Rabu, 02 Februari 2011
asal usul sumatra
Nama asli Sumatera,
sebagaimana tercatat
dalam sumber-sumber
sejarah dan cerita-cerita
rakyat, adalah “Pulau
Emas”. Istilah pulau
ameh (bahasa
Minangkabau, berarti
pulau emas) kita jumpai
dalam cerita Cindur Mata
dari Minangkabau. Dalam
cerita rakyat Lampung
tercantum nama tanoh
mas untuk menyebut
pulau Sumatera. Seorang
musafir dari Cina yang
bernama I-tsing (634-713)
, yang bertahun-tahun
menetap di Sriwijaya
(Palembang sekarang)
pada abad ke-7,
menyebut Sumatera
dengan nama chin-chou
yang berarti “negeri
emas”.
Dalam berbagai prasasti,
Sumatera disebut dengan
nama Sansekerta:
Suwarnadwipa (“pulau
emas”) atau
Suwarnabhumi (“tanah
emas”). Nama-nama ini
sudah dipakai dalam
naskah-naskah India
sebelum Masehi. Naskah
Buddha yang termasuk
paling tua, Kitab Jataka,
menceritakan pelaut-
pelaut India
menyeberangi Teluk
Benggala ke
Suwarnabhumi. Dalam
cerita Ramayana
dikisahkan pencarian
Dewi Sinta, istri Rama
yang diculik Ravana,
sampai ke
Suwarnadwipa.
Para musafir Arab
menyebut Sumatera
dengan nama Serendib
(tepatnya: Suwarandib),
transliterasi dari nama
Suwarnadwipa. Abu
Raihan Al-Biruni, ahli
geografi Persia yang
mengunjungi Sriwijaya
tahun 1030, mengatakan
bahwa negeri Sriwijaya
terletak di pulau
Suwarandib. Namun ada
juga orang yang
mengidentifikasi Serendib
dengan Srilangka, yang
tidak pernah disebut
Suwarnadwipa.
Lalu dari manakah
gerangan nama
“ Sumatera” yang kini
umum digunakan baik
secara nasional maupun
oleh dunia internasional?
Ternyata nama Sumatera
berasal dari nama
Samudera, kerajaan di
Aceh pada abad ke-13
dan ke-14. Para musafir
Eropa sejak abad ke-15
menggunakan nama
kerajaan itu untuk
menyebut seluruh pulau.
Peralihan Samudera
(nama kerajaan) menjadi
Sumatera (nama pulau)
menarik untuk ditelusuri.
Odorico da Pardenone
dalam kisah pelayarannya
tahun 1318 menyebutkan
bahwa dia berlayar ke
timur dari Koromandel,
India, selama 20 hari, lalu
sampai di kerajaan
Sumoltra. Ibnu Bathutah
bercerita dalam kitab
Rihlah ila l-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur)
bahwa pada tahun 1345
dia singgah di kerajaan
Samatrah. Pada abad
berikutnya, nama negeri
atau kerajaan di Aceh itu
diambil alih oleh musafir-
musafir lain untuk
menyebutkan seluruh
pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu
Majid membuat peta
daerah sekitar Samudera
Hindia dan di sana tertulis
pulau Samatrah. Peta Ibnu
Majid ini disalin oleh
Roteiro tahun 1498 dan
muncullah nama
Camatarra. Peta buatan
Amerigo Vespucci tahun
1501 mencantumkan
nama Samatara,
sedangkan peta Masser
tahun 1506 memunculkan
nama Samatra. Ruy
d ’Araujo tahun 1510
menyebut pulau itu
Camatra, dan Alfonso
Albuquerque tahun 1512
menuliskannya Camatora.
Antonio Pigafetta tahun
1521 memakai nama yang
agak ‘benar’:
Somatra. Tetapi sangat
banyak catatan musafir
lain yang lebih ‘kacau’
menuliskannya:
Samoterra, Samotra,
Sumotra, bahkan Zamatra
dan Zamatora.
Catatan-catatan orang
Belanda dan Inggris, sejak
Jan Huygen van
Linschoten dan Sir Francis
Drake abad ke-16, selalu
konsisten dalam
penulisan Sumatra.
Bentuk inilah yang
menjadi baku, dan
kemudian disesuaikan
dengan lidah kita:
Sumatera.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar