masalah utamanya bukan karena aku tak mau tinggal di Bali. Sejak awal aku memang tak mau punya anak. Paling tidak, tidak sekarang."
�
"Kenapa?"
�
"Karena, aku yakin, aku tak akan bisa berhasil."
�
"Buktinya, kamu bisa, 'kan?" Laila tersenyum penuh kemenangan.
�
"Apa?"
�
"Tar, salah satu alasan mengapa aku menitipkan Shannon padamu adalah untuk meyakinkanmu bahwa kau bisa jadi seorang ibu. Aku bisa saja menitipkan Shannon pada teman-teman lain. Tapi, aku tahu kaulah yang membutuhkan Shannon. Tahukah kau, Tar, bahwa kau bukannya tak ingin memiliki anak karena tak ingin kariermu terhambat? Hanya, kau tak yakin bisa jadi ibu yang baik."
�
"Tidak! Aku yakin, punya anak hanya akan menghambat karierku."
�
Laila menggeleng.
�
"Tidak. Aku yakin, kau tidak berpikir begitu. Kau khawatir, jika kau punya anak nanti, kau akan lebih memilih jadi ibu daripada jadi wanita karier. Karena, kau takut, jika tetap bekerja, kau tak akan bisa jadi ibu yang baik."
�
Aku terdiam. Benarkah itu?
�
"Semua sudah selesai, Bu. Barang-barang saya turunkan ke apartemen kita, ya?" Ning memecah kesunyian, membawa beberapa tas besar dan sebuah kantong plastik penuh popok kotor.
�
"Ya, ya, sudah sana. Biar saya yang bawa Shannon." Laila mengangguk dan melambaikan tangan menyuruh Ning segera pergi.
�
"Aku pamit dulu, ya. Francois sudah menunggu terlalu lama. Pasti ia kangen pada si kecil ini. Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Laila, sambil menepuk lenganku.
�
"Kenapa tidak?"
�
"Ya, sudah. Pulang, yuk, Cantik�." Laila mengangkat Shannon dari kereta dan menggendongnya.
�
Shannon menatapku, sambil menggigiti mainan plastiknya. Lalu, ia melemparkan benda empuk itu padaku. Tiba-tiba dari bibir mungilnya terucap, "Maamm� ma�."
�
Aku dan Laila tersentak kaget. Kata pertamanya! Kata pertama Shannon, yang ditujukan untukku!
�
Laila tertawa bahagia, sedikit terlalu histeris.
�
"Kata pertamanya! Tar, Shannon bisa bilang Mama! Ya, Tuhan�. Sepertinya, kamu merawat anakku dengan benar-benar baik! Terima kasih banyak, ya�!"
�
Aku tersenyum simpul. Hatiku membuncah bahagia. Rasanya, baru saat itulah aku kembali merasakan kebahagiaan sejak beberapa bulan terakhir ini.
�
"Lihat, sudah kubilang, kamu bisa jadi ibu yang baik." Laila tersenyum padaku, lalu membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu.
�
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Tar."
�
"Sama-sama. Aku juga banyak belajar dari Shannon."
�
"Pintu apartemen kami selalu terbuka kapan pun kau membutuhkan aku ataupun Shannon."
�
Aku mengangguk. Setelah Laila dan Shannon keluar, aku menutup pintu dan menguncinya. Kujatuhkan diriku di sofa, terdiam memeluk bantal yang masih berbau minyak bayi Shannon. Belum lima menit ia pergi, aku sudah merasa kesepian. Terngiang-ngiang di telingaku ucapan Laila tadi. Kau khawatir akan lebih memilih jadi seorang ibu daripada jadi wanita karier.
�
Itukah selama ini yang ada di dalam pikiranku?
�
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian IV)������������
�
�
Gerak tubuh dan nada suaranya yang manja rasanya pantas membuatku curiga. Apakah semua sudah terlambat, Dewa?��
�
�
�
Cerita lalu:
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian I)
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian II)
Aku Mau Pulang ke Ubud (Bagian III)
�
ebulan setelahnya
Presentasi terakhir di PT Pundi Indo Sejati dijadwalkan besok pagi pukul sepuluh. Malam ini aku terpaksa lembur, menggodok materi presentasi. Sungguh mengesalkan.
�
Dulu, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu, sehingga tak perlu lembur dan bisa tiba di rumah sebelum pukul delapan. Jadi, aku punya waktu bermain-main dengan Shannon sebelum ia tidur. Sekarang, aku selalu menunda-nunda dan mengulur-ulur waktu. Hanya supaya aku bisa bekerja lembur dan lebih lama di kantor.
�
Ketukan di pintu ruang kerjaku membuatku kaget.
�
"Masuk."
�
"Malam, Tar. Belum selesai?" tanya, Hani, seniorku.
�
"Sedikit lagi, Mbak. Mbak Hani belum pulang?"
�
"Baru mau pulang. Aku tadi menunggu fax dari Pak Daryono, memastikan berapa penawaran untuk proyek berikutnya. Lalu, kupikir kamu mungkin butuh bantuan," katanya, simpati.
�
"Bantuan apa?"
�
"Kelihatannya tim kamu sedikit kesulitan mengerjakan proyek PT Pundi. Benar begitu?"
�
"Tidak. Kata siapa? Mbak lihat sendiri. Semua pekerjaan dan laporan sudah siap. Aku hanya memeriksa format presentasinya."
�
"Bukan begitu. Hanya, sepertinya kamu terlalu banyak turun tangan dalam proyek ini. Beberapa staf mengeluh. Katanya, kamu banyak mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Mereka tak ingin dicap pemalas dan cari muka. Mereka tak ingin dapat pujian, padahal kamu yang mengerjakan semuanya."
�
"Bukankah seharusnya mereka senang?"
�
"Intinya bukan itu, Tar. Sadar atau tidak, belakangan ini kamu menjelma menjadi orang yang berbeda. Kamu bukan Mentari yang biasa kukenal, yang tegas dan dinamis," tambah Mbak Hani.
�
Aku memandangnya tajam. "Separah itukah kelihatannya?"
�
"Tidak terlalu, sih. Orang yang tidak memerhatikan pasti tak akan sadar. Tapi, karena aku sudah mengenalmu, aku tahu, kamu pasti mempunyai masalah."
�
"Ya� kurang lebih begitu. Tapi, aku tak ingin merepotkan. Aku sudah terlalu sering membuat orang-orang pusing."
�
"Seperti suamimu?" Aku memandangnya dalam-dalam. Maaf, Tar� bukannya aku mau mencampuri masalah pribadimu. Tapi, teman-teman sekantor bercerita, sekarang kamu berpisah dari suamimu. Aku tak ingin tahu dan tak akan bertanya lebih lanjut. Tapi, kalau aku memberi saran, sebaiknya kamu segera menyelesaikan masalahmu. Masalah tidak akan selesai hanya dengan berdiam diri dan merenung," kata Hani.
�
Ia menghela napas. "Kamu tidak akan menjadi lebih baik bila hanya menyembunyikan perasaan dan berpura-pura pada diri sendiri. Perasaan sakit itu akan menggerogoti dirimu perlahan-lahan. Akhirnya, kamu akan rapuh, seperti kayu yang dimakan rayap. Terlihat kokoh, tapi dalamnya kosong. "
�
Aku menunduk diam.
�
"Nah, jadi, menurutku, apa pun persoalannya, segera selesaikan. Jangan biarkan hatimu terus bimbang. Siapa yang akan menjawab pertanyaanmu? Angin? Rumput? Langit?"
�
"Hanya, aku belum sanggup menyelesaikannya."
�
"Kamu belum sanggup karena takut konsekuensinya. Kamu takut, kalau kamu menyelesaikannya, hidupmu akan berubah."
�
"Justru itu."
�
Kamar Mentari, pukul setengah dua dini hari
Aku berusaha menggabungkan seluruh pecahan kata-kata dan nasihat yang singgah di telingaku. Berusaha menyalin semua cerita yang ada di kepalaku. Berusaha merekam semua adegan; sejak kita bertemu hingga berpisah. Berusaha menimbang, yang benar dan yang salah. Kupejamkan mata. Dalam hati kupanjatkan sebait doa.
�
Tuhan, bantulah mataku untuk melihat
Bantulah telingaku untuk mendengar
Bantulah hatiku untuk merasa
Bantulah akalku untuk berpikir
Dan, tuntunlah langkahku ke jalan yang telah Kau tunjuk�.
�
Denpasar, April 2002
Penjor yang berarak di sisi jalan menyapaku dengan ramah sejak pesawat membawaku mendarat di Bandara Ngurah Rai. Bambu-bambu yang dihias sedemikian rupa itu seolah mengantarku ke jalan-jalan menuju desamu. Di dalam taksi leherku tercekat, bibirku bergetar, dan pipiku terasa hangat.
�
Aku yakin, sejak tadi si sopir mencuri pandang ke arahku. Sejak aku membuka pintu taksi dan meminta si sopir mengantarku ke Ubud, aku hanya menatap kosong ke jendela di sisiku. Sesekali, buliran air mataku jatuh, walau sudah kutahan sekuat tenaga.
�
"Satu minggu lagi Galungan, Bu. Jadi, orang sudah ramai bersiap," kata sopir yang sudah separuh baya itu.
�
Aku hanya mengangguk.
�
"Ibu tidak apa-apa?" tanyanya lagi.
�
Kali ini aku menggeleng.
�
"Liburan di Bali?"
�
Aku menggeleng lagi.
�
"Tugas?"
�
Aku terdiam. Terlalu rumit untuk diceritakan.
�
Apakah aku harus bercerita bahwa aku baru saja meninggalkan posisiku sebagai account manager perusahaan swasta terbesar di Jakarta, melupakan gelar Master of Mass Communication dari universitas terkemuka di Inggris, demi mendapatkan cinta kekasihku?
�
"Saya mau ketemu suami, Pak," akhirnya aku menjawab pelan, setelah menarik napas dalam-dalam.
�
"Oh� suami Ibu tinggal di Ubud? Seniman?"
�
"Tidak, suami saya orang Bali."
�
Dari kaca spionnya ia menatapku heran. Tatapannya tajam sekali, mengingatkanku pada tatapan mata ayahmu, saat pertama kali kau pertemukan aku dengan beliau.
�
"Jadi, Ibu sekarang tinggal di Bali?" tanyanya, penuh selidik. Aku mengerti, ia pasti mengira aku ini salah satu istri orang Bali yang mengingkari adat suaminya.
�
"Saya baru akan pindah ke Bali."
�
Ia mengangguk-angguk puas.
�
Setelah ia tak mengajukan pertanyaan lagi, aku mengambil kacamata hitamku dan pura-pura tidur. Kusandarkan kepalaku ke kaca pintu agar tak perlu mengacuhkan jika ia mulai bertanya-tanya lagi. Rasanya, selama seminggu ini aku sudah cukup memberikan penjelasan pada semua orang.
�
Komentar sinis dan dukungan tentang rencana kepindahanku silih berganti muncul di kepalaku.
�
"Pikirkan lagi, Tar. Kariermu saat ini sedang melesat. Kamu mau jadi apa di sana? Jualan daster? Buka toko cendera mata? Atau apa?"
�
"Kamu benar, sih, Tar. Kalian kan suami-istri, saling mencintai dan membutuhkan. Sudah sepantasnya kalian tinggal bersama dan memiliki anak. Karier bisa menyusul belakangan."
�
"Tar, Tar� cuma segitu saja perjuanganmu? Baru jadi manajer, kok, sudah mengundurkan diri. Katanya mengincar kursi direktur utama?"
�
"Ya, sudah, Nduk�. Bude kan sudah bilang, istri itu separuhnya jiwa suami. Kamu memang harus ada di sana. Percayalah pada Bude. Gusti Allah pasti memberi kamu rezeki, di mana pun kamu berada."
�
Kurang dari tiga puluh menit kemudian, taksiku merapat di sisi sebuah puri di jalan raya desa. Kepalaku sedikit pening ketika aku mencoba mengangkatnya dari sandaran kursi. Tapi, kupaksa diriku tersenyum saat membayar ongkosnya.
�
"Bapak tahu, mungkin berat membina rumah tangga dengan orang Bali, Bu. Tapi, itulah konsekuensinya."
�
"Ya, saya tahu. Terima kasih atas nasihat Bapak." sambungku.
�
Pak sopir terlihat puas. Lalu, ia kembali meluncurkan taksinya dan menghilang di tikungan jalan.
�
Sambil menjinjing koper, aku berjalan melewati gerbang. Kuintip kesibukan di sekeliling pekarangan puri yang terlihat hangat dan ramai. Aroma dupa memenuhi dadaku, seakan menyambut kehadiranku dengan kenangan masa silam.
�
Jantungku nyaris berhenti saat mataku menangkap sosok yang sangat kukenali. Tubuhmu yang terbalut kemeja putih dan berkain endek (sejenis kain tenun Bali). Beberapa detik kemudian kamu membalikkan badan. Selama beberapa menit mata kita saling memandang. Air mataku tak tertahan dan mengalir deras. Tapi, aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku tak tahu caranya mengatakan bahwa kini aku akan tinggal bersamanya.
�
"Tari�," bisikmu, perlahan.
�
Kamu dikelilingi banyak wanita, entah siapa saja. Mereka serius membuat banten (tempat menghaturkan sesajen) dan menyiapkan sesajen. Sesekali, kulihat mereka mencuri pandang ke arah kita. Kulihat ibumu sedang merangkai janur.
�
"Dewa, saya telah mengakhiri semuanya. Saya mengambil keputusan untuk mengakhiri kehidupan saya yang lama. Saya mencintai kamu lebih dari segalanya."
�
Kamu diam. Bahkan, tak menunjukkan perubahan air muka.
�
"Saya tahu, mungkin kita harus memulai dari awal lagi. Tapi, tak bisakah kau memberiku kesempatan?" Hening lagi.
�
"Perempuan kota tetap perempuan kota."
�
Gumaman tak jelas itu terdengar cukup nyaring, memecah kesunyian di antara kami. Sayup terdengar suara gamelan dari balik gerbang. Namun, nada indah itu tak cukup keras hingga mampu menyembunyikan nada kebencian dalam gumaman.
�
"Bu, jangan berkata begitu."
�
Aku tak tahu maksud mereka. Aku tetap menatap Dewa lekat-lekat. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar dan aku bersedia mengorbankan apa saja untuk kebenaran ini.
�
"Bli, minumnya," kata seorang gadis yang mungkin beberapa tahun lebih muda. Ia mendekat dan menyodorkan sebuah gelas berisi air teh pada Dewa. Bukan kakak atau adikmu. Bukan pula sepupu atau keponakanmu. Yang jelas, aku yakin tak pernah melihatnya di hari pernikahan kita. Dari gerak tubuh dan nada suaranya yang manja, aku tahu, aku pantas curiga.
�
Kau mungkin membaca raut wajahku.
�
"Tari, ini Galuh."
�
Kuterima uluran gadis beralis tebal itu. Gelungan rambutnya jatuh di bahunya saat ia mengangguk dan tersenyum padaku.
�
"Mentari. Kamu mungkin tahu siapa saya," sahutku.
�
Dia tersenyum simpul, menggedikkan bahu, membuang napas panjang, membalikkan badan, dan menghilang ke paon (dapur).
�
"Dewa, apakah semuanya sudah terlambat?" Aku tersenyum miris. Lalu, aku tertawa pelan, berusaha menyangkal bahwa saat itu hidupku telah berantakan.
�
Nanar tatapan matamu membuatku masih menyisakan sedikit harapan bahwa kau masih menyimpan cinta untukku. Tapi, aku tak ingin mengemis di hadapanmu. Kuangkat kembali tas dan koperku, lalu bergegas keluar dari puri megah itu. Mungkin, saat ini untuk yang terakhir kalinya.
�
Air mata yang sejak tadi kutahan mulai mengalir menghangatkan pipiku, hingga mengucur deras. Kupercepat langkahku hingga akhirnya aku berlari di pinggiran jalan yang penuh rumput liar. Hidupku hancur.
�
Monkey Forest, lima lewat tiga puluh pagi, dua hari setelahnya
Entah mengapa, aku menemukan ketenangan saat menatap langit-langit bambu di kamar hotelku. Aku terlalu lelah untuk kembali ke Jakarta. Apalagi, bila harus menghadapi ejekan dan cibiran orang yang mengetahui bahwa suamiku sendiri kini telah menolakku karena aku keras kepala. Padahal, apartemenku di Jakarta kini telah kosong. Kuncinya siap berpindah tangan. Semua barang dan pakaianku telah terkemas rapi di dalam kardus-kardus yang kini tersimpan di gudang Laila. Belum lagi harus menerima keadaan bahwa sekarang aku adalah pengangguran di kota Jakarta yang haus akan harta dan problem.
Tapi, aku gengsi untuk pulang ke Yogya. Bude Hardjo akan menasihatiku tentang apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.
�
Aku tak punya tempat tujuan lagi. Kupikir, kembali ke hotel ini akan memberikan ketenangan bagiku. Di sinilah aku membuka lembaran hidup bersamamu. Di sini pula aku akan menutupnya.
�
Aku memejamkan mata, berusaha mendengarkan kicauan burung, kokok ayam jantan, dan suara tingklik (alat musik tradisional Bali). Tapi, ketukan lembut di pintuku nyaring terdengar.
�
Aku bangkit dari tempat tidur, merapatkan gaun tidurku, dan merapikan rambut di depan kaca rias. Aku berusaha mengintip, siapa yang datang pagi-pagi begini. Tapi, tak terlihat sesosok pun dari lubang pengintip di pintu kayu itu.
�
Wangi tubuhmu menyeruak pada detik yang sama ketika pintu kubuka. Aku nyaris pingsan melihat wajahmu yang sayu menatapku dalam-dalam. Pandangan matamu yang sejak dulu selalu membuatku terhanyut dan terbuai.
�
"Dewa! Bagaimana kamu tahu saya ada di sini?" tanyaku.
�
"Aku menelepon Laila. Laila sudah menceritakan semuanya. Aku sudah tahu semuanya. Aku juga menelepon Bude Hardjo. Tapi, ia tidak tahu kamu di mana. Aku pikir, ini satu-satunya hotel yang pernah kamu singgahi selama kita di Bali. Jadi, kurasa kamu ada di sini. Ternyata, aku benar."
�
"Bukan berarti saya tetap memutuskan tinggal di sini. Terlebih jika kamu tidak menginginkan saya tinggal."
�
"Boleh aku masuk?"
�
Kubuka daun pintu dan kau duduk di atas kasurku.
�
"Galuh� Ibu mengira kita tak punya masa depan lagi. Ibu meyakinkanku untuk menceraikanmu bila kamu tak kunjung memberi kabar atau meminta maaf. Tapi, aku bilang pada Ibu, aku akan tetap mencintaimu seperti dulu, walaupun kita berpisah."
�
"Lalu, mengapa Galuh�?"
�
"Ibu berpikir, jika aku bisa belajar jatuh cinta pada wanita lain, aku akan melupakan dirimu dan dapat menceraikanmu. Jadi, Ibu meminta Galuh untuk tinggal di rumah kami. Ibu berusaha membuat kami berdua dekat."
�
"Siapa dia sebenarnya?"
�
"Ia anak asuh seorang teman Ibu. Orang tuanya meninggal tiga tahun yang lalu, ketika ia baru lulus SMA. Ia tak jadi melanjutkan kuliah dan tinggal di rumah orang tua asuhnya, teman Ibu itu."
�
"Ibumu menyuruh untuk belajar mencintai Galuh?"
�
"Tar� aku tak bisa jatuh cinta pada wanita lain. Kamu memiliki semua yang pernah kuimpikan dalam diri wanita. Keindahan, ketegaran, kepandaian�. Sayangnya, kamu terlalu keras."
�
"Jadi, kamu akan mengalah, hanya karena saya terlalu keras?"
�
"Jadi, aku akan mengalah. Tapi, bukan pada Ibu atau Galuh."
�
"Maksudmu?"
�
"Tari, aku tahu pengorbananmu untuk menyelamatkan cinta kita sudah demikian besar. Aku tahu, kamu sudah mengalah. Bahkan, lebih dari yang kuinginkan selama ini. Kini, giliran aku yang mengalah untukmu."
�
"Jadi?"
�
"Kamu ingat janji kita beberapa bulan lalu?"
�
Aku mengernyitkan dahi dan memejamkan mata. Entahlah, Dewa. Bukankah selama ini aku terlalu sering melupakan janji-janjiku yang terucap hanya karena cinta?
�
"Dulu, kamu pernah bilang, kita harus berusaha saling mengerti. Aku akan mencoba untuk mengerti karena kamu telah mencoba untuk mengerti. Aku akan mencoba mengalah karena kamu sudah mengalah untukku."
�
Aku terdiam lagi. Kutatap matamu, mencari keseriusan di setiap kata yang kau ucapkan.
�
"Aku sudah bicara pada Ibu. Aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa kali ini segalanya akan berubah. Memang tidak mudah. Tapi, kita pasti bisa. Kita akan melalui semua ini bersama, Tari. Kamu, aku, dan anak cucu kita nanti. Kita akan mencoba mendirikan keluarga bersama, keluarga yang bahagia, di sini."
�
Aku tersenyum simpul.
�
"Yakinkah kamu bahwa saya bisa melakukannya?"
�
"Aku yakin. Kamu ada di sini sekarang. Karenanya, aku yakin."
�
Kau beringsut dan memeluk tubuhku erat-erat.
�
"Aku kangen sekali padamu," katanya.
�
Dalam pelukanmu kurasakan air mataku meleleh. Dalam sekejap kemejamu basah.
�
"Maafkan saya, Dewa. Maafkan saya karena telah membuat banyak kesulitan dalam hidupmu. Kalau saya bisa memilih, rasanya lebih baik jika kita tak pernah bertemu dan jatuh cinta, agar kamu bisa hidup bahagia sekarang."
�
"Tari� jangan berpikir begitu. Sekarang ini, ya, sekarang. Aku mencintaimu dan tak akan bisa hidup bahagia tanpa dirimu."
�
Kukecup hangat bibirmu. Kurapatkan lagi tubuhku dalam rengkuhan lenganmu.
�
"Sekarang, kita pulang. Kita pulang, Tari. Kita pulang selamanya."
�
Tiga bulan kemudian
Berita kehamilanku menyebar luas di seluruh keluargamu, lebih cepat daripada wartawan mengendus berita terbaru tentang seorang artis sinetron. Kebahagiaan tampak terus terpancar di wajahmu dan Ibu, yang selalu mengelus perutku setiap kali kami berpapasan. Aku selalu tertawa setiap ia melakukannya. Karena, aku tahu, ini bukan cucu pertama yang akan ia dapatkan.
�
Kehidupan di pulau ini perlahan membaik. Aku memperoleh tawaran kerja sebagai manajer humas di sebuah hotel besar di Ubud. Kau bilang, aku boleh menerimanya, asalkan aku mendapatkan cuti yang cukup panjang saat melahirkan nanti. Awalnya, ibumu protes, mengingat ini kehamilan pertamaku. Tapi, kau meyakinkannya bahwa wanita sebandel diriku pasti bisa melewati kehamilan tanpa bermanja-manja. Ibumu tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan mengelus perutku.
�
Tapi, aku tahu, saat itulah ia memberikan segenap restu dan cintanya pada kita berdua. Mungkin, segala sesuatunya benar-benar telah berubah. Mungkin, kita bisa melaluinya. Mungkin, aku, kau, dan anak cucu kita nanti, akan menjadi keluarga yang bahagia.
�
Epilog
Matahari Bali akan selalu menjadi mataharimu. Matahari yang membuat tubuhmu basah berpeluh lelah, dan yang menyinari langkahmu esok hari. Tapi, kini matahari Bali bukan hanya mataharimu saja. Ia akan menemani jagoan kecilku saat ia bermain menyusuri garis air, meneriakkan namaku nyaring, dengan bibir sepenuh bibirmu, tatapan mesra seperti tatapanmu. Ah, betapa napasnya lahir dari napasku dan napasmu.
�
Kini, kau harus berbagi cahaya mataharimu dengan cahayaku, putra kita tercinta. Biarkan matahari menuntun langkahnya menjadi dewasa, di mana pun ia berada. Hingga pada saatnya ia akan pulang ke garis pantainya, ke sawah hijaunya, dan ke rumah purinya.
�
Aku membenamkan kepalaku dalam pelukanmu dan menghirup wangi tubuhmu. Sambil menikmati gelak tawa putramu, pikiranmu menerawang bahagia, sejauh pantai membawanya. Di sinilah aku, bisikku dalam hati. Aku sudah pulang, Dewa. Aku sudah pulang dan menjadi gadis desamu.
�
�
Tamat
�
Penulis: Feby Nurdiana
Pemenang Ketiga Sayembara Mengarang Cerber femina 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar